Menu
Menu

Sudah lama Fredy tahu bahwa Arjuna ingin mencari nisan kakeknya.


Oleh: Raudal Tanjung Banua |

Tinggal di Bantul. Buku terbarunya, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan.


TIAP kali teringat sajak pendek Chairil Anwar, “Nisan”, yang ia bayangkan bukan Nenekanda, tapi Kakekanda: Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ dan duka maha tuan bertakhta.

Meski nisan sang kakek tak pernah ia lihat, bahkan tiap kali coba ia bayangkan, sia-sia, semua hablur dalam kepala. Namun ia percaya nisan itu ada. Menunggu diziarahi. Di sana, di timur Tanah Air…

Ia akhirnya berangkat ke pulau pembantaran, gulag-nya negeri beradab: Buru!

Ini perjalanan mencari makna nisan. Bertahun-tahun ia rindukan jumpa sepasang tanda itu, dari batu atau kayu, di makam kakeknya. Tak pernah kesampaian. Dan inilah saat ia sampai ke tanah tempat jenazah orang tercintanya itu ditanam.

Sepanjang jalan karung-karung goni berisi daun kayu putih baru dipetik teronggok berjejer. Deretan pohon kayu putih diselingi pohon sawulaku, mencuat seolah tangga diulurkan dari kanopi hutan. Di balik sanalah pondok-pondok penyulingan kayu putih orang dirikan. Asapnya membubung ke langit kelabu.

Selepas padang savana, oto melewati plang nama bertulisan, “Desa Savanajaya: Penghasil Padi Maluku”. Ia menarik nafas, membayangkan betapa luar biasanya orang-orang angkatan kakeknya. Dari semula padang savana bisa jadi penghasil padi nomor satu di seluruh jazirah Al-Muluuk; dan itu dirintis dengan alat-alat manual.

Ah, Savanajaya! Ia ancang-ancang minta berhenti. Tapi ia tak tahu di mana persisnya. Meski ia tahu Pak Yadi, orang yang akan ia cari, tinggal di sekitar lapangan. Dalam foto-foto lama ia lihat di situ ada bangunan kayu sebagai gedung kesenian dan pertemuan. Di bagian lain ada tugu pejabat militer Orde Baru di Inrehab Pulau Buru.

Apakah gedung itu masih ada? Dan jika ada apakah masih seperti dalam gambar?

“Turun di mana?” sopir menambah deretan pertanyaan dalam dirinya.

“Lapangan Savanajaya,” jawabnya. Oto berhenti di persimpangan, dan sopirnya menunjuk bahwa lapangan bisa dicapai dengan berjalan kaki. Letaknya tak persis di tepi jalan Namlea-Waeapo, melainkan masuk jalan kampung yang siang itu mengepulkan debu.

“Oya, saya turun di sini,” tokoh kita memasang ransel di punggung. Turun, bayar ongkos dan berjalan menyeberangi jalan. Tak lebih 500 meter, langsung ia lihat lapangan itu, terbentang hijau bagai oase di terik sore. Gedung kesenian/pertemuan ternyata dibangun baru, dinding dan tiang beton menggantikan tiang-tiang kayu. Dan tugu itu. Masih ada, tampak habis dicat, tak mau ketinggalan untuk tampil baru. Nun di ujung jalan ada sebuah gereja, tinggal rangka—nanti ia tahu itu terbakar dalam konflik Maluku.

Ia melihat seorang laki-laki berdiri di depan sebuah rumah sederhana, persis di samping gedung kesenian. Inikah orang yang ia cari?

“Pak Yadi?” refleks, ia langsung pastikan.

Laki-laki itu mengerjapkan mata tuanya.

“Saya Arjuna, Pak!”

“Waah, jadi engkau datang?” sambut laki-laki bertubuh kecil itu, tapi ototnya liat. Tak salah lagi memang inilah orangnya.

Mereka bersalaman. Erat. Meski belum pernah berjumpa sebelumnya, mereka sudah terhubung secara batin. Begitulah kira-kira, atau entahlah. Tapi jangan salah. Bukan telepati melainkan via telepon atau SMS berkat nomor yang diberi Fredy.

Arjuna hanya tahu bahwa orang tua itu mantan tapol, dan ketika fajar kebebasannya tiba, ia tak pulang ke Jawa. Ia menikmati fajar baru dari Buru. Tepatnya di Savanajaya, unit khusus bagi mantan tapol berkeluarga. Mereka memanggil istri dan anak-anaknya dari Jawa dan ada yang menikah dengan warga setempat.

Di sinilah Pak Yadi menetap bersama istrinya. Arjuna mengenal orang tua ini dari Fredy, kawannya penghobi jalan-jalan. Fredy menulis sosok Pak Yadi dalam beberapa versi di media online dan majalah traveling (bukannya media politik!). Dan ketika Arjuna memutuskan berangkat ke Buru, Fredy segera memberi dukungan penuh. Sebab sudah lama Fredy tahu bahwa Arjuna ingin mencari nisan kakeknya.

*** | Arjuna Mencari Nisan – Raudal Tanjung Banua

IA sebenarnya merasa tak sanggup menemukan makam kakeknya di bekas kamp yang ia jelajahi. Tapi ia tak sanggup pula membiarkan nisan itu tenggelam selamanya di perbukitan kayu putih atau daratan savana kering tanpa diziarahi seorang turunan!

Ia sadar tak bisa melepaskan silsilah dan asal-usul, sepahit apa pun. Maka Fredy membantunya. Mulai remeh-temeh mencatatkan hotel bahkan laundry di Namlea, hingga yang esensial: memberi alamat mantan tapol yang dirasa tahu keberadaan kakek Arjuna.

“Ada salam dari Fredy,” kata Arjuna seolah mengingatkan orang yang telah memperkenalkan mereka.

“Fredy?” agak mengejutkan orang tua itu tak mengenal nama yang ia sebutkan.

“Ya, dia pernah berkunjung ke mari. Dia yang memberi nomor bapak.”

Orang tua itu pangling. Tapi tak lama ia ingat,”Fredy wartawan foto itu?”

“Ya, betul!” Arjuna lega.

“O, dia itu anak baik. Saya diberinya banyak tembakau rajangan.”

Klop! Mereka lalu terlibat pembicaraan tentang tapol. Berlanjut pada seorang bernama Tan Duano atau Sutan Duano, orang Minangkabau yang merantau sejak muda ke Jawa. Itulah kakek Arjuna. Sang kakek bekerja sebagai petugas stasiun Kroya dan menikah dengan perempuan setempat. Awal 1966 ia ditahan militer, sehubungan peristiwa 30 September. Alasannya jelas: si kakek aktif di serikat buruh stasiun yang berafiliasi ke PKI.

Ia diberangkatkan pertama kali ke Buru dengan bekas kapal perang ADRI XV. Pak Yadi termasuk dalam rombongan itu. Juga Pramoedya Ananta Toer, yang mencatat perjalanan sebelas hari tersebut di bab pembuka Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

“Ya, ada Tan Duano, saya ingat bukan karena kami satu kapal; kapal begitu besar dan ratusan orang di dalamnya. Saya ingat karena kami pernah tinggal satu Unit meski beda barak, Unit II/Wanareja. Itu Unit awal sebagaimana Unit I/Wanapura. Wana artinya hutan,” Pak Yadi berhenti sebentar. Jari-jari tangannya yang menderita, perlahan melinting tembakau. Arjuna membiarkan, tak ingin menyela percakapan.

“Tapi kemudian kami dipisah ketika petugas mencari pekerja khusus,” Pak Yadi mulai lagi,”saya dan Pram termasuk yang ditarik ke Mako. Pram menulis dan diberi mesin tik sehabis kunjungan Soemitro. Sedangkan saya, selain bisa main biola, juga tukang kayu. Dan saya tak pernah tahu lagi ke mana Tan setelah itu.”

Hening sejenak. Sosok yang tadi mendekat, terasa kembali berjarak, hilang jejak.

“Mungkin besok bisa cari info ke Dasripin di Mako. Dia banyak kenal orang,” Pak Yadi menyebut nama rekannya, “besok saya beri alamat. Datang saja, sebut nama saya.”

Arjuna agak lega sebab masih ada harapan. Malam itu ia tidur di rumah Pak Yadi. Angin savana bertiup santer memukul pintu dan jendela. Di antara itu Pak Yadi memainkan biola yang akan ia ajarkan kepada murid-muridnya di SMAN 3 Buru. Sudah 10 tahun ia jadi guru honor kesenian.

Biola itu, katanya, hadiah dari anak Pram yang dulu berkunjung dan mengiriminya biola setelah itu. Biolanya yang rusak, ia gantung di dinding. “Buat kenang-kenangan karena pernah menghibur Soemitro dengan lagu-lagu perjuangan,” katanya menyindir.

Bunyi gesek biola membangkitkan hasrat Arjuna pada kenangan-kenangan lampau, masa ketika ayahnya berhadapan dengan kesulitan pasca kakek ditangkap. Tanah dan rumah mereka di Kroya, Cilacap, diambil-alih atas nama jawatan kereta api. Padahal jelas itu properti yang mereka beli sendiri. Mereka terusir jadi kaum urban di Ibukota.

Tentu kisah kakek dan keterusiran keluarganya ke Ibukota ia dapatkan dari cerita kedua orang tuanya karena ia baru lahir ke dunia tahun 1992. Tapi cerita turun-temurun itu tak pernah pudar, dan itulah yang menggerakkan batinnya mencari nisan sang kakek.

*** | Arjuna Mencari Nisan

BESOKNYA Arjuna melanjutkan perjalanan ke Mako. Ia bertemu Pak Dasripin. Laki-laki energik itu bercerita bahwa pada September 1974 terjadi keributan di Unit II/Wanareja. Seorang Tonwal ditemukan tewas, konon dihabisi sekelompok tapol yang melarikan diri. Nah, sejak itu diadakan perburuan di seluruh Buru, bahkan mengerahkan helikopter segala. Semua Unit “dibersihkan”. Unit II/Wanareja mengalami “pembersihan” besar-besaran.

“Kita tak tahu apakah Tan Duano melarikan diri, atau korban dari pembersihan di Unit,” kata Pak Dasripin dengan sorot mata yang tajam. Arjuna menarik napas panjang.

Meski tak ada kepastian, bahkan sampai ia menemui sejumlah tapol lain di pelosok Waeapo, Arjuna tak patah asa. Setidaknya, bertemu sosok-sosok yang bergairah dalam hidup dan penuh semangat di masa tua membuat Arjuna merasa cukup. Rasanya separuh dari nisan kakeknya sudah ia raba. Kuat, tak tergoyahkan. Perkara tak ditemukan, ia bisa ziarah ke makam sesama tapol yang ia anggap mewakili kakeknya.

Itulah yang ia lakukan kemudian. Ia ziarah ke makam tapol di Mako, Air Mandidih dan Waetele.

*** | Arjuna Mencari Nisan – Raudal Tanjung Banua

ARJUNA pun pergi ke kawasan orang-orang trans di Grandeng. Itu rombongan transmigrasi dari Cilacap dan sekitarnya. Arjuna datang atas perintah Pak Dasripin, ya, hitung-hitung silaturahmi, katanya. Siapa tahu ada orang trans yang menyimpan kabar.

Maklum, orang-orang trans punya hubungan baik dengan mantan tapol. Mereka menghargai jerih payah para tapol, sebab tapol yang membuka savana dan hutan jadi kawasan pertanian. Saat tapol terakhir dipulangkan 1979, kapal rombongan transmigran datang ke Buru; dan mereka hidup berbaur dengan tapol yang menolak pulang.

Lahan bekas babat alas para tapol dibagikan kepada para transmigran. Masing-masing dapat kavling tanah pekarangan (lengkap dengan rumah), kebun dan sawah. Jatah yang sama didapatkan mantan tapol yang tetap tinggal di Buru.

Salah seorang tokoh trans di Grandeng adalah Slamet Muljana. Ia didaulat sebagai ketua “Republik Ngapak”—paguyuban orang-orang berbahasa Jawa-Ngapak.

Arjuna diterima seorang perempuan yang menjaga kios cukup lengkap di samping rumahnya. Perempuan itu istri Pak Slamet dan ia menyatakan suaminya belum pulang dari sawah. Arjuna memutuskan menunggu. Saat itulah ia ditemani Amelia, cucu Pak Slamet yang hitam manis berambut ikal. Amelia menghidangkannya kopi panas.

Perkenalan dan percakapan berlangsung akrab. Amelia belum pernah ke Jawa. Perkenalannya dengan Arjuna membuka cerita baru yang tak pernah diduga. Menurutnya, di batas Desa Grandeng ada sebuah makam tak bernama. “Tapi kami biasa menyebutnya makam eyang. Kabarnya dulu beliau pekerja stasiun di Jawa,” kata Amelia yang mengaku belum pernah melihat langsung kereta api.

Ketika Pak Slamet datang, petani ramah itu membenarkan cucunya. Hanya ia tambahkan, ”Sebenarnya eyang orang Sumantrah, tapi bekerja dan berkeluarga di Cilacap.”

Darah Arjuna tersirap. Segera ia putuskan untuk berziarah ke sana.

Nisannya dari batu kali, dibiarkan tak bernama. Tak ada yang berani menulisinya, kata Amelia. Ketimbang diberi nama, ya, orang lebih suka menganggapnya sebagai makam tak dikenal. Tapi di sisi lain, orang Cilacap mengklaim itu makam “eyang” mereka.

Arjuna berbinar mendapati sepasang nisan tegak di atas gundukan tanah savana. Ia tabur bunga semak liar, ia bersihkan belukar dan duri-duri. Ia sepuh nisan itu dari debu. Tangannya gemetar. Matanya sebak oleh duka dan suka cita sekaligus. Entah bagaimana, ia yakin itulah nisan kakeknya. Mungkin karena ada desir halus menyambungkan jiwanya.

Dan sebagaimana Anda duga, nisan itu menyatukan Arjuna dan Amelia. Ya! Tapi mungkin tak Anda duga, nisan itu pula yang memisahkan mereka.

*** | Arjuna Mencari Nisan – Raudal Tanjung Banua

YA! Setelah beberapa tahun hubungan Arjuna-Amelia berjalan—bahkan Amelia sudah kuliah ke Yogya, dan suka naik kereta api—terungkap bahwa Amelia bukan cucu kandung Pak Slamet. Ia cucu pungut dari seorang ibu kampung Grandeng!

Amelia sendiri menyampaikan rahasia tersebut. Selama ini siapa dirinya memang ia tutup rapat. Jika akhirnya dibuka, tak lain hubungannya dengan Arjuna sudah begitu dekat.

Konon saat terjadi Peristiwa November 1974 di Unit II/Wanareja, seorang tapol melarikan diri ke perkampungan penduduk Grandeng. Ia menyamar dan menikah dengan perempuan lokal. Dua tahun kemudian mereka punya seorang putri, Tina Bellen. Sengaja ia pakai marga istrinya, untuk lebih mengelabui persembunyiannya. Namun dunia tapol tak luput dari pengkhianatan dan mata-mata. Tapol-manopol—sebutan bagi tapol yang “suka makan tulang kawan”—berhasil memberi tahu Tonwal. Akhirnya terjadi penggerebekan rumah mereka di Grandeng. Laki-laki pelarian itu tewas diterjang timah panas. Desas-desus menyebut bahwa tentara menguburnya di batas desa. Tak ada yang tahu persis. Tapi memang ada satu makam di sana, dan sang istri jatuh pingsan memeluknya.

Sang istri sakit-sakitan sejak itu. Ketika rombongan trans mulai menandur benih padi di kawasan subur Grandeng, perempuan itu diajak Pak Slamet ikut bekerja bersamanya. Keluarga Pak Slamet juga memberi perawatan. Untuk menenangkan hatinya, makam di batas desa, mereka beri batu nisan. Meski tetap tak ada yang berani menulisi namanya. Namun mendengar cerita istri almarhum, Pak Slamet merasa terpanggil ikut merawatnya. Bukankah ia sudah lama menetap di Cilacap? Sejak merantau dari Sumatera hingga ditangkap dan dibantarkan. Maka kepada paguyubannya Pak Slamet menyampaikan bahwa itu adalah makam “eyang” mereka.

Sementara itu kesehatan istri almarhum membaik, namun ajal justru datang saat ia merasa sehat. Si ibu meninggal dan dikuburkan di pemakaman puaknya, di tengah kampung, jauh dari makam suaminya. Anaknya, Tina Bellen, diasuh keluarga Pak Slamet.

Awal tahun 2000 Tina menikah dengan laki-laki “gunung”. Itu sebutan untuk kawasan Danau Rana dan Gunung Dati. Laki-laki itu bekerja di kantor perhubungan Buru. Setahun setelah menikah, pasangan itu punya seorang anak perempuan: Amelia.

Malangnya, suami Tina Bellen meninggal pula dalam kecelakaan laut, saat Amelia belum genap lima tahun. Tina dijemput keluarga besar suaminya dari Danau Rana konon itu mengikuti tradisi pemeluk Pamali. Tapi sebelum pergi, Tina sengaja meninggalkan si anak di keluarga Pak Slamet. Pertimbangannya menakjubkan. “Dia orang musti sekolah, Bapa, tinggal di sini sudah. Di gunung susah sekolah,” ratap sang ibu sambil berharap.

“Baiklah, Lia kami asuh. Tina musti lihat-lihat kami di sini toh,” kata Pak Slamet. Tina berjanji. Sejak itu Amelia tinggal di lingkungan transmigrasi dan sesekali dijenguk ibunya dari gunung. Sayang, saat Amelia kelas tiga SD, ibunya terkabar meninggal terserang demam. Tinggallah Amelia seorang diri. Tapi keluarga Pak Slamet menganggap Amelia sebagai cucu sendiri.

Jadi jika benar nisan “eyang” yang diziarahi Arjuna adalah makam Sutan Duano, berarti ia punya darah yang sama dengan Amelia. Itu alasan masuk akal bagi mereka untuk tak bisa hidup bersama. Namun jika ternyata itu bukan kakek Duano, alangkah sia-sianya langkah perpisahan mereka. Keduanya sempat ragu dan bimbang.

Keraguan dan kebimbangan itu tidak baik, maka mereka pilih jalan terbaik: tegas berpisah. Toh bukan berarti memutus tali silaturahim sebab mereka kini dipersatukan oleh nisan yang satu. Dan nisan itu kini sudah bernama: Sutan Duano Malin Dewa.

*** | Arjuna Mencari Nisan – Raudal Tanjung Banua

Tonwal = Peleton Pengawal, bertugas menjaga tapol di Unit.
Unit = Kompleks barak tempat tinggal tapol.
Mako = Markas Komando, pusat Inrehab Buru.
Inrehab = Instalasi Rehabilitasi, istilah untuk “proyek” pembantaran tapol 65 di Buru.
Pamali = Kepercayaan masyarakat Alifuru dan Rana, penduduk asli Pulau Buru.


Ilustrasi: Jean Hugo – La conversation au puits (dari wikiart.org)

Baca juga:
Cerpen Cyntha Hariadi – Bunga-Bunga di Ruteng
Cerpen M. Z. Billal – Ruang Negatif

Arjuna Mencari Nisan – Raudal Tanjung Banua


2 thoughts on “Arjuna Mencari Nisan”

  1. Minicorundum berkata:

    Ah, mencari batu nisan untuk memastikan apakah si pasangan sedarah dengannya. Lalu penyebabnya karna kejadian 65, dan latar belakang orde baru. Sangat dalam cerpen. Aku jadi belajar tentang Maluku. Sangat menginspirasi. Terima kasih.

    1. BACAPETRA.CO berkata:

      Salam banyak dari Ruteng, Kak.

Komentar Anda?