Menu
Menu

Pergi dari rumah adalah jalan lain menjadi merdeka.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng. Catatan-catatannya yang lain dapat dibaca di ranalino.id.


1. Yang Berpulang Tetap Tinggal

Kabar berpulangnya Habibie datang ketika hari sudah malam. Matahari telah lama terbenam. Tak ada suara burung hantu sebab tak banyak burung hantu di kota, bahkan di kota sekecil Ruteng. Andai ada, apakah nyanyiannya sanggup menandingi gemuruh pembangkit listrik di dekat rumah atau suara klakson dan raung knalpot yang dibelah, yang sama sekali tidak merdu?

Saya terdiam lama di depan komputer dan bersedih untuk banyak hal: berita duka selalu mematikan semangat kerja—yang saya perlukan kala itu—seketika; dugaan bahwa Habibie meninggal dunia (sekali lagi) bohong ternyata salah; saya tidak sempat mendoakan kepulihannya; dan, masih banyak lagi.

Yang paling besar di antaranya adalah karena saya membaca di media sosial, banyak yang menulis tentang Habibie telah tiada. Telah tiada? Frasa demikian selalu saja mengganggu saya. Telah tiada. Tiada. Berarti terhapus. Hilang. Begitu?

Harusnya tidak begitu. Habibie telah meninggalkan dunia yang fana dan pergi ke keabadian. Bukan tiada. Dia tetap ada dalam ingatan: peletak dasar lahirnya banyak partai politik di negeri ini, penjamin kebebasan pers, penentu lahirnya sebuah negara baru di ujung timur Pulau Timor bernama República Democrática de Timor-Leste (RDTL).

Sebuah jembatan di negara tetangga itu diberi nama B.J. Habibie. Terletak di Bidau Sant’ana, Dili. Selain dipandang sebagai ungkapan rasa hormat masyarakat Timor Leste pada Habibie untuk perannya dalam turut memerdekakan negeri itu, penamaan jembatan itu juga menegaskan bahwa Habibie tetap tinggal di sini, di hati dan pikiran setiap orang yang pernah mengenalnya meski sedikit.

2. Puisi Baru

Beberapa saat setelah kabar berpulangnya Habibie terkonfirmasi kebenarannya, dinding-dinding media sosial ramai oleh puisi-puisi. Beberapa orang menulis puisi mengenang sosok itu (dan cintanya pada Ainun). Yang paling viral adalah Dialog di Depan Api Unggun yang pertama kali ada di akun twitter @dikablek. Puisi itu dibagikan oleh lebih dari dua puluh ribu pengguna twitter.

Sebagian warganet menulis ulang puisi yang ditulis Habibie untuk Ainun, istrinya yang dia cintai setengah mati itu:

….
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
….

Oleh karena betapa ramai puisi-puisi tersebar di hari kematian Habibie dan beberapa waktu setelahnya, saya menggali ingatan tentang puisi. Bahwa puisi, juga dibagi-bagi ke dalam rentang waktu-waktu. Puisi lama dan puisi baru. Puisi lama adalah salah satu karya sastra berupa puisi yang masih terikat dengan aturan-aturan baku tertentu dalam pembuatannya (berhubungan dengan kata, baris, bait, rima dan irama) dan puisi baru adalah jenis puisi yang tidak terikat dengan aturan-aturan baku tertentu dalam pembuatan atau pembacaannya.

Jika orang per orang seumpama puisi, maka Habibie mestilah puisi baru sebab jalan hidupnya ‘tidak baku’. Kuliah di luar negeri tanpa beasiswa, berhasil membuat pesawat terbang sungguhan ketika sebagian besar orang begitu riang karena pesawat terbang kertasnya melayang-layang lebih lama di ruang tamu, membiarkan orang-orang merdeka di tengah usaha keras memperjuangkan NKRI Harga Mati.

Jika orang per orang adalah musim-musim yang secara periodik berganti (dan semua telah dengan mudah menduga untuk itulah mereka menyiapkan diri) maka berpulangnya Habibie, oleh karena dirinya adalah ‘puisi baru’, adalah seumpama angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang; berapa tahun lagi waktu yang dibutuhkan agar seorang yang berani berada di depan kita dan menjadi dirigen melawan arus—menuntun jalan?

3. Ing

Antara 1986 sampai 1992 saya mengetahui sosok Habibie. Profesor Doktor Ing Beye Habibi. Begitu kami menyebutnya. Saya dan teman-teman sesekolahan di SDK Pateng, mengeja namanya sebagai satu dari puluhan Menteri Kabinet Pembangunan di era Pak Harto. Tentu saja kami mengenalnya dari poster yang ditempel di kelas-kelas. Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. Menteri Riset dan Teknologi di beberapa Menteri Kabinet Pembangunan V.

Butuh waktu yang lama setelah menghafal gelar dan nama yang panjang itu sebelum akhirnya saya menyadari bahwa Ing itu bukan nama, bahwa Ing berasal dari Ingenieur, bahwa ingeniur itu artinya insinyur, dan ketika itu kami masih kecil dan merasa insinyur adalah orang yang pintar sekali.

Soal pintar sekali ini saya tahu kemudian. Kemudian sekali. Ketika kakak sulung saya membawa pulang album “Sarjana Muda” dari Iwan Fals dan sesekali membawakan lagu Umar Bakir; Profesor Doktor Ing B.J. Habibie adalah patron—bikin otak orang seperti otak Habibie, tapi mengapa gaji guru Umar Bakri seperti dikebiri.

Pada masa-masa sering ‘turun jalan’ bersama teman-teman mahasiswa, hal ‘gaji guru dikebiri’ adalah yang paling sering saya ingat dari lagu Umar Bakri ini. Mungkin karena Guru Don, Ayah saya yang untuk menyekolahkan kami terpaksa menunda rencana membangun rumahnya hingga puluhan tahun lamanya adalah seorang guru sekolah dasar. Barulah ketika mendengar kabar Habibie berpulang beberapa hari yang lalu, lagu ini membuat saya mengingat lagu ini dari sudut yang lain: Habibie adalah model.

Iwan Fals barangkali memujanya sebagai patron kecerdasan seorang anak manusia dari Indonesia. Saya memujanya karena dia ‘tidak biasa’. Seorang insinyur yang menjadi negarawan (menghargai kebebasan berpendapat, memberi kemerdekaan kepada yang memerlukannya); berapa banyak yang mampu seperti itu?

4. Merdeka, Ing!

Berhasil lepas dari penderitaan, bagi sangat banyak orang berarti kemerdekaan. Maka kita lantas melihat kalimat-kalimat penghiburan diterakan di dinding-dinding percakapan; kepergian seseorang dari dunia (kesakitan yang dia alami di akhir hidup) telah memerdekakannya dari penderitaan.

Tentu saja kematian bukan satu-satunya jalan menuju merdeka. Pergi dari rumah adalah jalan yang lain. Seperti Zulbahri yang memutuskan sendiri nasibnya; pergi dari rumah sebab di rumah, Wartini, istri yang dikasihinya itu, mencintai Syamsu. Bahri menderita, bukan hanya karena Wartini menduakan cintanya tetapi juga karena Syamsu adalah adik Zulbahri. Ini kisah yang cinta yang sedih dan daripada tinggal di rumah yang hanya akan membuatnya sengsara, Zulbahri pergi, menjadi orang yang merdeka. Oh, iya. Kisah itu ada di cerpen “Ave Maria” karya Idrus. (*)


Gambar dari Republika Online

Komentar Anda?