Seorang martir pulang pada malam berhujan/ Ke kampung halamannya// Ia kembali,/ Menyingkir dari amis darah/ Dan tengik mesiu …
Oleh: Boy Riza Utama |
Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Mei 1993. Puisi-puisinya pernah tayang di berbagai media massa, antara lain, Kompas dan Koran Tempo. Ia bergiat di Komunitas Paragraf, Pekanbaru.
Bawa aku ke Logas, katamu
Dalam mata hitammu kupandangi kecubung itu,
Serupa selubung dari masa silamku:
Gua-gua tambang emas Belanda
Kuburan pekerja paksa
Dan lintasan rel kereta api
Membelah sejarah leluhur kita
Sebab wilayah ini adalah saksi, ucap seseorang
Yang kukenali, dulu
Saat kupungut keping-keping air matanya itu,
Prasasti penuh baris-baris sendu:
“Bawa sahaya pergi, Tuan
Sahaya tak kuat lagi menanggung beban
Batu-batu ini tajam, sekali mungkin menimpa ini kepala.”
Lalu apa yang akan kita cari di sana?
Tanyaku kepadamu
Pabrik-pabrik yang dilego?
Orang-orang mengeluhkan jalan buruk?
Bawa saja aku ke Logas, jawabmu
Dan, sekali ini, dalam mata hitammu
Kulihat kecubung itu retak di tepi
Masa silam kehilangan kilau
Dan kau, di situ
(2019)
Di Lubuk Rangkayo
Sebelum bocah-bocah kehilangan rambut
Jadi mitos yang merenggut
Keberanian orang buat memintas jalan
(Dan kabar itu ikut merisik lubang kupingmu)
Ia menunggu di ujung jalan
Dengan payung di tangan
Ia dengar kau akan pulang
Sehingga ia kemari
Sebuah bendi konon sudah disiapkan
Buat menjemputmu
Kau menyebutnya kereta hantu
Seraya menampik horor itu
Dan langit, dengan sendu
Menaungi ketakutanmu
“Tapi aku jelas berdusta.”
Pelan-pelan, malam menabur gerimis
Susul-menyusul angin dalam dingin
Pohon-pohon seperti kekal dalam kelam
Hingga kudengar kau mendesis,
“Kota ini menyimpan setengah cerita sedih hidupku.”
Mungkinkah kau mengerti
Bahwa ia menunggumu
Bahkan sejak kau pergi?
Dengan memintas ke Lubuk Rangkayo
Dan menerakan kecemasan akan kota tujuan
Sepanjang jalan—lewat pekik tertahan
Kau telah merenggut sesuatu yang seharusnya
Tak kau tinggalkan di sini
Tapi kau tak tahu
“Ia adalah kembaranmu, masa lalumu, sobekan waktu.”
(2019)
— buat SF
Seorang martir pulang pada malam berhujan
Ke kampung halamannya
Ia kembali,
Menyingkir dari amis darah
Dan tengik mesiu
Karena tahu: masa lalu adalah rumah reyot
Yang direnovasi setiap seseorang pulang
Ada pikiran yang lembap,
Percik kenangan yang mengerjap,
Di relung jiwanya
Saat ransel ia tuntun dari dermaga
Sedang hari bersulih jadi pagi
Ia tatap kota itu:
Kosong, seperti perutnya
Di antara gedung tinggi-tambun di hadapannya
Ia temukan cahaya:
Sebuah penerangan
Tak terurus
Dengan papan, di bawahnya,
Bertuliskan, “Rumah ini dijual.”
Tiga ekor burung gereja, pasrah
Berteduh dalam remang
Di bawah atap kedai terbengkalai
Martir itu tersenyum perih, menyaksikan itu,
Dan ia mulai meraba liang-liang lukanya:
Ibu mangkat, ayah pergi
Adik-adiknya menjadi piaraan para saudara
Sementara ia tumbuh dewasa
Jauh, dan entah untuk apa dan siapa
Ketika sepetak kebun di belakang rumah itu
Ia dekati, sebuah zaman memapasinya
Zaman yang, baginya, tak pernah
Bertukar meski musim berganti
Maka ia cium batu pusara, dekat rumah itu
Yang tersamar di bawah mahoni
Seorang wanita terbaring di dalam sana
Dan sudah lama tak ia ziarahi
Ketika matahari mulai mekar
Di atas kepalanya, malu-malu ia
Menyingkir, lalu tergesa pergi
Lantas, ia tatap kota itu lagi:
Dalam terik dan kesibukan,
Mungkin, masih ada harapan
Tapi tak ada mimpi, katanya
Dan ia tak ingin itu, di sini
(2019)
Ilustrasi dari Pexels