Menu
Menu

Di hari yang sama aku melihat kecelakaan itu, aku terlibat sebuah perkelahian di sekolah. Aku sempat melayangkan tinju satu kali ke anak yang menggangguku itu.


Oleh: Bayu Pratama |

Lahir di Aiq Dewa, Lombok Timur, 2 Mei 1994. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram.


Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Maksudku, aku memang biasa bangun pagi. Tapi hari ini lebih pagi dari biasanya. Sekitar pukul empat. Biasanya pukul enam.

Aku tidak ingat seperti apa persisnya yang aku lakukan selama dua jam: aku hanya ingat memerhatikan seekor cicak yang diam di dinding kamarku, mengerjapkan mata beberapa kali, dan tiba-tiba sudah pukul enam – seperti biasa. Aku selalu memasang alarm untuk pukul enam – biasa. Tapi entah kenapa, kebiasaan itu luput dari ingatanku pagi ini. Tiba-tiba saja alarm itu berbunyi, dan aku ingat cicak itu tiba-tiba berlari. Masuk ke retakan kecil di tembok kamarku.

Aku tidak ingat persisnya sejak kapan retakan itu ada di sana. Tapi aku kira retakan itu sudah ada sejak aku masih kecil. Walaupun aku tidak terlalu yakin, samar-samar aku mengingat retakan itu. Kenapa cicak itu masuk ke sana? Mungkin dia telah membangun keluarga cicak, atau malah kerajaan cicak di dalam retakan itu. Siapa tahu. Kepalaku masih agak pening sebenarnya. Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi kemarin. Tapi cicak yang masuk ke retakan itu – tidak. Bukan cicaknya. Tapi retakan itu – terus terbayang dalam ingatanku. Sambil berusaha bangun, bayangan tentang kejadian kemarin dan retakan itu terus bergantian berputar dalam ingatanku.

Kemarin – jika ingatanku tidak berusaha menyesatkanku – aku sedang berdiri di persimpangan jalan. Aku baru saja keluar dari kantor. Di kantor tidak ada hal yang luar biasa atau semacamnya – seperti biasa. Hanya saja hari itu Marta tidak masuk. Tapi seperti kataku tadi, tidak ada hal yang luar biasa – seperti biasa.

Marta adalah atasanku, jika kau belum tahu. Dia punya tiga anak, sedang suaminya sudah lama mati. Tentang suaminya, setidaknya itu yang dikatakan Marta pada siapa saja. Padahal, siapa saja sudah tahu, suami Marta melarikan diri dari dirinya. Mengejar hidup yang, katanya, lebih menyenangkan dari hidupnya bersama Marta yang gila kerja. Aku tidak pernah mengambil pusing tentang suami Marta atau Marta sendiri. Tapi tiga anaknya, Oh! Tiga anak penuh semangat itu. Kemarin, ketiga anak Marta mencari ibunya ke kantor. Sedang Marta tidak masuk.

Ketiga anak itu, Benjor, Jorben dan Berjon, selalu penuh semangat dan rasa ingin tahu. Aku suka mereka. Ketiga anak Marta bukan anak kembar walaupun nama mereka dibuat mirip-mirip. Tapi umur mereka tidak terlalu jauh. Aku ingat mereka banyak bertanya kemarin.

“Om, Mama mana?” tanya Berjon kepadaku. Dia yang bungsu dari tiga bersaudara itu. Anak bungsu, selalu menanyakan ibunya terlebih dahulu – seperti biasa.

“Eee, Mama? Mama…”

“Nama om siapa?” tanya Jorben kepadaku, untuk yang kesekian kalinya setiap kami bertemu. Aku tidak sempat menyelesaikan jawabanku untuk pertanyaan Berjon, pun menjawab pertanyaan Jorben ketika Benjor juga bertanya, “Om, ada cicak di sini?”

Benjor adalah yang sulung. Anak sulung, selalu tidak peduli pada apapun juga – seperti biasa. “Mama tidak masuk. Kalian tidak tahu mama kalian ke mana? Nama Om, untuk yang kesekian kali ya Jorben, Marko. Ingat, M-A-R-K-O. Dan, mungkin jika kalian mau mencari dengan teliti, ada cicak di tempat ini. Tidak persis di tempat ini. Tapi mungkin di gudang atau di tempat fotokopi. Kalian mau pergi mencari cicak?” Aku menjawab pertanyaan mereka sekaligus.

“Tidak…” kata mereka serempak. Setelah itu, mereka berlarian dan aku tidak melihat mereka lagi. Kemudian hari berjalan seperti biasa dengan tumpukan pekerjaan – seperti biasa. Kemarin pekerjaanku memang tidak terlalu banyak. Tapi toh tidak selesai juga tepat waktu. Aku lembur – walaupun tidak persis juga kalau disebut lembur – karena malas membawa pekerjaan pulang. Harusnya aku pulang sekitar pukul empat sore. Tapi kemarin aku bekerja sampai pukul lima tiga puluh. Pekerjaan selesai, aku bersiap-siap pulang. Dan di sanalah aku: aku ingat aku berdiri di persimpangan jalan itu.

Di seberang jalan aku melihat Marta. Dia terlihat gelisah. Maksudku, dia terus melihat jam tangannya. Aku tidak memanggilnya atau apa. Aku hanya berdiri di sana dan terus mengamat-amatinya. Entah berapa lama kami dalam keadaan itu. Maksudku, Marta sibuk melihat jam dan aku sibuk mengamat-amatinya. Tapi ketika akhirnya Marta menyeberang jalan, lampu jalan di atasku baru saja dinyalakan. Lampunya mengalami korslet. Biarpet dan mengeluarkan suara aneh. Aku kira lampu itu bisa meledak sewaktu-waktu. Aku menoleh ke atas, mengamat-amati lampu itu. Membayangkannya meledak tiba-tiba dan pecahannya menusuk-nusuk wajahku, aku menunduk seketika. Dan di sanalah Marta: lebih dari setengah jalan mendekatiku.

Ketika kami berpapasan, aku hanya diam dan Marta berjalan begitu saja melewatiku sambil melihat jam tangannya. Sampai beberapa lama aku tidak punya dorongan untuk mengatakan apa-apa – aku biasa begitu. Terus begitu, sampai di seberang jalan di mana Marta tadi berdiri, telah berdiri seorang wanita bersama seorang anak kecil. Aku kira mereka ibu dan anak. Mereka tertawa-tawa dan terlihat bahagia. Melihat itu, aku memutar dan menegur Marta.

“Hei, tadi Benjor, Jorben dan Berjon kemari. Mencarimu.”

Marta berhenti melangkah sebentar. Membalik hadapnya kemudian bertanya, “pukul berapa?”

“Emmm, dua atau satu. Aku tidak yakin. Mungkin setengah dua.”

Tanpa menyahutku lagi, Marta masuk ke dalam kantor dan aku tidak melihatnya lagi. Aku hanya diam mematung, memerhatikannya sampai sempurna hilang dari penglihatanku.

Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan ini. Maksudku, aku tidak ingat persisnya apa yang aku pikirkan. Tapi aku kira itu soal Marta dan anak-anaknya, juga ibu dan anak yang akan menyeberang ketika aku bertemu Marta itu. Dulu, aku pernah melihat kecelakaan. Satu keluarga dalam mobil menabrak pohon. Ketika satu per satu anggota keluarga itu dikeluarkan dari mobil, salah satu dari mereka adalah seorang anak wanita yang usianya kira-kira sama denganku waktu itu. Wajah anak itu bersimbah darah. Sepertinya kepalanya robek kena hantam sesuatu. Atau kaca, karena samar-samar aku ingat ada kaca menancap di wajahnya. Walaupun begitu, aku tidak yakin juga. Belakangan baru aku tahu dari sebuah kliping berita, yang aku baca beberapa hari lalu, bagaimana mobil itu sampai bisa menabrak pohon. Entahlah. Ingatan itu muncul begitu saja bersamaan dengan pikiranku soal Marta dan anak-anaknya, juga ibu itu dan anaknya. Kecelakaan itu sudah lama sekali rasanya. Waktu itu aku masih sangat kecil.

Di hari yang sama aku melihat kecelakaan itu, aku terlibat sebuah perkelahian di sekolah. Aku sempat melayangkan tinju satu kali ke anak yang menggangguku itu. Walaupun tinjuku tidak kena telak dan, mungkin, tidak pula memberikan rasa sakit apa-apa, itu tetaplah sebuah tinju. Aku tidak ingat persisnya apa hal sampai kami berkelahi, pun nama anak itu. Tapi begitulah, aku biasa berkelahi, dan hal-hal semacam itu sudah lama sekali rasanya.

Selain kejadian setelah perkelahian itu, bisa dibilang aku tidak ingat apa-apa. Kejadian yang aku maksud adalah ketika hidungku kena tinju dan mengeluarkan darah. Darah itu menetes-netes di pakaian seragamku dan meninggalkan noda yang begitu mencoloknya. Aku tidak merasa sakit ketika lawanku itu meninjuku, pun merasa malu ketika darah menetes begitu saja dari hidungku. Tidak. Tidak ada hal lain yang mengisi kepalaku saat itu selain bagaimana nanti menjelaskan noda di pakaian seragamku itu kepada ibu. Maksudku, aku memang selalu bisa membayangkan wajah ibu menanyakan sesuatu, bahkan sampai sekarang.

Ibu sering memarahiku. Terutama jika aku tidak menurut. Tapi aku kira semua ibu melakukan itu pada anak manapun yang tidak menurutinya. Selepas perkelahian itu, setelah lumayan lama berpikir, aku pulang. Tentu saja semua persis seperti dugaanku. Ibu bertanya tentang dari mana noda darah itu. Untung saja ada kecelakaan itu. Maka aku katakan pada ibu, “tadi ada mobil kecelakaan. Isinya satu keluarga.”

“Terus?”

“Salah satunya ada anak wanita, seumuranku.”

“Kau bantu anak itu?”

“Iya. Banyak orang yang membantu.”

“Darah itu darahnya? Wah, kasihan.”

“Iya, kasihan.”

Ibu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Gagal ginjal dan campuran segala macam penyakit lain yang aku tidak tahu persisnya apa. Ibu. Suatu hari, ibu pernah marah karena tanpa sengaja memegang tahi cicak saat sedang santai-santai di teras rumah. Tidak perlulah aku jelaskan lagi betapa mengganggunya hal itu. Sontak ibu mengambil sapu dan berusaha memusnahkan cicak manapun yang dilihatnya. Cicak-cicak itu tentu saja berlari ke sana ke mari. Hari itu, tepat sehari setelah kecelakaan yang kusebut tadi.

Ketika ibu sibuk memusnahkan cicak-cicak, pikiranku dipenuhi dengan bayangan tentang anak wanita seumuranku yang ada di dalam mobil itu. Wajahnya yang bersimbah darah. Entah kenapa aku memikirkan itu. Waktu itu rasanya seperti aku tidak akan pernah tidur nyenyak lagi jika terus memikirkannya. Bagaimana mungkin ada darah sebanyak itu dari wajah seseorang? Itu yang aku pikirkan waktu itu. Tapi, tentu saja malam itu aku tidur nyenyak – seperti biasa. Mungkin aku terlalu kecil untuk dihantui hal semacam itu. Belakangan baru aku tahu, dari kliping berita itu juga, siapa nama anak itu sebenarnya. (*)


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung |

Komentar Anda?