Menu
Menu

Tak ada orang yang berjalan mundur. Semua orang berjalan maju.


Oleh: Mashdar Zainal |

Lahir di Madiun 5 Juni 1984. Suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di berbagai media. Kumpulan cerita terbarunya Lumpur Tuhan adalah Pemenang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, 2017. Kini bermukim di Malang.


Hari ketika Suna dilahirkan adalah hari yang sangat biasa. Seperti hari-hari lain. Hanya saja, bagi ibu Suna, hari itu adalah hari paling lelet sedunia. Ibu Suna pergi ke Bu Bidan pukul lima pagi diantar suaminya dengan mengendarai bentor: becak motor, dan Suna lahir pukul satu dini hari, atau dua puluh jam setelahnya—yang sudah terhitung hari berikutnya.

Ketika bayi Suna terlepeh dari rahim ibunya, kepalanya menghadap ke bawah, tapi Bu Bidan melihat dua puting mungil serta tali pusar bayi itu telah menantang langit-langit. Bu Bidan beristighfar, sebab menyangka bayi itu tidak selamat lantaran kepalanya terpelintir ke belakang, sampai detik berikutnya, tangisnya membahana, mengabarkan tanda kehidupan.

Semua orang segera sadar dengan keanehan itu, kecuali ibu Suna sendiri, sebab ia terlampau letih setelah mengampu rasa sakit paling purba yang hanya bisa diampu oleh para perempuan. Ibu Suna lemas dan pingsan, hingga ketika ia sadar, Bapak Suna menangis sambil menyerahkan bayi Suna yang tengkurap di balik kain bedong—tapi dengan kepala menengadah—ke dekapan ibunya. Mula-mula, ibu Suna tak tahu bahwa bayinya membawa keganjilan, hingga tanpa sengaja ia melihat sepasang tumit mungil Suna yang terbalik. Ibu Suna memeriksa tubuh bayinya, lalu kembali pingsan.

Singkat cerita, ibu Suna masih tetap seperti kebanyakan ibu di dunia ini yang tak pernah menolak anaknya, seperti apa pun wujud sang anak, bahkan seandainya ia dilahirkan dengan wujud bekicot. Ibu Suna merawat Suna sebagaimana kebanyakan ibu di dunia ini merawat anak-anaknya. Segenap nyawa penuh seluruh diserahkan. Maka, segalanya lekas menjadi hal biasa bagi ibu Suna. Ketika Suna berbaring terlentang, kepalanya akan mencium tanah. Sebaliknya, ketika kepala Suna menengadah ke langit-langit, segenap tubuhnya tengkurap ke tanah. Untuk hidup normal di sekeliling kejanggalan hanya butuh satu cara: terbiasa. Itulah yang dilewati keluarga Suna, tetangga-tetangga Suna, serta siapapun yang telah lama mengenal Suna.

Maka, ketika pertama kali Suna belajar merangkak, ia pun merangkak mundur. Dan ketika ia sudah mulai bisa berjalan, maka ia pun berjalan dengan cara mundur—kelak Ibu Suna akan bersikeras bahwa tak ada seorang pun di dunia ini yang berjalan mundur. Ketika Suna buang air kecil, ia tidak bisa melihat cairan najis itu meluncur dari jalan pipisnya, sebaliknya, ketika ia buang air besar, ia bisa melihat segalanya lebih gamblang. Lalu bagaimana cara Suna makan? Sama seperti anak-anak lain makan. Satu hal yang berbeda dari Suna adalah: ia tidak berjalan memunggungi, tapi ia berjalan mendadai. Ia mendatangi apa pun yang ada di depan punggung, dan ia meninggalkan segala yang ada di balik dada. Ketika mandi, Suna akan lebih mudah membersihkan punggungnya ketimbang dadanya. Semua berjalan apa adanya sampai Suna beranjak remaja, lalu menapak dewasa.

Jangan menanyakan, seperti apa ekspresi pertama kali orang-orang saat menjumpai Suna? Kau bisa menjawabnya dengan membayangkan, apa yang akan kau rasakan (serta utarakan) ketika kau melihat juntaian rambut menutupi dada, seperti dalam film-film hantu khas Jepang. Tapi Suna tak pernah cemas, ibunya telah jauh-jauh tahun mengajarkan bagaimana cara menghadapi orang-orang. Ketika orang-orang menganggap apa yang terjadi pada diri Suna sebagai keanehan, ibunya akan mengatakan itu sebagai keajaiban. Ibu Suna tak pernah lelah menyampaikan hal itu pada siapa pun, bahwa itu sebuah keajaiban.

“Seperti apa rasanya berjalan mundur?” suatu ketika, saat umur Suna mencapai tujuh belas tahun, pertanyaan itu muncul kembali dari mulut kawan Suna.

Dan Suna gegas menjawab, “Aku tak pernah berjalan mundur. Tak ada orang yang berjalan mundur. Semua orang berjalan maju.”

Kawan Suna cuma bungkam, menyadari pertanyaan yang tak seharusnya. Tapi Suna sudah terlanjur berang.

“Tak seorangpun bisa berjalan mundur, ia hanya bisa berjalan maju,” lanjut Suna, “Mudah saja, bagaimana bisa kau kembali pada waktu yang sudah lewat, meski itu cuma sedetik yang lalu. Orang-orang pergi memunggungi yang di belakang mereka, mereka mati, meninggalkan kenangan, meninggalkan masa lalu. Tapi mereka tak pernah berjalan mundur. Mereka tak pernah bisa melihat ke belakang, semua yang mereka tatap adalah apa yang ada di depan mereka. Ketika kita berbicara soal depan-belakang, maju-mundur, maka kita berbicara perihal di mana letak wajah kita menghadap, ke mana kedua mata kita tertuju. Itu sama seperti kau tak pernah bisa melihat bagian belakang dari kepalamu sendiri, kecuali menggunakan cermin. Maka, aku tak tahu seperti apa rasanya berjalan mundur, karena tak seorangpun di dunia ini berjalan mundur.”

Suna mendapatkan pelajaran soal berjalan mundur itu dari ibunya. Susunan kata-katanya persis seperti itu. Dulu, ketika pertama kali Suna merangkak mundur, seorang tetangga berkomentar, “Bagaimana mungkin ia merangkak mundur?” Dan Ibu Suna, dengan segenap pengetahuannya memuntahkan kata-kata penuh kejengkelan itu. Persis. Seperti kelak yang diajarkannya kepada Suna.

Betapapun sang ibu telah menyiapkan jutaan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Suna terkait keajaiban yang dianugerahkan pada dirinya, tetap saja, Suna merasa aneh, bukan ajaib. Kerap kali Suna memikirkan, bahwa barangkali ia memang berjalan mundur, bahwa barangkali ia memang aneh—dan bukan ajaib seperti kata ibunya. Dalam kamarnya, Suna kerap berdiri di depan cermin. Dan ia hanya bisa menatap sebentuk punggung dan pantat nyaris rata yang tertutup blus. Semakin lama Suna menatap bayangan dirinya, semakin ia menyadari bahwa dirinya memang tak lumrah. Ia lebih mirip hantu ketimbang manusia. Dan satu hal lagi yang tak pernah disinggung orang lain perihal diri Suna, bahkan ibunya: Suna tak pernah bisa menatap masa depan.

Seandainya masa depan adalah gambar-gambar yang ada di layar, maka bagi Suna layar itu hanya layar kosong kelabu. Ketika semua gadis berbincang tentang cita-cita, pernikahan, dan masa depan, Suna hanya diam. Sebab, diam-diam, Suna berpikir, bahwa wajah yang menghadap sejajar ke punggung hanya bisa menatap ke masa lalu. Bukan masa depan. Dan begitulah, semua yang ada di hadapan Suna: hanyalah masa lalu. Kejadian-kejadian yang pernah ia lewati. Berulang dan berulang. Masa depan Suna suram, sebab wajahnya menghadap ke belakang.

Suna berpikir, bahkan sejatinya, ibunya tak pernah tahu seperti apa rasanya menjadi dirinya, perempuan dengan wajah terbalik. Betapapun kalam-kalam bijak itu beruahan dari mulut ibu, tetap saja, ibu tak pernah bisa merasakan dengan tepat apa yang dirasakan Suna, sebab wajah ibu tak menghadap ke belakang. Lantas, apakah kemudian akan berguna kalau Suna membeberkan rahasianya pada ibu, bahwa ia kesulitan memiliki cita-cita, bahwa ia buta akan masa depan.

Bagimanapun, di hadapan ibu, Suna hanya anak-anak, dan ibu akan selamanya menjadi ibu. Maka, atas semua kemurungan yang merundung Suna, ibu dapat menangkapnya dengan sempurna.

“Seandainya bisa, ibu ingin memiliki wajah yang menghadap ke belakang sepertimu,” bisik ibu, “hanya saja, untuk menjadi seperti itu, ibu harus memlintir kepala ibu sendiri, atau memenggalnya dan kemudian memasangnya secara terbalik, seperti memasang kepala boneka. Apa kau mau ibu melakukannya?”

Suna hanya menggumam, penuh kesedihan, “Ah, seandainya kita sebuah boneka.”

“Apa yang membuatmu risau, Suna? Tidakkah cukup ibu dan orang-orang terdekatmu menerimamu, menyayangimu sepenuh hati? Kau istimewa, Suna. Kau keajaiban bagi kami. Jadi, apa yang membuatmu risau?”

Suna menatap wajah ibunya dan mulai terisak. Dengan luapan emosi yang terkumpul, ia pun berkata terbata, “Masa depan. Aku risau akan masa depan. Tak pernah ada masa depan bagi gadis yang wajahnya terus menatap ke belakang dan berjalan mundur. Ia hanya menjauhi masa depan dengan terus menatap ke belakang. Itulah aku.”

Ibu Suna tertegun, “Kita sudah pernah membahas itu, Suna. Siapa bilang kau tak memiliki masa depan. Semua orang memiliki masa depan, sebab semua orang menghadap ke depan seperti yang pernah ibu katakan. Dan yang harus kau pahami, masa lalu dan masa depan adalah garis lurus. Satu garis yang sama. Dan kau berada di antaranya. Pembatas dari masa lalu dan masa depan adalah dirimu sendiri. Maka, tak ada seseorang yang tak memiliki masa depan. Dan masa depan seseorang, sebenarnya bisa dilihat dari masa lalunya, jika diri batas masa lalu dan masa depan itu tak pernah bergerak, hanya menggelinding maju, bisa jadi masa depan seseorang takkan ada bedanya dengan masa lalunya. Jika kau mengira masa depanmu suram, maka kau telah melihat masa lalumu juga suram. Apakah kau merasa bahwa masa lalumu sesuram itu? Katakan dengan cara apa ibu bisa membantumu!”

Suna tertegun, isaknya semakin tegas. Harusnya punggung Suna yang berguncang. Tapi tidak. Dadanya yang berguncang.

“Kunci dari itu semua adalah dirimu sendiri, Suna.” Sambung ibunya, “Sebab kaulah pembatas yang bisa mengubah apa yang di depan dengan melihat apa yang ada di belakang. Kau bisa belajar banyak dari yang sudah kau lalui, Suna. Dengan itu seseorang merancang masa depan. Sebab sekali lagi, tak seorangpun berjalan ke belakang. Tak ada waktu yang berjalan mundur. Semuanya melaju ke depan. Sejajar dengan garis lurus waktu. Mendekati titik akhir dari garis lurus itu. Dan ketika titik akhir itu kau capai, maka masa depanmu telah berakhir. Dan masa depan yang lain menanti. Semua kau yang memutuskan…” dan ibu menyingkir dari hadapan Suna, keputusasaan mencuat di antara wajahnya yang mulai keriput.

Suna menyimak semua kata-kata ibu, meski ia tak paham sepenuhnya, sebab yang ada di kepalanya hanya masa silam, bayangan-bayangan berkelebat, pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah tuntas: mengapa ia dilahirkan dengan wajah terbalik? Dari hari ke hari, kemurungan Suna kian memuncak. Hari-harinya habis di dalam kamar, di muka cermin. Sampai ia menemukan ibunya berbaring tak bergerak di atas dipan, dengan tubuh tengkurap, dengan kepala menengadah ke langit-langit.

Di sebelahnya, bergeming selembar kertas, dengan tulisan tegas, tapi penuh gurat emosi: Seseorang bisa dengan mudah menghentikan langkah, tapi ia takkan bisa berjalan mundur. Jadi, Suna tak pernah berjalan mundur. Suna tak pernah berjalan mundur.***


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga:
Sejarah, Ingatan, dan Fiksi
Gerakan Sentrifugal dalam Mama Menganyam Noken


2 thoughts on “Suna Tak Pernah Berjalan Mundur”

  1. Ashar Yunus berkata:

    Sangat menyentuh hati pembaca

  2. dedytea2019 berkata:

    cerpen yang keren. metaforik akan sesuatu dan terasa riil.

Komentar Anda?