Menu
Menu

Untuk merayakan ulang tahun komunitas yang ke-3, Teater Suara mengadakan kegiatan “Malam Bincang Teater: Antara Seni dan Fenomena Sosial”.


Oleh: Dominiko Ariyanto Djaga |

Lahir di Ende pada 27 November 2000, dibesarkan di Ileape, Waipukang, Lembata. Akrab disapa Rintho. Calon Imam Keuskupan Larantuka dan sekarang sedang melanjutkan pendidikannya di STFK Ledalero.


Avny Langobelen, Ketua Teater Suara, sebuah komunitas yang ada di Lembata menyampaikan beberapa hal menarik. Pertama, tentang proses yang membentuk mereka. “Kami masih pemula soal seni, namun kami percaya pada proses yang akan membentuk kami. Semua orang memiliki pemahaman dan pemaknaan pribadi akan seni itu sendiri. Dan kami juga merasakan bagaimana dalam ruang sosial atau dalam lembaga pendidikan bernama sekolah masih ada pandangan bahwa seni itu tidak penting. Selain karena tidak menjadi ukuran seseorang memiliki prestasi akademik, seni juga dipandang tidak bisa menjamin kemapanan finansial di masa depan. Karena itu kami sendiri juga bertanya-tanya manfaat dari aktivitas berkesenian. Apalagi kami memilih teater sebagi wadah kami berkreativitas. Itu memang menjadi pertanyaan awal kami ketika memilih untuk membentuk dan bergabung dengan komunitas ini,” papar Avny.

“Tetapi dari cerita lepas juga diskusi santai, ketika secara internal kami berbagi pengetahuan, kami memiliki satu formula dalam memandang seni. Untuk sekarang, setidaknya kami memiliki pemahaman bersama bahwa memang manfaat dari seni itu tidak berbentuk sebuah benda materiil. Manfaat seni tidak bisa dirasakan seperti memakan sambal. Kami percaya, itu didapatkan melalui setiap proses kreatif. Di dalam proses kreatif, ada sirkulasi pengetahuan, di situ ada nilai-nilai yang diserap juga dibagi. Nilai-nilai itu atau pengalaman tersebut menyentuh kepekaan nurani, serta membangun spiritualitas dan kesadaran dalam memandang problem manusia,” sambungnya.

Avny menyampaikan hal-hal itu dalam acara “Malam Bincang Teater: Antara Seni dan Fenomena Sosial” pada hari Sabtu, 8 Januari 2022. Agenda yang digelar di Pondok Perubahan, Wangatoa, Kelurahan Selandoro tersebut menghadirkan berbagai komunitas, perwakilan dari beberapa sekolah di wilayah Lewoleba, juga perwakilan dari pemerintah.

Dua pertanyaan dasar menjadi titik tolak dari diskusi, yaitu: (1)bagaimana seni berhadapan dengan fenomena sosial dengan segala problem dan peristiwa di dalamnya?; dan (2)bagaimana peran komunitas dalam menciptakan ruang belajar alternatif bagi pelajar ataupun masyarakat umum? Perjumpaan malam itu membuka ruang diskusi sehingga semua orang dapat memberikan pandangan serta pendapatnya secara terbuka dan bebas.

Sebelumnya, acara malam bincang teater ini juga hendak diselenggerakan secara daring melalui aplikasi Zoom agar membuka horizon pengetahuan. Panitia dari Teater Suara sudah menghubungi beberapa seniman dan penulis untuk bergabung dalam diskusi. Undangan tersebut di antaranya adalah Eka Putra Nggalu dan Marianus Nuwa dari Komunitas Kahe, Silvester Hurit dari Teater Nara, Erich Langobelen, Yurgo Purab, Selo Lamatapo, dan Ema Vero dari Teater Perempuan Adonara. Namun secara tak terduga, terjadi permasalah pada jaringan internet di Lembata. Selama beberapa hari, Lembata mengalami kesulitan untuk mengakses internet. Hal ini menyebabkan Zoom Meeting tidak dapat dilaksanakan.

Bapak Fredy Wahon sebagai salah satu mantan jurnalis dan seorang akademisi di Lembata, serta bapak Haris Dores sebagai salah seorang Guru Kesenian yang juga adalah seorang seniman, menjadi pemandu diskusi malam itu. Ada beberapa rangkaian acara yang dipersiapkan sebelum memasuki sesi diskusi. Ada persembahan lagu dari Lembata Acoustic, serta pemutaran video puisi berjudul “Ina di Bumi Lewotana” garapan Yoman Making dan Ama Lamak, dilanjutkan pembacaan puisi berjudul “Bangun Pagi” dari Mario Lawerang. Sesi diskusi pertama dimulai dengan pemutaran rekaman pementasan perdana Teater Suara yaitu “Siapa yang Mati Hari Ini!” untuk memantik diskusi.

Nia Lasar, salah satu Mahasiswa Seni Pertunjukkan lulusan ISI Yogyakarta mengomentari urusan teknis terkait blocking serta tata busana pada sebuah pertunjukkan. Dia juga menekankan bagaimana kekuatan daya imajinasi dapat membangun suatu orientasi ke depan. Ketika ruang kelas sesak dengan rumus dan hafalan, harus ada ruang berbeda yang memicu kekuatan imajinasi tersebut. Karena dengan imajinasi, terbentuk sikap kreatif dan kepekaan dalam melihat atau merasakan keresahan sosial.

Rico Wawo, salah seorang jurnalis yang hadir, mengomentari peran kritis seni dalam mempertanyakan atau menggugat suatu keadaan yang salah akan tetapi dianggap biasa. Menurutnya, seni memiliki kepekaan untuk menangkap apa yang terlewatkan oleh perhatian media massa; ketika media sudah dikontrol dan data-data disembunyikan, seni adalah alternatif untuk mengungkapkan apa yang tidak diperhatikan, atau diatur untuk tidak diperhatikan.

Acara dilanjutkan dengan penampilan Monolog berjudul “Donna-Donna” yang dibawakan oleh Anggnes Sely. Monolog ini diadaptasi dari lagu dengan judul yang sama yang dipopulerkan oleh salah seorang penyanyi folk Amerika, Joan Baez.

Konteks historis lagu ini memang menggambarkan bagaimana penderitaan bangsa Yahudi dalam tragedi Holocaust. Namun yang coba diangkat melalui lagu ini adalah makna takdir. Di dalam lagu tersebut ada beberapa tokoh dengan peran masing-masing. Anak sapi yang akan dibantai, petani yang otoriter, angin yang menertawai nasib si anak sapi serta burung walet yang menjadi pembanding atas perbedaan takdir anak sapi yang tak bisa melawan penindasan terhadapnya, yang berbanding terbalik dengan burung walet yang penuh kebebasan dan kebanggaan.

Dari simbol-simbol dalam lagu tersebut, hal yang ingin diangkat dalam monolog “Donna-Donna” adalah pelecehan serta kekerasan kepada perempuan dan anak di bawah umur. Seseorang tidak bisa memilih lahir dalam kelurga seperti apa, atau lingkungan dengan kriteria yang diiginkannya. Dalam rumah atau struktur sosial yang bermasalah, terkadang mereka yang tidak memiliki perlindungan, akhirnya terlempar menjadi korban.

Tentang Teater Suara

Teater Suara merupakan salah satu komunitas seni yang ada di Lembata. Teater suara terbentuk atas kolaborasi siswa Seminari San Dominggo Hokeng serta Komunitas Pelajar Lembata yang berisikan pelajar-pelajar dari beberapa sekolah di Lembata yaitu SMANSA Nubatukan, SMA Smater Don Bosco, SMANSA Lebatukan, SMA Yonpol Larantuka, SMP Santo Pius, dan SMP Negeri Lewoleba.

Kerja sama ini memiliki tujuan awal agar komunitas ini bisa menjadi wadah yang menyalurkan bakat para pelajar muda, serta menjadi ruang kreasi dan berekspresi yang positif bagi anak muda. Komunitas ini mencoba menjadi wadah kolektif yang menghubungkan para pelajar dengan kenyataan sosial, serta membuka ruang belajar bersama. Dari tujuan awal ini, pada tanggal 21 Desember 2018, terbentuklah Komunitas Teater Suara melalui sebuah pementasan seni bertema “Malam Peduli Sesama” yang hasil pementasannya disumbangkan kepada teman-teman di Panti Asuhan Eugene Smith.

Selama tiga tahun terbentuknya Teater Suara, komunitas ini berusaha untuk memberikan bacaan akan realita dan fenomena sosial dalam bentuk yang berbeda yaitu melalui pertunjukkan teater. Teater Suara berusaha merekam dan merefleksikan semua peristiwa yang terjadi, baik dalam dimensi budaya, sosial, ataupun ekologis, dan menyajikannya dalam sebuah pertunjukan teater untuk menjadi bacaan bagi masyarakat.

Untuk merayakan ulang tahun komunitas yang ke-3, Teater Suara mengadakan kegiatan “Malam Bincang Teater: Antara Seni dan Fenomena Sosial”. Kegiatan ini menghadirkan beberapa narasumber serta mengundang komunitas lain, juga perwakilan pemerintah, untuk membicarakan bagaimana kegiatan seni berdampak pada ruang sosial yang memiliki pelbagai masalah serta perannya dalam menciptakan ruang belajar yang berbeda, baik bagi pelajar juga masyarakat umum.

Panggung dan Keseharian Hidup

Dunia sehari-hari dan panggung memiliki aktivitas yang berbeda. Dunia punya rutinitas, aturan, birokrasi, sementara panggung memiliki naskah, blocking, dan tim kreatif. Kedunya berjalan dengan karakter masing-masing. Tetapi, panggung tidak bisa dipisahkan dengan keseharian manusia dan manusia tanpa sadar sering berada dalam sandiwara, atau terjebak dalam setting sandiwara.

Pater Felix Baghi SVD dalam tulisanya “Teater dan Polis” menjelaskan bagaimana karakter antagonistik dari kedua dunia ini, akan tetapi sebenarnya keseharian kita adalah teater. Teater seperti putaran rekaman dari keseharian kita. Teater adalah seni memanggungkan kehidupan. Panggung menjadi bacaan baru dari rutinitas yang kita jalani.

Dalam keseharian, terkadang kita terjebak dalam sebuah rutinitas ketat, dengan jadwal, deadline, dan segala tuntutannya. Analogi yang dapat dipakai seperti seorang manusia yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi karena takut terlambat tiba di kantor sehingga dia tidak memperhatikan apa yang ada di kiri dan kanan jalan yang ia lewati. Bisa saja di pinggir jalan itu ada anak kecil penjual ikan, ada tawuran, atau kecelakaan. Tetapi dia tak bisa berhenti karena waktu menuntutnya untuk bergegas. Segala aktivitas memiliki makna dan aktivitas teater adalah aktivitas repetitif. Aktivitas yang terlewati begitu saja, ditangkap dan dipanggungkan dan diberikan makna untuk menjadi nilai dan makna yang berusaha ditarik keluar dari keterlupaan atau sikap apatis.

Pater Felix Baghi, SVD juga menulis: “Tugas teater merepresantasikan dunia baru melalui banyak konfigurasi. Konfigurasi itu terjadi dalam permainan kreativitas untuk membentuk makna baru. Melalui teater, seniman menciptakan dunia lain sebagai antagonisme dunia nyata ini. Dunia adalah suatu pemberian dan tugas manusia adalah menemukan hal baru dari pemberian itu.”

Dalam ruang sosial, seni dapat memiliki peran, baik dalam bentuk edukasi ataupun advokasi. Fungsi seni berada pada proses menyerap makna dan nilai dari suatu peristiwa atau fenomena sosial dan bagaimana menyampaikan atau menunjukkan nilai tersebut melalui sebuah kreativitas. Sehingga fungsinya bukan berupa benda-benda fungsional, melainkan suatu rangkaian ajakan pemihakan atau permusuhan.

“Ajakan pemihakan atau permusuhan itu melekat sedikit demi sedikit, menempel menjadi kesadaran, bahkan filosofi yang lalu menjelma menjadi perilaku, sikap hidup, dan tata nilai. Segalanya berlangsung bukan sekali jadi, simsalabim, adakadabra, jadi maka jadilah, melainkan melalui proses panjang, merayap, dan meresap secara kontinu dan berkelanjutan (bdk Maman S. Mahayana 2016:130). (*)


Baca juga:
Peluncuran Album Musik dan Puisi Perempuan Sabana
Bengkel Penerjemahan Cerita Rakyat Kantor Bahasa NTT

Redaksi menerima reportase kegiatan kesenian yang terjadi di sekitar Anda. Kirim ke [email protected]. Salam.


Komentar Anda?