Menu
Menu

Beberapa gerakan di sudut mata memanggil pandanganku ke arah rumah di samping Katua’s.


Oleh: Aura Asmaradana | Dari Beranda Katuas

Suka menulis cerita pendek, esai, dan catatan perjalanan. Berdomisili di Bandung Timur. Berkesempatan ikut serta dalam program Residensi Penulis Indonesia 2019 di Timor-Leste.


Pada sebuah malam di bulan November yang jarang turun hujan, aku dan Rafiq duduk di beranda Katua’s, menikmati beberapa sloki wiski dingin. Kami duduk mengatur nafas sepulang berolahraga malam.

Sebelum membakar rokoknya, Rafiq menandaskan semangkuk penuh bola-bola ikan berwarna oranye dan putih yang berdesakan di kuah dalam mangkuk. Biasanya, Ma Jin sang head chef menata satu set tom yum lengkap dengan daging cumi-cumi, udang, dan sayuran. Saking terkenalnya di seantero kota, menu itu selalu habis sebelum matahari tenggelam. Termasuk malam itu. Hanya Rafiqlah satu-satunya pelanggan yang bisa membuat Ma Jin menyediakan tom yum dengan bahan seadanya.

Rafiq mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotak. Membakarnya. Bara api terpantul di kedua matanya. Setelah terbakar dan menghisapnya beberapa kali, ia menaruh rokoknya di asbak kayu. Abu jatuh ke meja. Aku menyekanya menggunakan tisu yang sengaja disiapkan Vivi sang bartender di dasar gelas wiski untuk menyerap embun di permukaan luar gelas. Tisu itu sangat basah sehingga abu rokok Rafiq melekat dengan mudah.

“Biar aku yang traktir malam ini, Marcel. Kamu menabunglah banyak-banyak untuk menikah nanti.” Rafiq menyeruput wiski.

“Ah, menikah dengan siapa?”

“Pacarmulah! Siapa lagi?”

“Kami sedang tidak rukun belakangan ini.” Mendengar jawabanku, Rafiq menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa sinis. Lesung di pipi kanannya muncul. Aku tidak heran wajah tampannya itu digemari banyak wanita di kota ini. Di tengah uang dan ketampanan di masa tua, sisa hidup Rafiq murni hanya ketenangan.

“Masa lalu yang cerdik menjamin masa tua yang kaya.” Begitu kata Rafiq setiap kali ia punya kesempatan untuk bercerita tentang pengalaman hidupnya.

“Kamu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk sengaja mencari dan pilih-pilih pasangan hidup. Sebetulnya, asal tabunganmu terjaga, calon istrimu akan betah dan kalian akan baik-baik saja.”

“Ah, Maun, enak sekali bicara begitu. Wajahmu ganteng. Bisnis banyak dan stabil. Jangan samakan kisah hidupmu dengan hidupku.”

“Ya makanya, kubilang dari sekarang, menabunglah, simpan uangmu. Kalau sudah cukup, aku kan bisa enak membantumu sebagai rekan kerja. Tinggal kamu pilih, mau berbisnis di bidang apa. Anak-anak muda sekarang ini sebetulnya dimudahkan. Cukup beli frenchise, hire karyawan, pantau beberapa bulan, lepas. Roda bisnis bisa dibiarkan berjalan sendiri.”

Aku selalu mendengar nasihat Rafiq baik-baik dalam hal menabung dan berbisnis. Di daerah tempat tinggalku, Rafiq dikenal sebagai seorang pebisnis andal yang kekayaannya diperkirakan tidak akan habis hingga pasca-upacara kematiannya kelak. Padahal, selain kaya raya, Rafiq juga terlalu baik hati. Seringkali ia didekati sekelompok orang yang mengaku kawan, yang mencari muka, meminjam uang mulai dari belasan hingga ratusan dolar, kemudian kabur begitu saja. Namun hartanya tidak pernah susut.

Rafiq memulai bisnisnya sejak muda. Kepintarannya mencari kesempatan ekonomi membuat ia masyhur dan disegani. Jika ada tamu datang ke kota kelahirannya, semua orang mampu menunjukkan arah menuju rumah mewahnya dengan baik. Seandainya saja ia tidak patah hati dan melanjutkan pekerjaan di masa lalu, sosoknya mungkin telah melegenda seperti Frank Abagnale, Jr.

“Kamu paham kan sekarang, kenapa rumah di Baucau itu kujual? Aku ingin memberi anak-anak muda itu kesempatan berbisnis yang merata. Mereka tidak hanya berhenti jadi pegawai, tapi juga bisa memiliki cabang bisnis sendiri.”

Meski Rafiq lebih tua sepuluh tahun dariku, tetapi ia selalu peduli pada pekerjaan anak-anak muda di sekitarnya. Dia selalu bisa jadi teman bincang yang baik bagi aku dan orang-orang yang usianya lebih muda. Diam-diam, aku merekam kisah hidup yang ia kisahkan supaya kelak aku bisa menuliskannya. Mungkin untuk sebuah novel detektif atau naskah film perampokan yang sedang hits.

“Mau?” Ia melempar kotak rokok ke atas meja, di hadapanku.

“Tidak, terima kasih. Masih ada.” Aku menunjuk satu kotak rokok putih berisi hampir penuh di atas meja. Aku menutup mata sejenak. Masih ada denyut pelan yang tak biasa di betis kananku. Aku mengabaikannya sebab yang penting adalah aku sudah bisa duduk tenang dengan suasana yang nyaman—hanya terganggu oleh beberapa sepeda motor berknalpot bising yang melintas. Sisanya, Avenida Presidente Nicolau Lobato sepi. Orang-orang berjalan santai di trotoar. Sebagian besar mengenali Rafiq dan menyapanya. Rafiq memberitahuku bahwa mereka adalah para teman dan kerabat pengelola fundação di samping Katua’s.

Este é meu amigo, Marcel.”[1] Rafiq mengenalkanku pada perempuan di trotoar—yang menunjukkan kaki jenjang melalui belahan gaun hitamnya. Ia melambai dan tersenyum ke arahku.

Kalan diak.” Aku membalas lambaian tangannya.

Kalan diak.” Perempuan itu menjawab. Rafiq melanjutkan perbincangan menggunakan bahasa Portugis yang sangat fasih sebelum akhirnya melepasnya pergi.

Pandanganku mengikuti langkah perempuan itu ke bangunan tetangga. Pagar besi hijau. Rumah genting hijau dengan pintu kembar tepat di tengah bangunan. Lampu-lampu tersembunyi di antara rimbun semak bunga taman, membuatnya menyala. Sungguh pemandangan yang presisi. Orang-orang yang baru pertama kali melihat bangunan itu tak akan menyadari bahwa kota ini menyimpan ingatan yang ngeri tentangnya.

Bangunan itu, serta beberapa bangunan lain di sepanjang jalan tempat Katua’s berada adalah fosil peradaban modern. Para turis biasa mengunjunginya untuk napak tilas sejarah negeri. Beberapa belum pernah aku masuki, sebagian lain cukup sekali saja. Meskipun bangunan-bangunan itu seakan memanggil setiap aku melintas, selalu saja ada rasa gelisah tiap kali aku coba mendekat. Pun begitu dengan Katua’s, aku hanya pernah menginjak lantai bar dan restonya saja. Padahal, beberapa kali temanku datang menginap dan mengajakku mampir ke kamar-kamar di lantai atas. Aku tak pernah mau.

Rafiq duduk dan meneguk lagi minumannya.

“Kakimu baik?”

“Sudah lumayan.”

Dulu, waktu aku masih sering berlari, aku juga suka merasakan hal-hal semacam itu. Seperti ada yang bergerak, seperti tumbuh di otot-otot kakiku.”

Aku langsung menegakkan duduk. Yang dimaksud Rafiq dengan “masih sering berlari” adalah sebuah awalan menuju salah satu fragmen kisah hidupnya yang panjang dan berliku. Cocok dengan malam yang membosankan. Raut wajahnya mengisyaratkan bahwa ia sudah siap untuk mulai berkisah.

“Sudah kenal Natalia waktu itu?” Rafiq menegakkan duduknya sebelum meneguk lagi minumannya. Kulihat mata Rafiq yang berbinar. Pancinganku berhasil. Aku melambaikan tangan pada Vivi. Ia kemudian datang menghampiri seperti kutub magnet yang menemukan pasangan. Vivi duduk di sampingku, mengikat rambutnya yang keriting menyentuh punggung.

“Kau sebut nama Nat, aku merinding.” Rafiq mengusap lengan, menidurkan kembali bulu-bulu halus di situ. Aku dan Vivi menertawakannya. Setiap kali bicara tentang Natalia, gairah masa muda Rafiq seperti kembali. Nada bicaranya penuh semangat dan lubang hidungnya kembang kempis.

Dalam setiap kisah Rafiq yang kami dengar, nama Natalia Borges susah dilepaskan. Natalia bagai kupu-kupu yang terbang di bebungaan. Kehadirannya dalam cerita memberi kehidupan pada setiap kisah Rafiq.

“Kau tanya apa tadi? Ah, ya, sudah kenal, tentu. Justru, Nat adalah orang yang memberiku energi supaya terus semangat berlari. Kalian bisa bayangkan, kan, bagaimana padatnya masjid di Jawa? Waktu itu, dalam sehari, kami bisa operasi di dua sampai tiga masjid dalam sehari. Kalau tidak pakai lari, waktu kami akan habis.”

“Badanmu pasti seperti atlet dulu ya?”

“Sampai sekarang juga masih, kan?” Rafiq mengedipkan satu matanya. Vivi membuang muka sambil mencibirkan mulut mendengar jawaban itu.

“Setiap hari, ada atau tidak operasi, di rumah kontrakan, aktivitas dimulai sebelum matahari terbit. Kami mulai jogging berkeliling gang-gang. Semua orang di lingkungan mengenal kami sebagai sekumpulan orang dengan gaya hidup sehat. Ya, memang. Sehat itu harus. Kalau tak sehat, bagaimana mau mencari uang, ya kan? Ketika waktunya sarapan pagi, kami bertiga berkumpul di beranda. Biasanya, kami pesan nasi lengko. Vivi tahu?”

Yang ditanya menggeleng.

“Semacam nasi pecel.” Aku mencoba memperjelas.

“Oooh, ya.” Vivi akhirnya mengacungkan jempolnya.

“Orang-orang mengira, waktu sarapan itu adalah waktunya kami belajar. Nat waktu itu masih kuliah kelas karyawan di Salemba. Aku pekerja nine to five.  Zezito juga begitu. Dion, adiknya, kuliah juga. Namun waktu itu, diam-diam aku sedang merintis bisnis konveksi. Aku mulai menyiapkan dana untuk investasi. Semakin keras aku harus bekerja.

Kadang aku berpikir untuk rehat. Tidak bisa. Waktu itu aku sudah punya imajinasi tentang masa depan. Mau ke mana. Mau beli apa. Mau beri apa. Ditambah lagi, posisiku waktu itu adalah otak dalam operasi. Nat dan Zito tidak bisa bekerja tanpa aku. Aku berperan seperti pelatih yang mengatur formasi dan taktik. Sebab, begini, treatment antara masjid berpintu satu atau dua atau bahkan tiga akan berbeda satu sama lain. Semakin sedikit pintunya, kami akan semakin sulit menyelesaikan operasi. Kami harus semakin hati-hati.

Belum lagi bentuk kotak amalnya. Ada kotak amal yang ditaruh permanen di pintu-pintu masuk, ada juga yang disimpan begitu saja di karpet-karpet masjid. Yang kedua itu tentu lebih mudah. Zito bisa membukanya di mana saja, di tempat yang aman. Namun kotak amal permanen, Zito harus bekerja berdua denganku. Sebetulnya, aku ingin Zito bekerja dengan Nat. Kalian harus tahu, pandangan mata perempuan lebih luas daripada laki-laki. Kalau melihat, perempuan tidak perlu menoleh karena jangkauan pandangannya lebih dari 180 derajat. Nat tentu bisa lebih baik mengawasi siapa yang akan masuk atau keluar masjid. Sayangnya, sebagian besar masjid membedakan pintu masuk perempuan dan laki-laki. Maka akhirnya aku berfungsi sebagai mata di belakang kepala Zito.

Zito bisa membuka gembok jenis apapun dengan alat sederhana dalam waktu kurang dari dua menit, maksimal. Waktu itu, aku tidak pernah membayangkan kalau suatu hari aku harus mencari orang baru lagi untuk pekerjaan seperti itu. Kalau suatu hari kalian punya kawan sepandai dan sebaik Zito, jangan melepaskannya begitu saja. Seperti yang aku lakukan.

Ya, aku tidak pernah melepaskan Zito, menjadikannya orang yang bertentangan dengan posisiku, atau bahkan menjadikannya target balas dendam. Bahkan setelah aku datang ke sini dan tahu bahwa Nat menikah dengannya. Aku ikut senang dengan mereka.”

Mata Rafiq menerawang jauh nan sendu sebelum akhirnya mulai lagi dengan lebih ceria.

“Setelah pulang ke kampung, aku tetap melanjutkan kebiasaan lari pagi. Eh, kalian bisa bayangkan tidak, ketika masih di Jawa, setiap bulan aku mengirim uang pada Mama. Aku meminta mereka menabung ONH, memperbaiki bagian rumah yang rusak, atau membeli tanah. Ketika pulang setelah hampir sepuluh tahun di rantau, aku tidak mengenali rumahku sendiri. Bapak membuat gapura di batas-batas tanah seolah-olah rumah dan tanah itu adalah milik pejabat daerah. Aku tidak habis pikir.

Pada keluarga kami, kekayaan itu justru seperti energi yang menekan ke-aku-an. Beberapa tembok di rumah dibobol. Atap dibongkar. Rumah semakin terbuka pada alam dan manusia. Banyak orang senantiasa datang dan pergi. Makan dan tidur di rumah. Bapak dan Mama bahagia dalam kondisi seperti itu. Aku yang malah bingung.”

“Tapi senang?” Vivi menaikkan satu alisnya.

“Senang! Aku merasa sudah merengkuh semua kecuali satu: Nat. Tidak berapa lama di kampung, Bapak dan Mama senang ketika tahu aku memutuskan akan menikahi orang yang sudah mereka kenal. Nat orang yang pandai, ramah, sedikit tertutup, tapi tentu tidak pernah malu kalau sedang bersama kami. Dia adalah orang paling jujur dan sabar yang pernah kukenal.

Aku sudah siap menjemput Nat di Soe waktu itu. Aku sudah sangat siap mendatangi keluarga Nat dan mengajaknya menikah, memilih tempat tinggal yang dia sukai, memilih cara menikah yang dia inginkan. Ternyata, Zito pulang ke Timor dengan visi yang sama. Sebelumnya, aku dan Zito tidak pernah bicara soal hati. Aku tidak pernah tahu dia juga menaruh hati pada Nat, dan sebaliknya. Pembicaraan kami selalu tentang pekerjaan, sesekali diskusi tentang situasi sosial dan pandangan politik mereka yang sedang panas-panasnya waktu itu. Dari merekalah aku pertama kali mengenal Timor.

Dari Soe, aku tidak mendapat kejelasan. ‘Apa yang Nat lakukan di sini? Mengapa aku tidak tahu rencananya sepulang dari Jawa? Mengapa keluarga Nat tidak memberiku petunjuk sama sekali?’ Sepanjang perjalanan pulang dari Soe, aku memikirkan begitu banyak hal dan kemungkinan. Kontak dengan Nat sudah putus. Zito masih kusimpan baik nomor teleponnya, tetapi tidak pernah terpikirkan olehku untuk menghubunginya. Selain biayanya pasti mahal, ya untuk apa? Aku sedang mencari Nat, bukan mencari Zito.

Di Jawa, aku segera mengurus dokumen supaya bisa pergi ke sini.Tidak butuh waktu lama. Dion dan teman-teman dari Timor, banyak yang tinggal di Jawa dan membantuku. Aku tiba di sini dan langsung menghampiri keluarga Zito di Dare. Di situlah aku menemui Nat. Dia terkejut. Apalagi aku. Nat sudah mengubah nama belakangnya. Jadi bule dia.” Rafiq terkekeh.

“Mereka pulang hanya untuk menikah kan?”

“Iya, menikah, tak lama kemudian mereka kembali ke Jawa. Nat bahagia sekali. Aku bisa melihat itu dari matanya. Sementara aku? Dalam rentang empat tahun, aku beberapa kali pulang dan pergi. Eh, pulang? Aku sekarang bingung, di mana tempat pulangku dan ke mana pergiku. Entahlah, hati selalu berlabuh di sini. Persinggahan di Jawa yang memakan waktu agak lama hanya ketika kematian Mama, menyusul Bapak 30 hari kemudian. Setelah itu, tahun 2014, tepat ketika patung Nicolau Lobato di Comoro diresmikan, aku tiba di sini untuk tidak akan pernah pulang lagi.” Rafiq menyeruput sisa-sisa minuman di dalam gelas. Aku menoleh ke arah Vivi karena mendengarnya menyedot ingus pelan.

“Heh, Ó nu’usá? Tanis ka?[2] Menangis dia.”

Lae, Maun! Mengada-ada saja.”

“Vi, masih boleh tambah?” Rafiq mengangkat slokinya. Vivi beranjak membawa pergi sloki kami yang sudah kosong, menggantinya dengan gelas yang lebih besar, masih berisi wiski dengan cola dan es. Rafiq melanjutkan kisahnya.

“Setelah itu?”

“Setelah itu, aku melakukan segalanya. Beli rumah, mengumpulkan tanah, belajar bahasa, solo traveling, segalanya. Segalanya, kecuali mencoba menghubungi Nat dan Zito. Aku masih penuh amarah waktu itu. Marah pada diri sendiri. Aku terlalu banyak berspekulasi, terlalu percaya bahwa hal-hal yang aku rancang pasti berhasil. Kalian bayangkan, selama sepuluh tahun aku jadi otak operasi, tidak ada satu pun pernah gagal. Kami membawa pulang uang setiap hari. Aku terus berinvestasi, uang berlipat ganda. Semuanya begitu terkendali.

Begitu juga dengan rasa cintaku pada Nat. Segalanya aman dan terkendali. Dia tentu tahu bahwa aku selalu ingin dekat dengannya. Dia pun tidak pernah menolak. Namun kalian tahu, dulu tidak pernah ada keharusan seseorang menyatakan cinta, lalu menunggu apakah ia diterima atau tidak. Satu hal yang pasti, hubungan kami sangat dekat waktu itu.” Rafiq berhenti. Ia menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Kuperhatikan, pandangan matanya seperti kembang yang mulai layu. Aku tak berani menatapnya lebih lama.

Katua’s sepi. Bar dan restoran sudah bersih dari para penghuni hotel. Waktu itu, kuduga fajar sudah hendak menyingsing. Jalanan mulai ramai kembali. Udara panas. Keringat.

“Hmm, cinta ya?” Mata Vivi menerawang jauh menembus langit-langit.

Loos, buat hotu akontese tanba domin.[3] Hingga sekarang usiaku 43 tahun, cintalah yang selalu menyelamatkan aku.” Jawab Rafiq. Vivi bangun dari duduknya.

“Mau diantar pulang?” Rasa-rasanya, aku masih kuat mengendalikan sepeda motor.

“Tidak usah. Aku tidur sebentar di belakang. Malas ketemu Mama. Tiada hari tanpa ribut. Aku tunggu dia berangkat ke kantor.” Ujar Vivi sambil mengangkut barang di meja kecuali asbak. Segera setelah Vivi masuk ke pintu dekat dapur, Rafiq pindah duduk ke sampingku. Dia mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik,

“Heh, bagaimana dengan kamu?”

“Bagaimana apanya?”

“Orang-orang bilang, kamu punya indra keenam? Bisa lihat hantu?” Aku tidak siap menerima pertanyaan itu. Sesuatu di dalam dadaku terketuk kemudian terbuka seketika, bagai jendela yang tak tertutup rapat. Tiba-tiba saja kami tidak hanya berdua di beranda.

“Tidak. Mereka mengarang saja.”

“Eh, jujur saja, Marcel. Aku tidak akan minta yang aneh-aneh. Kamu kenal aku dengan baik kan?”

Aku memalingkan muka ke jalan. Beberapa gerakan di sudut mata memanggil pandanganku ke arah rumah di samping Katua’s. Lampu-lampu sudah dimatikan. Pintu terbuka lebar tetapi penampakannya berbayang bak hologram. Seolah ada pintu lain, di dimensi yang lain. Aku tidak tahu mana pintu yang sesungguhnya.

Terdengar suara teriak amarah dan sakit yang tak tertahankan secara bersamaan. Di bawah pohon palma, sosok pemuda berkemeja putih dan celana panjang denim melambai-lambaikan tangan berusaha menarik perhatianku. Seiring lambaiannya, kemejanya merembeskan darah merah kehitaman. Sementara itu, seorang laki-laki dan perempuan sekitar usia tujuh puluhan berambut seluruhnya putih berdiri di belakang Rafiq. Mereka bagai menyatu dengan tubuh Rafiq, mengelus-elus kepala dan punggungnya dengan tatapan kasih sekaligus iba.

“Kamu lihat apa?” Rafiq menekan.

Aku mencari-cari pemuda di rumah sebelah. Wajahnya tampil di balik pagar. Tangan kanannya berpegangan di jeruji, tangan kirinya terkepal di udara. Ia menyeringai padaku.

“Aku melamun tadi.”

“Kamu melihatnya. Sudah kuduga kabar itu pasti benar.”

Aku menarik nafas panjang, mencoba fokus. Mungkin esok, aku harus mencoba menutup jendela di dadaku rapat-rapat, atau paling tidak, aku harus berlatih memasang kuncinya dengan baik.

“Ayo, kuantar pulang.” Aku menepuk lengan Rafiq. Dia mengangguk dan mulai memasang helm. Dalam perjalanan pagi itu, kami berdua sama sekali tidak bicara.

Seperti pun luka, setiap orang harus kuat merawat rahasianya masing-masing. Hidup berjalan maju, cepat, dan seringkali menghajar tanpa aba-aba.(*)

*** Dari Beranda Katua’s

[1] “Ini teman saya, Marcel.” (Portugis)
[2] “Kamu kenapa? Menangis?” (Tetun)
[3] “Betul, semua terjadi karena cinta.” (Tetun)

Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung | Di Beranda Katua’s

Baca juga:
Cerpen Dewi Kharisma Michellia – Teratai Merah Isan
Cerpen Jeli Manalu – Kucing Penunggu Susteran


Komentar Anda?