Menu
Menu

—sampai ataupun tidak, kita hanya harus terus berjalan, bukan? | Salindia Musim Wabah


Oleh: Yohan Fikri | Salindia Musim Wabah

Lahir di Ponorogo, 01 November 1998. Belajar di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Sastra Langit Malam. Puisinya tersiar di berbagai media, antara lain: Buruan, Koran Tempo, dan Nongkrong. Puisi-puisinya juga pernah memenangkan sejumlah perlombaan, antara lain: Juara 1 Lomba Cipta Puisi Asia Tenggara, Pekan Bahasa dan Sastra 2020, Universitas Sebelas Maret; Juara Harapan 1 Festival Sastra 2021 Universitas Gajah Mada; dan Juara 1 Lomba Seni Sastra Universitas Brawijaya 2021. Dapat disapa melalui akun instagram @yohan_fvckry.


Keasingan yang Terhampar di Atas Meja Makan

Kesunyian telah terhidang
pada selembar roti panggang
dan setoples selai kacang,
serta segelas susu,
yang tak sedikit pun
pernah nafsu kaujamah itu.

Ayah-ibumu tak ada, seluruh hari
telah menjelma hari kerja
yang menelan mereka berdua.
Tanggal merah mungkin sudah menghitam
di kalender yang tergantung lesu,
di satu sudut dinding rumahmu.

Mungkin pula suatu pagi, akan jatuh kata ‘maklum’
bersama sepi yang kian mafhum.
Lalu cinta akan jadi sepah, dan keasingan
yang terhampar di atas meja makan itu merupa mezbah
: Tempat nasib bagai kilat mata pisau,
hendak mengiris urat lehermu.

(2021) | Salindia Musim Wabah

.

Neraka Baru di Rumahmu

Kadang, kausuka bertanya-tanya,
iblis itu, wujudnya seperti apa?

“Apakah menyerupai paras pria hidung belang
yang kerap luput menjaga marwah batang lingganya?
Ataukah, persis seorang perempuan
yang gemar mengangkang pada kekasih orang lain?”

Saban kali aku melihat kau menangis,
selalu kubayangkan seekor ular sedang mendesis.
Menisik badan ke punggung bebatuan, agar luruh
seluruh luka yang bersisik di sekujur tubuhnya.

Pernah suatu kali, kau pulang dini hari
setelah lelah melata menjauhi bayangmu sendiri.
Kau lekas bergegas menuju kulkas: Ruang paling lapang
yang setia menunggu, dan menampung kepulanganmu

—seperti hangat peluk seorang ibu, serupa kecup lembut seorang ayah
yang hanya dapat kaujamah, jauh dalam belaian mimpi-mimpimu.

Kauraih sebotol anggur merah di sana, dan tiba-tiba,
kaurasakan telingamu mengalirkan darah. Di ruang sebelah,
kaudengar ayah-ibumu sedang sibuk berseteru perihal bagaimana
mencipta neraka baru untuk menjerang anak-anaknya.

Kadang, kau kerap menduga-menduga,
iblis itu, adakah wujudnya menyerupai mereka?

(2021) | Salindia Musim Wabah

.

Menghapus Teritorium di Tubuh Kita

: Sindy Novia Larensi

Kali ini, kita menjadi pantai
yang tak lagi membelah
laut dengan pulau, ombak dengan igau,
______atau,
arah pelayaran
dan tanah kelahiran.

Kita hapus teritorium
di tubuh kita,
batas-batas geografi raib,
ketika sepasang bibir
menjelma ombak dan daratan,
saling bertukar asin ciuman.

Hidup tak lagi disusun kewarasan,
tak juga dibangun akalbudi.
Sebab, di hadapan gelegak birahi,
bukankah kita hanyalah sekumpulan buih
yang ringkih, lalu berpendar
dihajar gelombang dan batu karang?

(2021) | Salindia Musim Wabah

.

Salindia Musim Wabah

#1
malam tanpa nyala lampu, menyihir kotamu jadi benua asing; belum tercantum di dalam peta, ujung bola dunia, juga mata penjelajah samudera. sunyi adalah laut sepanjang matamu bersauh. sementara di atas bahtera harapanmu—yang limbung dan rapuh itu, kecemasan ialah lidah-lidah ombak, tak henti mencumbu lambung dan geladak. kaubayangkan dirimu Nuh menakhodai bahtera seorang diri, di luas jagad raya yang seluruhnya tenggelam oleh kepedihan dan keputusasaan, tanpa pernah kaumengerti, “di dataran mana kelak nasib mendamparkan diri?”
—di dataran mana pun, layar musti tetap digelar, dayung harus selalu dikayuh, dan cadik kudu senantiasa diteguhkan. sebab bagaimanapun, terdampar selalu lebih baik ketimbang karam, bukan?

#2
kau melawat ke tempat-tempat ibadat, sekadar ingin menyapa Tuhan yang hari lalu acap kauabaikan. tetapi sayang, masjid-masjid telah menjelma tanah wingit, mengutuk seluruh sujud-telimpuhmu. seperti kaulihat Yesus bergetar di puncak altar. di atas bukit maha sakit, Ia merasa disalibkan kembali, lantaran menyaksikan gereja-gereja sepi liturgi. hanya menyisa lonceng dentangkan pilu di singup minggu; gema yang justru menggeragau-gigirkan seluruh tubuhmu. dan kauduga, pura hanyalah pekuburan. gugur kelopak-kelopak kamboja itu, nasib yang getas dan ranggas. di kelenteng dan vihara, semerbak aroma dupa membumbung tinggi bagai doa-doa terperam sepi, bersikeras mengepulkan aminnya sendiri. “sampaikah doa-doa itu—air mata yang terus dilayangkan itu, dengan selamat di alamat-Mu?”
—sampai ataupun tidak, kita hanya harus terus berjalan, bukan? sebab, sekalipun kita tak tahu arah, Tuhan tak pernah salah mengeja alamat seorang hamba!

#3
kau kembali berjalan, mengunjungi taman-taman kota, menyusuri pedestrian-pedestrian. tak kautemui muda-mudi duduk dimabuk kasmaran: baku sandar, mengisi album-album memoar, di bangku-bangku yang kini tampak dingin dan memar. sesekali, masih kaudapati seorang driver lirih berkendara sambil melongok layar gawainya, mengantar pesanan seorang customer perihal kabar baik di esok hari—yang mungkin tak akan pernah terjadi. hampir dini hari. tiba di stasiun kota, tak kaudengar lengking kereta, hilir-mudik para porter menjinjing sejumlah koper.

peron lengang belaka, loket sunyi. tak ada orang-orang datang dan pergi, mengantar dan menjemput, meninggalkan dan ditinggalkan, mengenang dan dikenang, sama sekali. hanya kautemui sebongkah sunyi yang buncah, mengebaki segala sisi ruang rabumu. sejumlah mobil patroli dengan sirine yang nyaring itu, melintas, disusul derap sepatu lars, juga tangis tabah seorang pedagang yang lapaknya ditutup paksa, mengoyak seisi dada yang telah lama porak-poranda. sebuah ambulans melintas, meraungkan langgam perkabungan lewat merah lampu sirine. dengkingnya membangunkan ketakutan di balik bulu romamu. sedang di kejauhan, sayup-sayup toa sebuah surau berbicara (atau mengingau) dengan suara parau; kalimah-kalimah istirja’ adalah kurva kematian yang hari belakangan makin melonjak. “betapa kematian cumalah soal waktu, sialnya, kita tak pernah siap akan hal itu!”

#4
sejenak adalah seribu tahun dalam salindia musim wabah. ingatan tertinggal pada angka-angka almanak yang telah memutih; kenangan kebahagiaan yang sudah lama menjadi buih. kau bertanya, “apakah langit sejembar itu, yang selalu muat menampung kepak seribu burung, kini telah terlampau sempit untuk sekadar menerima segala doa yang mengudara?” fajar mekar di timur bagai sebuah isyarat, karena telah kaupahami sebuah nubuat: “tiada malam selamanya gelita, sebab gelap bakal tersingkap juga, pada akhirnya. dan cahaya matahari merembes di rimbun daun, kelopak-kelopak bunga, memahkotai bening embun, menembus tirai-tirai jendela, mengecup dingin keningmu, membangunkan dari segala mimpi buruk itu!” batinmu. dan kau tiba-tiba merasa, ada semacam fajar liyan yang menyeringai di kedalaman dada.

(2021) | Salindia Musim Wabah

.

Doa Awal Tahun

“Semoga dada ini masihlah langit beserta kelapangannya, menerima segala kilatan dan denturan, mendekap seluruh gelak, teriak, dan tangisan. Juga lengking terompet, doa-doa yang mengudara, dan resolusi yang itu-itu saja: seputar asmara dan mata uang—yang, padahal, kerap membikin dada jadi berlubang.”

Almanak telah mengelupaskan angka-angka, hanyut di keruh sungai waktu. Menyisa masa lampau penuh igau, janji-janji yang tak tunai, dan mimpi-mimpi yang belum selesai. Malam meleleh di pipimu, tatkala kesunyian tumpah ke jalan raya, dan menenggelamkan seisi kota.

“Semoga kesedihan hanyalah keriuhan sepintas lalu. Seusai dentang pada jam, dan gempita yang pecah di angkasa itu. Semoga kebaikan demi kebaikan akan tinggal dalam jangka yang lama. Tak serupa kamar-kamar hotel, bilik-bilik vila, yang sejenak sesak oleh reservasi dan kecut-peluh berahi, lalu dibekukan oleh sunyi. Semoga nasib bukanlah buih-buih yang sebentar meluap, kemudian menyusut, dalam botol-botol dan seloki-seloki wiski, yang gagal melerai sepi.”

(2022) | Salindia Musim Wabah


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Puisi-Puisi M. Aan Mansyur – Cara Lain Membaca Sajak Cinta
Puisi Li-Young Lee – Rahasia yang Kami Bagi
Puisi-Puisi Lolik Apung – Sehasta Cerita di Sisi Api

Komentar Anda?