Menu
Menu

Apa saja yang bisa kau temukan dalam Kokokan Mencari Arumbawangi karya Cyntha Hariadi?


Oleh: Maria Pankratia |

Tinggal di Ruteng. Bergiat di Klub Buku Petra. Manager di HajuHaju.


Kepergian Nanamama memaksanya untuk bergantung pada dirinya sendiri. Ia tidak lagi membiarkan biru kesedihan dan abu-abu kecemasan mencampuri tangannya yang semakin hijau.

.

Seberapa sering kau mendapati tokoh favoritmu mati sebelum cerita berakhir? Barangkali pernah di satu dari sekian novel atau cerpen yang kau baca.

Adalah Jojo, seorang anak yang berulang-ulang disesali kematiannya oleh peserta Bincang Buku Petra yang hadir untuk membahas Kokokan Mencari Arumbawangi di Perpustakaan Klub Buku Petra pada hari Sabtu, 6 November 2021. Ada dua belas orang anggota yang hadir membicarakan buku ini; Lolik Apung yang juga bertindak sebagai moderator, Armin Bell yang malam itu menjadi pemantik, Ronald Susilo, Febry Djenadut, Yuan Jonta, Nadya Tanja, Gregorius Reynaldo, Beato Lanjong, Avin Gagu, Yasinta Ajin, Veronika Kurnyangsi, dan saya sendiri.

Dongeng karya Cyntha Hariadi ini berkisah tentang seorang perempuan—yang juga adalah seorang ibu; Nanamama dan kedua orang anaknya, Kakaputu dan Arumbawangi. Kisah dibuka dengan suasana pilu ketika Kakaputu dan Arumbawangi harus mengubur Nanamama di pekarangan rumah mereka. Kemudian cerita bergerak ke masa awal: kedatangan Arumbawangi. Di suatu sore, sekolompok burung Kokokan terbang merendah di atas persawahan, kemudian menjatuhkan gulungan kain. Di dalam kain itu ada seorang bayi. Nanamama yang sejak lama merindukan seorang adik untuk Kakaputu, memutuskan mengambil bayi tersebut dan memeliharanya. Bayi itu lalu diberinya nama. Arumbawangi.

Bagi beberapa peserta bincang buku malam itu, Nanamama adalah sosok perempuan perkasa. Nadya Tanja bahkan membayangkan Nanamama adalah seorang ibu dengan fisik yang tinggi dan ramping, serta cekatan. “Rambutnya pasti selalu disanggul ke atas dan urat tangannya kelihatan. Ia judes, susah tersenyum. Seorang bos di dalam rumah dan di sawah. Saya sangat penasaran, bagaimana Nanamama mendidik Kakaputu dan Arumbawangi sehingga menjadi anak yang cerdas dan berbakti. Saya sempat membayangkan tokoh ibu yang ada di film Pengabdi Setan. Seperti itu Nanamama. Kharismanya kuat sekali,” ungkap Nadya.

Jika saya dan Lolik merasa bosan di halaman-halaman awal buku ini karena penulis bercerita sembari merefleksikan peristiwa-peristiwa yang sedang diceritakan (seperti ada dua narator), Vero mengalami hal yang berbeda. Ia justru dibuat penasaran oleh penulis. Banyak hal yang membuat ia bertanya-tanya sejak halaman pertama. Ada apa ini? Kenapa Nanamama meninggal? Kenapa kematiannya terkesan tragis, bahkan sedikit seram? Bagaimana anak-anak seperti Kakaputu dan Arumbawangi harus mengubur ibu mereka sendirian? Ada apa sebenarnya? Belum lagi permintaan agar tidak dikuburkan di pekuburan kampung, kubur saja di pekarangan rumah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang membuat Vero terus melaju, menyelesaikan pembacaannya.

Jojo

Kisah mulai menarik ketika muncul seorang tokoh baru. Jojo. Seorang anak yang sakit-sakitan dan tidak memiliki semangat hidup setelah ibunya meninggal. Demi mengembalikan Jojo yang bahagia, Pak Rudy, ayahnya, membawa dia pergi menjauh dari Jakarta, pindah ke sebuah desa di Bali. Mereka tinggal di hotel yang pernah dibangun, yang sebelumnya dibiarkan terbengkalai karena pembangunannya ditolak oleh sebagian penduduk desa, termasuk Nanamama. Di luar dugaan, Jojo bertemu dengan anak-anak Nanamama. Kakaputu dan Arumbawangi. Mereka berkenalan, bermain bersama, hingga akhirnya bersahabat. Jojo diajak bermain ke sawah dan rumah mereka, bertukar layangan dan kepingan compact disc yang digunakan untuk mengusir burung-burung yang mengincar padi yang sedang menguning di sawah. Jojo diperkenalkan kepada Nanamama, yang tidak bisa menghindar dari jatuh hati pada anak baik ini.

“Saya ingat ketika Jojo bermain ke rumah Kakaputu dan Arumbawangi lalu bertemu Nanamama. Saat Nanamama mengolesi minyak bawang ke tubuh Jojo dan menemukan seperti ada bongkahan besar di dada Jojo, rasanya sedih sekali. Saya merasa itu lebih sedih daripada saat Jojo meninggal,” komentar Febry.

Ya… betul, Kisah Jojo tidak bertahan lama, ia meninggal dilahap api di malam ulang tahunnya yang kedua belas.

“Saya menyukai Jojo karena perkembangan karakternya di dalam cerita ini bagus sekali. Seorang anak pengusaha yang pada perkenalannya kita dibuat percaya bahwa ia anak yang sombong, tetapi di sisi lain ia juga anak yang sakit-sakitan dan putus asa. Setelah berkenalan dengan Kakaputu dan Arumbawangi, ia berubah menjadi anak yang penuh semangat dan selalu antusias pada hal baru yang ia jumpai. Dan saya patah hati karena baru setengah jalan kisah ini, Jojo dibikin mati oleh penulis. Di puncak transformasi kepribadiannya menjadi lebih baik dan bahagia. Rasanya tidak adil,” keluh Yuan Jonta.

Menanggapi Yuan dan Febry, serta komentar senada para peserta lainnya, Armin Bell berpendapat, Jojo memang harus menghilang dari cerita karena kisah ini bukan kisah Jojo. Jika ia dibiarkan hidup, cerita akan berubah. Ini juga yang membuat buku ini menjadi dongeng sekaligus kisah yang realistis.

“Di kelas Bengkel Penerjemahan Dwi Bahasa, kita pernah membahas; bahkan meski tulisan tersebut adalah sebuah dongeng, ia tetap harus menampakkan realitas yang baik. Secara keseluruhan, buku ini bicara tentang itu. Jadi, tidak ada sesuatu yang aneh rasanya. Juga akhirnya penulis menampilkan kekalahan orang-orang kecil di hadapan pemilik kuasa. Itu kira-kira realitas terbenar yang Cyntha masukkan ke dalam dongeng ini. Cyntha tidak berusaha melawan realitas tersebut,” jelas Armin.

Saya dan Ajin mendapatkan kesan yang sama, kami melihat akhir novel ini sebagai sesuatu yang masuk akal, sementara Febry tetap mengharapkan ada keajaiban karena kisah ini adalah sebuah dongeng.

Dunia Anak-Anak

Armin Bell juga membagikan beberapa poin menarik yang ia temukan setelah membaca buku ini. Menurutnya, Kokokan Mencari Arumbawangi merupakan dongeng yang sangat khas Indonesia. Sebagian besar dongeng-dongeng Indonesia berhubungan dengan ibu. Malin Kundang, Sampuraga, dan dongeng-dongeng lainnya yang selalu memiliki relasi dengan ibu. Bahwa seluruh keputusan di muka bumi ini, selalu datang dari seorang ibu—sampai memutuskan membuat seseorang menjadi batu. Rasa-rasanya semua dongeng yang bernuansa kesedihan itu selalu berhubungan dengan ibu. Ketika membaca ini, akhirnya menjadi masuk akal ketika Cyntha Hariadi membicarakan tema tentang rumah di Flores Writers Festival 2021, juga berbicara tentang rumah yang tidak selalu nyaman. Rumah yang tidak membuat kita selalu betah. Ada juga kekacauan di sana. Nah, peran ibu ada di wilayah itu sekaligus memberi keputusan-keputusan.

Di bingkai jendela, dua wajah kecil terpana menyaksikan langit pecah bertaburan kapas gulali warna-warni. Nanamama membawa fajar ke bumi seusai ia sembahyang! Pergantian dari gelap ke terang yang didahului percikan berbagai warna menjadikan segalanya di kebun menggeliat, mengusap mata, dan bangun.

Ada pertanyaan selanjutnya, apa yang terjadi kalau Nanamama tidak sempat sembahyang? Apakah masih ada matahari? Kakaputu dan Arumbawangi merasa Nanamama adalah orang yang membawa seluruh kehidupan kepada mereka, Nanamama petani, Nanamama ibu, dan Nanamama batari karena itulah mereka menjadi anak-anak baik yang sangat berbakti.

Menurut Armin, dunia anak dari sudut pandang Kakaputu, Arumbawangi, dan Jojo dalam Kokokan Mencari Arumbawangi mau tidak mau mengingatkan kita pada Makan Siang Okta karya Nurul Hanafi; dunia anak yang mudah cair, melebur, dan tanpa dendam.

“Permusuhan dengan Si Kembar yang kemudian menjadi sebuah perdamaian, itu benar-benar menggambarkan dunia anak. Menit ini kau begitu suka atau sangat tidak suka, dan di menit berikutnya mereka akan bermain bersama lagi. Anak berpindah-pindah dengan cepat tergantung situasi dan suasana hati mereka. Saya juga membandingkan dunia anak itu di halaman 20. Kakaputu yang kolokan tetapi juga senang bermain dengan serangga di sawah. Dia takut, tetapi pada bagian tertentu dia senang. Sulit sekali menjelaskan tentang anak-anak, mereka menyukai kupu-kupu tetapi ketika kupu-kupu datang, mereka lari,” tutur Armin.

Selanjutnya penjelasan Armin berikut ini, membantu Yuan dan Beato untuk memahami mengapa mereka mendapat kesan ketiga tokoh anak di dalam dongeng ini begitu dewasa dan pengertian: rasanya sangat tidak masuk akal.

“Kesan yang teman-teman sampaikan ini, juga pernah disampaikan oleh Martin Suryajaya kepada tokoh dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami; Marja dan Parang Jati. Dua tokoh yang sangat muda tetapi dibuat begitu dewasa di dalam novel tersebut. Saya sempat setuju dengan Martin, sampai kemudian saya memiliki anak, saya akhirnya mengerti bahwa kita sering meremehkan anak-anak dan dunia mereka. Anak-anak yang muncul dari dunia yang dituturkan dengan baik, akan selalu tampil mengejutkan. Kadang kala orang tua sendiri tidak punya cara yang tepat untuk memberitahukan hal-hal tertentu kepada anak-anaknya, mau tidak mau orang tua akan memakai caranya yang dewasa dan anak-anak akan menerima itu, menyimpan dan mengendapkannya di alam bawah sadar lalu suatu saat akan kembali dalam bentuk dialog yang mengejutkan. Seperti Nanamama kepada Arumbawangi dan Jojo,” jelas Armin.

Metafora

Bagian lain yang juga disoroti oleh para anggota bincang buku malam itu adalah keterampilan penulis menggunakan gaya bahasa dalam menuturkan kisah dalam buku ini. Ketika membaca Kokokan Mencari Arumbawangi, dr. Ronald Susilo mau tidak mau mengingat kembali salah satu novel yang pernah dibincangkan juga; Srimenanti karya Joko Pinurbo.

“Rasanya, kata-katanya hidup. Seperti yang saya temukan di halaman 73, wajahnya yang bila kertas pasti sudah sobek-sobek karena ketarik-tarik emosi,” ungkap Ronald.

Febry Djenadut juga mengomentari hal yang sama: “Banyak kiasan di dalam dongeng ini. Penjelasan-penjelasannya seperti tidak ada hubungan tetapi masuk akal. Misalnya, Nanamama merasa badannya seperti bawang cincang sehingga membuat matanya berair. Badan yang tercincang-cincang dan bawang. Tetapi memang kalau kita mencincang bawang (merah), mata kita pasti berair. Itu dua hal yang berbeda, badan dan air mata tetapi saya merasa cocok saja ketika membacanya.”

Menurut Armin Bell, Cyntha Hariadi adalah orang dengan kesadaran penggunaan warna yang sangat baik di hampir semua bagian. Salah satu bagian yang ia tandai ada di halaman 262 paragraf 2: Ia tidak lagi membiarkan biru kesedihan dan abu-abu kecemasan mencampuri tangannya yang semakin hijau. Biru selalu diidentikkan dengan perasaan sedih, feeling blue; abu-abu adalah tanda kecemasan seperti mendung; dan hijau sebagai simbol kebeliaan.

“Buku ini adalah kisah dengan metafora-metafora yang selalu masuk akal. Metafora tidak hanya sekadar pembanding umum tetapi juga pembanding yang informatif. Saya kira, teman-teman bisa melihat, ketika mencoba membandingkan sesuatu, pada bagian yang dibandingkan tersebut, kita akan mendapat informasi baru lagi. Peran metafora, tidak hanya untuk menyukseskan situasi yang sedang digambarkan tetapi juga memberi informasi baru kepada pembaca. Ini yang membuat buku ini sangat unggul,” ungkap Armin.

Sepakat dengan Dokter Ronald, Febry, dan Kaka Armin, saya dan Beato melihat Cyntha adalah sosok dengan imajinasi yang sangat unik dan personal. Ketika kita membaca cerpen dan puisi-puisinya, kita mau tak mau dibuat kagum dengan pemikiran-pemikirannya kemudian caranya menuturkan itu semua.

Desa Hijau

Hal berikutnya yang turut dibahas pada bincang buku Kokokan Mencari Arumbawangi adalah isu agraria yang menjadi konflik utama kisah Nanamama dan anak-anaknya ini. Yuan dan Avin, juga Lolik dan Nadya menyoroti bagian ini dengan cukup serius.

Ketika Yuan mulai membaca novel ini, ia sudah bisa mengetahui bahwa secara umum konflik di dalam kisah ini mengarah ke masalah agraria. Sementara bagi Avin, apa yang terjadi pada Nanamama di Bali, hampir mirip dengan apa yang sedang terjadi di Labuan Bajo saat ini. Pendapat lain datang dari Nadya yang mencurigai desa-desa hijau dan indah dengan label wisata yang sering kita saksikan di laman media sosial dan televisi saat ini adalah hasil setting-an atau sesuatu yang dibuat-buat. Ada campur tangan pihak investor di sana, bukan murni hasil kerja para perangkat desa atau masyarakat setempat. Sebagaimana kisah kepala desa dan orang-orang desa yang diceritakan di dalam buku ini.

Menimpali Yuan, Avin, dan Nadya, Lolik membahas tentang salah satu program di masa orde baru yang sebenarnya memberi pengaruh sangat besar pada perkembangan pertanian Indonesia saat ini: Swasembada Pangan-Revolusi Hijau. Kisah Nanamama, Kakaputu, dan Arumbawangi ini, pada akhirnya mengingatkannya pada kampung halamannya sendiri; Pitak (salah satu kampung adat di tengah kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur).

“Di masa kecil, saya juga memiliki pengalaman seperti Kakaputu dan Arumbawangi dalam Kokokan Mencari Arumbawangi. Pergi bermain ke sawah dengan teman-teman, mengejar burung pipit, menangkap katak, dan pengalaman-pengalaman menyenangkan lainnya. Tetapi setelah sekian tahun pergi merantau, ketika pulang, saya telah bertemu dengan bangunan-bangunan baru seperti villa, café, dan rumah-rumah permanen yang gagah, yang berdiri di atas sawah-sawah itu. Alih fungsi ini terjadi karena maraknya penggunaan bahan-bahan kimia dalam pengolahan tanah seperti pestisida dan pupuk yang menyebabkan lahan menjadi tidak subur. Di masa Soeharto, ada program swasembada pangan yang disebut dengan Revolusi Hijau. Program ini menyebabkan adanya peralihan teknologi sederhana yang biasa digunakan oleh masyarakat ke teknologi modern. Mengganti bibit-bibit lokal dengan bibit-bibit varietas unggul. Tujuannya meningkatkan hasil produksi pertanian, akan tetapi efeknya malah merusak tanah. 1 hektar sawah membutuhkan biaya pengolahan kurang lebih Rp. 7.500.000,- sementara hasil panen hanya berkisar 2-3 karung beras saja. Daripada mengolah lahan tidak subur, lebih baik dijual atau disewakan saja. Sehingga, saya paham kenapa kemudian Wawatua—salah satu tokoh yang dibenci dalam kisah ini—juga masyarakat desa yang lain merasa lebih baik mengadu nasib menjadi pekerja hotel daripada mengolah lahan yang tidak jelas hasilnya,” papar Lolik.

Lolik melanjutkan, “Program yang pada mulanya gencar dilaksanakan dengan maksud baik membantu negara-negara di Afrika dan Amerika Latin yang tidak memiliki lahan subur dan mengalami kelaparan, justru mematikan sistem pertanian tradisional kita. Padahal, kita sendiri tidak pernah peduli apa itu swasembada pangan, apa itu revolusi hijau, apa yang hendak dicapai dari program-program tersebut? Yang kita pahami adalah menanam dan mengambil sesuai dengan kebutuhan kita dan tetap menjaga keseimbangan alam. Tanpa program-program aneh tersebut, panen kita sudah sangat melimpah hanya saja tidak didukung oleh akses infrastruktur seperti jalan dan alat transportasi yang memadai. Saya sangat menyukai tokoh Nanamama karena memiliki pendirian yang teguh. Beliau tidak ingin menjadi budak, beliau ingin menjadi tuan atas tanahnya sendiri. Berprinsip dan tidak terpengaruh dengan perkembangan zaman.”

Filter Bubble

Bicara tentang pengaruh perkembangan zaman, para peserta bincang buku mau tidak mau juga harus membahas tokoh kepala desa dan orang-orang desa dalam kisah ini, tetangga-tetangga Nanamama yang sangat serakah dan menginginkan hotel tetap berdiri. Mereka bahkan tega menuduh Nanamama membunuh Jojo hanya dengan bukti sebuah sisir yang tanpa sengaja terjatuh di hotel saat Nanamama mengantar Pak Rudy yang mabuk setelah semalaman minum tuak di rumah Wawatua.

Situasi ini membuka pembahasan tentang filter bubble oleh Armin, yang dalam hal ini berkaitan erat dengan gelembung filter di media sosial.

“Kira-kira filter bubble itu seperti begini, apa yang ada di dinding media sosialmu sekarang adalah apa yang sudah pernah kau sukai di masa lalu. Kemudian itu ditampilkan lagi. Ada fenomena lain lagi di situ yang disebut dengan echo chamber. Suara yang kau lemparkan, kemudian akan kembali lagi padamu, dan itu membuat kita sulit sekali menerima perbedaan karena kita ada di dalam gelembung filter itu. Algoritma media sosial menggunakan itu untuk mengikat kita, menghubungkan kita dengan orang-orang yang sepaham. Nah, kenapa perdebatan di media sosial selalu buruk karena sebagian besar dari 5000 teman facebook kita misalnya adalah teman dengan kesukaan yang sama, yang facebook munculkan di dinding kita dan akibatnya kita meyakini semua yang terjadi sebagai sebuah kebenaran,” jelas Armin.

“Bahaya dari filter bubble,” lanjutnya, “adalah kita tidak punya ruang untuk melihat sesuatu yang berbeda karena lingkup pergaulan kita meyakini itu sebagai sesuatu yang benar. Nah, buruknya adalah kita tidak memiliki ruang untuk menghargai perspektif yang berbeda. Apa yang membuat hidupmu menarik ketika kau hanya bertemu orang yang sama? Kau tidak bisa menikahi cermin, bukan? Sehingga yang kita cari di media sosial itu, bukan sesuatu yang baru melainkan mencari konfirmasi atas pendapat kita. Tidak heran apabila ada orang yang tidak menyukai pendapat kita, kita akan menganggapnya bodoh; dia tidak tahu apa-apa karena kita hanya mendapat gema atas suara kita sendiri. Demikian pula yang terjadi dengan relasi Wawatua dan Pak Rudy, Kepala Desa dan orang-orang desa dalam Kokokan Mencari Arumbawangi. Mereka saling membenarkan satu sama lain sehingga Nanamama dianggap sebagai orang yang asing sama sekali dan perlu dilawan,” tandas Armin.

Di Mana Suami Nanamama?

Mendekati akhir bincang buku, ada satu pertanyaan menarik datang dari Ajin. Di mana suami Nanamama? Pertanyaan ini yang membuat Ajin—yang sangat menyukai kisah misteri dan kriminal ini—curiga, jangan-jangan Nanamama memiliki dendam terhadap Pak Rudy dan hotelnya karena suaminya pernah menjadi korban pembangunan hotel tersebut. Namun, hingga tuntas membaca kisah ini, Ajin tetap tidak menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut dan terpaksa puas dengan akhir yang dipersembahkan oleh penulis.

Malam itu, sebelum kembali ke rumah masing-masing, seluruh peserta menyematkan Bintang Empat untuk buku setebal 337 halaman berjudul Kokokan Mencari Arumbawangi karya Cyntha Hariadi tersebut.(*)


Baca juga:
Usaha Memahami Pengalaman Membaca Buku Jingga
Balada Supri, Novel Bagus yang Buru-Buru Diterbitkan


Komentar Anda?