Menu
Menu

… katanya dulu bintang-bintang hidup di langit,/ tapi kini mereka memilih sembunyi di lidah mama, …


Oleh: Surya Gemilang |

Lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Ia telah lulus dari Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015),Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), dan Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2019). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara NTB, Bali Post, Riau Pos, Basabasi, dan lain-lain.


Masinis

papa rajin merokok—sebab itu
_____ aku membayangkan diriku masinis:
__________ aku bakal duduk di gerbong terdepan,
________________ keretaku mesti yang merah muda,
__________ aku bakal mengeluarkan asap dari
_____ cerobong, tak jauh berbeda
dari mulut papaku yang melulu
_____ mengerucut menyembur asap—mulutku
__________ pun bakal seperti itu sepanjang laju zigzag
________________ kereta, tapi cuma bunyi tut tut tut yang keluar
__________ dari mulutku, plus udara bersih berbau
_____ susu stroberi.

(Batam, Januari 2022)

.

Darah Papa

papa meneteskan darahnya ke lidahku
tiga kali sehari
darah dari telapak tangan
yang ia sayat dengan pisau cukurnya

sebab aku anak lelaki

“dan lelaki yang kuat,
lelaki yang mencecap
pahit masa dewasa
dari sekarang,”
kata papaku

*

ketika dewasa
saat kusayat telapak tanganku
dengan pisau dapur
kuteteskan darah sendiri ke lidah:

lidahku melepuh

(Batam, Januari 2022)

.

Bisikan dari Maut

dan sesungguhnya mautlah berbisik padamu
jika pada kuping hangatmu
sesuatu mendesis: “kau di jalan yang benar.”

dan sesungguhnya tak ada satu pun setapak
penuh kelopak mawar bagimu,
di depanmu hanya terentang seutas rambut
menuju gubuk di mana ibumu menunggu,
di depan pintu, melambai-lambai padamu,
berkata padamu:

“kembalilah dalam pelukku.”

dan sesungguhnya tak ada lagi rumahmu,
termasuk dalam pelukan ibumu;
semua yang menahanmu di situ telah mati
saat 21 tahun umurmu, semua mati
dan tinggal hantu-hantu pembujuk yang keji

maka berbaliklah,
tinggalkan seutas rambut itu,
tubuhmu terlalu berat dan berharga
untuk jatuh pada entah-apa-di-sana,
di bawah jalan pulangmu

dan sesungguhnya mautlah berbisik padamu
jika pada kuping hangatmu
sesuatu mendesis: “berbaliklah pada jalan yang benar.”

(Batam, Januari 2022)

.

Lidah Mama dan Bintang-Bintang

bintang-bintang hidup di lidah mama.
katanya dulu bintang-bintang hidup di langit,
tapi kini mereka memilih sembunyi di lidah mama,
sejak orang-orang dewasa sibuk terbang dan menyala di langit.

bintang-bintang menyala di lidah mamaku,
setiap malam setiap mama mendongeng padaku.
bintang-bintang melompat padaku dan masuki telinga,
di cermin kulihat mataku memancar cahaya.

“kenapa bintang-bintang tak pernah mampir ke lidahku?”
tanyaku kepada mama. “bukankah bintang-bintang
tetap dalam kepalaku
saat aku tertidur?”

“saat kau tidur,” jawab mamaku, “bintang-bintang
menemukan pintu rahasia di pulau mimpimu,
mereka keluar darimu
dan kembali hidup di lidahku.”

ketika mama meninggal,
aku takut tak lagi melihat
bintang-bintang hidup di lidahnya. di halaman
rumah duka kutengok langit malam: orang-orang dewasa
sibuk terbang serta menyala di sana: orang-orang dewasa
—selain mama—hanya ingin menjadi bintang tanpa
memelihara bintang
di lidah mereka.

dan ketika aku pulang,
dan ketika kumasuki kamar,
ruangan menyala membuat tubuhku menghangat:
bintang-bintang hidup di langit-langit kamarku.

(Batam, Januari 2022)

.

Wajah-Wajah di Punggung Ayah

selain pada kepala, ayah memiliki wajah-wajah lain
pada punggungnya, wajah-wajah itu sama
seperti pada kepala, namun dengan raut berbeda.

sejak aku mampu mengingat, ibu
selalu mengambil satu wajah di punggung ayah
untuk ia kenakan ke pasar, wajah lain dari punggung yang sama
untuk ke rumah tetangga, wajah lain lagi
ke mana pun dirinya pergi—ibu selalu memakai wajah-wajah
ayah seperti topeng di mana pun dirinya berada;
wajah asli hanya terlihat selama ia di rumah,
selama tak ada seorang tamu pun yang datang.

aku lebih suka wajah asli ibu ketimbang wajah-wajah
di punggung ayah. begitupun wajahku
—aku lebih suka wajah asliku.

namun, ketika aku berusia enam tahun,
dan ayah bilang angka enam adalah angka yang gagah
bagi anak lelaki, ia selalu menyuruhku
memakai wajah-wajah pada punggungnya: untuk ke sekolah
atau ke taman bermain atau
ke pasar bersama ibu; aku hanya memakai wajah asli
selama di rumah, selama tak ada seorang tamu pun
yang datang.

sejak berusia enam tahun pula aku sering menatap cermin
sebelum tidur: apa yang salah dari wajah asliku?

apa yang salah dari wajah asli ibuku?

apa wajah di kepala ayah adalah wajah aslinya?
apa wajah di kepala ayah hanyalah salah satu wajah
dari punggungnya?

aku lebih suka wajah asliku; aku tak suka melihat cermin
ketika wajah ayah menutup wajah asliku.

setelah ibu meninggal, waktu itu usiaku sepuluh tahun,
ayah mulai menyuruhku untuk tidur
menggunakan salah satu wajahnya, wajah dengan raut
paling aneh untuk digunakan seseorang yang tidur:
dahinya mengernyit, matanya memejam, seperti seorang
pemikir yang enggan bangun dari segala pikiran serius.

setelah setahun berturut aku tidur memakai wajah yang sama,
suatu pagi aku terbangun dan tak mampu melepas wajah tersebut.
kutatap cermin: aku rindu wajah asliku segera.
dan, ada yang aneh pada punggungku—benjolan-benjolan muncul,
amat-sangat perih, aku menangis, tak berani menatap
punggungku melalui cermin, dan ayah segera memasuki kamarku.

ayah pun tersenyum.

“akhirnya tumbuhlah, wajah-wajah itu.”

(Batam, Januari 2022)


Ilustrasi: Foto Kaka Ited (diolah dari sini)

Baca juga:
Puisi Li-Young Lee – Rahasia yang Kami Bagi
Puisi-Puisi Ama Achmad – Mengunjungi Dapur Ibu
Puisi-Puisi Rachmat Hidayat Mustamin – Delapan Sekuen


Komentar Anda?