Menu
Menu

Kabar sekarat Raja Ur-Nammu telah tersiar ke seluruh penjuru negeri, bersamaan dengan ditetapkannya Nunknah, cucu ahli nujum agung kerajaan, sebagai buron karena usaha pemberontakan. Jalan Bercabang.


Oleh: Indah Fai |

Kelahiran Banyuwangi, 15 Juli 1994. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan daring. Ia tinggal bersama keluarga kecilnya di Buleleng, Bali Utara. Jalan Bercabang.


Kelopak matanya terbuka dan mengerjap pelahan-lahan. Ia memandangi atap ruangan itu; sedikit cahaya memerlihatkan pahatan dinding liat yang amburadul; laba-laba memintal rumah di sudut pengapnya; serangga, entah dari jenis apa, hinggap di dinding dalam keheningan layaknya pertapa—ia mengira ia telah mati dan telah tiba di Gua Kur, namun kesadaran sebagai seonggok daging hidup datang kepadanya ketika ia merasakan nyeri timbul pada mata kirinya. Pandangannya beralih ke pintu besi yang mengisolasi ruangannya dengan lorong penjara bawah tanah, ada jendela kecil di kaki pintu dan sebuah nampan tembaga berisi roti yang sudah tercabik tikus tanah diletakkan di bawahnya.

Ia mengumpat dalam dialek Summer Selatan seraya mengangkat kepalanya dari tumpukan jerami kering. Sekarang udara dingin dan kering itu senyata ngilu pada persendiannya. “Sialan,” katanya. Itu umpatan keseratus tiga belas sejak usaha pelariannya dari istana.

Pada usia tujuh tahun, bersama kakeknya ia pernah melintasi benteng istana setinggi tangga akhirat itu dan matanya takjub oleh perkebunan zaitun yang mahaluas. Ia melihat dataran yang selama ini angin membawa aroma buah yang tumbuh di atasnya menuju sudut-sudut paling masygul istana: jeruk-jeruk kuning yang serupa anak-anak matahari.

“Aku tidak tahu ada tempat seperti ini,” kata Nunknah, matanya bergerak mengikuti gerak pohon yang seakan-akan berkejaran dengan laju pedati.

“Sekarang kau tahu,” sahut sang kakek, “ dan cukup tahu saja.”

Perjalanan itu menempuh satu fase bulan menuju Kota Suci Nippur, dengan titah raja Ur-Nammu untuk mengambil kitab perbintangan di perpustakaan Ziggurat Agung. Sekembalinya dari Nippur, Nunknah merasa hidup di dalam istana dengan benteng menjulang adalah sebuah kejanggalan. Di dalam kepalanya, bentangan perkebunan zaitun dan jeruk dan lalu-lalang penduduk di pasar-pasar selama perjalanan itu melekat seperti zarah pada bulu-bulu hidungnya, yang sukar dibersihkan.

Ia lahir dan tumbuh di dalam istana sebagai cucu satu-satunya ahli nujum tingkat pertama, Koares, yang melayani Ur-Nammu, raja pertama dinasti ketiga Ur. Ia menisbahkan waktunya untuk menghitung pergerakan bintang yang menjadi cikal bakal tindak-tanduk sang raja—dan ia meletakkan tugas itu di atas kepalanya sampai ke akhirat. Nenek dan ibunya adalah pelayan yang menangani pendidikan puteri, dan ikut meninggal menceburkan diri ke akhirat bersama anak ketiga sang raja itu ketika ia keracunan hati penyu. Peristiwa itu terjadi ketika Nunknah melihat cahaya matahari di hari ke sembilan hidupnya.

Orang-orang kerajaan—entah bagaimana—selalu berumur pendek. Ayahnya meninggal meminum tonik arsen bersama empat puluh abdi kesayangan putera mahkota yang meninggal karena penyakit hitam. Umur sang putera mahkota dua belas tahun saat itu; semakin banyak abdi yang mati bersamanya, semakin ia aman dan nyaman di akhirat dalam penjagaan mereka. Jalan Bercabang.

Nunknah begitu risau malam sebelum ritual kematian abdi dilakukan keesokan pagi. Ia mendatangi ayahnya yang tidur menghadap dinding.

“Apakah kau takut sekarang?” Suaranya sehalus angin.

“Aku merasa terhormat bisa menemani perjalanan putera mahkota,” sahut ayahnya tanpa memutar punggungnya.

“Tapi kau akan mati,” ucap Nunknah, “kau akan meninggalkanku.”

“Itu tidak benar. Kau masih bisa mengunjungi makamku dan memberiku satu atau dua cawan anggur terbaik. Saat itu tiba, aku akan mengajakmu bercakap-cakap dan menceritakan keseruan bertemu dengan Dewi Eleshgikal.”

“Ya, sepertinya menyenangkan bertemu dengan Dewi Akhirat,” kata Nunknah meskipun ia tahu ayahnya sedang berbohong.

Ia ikut berbaring di samping sang ayah dan tidur menghadap pintu dan nyala lilin di dinding yang terseok-seok oleh udara malam. Mereka tidur dengan punggung saling bertolak dan air mata Nunknah merembesi alas tidur seperti hujan lebat yang membasahi tanah. Saat ayahnya dikuburkan bersama empat puluh abdi lainnya, ia merasakan kejanggalan itu mengerak di dalam hatinya.

Cambang telah merimbun di garis rahangnya ketika Nunknah mulai memperlihatkan usaha pemberontakan pada Koares.

“Aku mencium aroma jeruk dari perkebunan itu,” kata Nunknah suatu saat. Koares tengah duduk menekuri lembaran papirus, dan membelai-belainya. “Aku akan memastikan benarkah harum ini berasal dari kebun yang kita lintasi dulu.”

“Kau tidak perlu memastikannya karena kau sudah tahu jawabannya,” kata sang kakek.

“Aku akan pergi.”

“Kau tidak akan pergi,” timpal Koares. “Sebentar lagi kau akan dilantik menggantikanku.”

“Aku menolaknya. Aku harus pergi.”

“Kau tahu keluar dari istana ini semuskil kau memasukinya.”

“Kau—kalian—membuatnya seperti itu. Hapuslah peraturan langit dan ciptakan peraturan yang membumi,” kata Nunknah.

“Bintang Enki menaungi langit malam-malam belakangan.”

“Lalu apa? Raja yang kau layani akan mati dan kau merasa terhormat untuk membuntuti kematiannya,” sahut Nunknah. “Kau akan meninggalkanku seperti ayah melakukannya. Itu menyedihkan, dan kalian berharap aku akan meneruskan nasib yang kacau ini.” Jalan Bercabang.

Malam setelah perayaan Akitu—pesta menyambut musim semi—Nunknah menyusup ke dalam rombongan penari yang didatangkan dari negeri lembah sungai Nil. Rombongan itu terdiri dari sepuluh pasang penari dan dua puluh orang penabuh lagu. Nunknah menjadi penabuh ke dua puluh satu dan tak seorang pun awas; anggur telah mencaplok separuh kesadaran mereka. Ketika fajar merekah, Nunknah memisahkan diri dari rombongan penari itu. Ia berkuda ke utara menuju lembah pegunungan Zagross. Saat melewati padang rumput, kakinya bersentuhan dengan embun di pucuk-pucuk rumput tinggi—menciptakan gemerisik, dan wangi rumput patah yang tergerus kaki kudanya melapangkan paru-parunya. Ia tersenyum lebar lantas memacu lari kudanya.

Di dalam Ziggurat istana, Koares meratap pada patung Dewi Innana; ia memohon sengkarut benang takdir yang tercipta sejak Nunknah menjejak dataran di luar istana akan terurai; ia meminta ampun untuk kelancangan anak keturunannya.

Kabar sekarat Raja Ur-Nammu telah tersiar ke seluruh penjuru negeri, bersamaan dengan ditetapkannya Nunknah, cucu ahli nujum agung kerajaan, sebagai buron karena usaha pemberontakan.

Saat itu Nunknah telah sampai di lembah pegunungan Zagross dan bergabung dengan grup kesenian jalanan; ia kebagian jatah sebagai pengasuh tenda nujum. Ia melihat gambarnya terpampang di pusat-pusat keramaian, dan diam-diam mencari kesamaan tampangnya yang sekarang dengan gambar itu—gambar yang dilukis ketika wajahnya belum bersinggungan dengan udara luar: cambang di dagunya ia warnai serupa daun jelai kering dan tumbuh selebat dahan pohon oak. Kulitnya menggelap, dan ia memiliki codet yang membelah alis kanannya, hasil adu pedang memerebutkan wanita di rumah hiburan beberapa waktu lalu. Ia menyeringai dan merasa Dewa Anu berada di pihaknya.

Keberuntungan—kebanyakan—berumur pendek.

Ia masih mendengkur di bawah ketiak wanita penghibur ketika ketua grup kesenian menerobos tenda nujumnya dan menarik ujung rambutnya. Wanita di sampingnya buru-buru bangkit mengenakan pakaian dan meloloskan diri. Lelaki bertubuh tambun itu mengamati raut muka Nunknah kemudian terbahak-bahak, sehingga lipatan lemak perutnya menari-nari. Ia berkata dalam dialeg Summer Utara: “Kau pemuda bernilai lima ratus keping emas!”

*** Jalan Bercabang

Telinganya menangkap derap langkah di ujung lorong, suara itu makin dekat dan berhenti di depan pintu biliknya. Pintu terbuka dan ia meilhat sosok kakeknya dalam balutan jubah rami keabu-abuan. Pakaian kebesaran itu mengkilat dan mengokohkan jabatannya sebagai wakil Dewa-dewi. Dua orang pengawal berdiri di belakangnya. Jalan Bercabang.

Koares mendekatinya, memandangi sang cucu dengan tatapan induk kucing kepada anak-anaknya. Pergelangan tangan Nunknah memar oleh ikatan rantai. Wajahnya babak belur dan bengkak-bengkak.

“Kau sendiri akan mati menenggak racun besok,” kata Nunknah. “Jangan mengasihaniku. Kalau aku mati, aku mati atas nama kemerdekaan. Di akhirat nanti aku juga bukan budak keluarga kerajaan.”

“Dewan kerajaan akan mengampunimu jika kau melakukan pertobatan,” sahut sang kakek. Jalan Bercabang.

“Kau tahu,” timpal cucunya. “Kau sebenarnya tahu, abdi-abdi yang akan mati demi peraturan sialan itu memiliki anak dan istri.” Itu umpatan keseratus empat belas yang pecah dari mulutnya.

Sang kakek, tanpa bersusah payah menimpali keluhan Nunknah, mohon pamit dari hadapannya. Ia akan mengantar Ur-Nammu ke akhirat dan ia rasa perlu untuk menengok keadaan cucunya barang sekejap. Sebelum pintu ditutup pengawal, Koares berkata: “Dewan kerajaan akan mengampunimu jika kau melakukan pertobatan.”

Saat derap kaki itu terdengar samar-samar menaiki tangga kemudian lenyap ditelan keheningan, Nunknah merasakan air mata mengalir di atas memar-memar wajahnya dan mengukuhkan pedih itu.

*** Jalan Bercabang.

Nunknah kemudian dikenal sebagai pelopor pemberontakan. Sesaat setelah kematiannya, terjadi gerakan pemberontakan bawah tanah besar-besaran yang memaksa perbaikan undang-undang kerajaan Ur-Nammu, Sumeria Kuno.


Ilustrasi diambil dari wikiart.org.

Baca juga:
Yang Kita Miliki dan Tak Kita Miliki
Catullus: Kelembutan dan Kompleksitasnya


Komentar Anda?