Menu
Menu

Kenapa, ya, orang-orang berpikir bahwa hubungan percintaan itu mesti berjalan selamanya?


Oleh: Abul Muamar |

Lahir dan besar di Perbaungan, Serdangbedagai. Alumnus Filsafat UGM Yogyakarta. Senang membaca dan menulis prosa-fiksi. Bukunya Pacar Baru Angelina Jolie (Gorga, 2019).


Kami bertemu di pantai itu oleh sebab-akibat yang sulit diuraikan. Aku datang dari Surabaya, menjalani liburan rutin. Dia terbang dari Palembang—semacam lari dari kenyataan. Jika ada sebab terakhir yang patut dijadikan alasan pertemuan kami, itu adalah sore itu kami sama-sama kepengin makan bakso tusuk.

“Tidak pakai tahu, ya, Pak,” pesannya ke penjual bakso tusuk.

“Pakai kuah?”

“Dikit aja.”

“Cabe?”

“Dikit aja.”

“Daun bawang?”

“Boleh.”

Saat dia akan membayar bakso tusuknya, kami bertemu pandang. Selama beberapa detik, dan yakin tidak salah orang, dia menyapaku lebih dulu.

“Zen?” katanya.

“Ara?”

Si tukang bakso tusuk senyam-senyum menyaksikan perjumpaan kami.

“Bikin seperti punya dia ya, Pak.”

Setelah membayar, kami berjalan bersama menyusuri pantai sambil menyantap bakso tusuk.

“Kebetulan sekali.”

“Ya, kebetulan sekali.”

Ara terlihat lahap mengunyah bakso tusuk yang masih panas di mulutnya. Bakso tusuk itu ia tarik dengan gigi depannya lewat sudut plastik yang sudah ia lubangi. Sementara aku menusuk satu-satu bakso pakai lidi.

Kami duduk di sebatang pohon kelapa yang tergeletak di tepi pantai. Kuduga batang pohon kelapa itu sudah berbulan-bulan tumbang dan sengaja diletakkan di situ. Kecanggungan menyergap kami selama beberapa saat. Fakta bahwa kami sudah saling mengenal sejak lama, bahkan pernah sangat dekat, terkalahkan oleh kenyataan bahwa kami sudah lama berpisah.

“Suami kamu enggak ikut?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Dia enggak mau ikut.”

“Lalu, kamu boleh pergi sendirian?

“Aku tidak perlu izin darinya untuk berpergian.”

Kecanggungan datang lagi.

“Kamu sejak kapan di sini?”

“Dari tiga hari yang lalu.”

“Bukan. Maksudku, di pantai ini?”

“Oh. Sudah dari tadi pagi.”

Kecanggungan di antara kami pelan-pelan lenyap. Bakso tusuk kami masing-masing sudah tandas. Melanjutkan menyusuri pantai, kami memperhatikan nelayan-nelayan yang mengumpulkan bulu babi dan rumput laut. Saat petang menjelang, kami naik ke atas tebing di sebelah timur. Di atas tebing itu ada delapan gazebo yang dibangun dari batang bambu. Kami duduk di gazebo paling barat. Di samping gazebo itu tumbuh sebatang pandan laut. Beberapa buahnya yang mirip buah kelapa sawit mulai memerah. Aroma sedap bunga jantannya menyusup ke hidung kami.

Di gazebo itu kami bercerita soal kehidupan masing-masing setelah satu windu tak jumpa. Kuceritakan padanya bahwa aku masih lajang. Tahun lalu aku hampir menikah namun gagal karena pacarku berpaling dan menikah dengan laki-laki lain—seorang polisi perwira. Setelah itu, dia bercerita bahwa hubungannya dengan suaminya tidak baik-baik saja, bahwa dia sebenarnya bepergian ke luar kota karena menghindari pertengkaran dengan suaminya.

“Kami terus bertengkar sejak dia bilang ingin punya anak. Padahal, dia sudah menyepakati syarat menikah denganku bahwa aku tidak mau punya anak. Pernikahan bagiku bukanlah untuk berkembang biak. Setidaknya, bukan keharusan. Konyol sekali konsepsi seperti itu. Lebih-lebih itu tidak adil bagiku sebagai perempuan.”

“Tapi, bukankah semua orang menikah untuk itu?”

“Aku tidak.”

Ada banyak keheningan yang menyelingi percakapan kami. Debur ombak yang menderu. Keagungan alam yang menyita perhatian kami saat sisa-sisa sinar matahari lindap.

Malam semakin pekat saat kami menyadari sudah tak ada lagi orang di atas tebing itu kecuali kami.

“Kamu ke sini naik apa?”

“Naik taksi online.”

“Kalau begitu, balik ke kota bareng aku saja. Aku menyewa motor.”

“Ayuk sekarang. Sudah malam.”

Kami bangkit. Menuruni tebing berbatu tajam, menyusuri tepi pantai yang agak melengkung, dalam keadaan sadar kami berpegangan tangan.

*** Mengapa Hubungan Percintaan Harus Berjalan Selamanya?

Sepanjang jalan menuju kota, di atas motor, dia melanjutkan cerita tentang keadaan rumah tangganya. Dia mengaku tak bahagia sejak menikah. Dia bercerita panjang lebar tentang upaya suaminya dalam meyakinkannya bahwa punya anak akan membuat hidup mereka lebih indah. Dan dia mengaku sudah tak dapat lagi mengingat berapa kali dalam kepalanya muncul gagasan untuk bercerai. Saat kutanya apakah gagasan itu pernah dia sampaikan kepada suaminya, dia menjawab belum.

“Aku menunggu dia yang mengajukannya duluan.”

“Kalau dia tak pernah ingin bercerai, bagaimana? Kamu akan terus menunggu?”

Tidak ada jawaban. Aku paham bahwa pertanyaan itu tak perlu kutanyakan ulang. Setelahnya dia memelukku dan menyandarkan pipinya di punggungku. Siapa pun yang memperhatikan kami di jalan itu akan mengira bahwa kami pasangan.

“Oh ya, waktu kita putus dulu, dan kita enggak pernah komunikasi lagi, kamu enggak pernah rindu padaku?” tanyanya.

“Tiap hari aku rindu.”

“Bohong!”

“Rindu pada orang lain maksudnya.”

Candaan itu membuatku mendapat cubitan keras di perut samping, membuatku terperanjat dan harus meminta ampun agar dia melepaskan cubitannya.

Tiba di kota, kami berhenti di sebuah angkringan, tempat kami dulu sering makan bersama saat masih kuliah.

“Kamu kapan pulang?”

“Besok pagi. Jam 10.”

“Menginap di mana?”

“Di hotel. Enggak jauh dari sini.”

“Sesudah ini, mau ke mana?”

“Aku kangen ke Lembah.”

“Mau ke Lembah?”

“Iya, yuk.”

“Ayuk.”

Perjalanan dari angkringan itu ke Lembah hanya memakan waktu tak lebih dari lima menit. Di Lembah masih banyak orang. Kami terkejut melihat perubahan yang ada: lampu-lampu hias dan pernak-pernik semakin banyak, tapi jumlah pohon berkurang.

“Setelah ditinggal nikah pacarmu, kamu enggak punya pacar lagi?”

“Belum.”

“Masa?”

“Iya, belum.”

“Masa satu Surabaya enggak ada yang kecantol?”

“Sebenarnya aku hampir-hampir tak berminat lagi menjalin hubungan.”

“Belum bisa move on, gitu?”

“Bukan. Bukan soal itu.”

“Terus apa? Belum ketemu orang yang tepat, gitu?”

“Mungkin begitu.”

Ada banyak hal lain yang kami bicarakan selain perihal hubungan percintaan. Namun, hal-hal lain itu hanya selingan saja karena apa pun topik pembicaraan kami, ujung-ujungnya kembali ke pembahasan mengenai hubungan percintaan.

Kami juga membicarakan kehidupan asmara beberapa teman kuliah kami. Atika, teman kami dari Makassar, menikah dengan pria Jogja dan menetap di Jogja. Saat membicarakan Atika, kami menelepon perempuan itu untuk mengajaknya bertemu, namun yang ditelepon bilang bahwa dia sedang berada di Semarang dan baru akan pulang dua hari kemudian. Tentang Romo—nama sapaan, nama sebenarnya Charles—yang pada akhirnya menikahi seorang gadis cantik di Jakarta setelah cita-citanya menjadi seorang pastor kandas di tengah jalan karena tak tahan setiap kali melihat keindahan perempuan. Moka, laki-laki Dayak, yang menikah dengan perempuan asal Magelang dan memboyong perempuan itu ke kampungnya di Kotawaringin Timur.

“Tapi terakhir aku dengar, Moka sudah bercerai,” kataku.

“Kenapa?”

“Selingkuh.”

“Siapa yang selingkuh?”

“Dua-duanya.”

Kami diam. Masing-masing termenung.

“Kenapa, ya, orang-orang berpikir bahwa hubungan percintaan itu mesti berjalan selamanya? Maksudku, selama pasangan itu masih hidup, sampai maut memisahkan…,” katanya.

“Hmm, iya juga. Bodoh juga kalau dipikir-pikir.”

“Nah, padahal, kalau hubungan dibatasi saja, misalnya tiga tahun, atau setahun, atau satu bulan, atau katakanlah tiga hari, mungkin tidak akan ada pertengkaran yang dilatari oleh, misalnya, rasa bosan. Tidak akan ada KDRT, apalagi sampai pembunuhan yang dilatari oleh perselingkuhan, misalnya. Semua itu aku pikir terjadi karena pasangan terjebak dalam ‘keharusan untuk terus bersama selagi masih hidup’ itu.”

Ara berhenti bicara. Aku menatap langit sambil berpikir untuk memberi tanggapan.

“Yang aku maksud bukan kawin kontrak, lho, ya,” ia memperjelas maksudnya.

“Ya, aku mengerti.”

“Menurutmu gimana?”

“Aku pikir benar juga. Kenapa, ya? Padahal, kalau tidak ada konsepsi seperti itu, mungkin hal-hal yang tidak diinginkan bisa dihindari. Tiap-tiap pasangan mungkin akan fokus menghabiskan waktu untuk saling mengasihi, saling menyayangi, mengingat waktu yang terbatas itu. Tapi…, bagi kebanyakan orang, berpisah itu berat.”

“Ya, tentu dengan asumsi bahwa dengan berakhirnya masa hubungan, misalnya tiga hari, kedua belah pihak menganggap bahwa hubungan mereka telah purna. Purna ya! Bukan putus, bukan bercerai. Atau mudahnya, ketika batas waktu hubungan berakhir, pasangan itu bisa menganggap diri mereka sudah mati—mati dalam tanda petik. Jadi pada hari keempat, mereka sudah mati. Begitu.”

“Aku mengerti. Juga dengan asumsi bahwa kedua belah pihak memandang entitas hubungan mereka adalah tiga hari itu. Bahwa setelah tiga hari itu, kalau pun kenyataannya mereka belum berpisah, atau katakanlah masih bertemu, entitasnya sudah bukan lagi entitas yang sama. Begitu, kan?”

“Ya, entitas! Aku mau bilang itu dari tadi. Seperti halnya air sungai yang mengalir saat ini detik ini, berbeda dengan air sungai yang mengalir pada detik berikutnya.”

Kami tertawa bersama, nyaris tak percaya terhadap pikiran yang kami utarakan.

Malam semakin larut saat pembicaraan kami bersayap ke mana-mana. Kami memutuskan kembali ke hotel tempat dia menginap. Tiba di hotel, tanpa ditawari ataupun meminta izin, aku ikut masuk ke kamar.

Setelah membersihkan diri masing-masing, kami merebah di atas kasur dan mengobrol.

“Kenapa tidak dari tiga hari lalu, ya, kita ketemu?”

“Mungkin, tiga hari lalu, Tuhan belum selesai mengatur sebab-akibat yang pas agar kita bertemu.”

“Zen, seandainya aku belum menikah, apa yang akan kamu lakukan padaku sekarang?”

“Aku tidak sepakat dengan pertanyaanmu. Yang lebih pas: apa yang akan kita lakukan?”

Setelah aku mengatakan itu, dia beringsut merapat ke tubuhku dan kami berciuman.

Diam sejenak. Lalu kami berciuman lagi. Hasrat kami bangkit. Kemudian kami bercinta.

“Zen, aku bohong soal aku tidak mau punya anak. Aku bukan penganut child free. Yang sebenarnya adalah aku tidak mencintai suamiku,” katanya, sebelum terlelap selepas bercinta. Aku memeluknya sebagai pengganti tanggapan atas pernyataannya itu.

*** Mengapa Hubungan Percintaan Harus Berjalan Selamanya?

Petugas yang berjaga di depan pintu masuk keberangkatan segan mengusik kami meskipun operator bandara sudah memanggil-manggil.

“Apa kita ingkari saja gagasan yang kita bicarakan di Lembah?”

“Maksud kamu?”

“Begini. Aku akan mengajukan cerai. Aku akan bercerai dari suamiku. Kita bertemu lagi setelah semua urusan selesai. Mungkin enam bulan lagi. Atau satu tahun lagi. Kita bertemu lagi di pantai kemarin. Setuju?”

“Oke. Setuju.”

Selepas mengantar Ara, aku langsung menuju stasiun, pulang ke Surabaya naik kereta api Pasundan.

***

Hingga setahun kemudian. Dua tahun. Tiga tahun. Tujuh tahun. Satu windu. Ara tak pernah kembali.

Aku tetap rutin ke pantai itu setiap tahun dan menyempatkan diri singgah ke Lembah, mengenang malam itu. Mungkin, seperti kata Ara, hubungan memang tak harus berjalan selamanya. (*)


Ilustrasi: Salvador Dali (dari wikiart.org) | Mengapa Hubungan Percintaan Harus Berjalan Selamanya?

Baca juga:
Cerpen Dewi Kharisma Michellia – Teratai Merah Isan
Siasat Struktur “Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi”


3 thoughts on “Mengapa Hubungan Percintaan Harus Berjalan Selamanya?”

  1. Firman Siddik berkata:

    Bahasanya sederhana. Mudah dipahami. Alur ceritanya juga mengesankan ??

  2. Haloha berkata:

    Karena mereka berdua sudah berjanji di hadapan Tuhan semesta alam bukan kepada manusia. Janji itu menjadi komitmen pernikahan bagi pasangan.

    1. Danang Tergalek berkata:

      Woow … cerpen ini bernyawa. Keren.

Komentar Anda?