Menu
Menu

“Kalian mau tahu apa buktinya Tuhan itu pintar melucu? Buktinya adalah orang ini. Jonua ini sudah miskin, jelek, bodoh pula, tapi Tuhan masih beri ia kehidupan. Lucu sekali, bukan?”


Oleh: Win Han |

Tinggal di Bandung. Menulis cerpen dan puisi. Bisa dihubungi melalui surel: [email protected].


Aku selalu takut segala hal yang berada di dekatku tiba-tiba runtuh, menimpa kepalaku, atau menyelip di mataku dan membuatku celaka.

Aku menghindari berjalan di bawah jembatan besar, atap besi, atau di tengah orang banyak. Jika ada pohon-pohon atau ruas jalan yang sepi, aku lebih memilih itu dibanding yang lainnya.

Memang tak selalu menyenangkan berjalan sendirian, melewati ruang-ruang sepi, hanya berteman kesiur angin yang lemah, tapi jelas bukan sesuatu yang buruk. Setidaknya, sendirian bisa membuatmu tercegah dari berbagai nasib sial yang berasal dari manusia.

Aku punya banyak pengalaman tak menyenangkan dengan manusia. Terlalu banyak sampai-sampai aku bingung mana harus lebih dulu kuceritakan.

Yang pertama muncul di ingatanku adalah Berry, teman SMA-ku. Aku tidak tahu apa kelebihannya, tapi ia memiliki banyak teman dan pandai membikin orang lain terhibur. Namun, di situlah letak kebaikan sekaligus sisi buruknya. Untuk membuat orang lain terhibur, ia menjadikan siapa saja sebagai korban. Aku salah satunya. Saat SMA aku siswa termiskin di kelas dan tidak dianggap pintar.

Suatu saat pada jam istirahat, Berry sedang berkumpul dengan gerombolannya. Mereka tampak asyik bercengkerama dan bersenda gerau ketika aku lewat. Aku tidak menghiraukan mereka dan sejak lama aku memang enggan menghiraukan perkumpulan semacam itu. Namun, tiba-tiba Berry menarik seragamku, membawaku ke tengah-tengah mereka, dan menunjuk-nunjuk sambil berkata, “Kalian mau tahu apa buktinya Tuhan itu pintar melucu? Buktinya adalah orang ini. Jonua ini sudah miskin, jelek, bodoh pula, tapi Tuhan masih beri ia kehidupan. Lucu sekali, bukan?”

Setelah itu mereka tertawa-tawa seolah-olah apa yang diucapkan Berry memang benar-benar lucu. Berry yang tertawa paling keras. Aku berusaha menahan amarah, tapi gagal. Aku pukul kepala Berry yang sebesar kelapa hingga ia terjatuh. Selanjutnya, kau tahulah apa yang dilakukan sekelompok orang untuk membalas dendam jika anggota kelompoknya disakiti. Aku tidak masuk sekolah selama empat hari selepas hari itu, dan seingatku aku tidak lagi terlampau memedulikan siapa pun yang merendahkanku dan mengejekku. Bersamaan dengan itu, aku kian menjauhi manusia.

***

Peristiwa itu terjadi bertahun-tahun lampau. Namun, aku heran dengan cara kerja ingatanku. Tiap kali kata kunci “keburukan manusia” berusaha kucari di ruang ingatan, peristiwa itulah yang selalu muncul kali pertama. Padahal, bukan hanya Berry—ada Veven, Adit, Remy, dan banyak lagi. Veven pernah mendorongku sampai tercebur ke kali berisi tahi; Adit mempermalukanku di hadapan perempuan yang diam-diam kucintai; Remy merusak namaku dengan tuduhan palsu sehingga aku dipecat dari tempat kerjaku.

Kadang aku takjub dengan kejahatan manusia. Mereka bisa melakukan kejahatan jenis apa pun, yang bahkan tak mungkin dilakukan seekor ular paling licik. Saking menakjubkannya kejahatan manusia, orang paling tak beriman bisa dibuat percaya bahwa neraka itu sungguh-sungguh ada.

***

Aku bekerja sebagai penulis lepas untuk berbagai media online. Pekerjaan ini memungkinkanku untuk lebih banyak berdiam di rumah dan tak menemui manusia. Aku hanya perlu membaca buku lebih banyak atau menonton film atau apa pun tanpa harus membuka pintu rumah. Untuk membeli keperluan sehari-hari, aku bisa pesan secara online, kecuali ketika aku sedang ingin merasakan udara segar di luar rumah. Hanya udara segar.

Tidak seperti manusia, udara segar tidak akan membuatku terluka.

Namun, belakangan aku sering ke luar rumah. Mulanya untuk mencari udara segar, meski akhir-akhir ini udara tak sesegar dulu. Lambat laun berjalan-jalan di luar rumah—biasanya setelah aku selesai menulis dua sampai tiga jam di pagi hari—menjadi semacam hobi. Aku suka berjalan-jalan sambil melihat apa saja dari kejauhan. Kendaraan-kendaraan yang bersicepat, anak-anak menggemaskan, hewan-hewan liar, gedung-gedung, atau pohon-pohon kecil yang terabaikan.

Hal yang paling aku takuti—selain bangunan yang sewaktu-waktu runtuh dan mencelakakanku—adalah berpapasan dengan manusia. Terlebih dengan orang yang ramah dan selalu tersenyum. Aku tidak bisa memberi tanggapan yang setimpal. Aku tidak seperti mereka. Dan aku takut karena tanggapanku itu akam membuat mereka kecewa. Oleh karena itu, tiap bertemu orang lain, aku menunduk atau berusaha untuk terlihat sedang terburu-buru sehingga tak seorang pun sempat menegur atau menyapaku. Namun cara itu tak selalu berhasil. Keramahtamahan selalu punya jalannya sendiri untuk menjumpai siapa pun yang kerap menghindar.

Di depan toko kue, selepas aku membeli kue untuk diriku sendiri yang akan berulangtahun dua hari lagi, seorang nenek berambut pendek dengan tongkat di tangan melambaikan tangan padaku dan tersenyum. Senyumnya tampak ganjil namun memancarkan ketulusan yang besar. Giginya sudah tanggal. Hanya tampak gusi-gusi lembab berwarna merah muda.

“Hai, Nak, aku ada hadiah untukmu,” katanya. Dari dalam saku dasternya yang gombrong, ia mengeluarkan sebungkus permen.

“Mudah-mudahan kau suka.”

Ia mengangsurkan itu padaku seraya tak henti-henti memancarkan senyumnya yang tulus.

Aku berterima kasih padanya. Beberapa langkah berlalu, aku menoleh ke belakang. Nenek itu tampak melakukan hal yang sama kepada orang-orang yang melintas di depan toko kue. Sebungkus permen barangkali hanya sebungkus permen. Tapi, cara ia memberikan permen itu—terutama senyumnya—adalah suatu hal yang tak terbeli.

Sepulang dari sana, aku mulai percaya bahwa manusia ternyata tak seburuk yang kukira.

Tapi keyakinan itu hanya bertahan sebentar. Sesampai di rumah, aku melihat engsel pintu rumahku patah. Ruang kerjaku berantakan. Buku-buku berjatuhan, kertas-kertas bertebaran di mana-mana, semuanya tak berada pada tempatnya. Puncaknya, yang membuatku lupa sepenuhnya terhadap senyum si nenek, adalah ketika di atas meja aku mendapati laptopku sudah raib.

Aku bertanya pada tetangga dan pemilik indekos yang tinggal agak jauh dari rumahku. Mereka tidak tahu dan tampaknya sama sekali tidak peduli. Bahkan, jika yang hilang itu nyawaku pun, aku tak yakin ketakacuhan mereka akan berubah. Pemilik indekosku hanya berujar heran “masa, sih?” sambil meminta maaf lantas menyuruhku untuk merelakannya saja. Aku beranjak darinya tanpa pamit. Aku minum air putih banyak-banyak, merapikan benda-benda yang berceceran. Lantas hari-hari pun berlalu.

Seminggu berselang, selepas aku membeli laptop baru di pusat elektronik yang berada di tengah kota, pemilik indekosku, perempuan berusia pertengahan empat puluh itu berteriak-teriak histeris.

“Ia kenapa?” tanyaku pada salah seorang tetangga.

“Sepeda motor yang baru dia beli buat anaknya yang mulai masuk kuliah dicolong orang.”

Seusai mendengar penuturan tetanggaku itu, aku bergegas masuk rumah. Minum sprite yang kubeli di minimarket, menyalakan laptop anyarku, dan langsung menggunakannya untuk mengetik sebuah naskah cerita. Aku menulis cerita seribu lima ratus kata dengan cepat. Aku sangat bersemangat hari itu dan malam harinya aku tertidur pulas.

Aku masih terus berjalan-jalan seorang diri dan takut terhadap segala kemungkinan buruk di sekitarku. Rasa takutku semakin besar saat aku membaca kabar jembatan ambruk, angin ribut, dan gempa bumi di berbagai daerah yang terjadi dalam waktu berdekatan. Aku memperhatikan jalanan yang kulalui, membayangkan jika tiba-tiba bumi bergoyang keras, tanah yang kupijak retak dan menganga, lalu tubuhku amblas ke dalamnya. Aku mati, tidak pernah dimakamkan, tidak pernah diziarahi, dan tidak diingat siapa-siapa. Rasanya menyedihkan kalau hal itu betul-betul terjadi. Tapi, itu menjadi tak terlalu menyedihkan begitu aku ingat bahwa pada mulanya aku memang tak pernah ada dan tak pernah dikenal siapa-siapa.

Terkadang aku sengaja melewati toko kue dan berharap bertemu si nenek, agar aku dapat kembali percaya bahwa dunia ini baik-baik saja dan masih dihuni banyak orang baik. Tapi si nenek sudah lama tak kelihatan lagi. Di depan toko kue, di tempat dulu si nenek berdiri dengan tubuh agak bungkuk menunggu orang yang akan ia beri permen dan senyuman—dua hal manis sekaligus—hanya ada kekosongan. Aku berdiri di situ. Berusaha menangkap jejak-jejak silam si nenek sambil mengingat bentuk gusi merah mudanya. Dan si nenek tetap tak ada. Hanya ada kesiur angin. Kesiur angin yang lemah.

***

Sore itu, selepas menapaktilasi jejak si nenek di depan toko kue, aku pulang dan mendapati pintu pagar dan pintu rumahku terbuka. Aku memutuskan untuk tidak masuk. Aku mundur, berdiri di bawah sebuah pohon yang besar dan rindang. Daun-daun pohon itu bergoyang, beberapa daun gugur. Udara segar menyapu tubuhku dengan lembut. Tak lama, dari dalam rumahku yang berhadapan dengan jalan raya, seseorang bertopeng hitam berlari sambil mengempit sebuah tas. Dia melewati pagar dengan tergesa. Dari arah kanan, sebuah sepeda motor tengah melaju kencang. Ketika bunyi benturan yang memekakkan telinga terdengar, aku sedang memungut sehelai daun yang gugur. (*)


Ilustrasi: Digital painting by Oliva Sarimustika Nagung

3 thoughts on “Jonua”

  1. Cecep Hasannudin berkata:

    Mengejutkan!

  2. Hanum berkata:

    Uwawww

  3. Lisa Pingge berkata:

    Syarat makna?

Komentar Anda?