Menu
Menu

Perempuan-perempuan dalam Silsilah Duka ini menyuarakan kehidupan dan respons atas perilaku yang mereka alami.


Oleh: Meilisa Dwi Ervinda |

Lahir di Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga. Buku solo pertamanya berjudul Aku, Angan, dan Kenangan (2018). Dapat dihubungi melalui Instagram: @meilisa_de dan surel: [email protected]


Identitas Buku

Judul: Silsilah Duka
Pengarang: Dwi Ratih Ramadhany
Penerbit: Basabasi
Cetakan pertama: September 2019
Tebal: 12×19 cm; 134 hlm
ISBN: 978-623-7290-21-6

***

Apa yang terjadi jika kita mendapatkan mertua yang …. gak bisa biasa?

Membahas tentang perempuan memang tidak akan ada habisnya. Hal-hal mengenai perempuan selalu menjadi daya tarik yang tak kunjung surut. Kehidupan perempuan juga seringkali menarik untuk disajikan dalam ruang-ruang kreativitas berbentuk tulisan, sejak zaman dahulu. Nasib-nasib perempuan yang didominasi oleh budaya patriarki sudah mendarah daging sejak zaman pra-Pujangga Baru (Wahyuni, 2013). Roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli, merepresentasikan bagaimana keadaan zaman tersebut. Posisi perempuan yang lemah dan menjadi korban kepentingan orang tua dan budaya. Siti Nurbaya menjadi saksi sebuah zaman dan mengundang inspirasi perempuan untuk bangkit agar tidak seperti nasib Siti Nurbaya.

Saya lalu ingat salah satu novel yang baru selesai saya baca untuk kedua kalinya: Silsilah Duka karya Dwi Ratih Ramadhany. Novel ini membawa saya menuju ruang yang penuh tanda tanya; tentang istilah jika nanti kamu menikah, tidak hanya menikah dengan pasanganmu, akan tetapi juga dengan keluarganya. Suka tidak suka, mau tidak mau, pasti muncul pertanyaan dalam diri: Bagaimana jika nanti saya mendapatkan mertua yang… tidak bisa biasa?—seperti dalam novel Silsilah Duka.

Dwi Ratih Ramadhany menghadirkan realitas keperempuanan dalam karyanya. Sebagai pengarang muda perempuan pada masa kini—seringkali berupaya mendobrak budaya patriarki—Dwi Ratih hadir untuk menggugah budaya dan suka duka menjadi perempuan Madura. Novel yang menyuarakan kehidupan perempuan dengan segala duka dan kesengsaraan yang ditawarkan oleh pengarang ini, menarik pembaca untuk mengetahui lebih jauh bentuk duka dan sosok mertua (yang dinarasikan sebagai akar dari kesengsaraan perempuan).

Perempuan dengan Segala Duka

Novel Silsilah Duka dibuka dengan kematian tidak biasa seorang perempuan bernama Ramlah. Ia depresi berat pasca-melahirkan putri keduanya, Mangseng. Selanjutnya, Dwi Ratih mengisahkan satu per satu anggota keluarga Ramlah yang berhubungan erat dengan dirinya. Mulai dari kehidupan Ramlah saat sebelum meninggal bersama Farid suaminya dan kedua mereka, Majang dan Mangseng.

Ramlah, sebagai seorang istri mencoba sebaik mungkin merawat keluarganya. Sayangnya sang ibu mertua, Juhairiyah, selalu memberikan kritik pedas. Apa saja yang dilakukan Ramlah selalu salah. “Apa saya bilang. Jangan makan cumi hitam kalau sedang bunting! Lihat anak kamu kulitnya jadi kayak tinta cumi-cumi,” ujar Juhairiyah (hal. 32). Ramlah hanya bisa menelan semuanya dan menangis tanpa suara akibat perilaku ibu mertuanya.

Ramlah yang mengalami kejadian-kejadian penuh kesengsaraan dan hantaman keras di hati, merasa tertekan dan seperti dipengaruhi oleh bayangan lain yang terus hadir ketika ia bercermin. Puncak dari duka yang dipendam Ramlah, ia bunuh diri menelan malan dari atas kompor pemanas kecil, kemudian menggorok lehernya dengan pisau. Ramlah bunuh diri karena tak sanggup menahan duka yang dideritanya. Ramlah mengalami gambar horor dari proyeksi kecemasan dan ketakutan yang ia alami; “Apakah memang aku bunuh anakku?” (hal. 60). Gambaran kondisi sulit di mana Juhairiyah terus mengintervensi hidupnya menjadi sumber utama atas depresi yang dialami Ramlah. Harapan kesempurnaan yang digaungkan Juhairiyah kepada menantunya membuat kemampuan keibuan Ramlah kian memudar.

Saya juga menemukan gambaran duka lain dari adik perempuan Farid, Kholilah. Anak kedua Jauhariyah yang menceburkan diri dalam kubangan duka dengan cara hamil di luar nikah. Kholilah tidak tahan dengan sikap ibunya yang selalu memaksa dirinya untuk menikah dengan lelaki yang usianya jauh lebih tua (seusia bapaknya).

Dwi Ratih bukan hanya menggambarkan karakter perempuan sebagai ibu semata, melainkan bagaimana ibu Madura yang menjadikan agama sebagai dasar dalam mengambil alih kuasa. Karakter Juhairiyah yang mendesak Kholilah untuk menikah dengan ayah Ali (temannya Majang), membuat Kholilah marah. Pemberontakan Kholilah kepada ibunya, membuat sang ibu melabelinya sebagai anak yang durhaka. “Kamu tega sama Ebo’ Lila! Kurang ajar durhaka kamu itu, Nak!” (hal. 98).

Duka terakhir yang adalah akar dari segala duka, bermunculan ada pada bab “Yang Tidak Diketahui”. Bab ini menghadirkan asal mula duka dari sebuah keluarga karena jalan yang dipilih oleh Juhairiyah dengan menjadi istri kedua dari seorang pria bernama Haryono. Haryono adalah seorang tentara yang saat itu mendapatkan tempat tugas sementara di Madura. Juhairiyah bertemu dengan Haryono—kemudian menikah, sementara istri pertama tentara itu tinggal di Jawa.

Juhairiyah mengalami kesedihan akibat perbuatannya sendiri yang menggoda suami orang lain. Dua bulan setelah menikah dengan Haryono, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Farid. Tujuh tahun berlalu, puncak dari kekhawatiran dan kesedihan menyandang nama “istri kedua” pun terjadi. Haryono meninggalkan Juhairiyah dan memilih kembali bersama istri pertamanya.

Perempuan-perempuan yang dilukiskan Dwi Ratih memperlihatkan bagaimana ideologi seseorang dalam memandang diri sendiri terhadap kehidupan yang dialaminya dalam lingkungan yang patriarkat. Sejauh ini, novel Silsilah Duka menghadirkan berbagai konflik tentang perempuan yang mengandung segala duka yang tak berkesudahan, hingga akar penyebab duka tersebut terputus atau meninggal. Perempuan-perempuan yang merasa terikat oleh budaya patriarkat berhak memilih kebebasan meskipun harus membawa duka hingga kematian, atau memberontak, dan tenggelam bersama duka tersebut.

Novel ini memberikan saya pemahaman tentang dominasi perempuan kepada sesama perempuan, juga kepada laki-laki. Tidak hanya dalam hubungan keluarga saja, namun dominasi perempuan terhadap orang-orang di sekitar—saat memperlakukan perempuan lain; cenderung menekan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang menjadi pantangan dengan dalih budaya.

Penutup

Melalui novel Silsilah Duka, Dwi Ratih Ramadhany, selain menggambarkan kehidupan perempuan, ia juga memperlihatkan sisi lain hubungan antara ibu dengan anaknya, ibu mertua dan menantunya, dengan latar budaya Madura. Novel ini mengungkapkan pengaruh ibu yang mendominasi sehingga menyebabkan perempuan-perempuan di sekitarnya mengalami derita dan kejadian dengan segala duka dan pelecehan.

Perempuan-perempuan dalam Silsilah Duka ini menyuarakan kehidupan dan respons atas perilaku yang mereka alami, meski sebagian berakhir tenggelam bersama dukanya, dan sebagian lain memberontak demi memutus rantai duka pada budaya ibu yang patriarkat. Dengan demikian, perempuan memiliki hak untuk memilih dan merespon segala duka yang tak kunjung usai.(*)

Pustaka

– Ramadhany, D. R. (2019). Silsilah Duka. Yogyakarta: BasaBasi.

– Wahyuni. (2013). Perempuan dengan Segala Luka dalam Kumpulan Cerpen Suatu Hari Bukan di Hari Minggu. ATAVISME Vol 16 No 2, 247-257.


Baca juga:
Rumah untuk Nenek – Cerpen Goh Sin Tub
Dessa dan Ibu Mertua – Cerpen Lisa Pingge


1 thought on “Duka-Duka Perempuan dalam Novel Silsilah Duka”

  1. Syifa berkata:

    Identitas Buku
    Judul: Silsilah Duka
    Pengarang: Dwi Ratih Ramadhany
    Penerbit: Basabasi
    Cetakan pertama: September 2019
    Tebal: 12×19 cm; 134 hlm
    ISBN: 978-623-7290-21-6

    Tafsiran

    Novel ini Membahas tentang perempuan memang tidak akan ada habisnya. Hal-hal mengenai perempuan selalu menjadi daya tarik yang tak kunjung surut. Kehidupan perempuan juga seringkali menarik untuk disajikan dalam ruang-ruang kreativitas berbentuk tulisan, sejak zaman dahulu. Nasib-nasib perempuan yang didominasi oleh budaya patriarki sudah mendarah daging sejak zaman pra-Pujangga Baru (Wahyuni, 2013). Roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli, merepresentasikan bagaimana keadaan zaman tersebut.

    Evaluasi

    1. Kelebihan, novel ini menyampaikan sebuah makna yang tinggi tentang perempuam. Kemudian Hal-hal mengenai perempuan selalu menjadi daya tarik yang tak kunjung surut.

    2. Kekurangan dalam novel ini berupa penggunaan kata-kata ilmiah yang tidak familiar. Pembaca perlu menengok kembali indeks di halaman belakang novel dan alur cerita yang sulit ditebak. Sehingga pembaca harus mengingat kembali alur cerita sebelumnya.

    Rangkuman

    Terdapat nilai kehidupan yang bisa diambil dari novel silsilah duka, yakni tentang tidak mudah menyerah dan bersyukur dalam kondisi yang paling sulit. Tokoh-tokoh novel yang hadir membuat keragaman cerita ini begitu mengesankan.

Komentar Anda?