Menu
Menu

Buku Bisikan Tanah Penari (JSM Press, Oktober 2021) merupakan buku puisi tunggal keenam karya Rissa Churria.


Oleh: Sofyan RH. Zaid |

Lahir di Sumenep 08 Januari 1986. Alumnus Filsafat dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta. Buku puisi tunggalnya Pagar Kenabian masuk 15 nominasi Anugerah Hari Puisi Indonesia tahun 2015. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Inggris, Arab, dan Italia yang dimuat dalam buku Oikos Poeti Per Il Futuro (Mimesis Classici Contro, Milano, Italia, 2020).


Identitas Buku
Judul novel: Bisikan Tanah Penari
Pengarang: Rissa Churria
Penerbit: JSM Press
Tahun terbit (edisi bahasa Indonesia): 2021

***

“Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: Ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin.” – Goenawan Mohamad

Sebelum Mendengarkan: Perihal Puisi Lokalitas

Menulis puisi lokalitas tidaklah mudah. Ada dua tantangan yang harus dihadapi oleh seorang penyair. Tantangan pertama, ia harus melakukan riset yang panjang dan mendalam. Tantangan kedua, ia wajib mengalihkan hasil riset tersebut ke dalam bentuk puisi.

Tantangan pertama, semua orang bisa berhasil melakukan selama ia punya waktu, metodologi, kehendak, dan kapital. Namun, untuk tantangan kedua, tidak semua orang bisa berhasil melakukannya. Data sebagai hasil riset dengan puisi sebagai karya kreatif merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya juga membutuhkan disiplin ilmu yang berbeda.

Penyair yang menulis puisi dari hasil riset dituntut sanggup mengolah data yang diperoleh menjadi puisi yang berhasil. Keberhasilan tersebut, paling tidak –kalau meminjam teori Sutardji Calzoum Bachri- bila yang kita makan telur yang keluar jangan lagi telur.

Menulis puisi dari hasil riset, serupa orang makan, butuh dikunyah secara halus kemudian ditelan. Proses lain terjadi di dalam usus, dan jadilah energi, dan keluarlah kotoran. Apa yang dihasilkan dan apa yang dikeluarkan bukan lagi makanan.

Jadi, jika ada orang yang bilang: “sastra itu butuh riset”, iya, itu benar. Namun, apakah hasil risetnya itu sanggup diolah jadi karya sastra? Itulah pertanyaan besarnya dan yang paling penting! Lantas, bagaimana dengan puisi-puisi Rissa dalam buku ini?

Buku Bisikan Tanah Penari (JSM Press, Oktober 2021) merupakan buku puisi tunggal keenam karya Rissa Churria setelah Harum Haramain (2016), Perempuan Wetan (2017), Blakasuta Liku Luka Perang Saudara (2019), dan Matahari Senja di Bumi Osing (2020). Buku ini diberi prolog oleh Riri Satria, epilog oleh Sunu Wasono, dan endorsemen dari banyak nama keren, seperti Samsudin Adlawi, Kurnia Effendi, Nia Samsihono, Gambuh R Basedo, Harris Priadie Bah, Nanang R. Supriyatin, Budhi Setyawan, Dyah Kencono Puspito Dewi, dan lainnya. Rissa bisa dibilang, salah seorang penyair perempuan Indonesia yang namanya cukup familiar di kalangan sastra Asia Tenggara. Mungkin karena pergaulannya yang luas dan banyak diundang mengikuti acara di luar negeri.

Puisi-puisi Rissa dalam buku ini, sebagaimana diungkapkan oleh Riri Satria dan Sunu Wasono, banyak memuat kearifan lokal Banyuwangi, kota eksotik di ujung Timur pulau Jawa. Mulai dari tempat bersejarah, budaya, mitos, wisata, sampai sastra lisan. Dengan kata lain, inilah salah satu buku puisi di Indonesia yang sepenuhnya memuat puisi-puisi lokalitas.

Mulai Mendengarkan: Meminjam Telinga Kuntowijoyo

Bagaimana cara mengolah data hasil riset menjadi puisi sebagai karya sastra? Kuntowijoyo menulis dalam Budaya dan Masyarakat (1987), bahwa ada tiga cara seorang penyair dalam menuliskan suatu objek atau sebutlah hasil riset menjadi puisi:

Pertama, menulis puisi dengan cara meniru atau melukiskan apa yang dilihat melalui teks. Dia melakukan pemindahan objek dari alam nyata ke alam kata-kata (mimesif). Kedua, menulis puisi dengan cara melakukan dialog imajiner dengan apa yang dilihat melalui teks. Dia mencoba melakukan refleksi atau interaksi-kritis terhadap objek tersebut (interaktif). Ketiga, menulis puisi dengan cara ‘menciptakan ulang’ objek yang ada melalui teks. Dia mencoba meletakkan objek lain di atas objek yang nyata atau bahkan menggantinya (dekontruksi kreatif).

Nah, puisi-puisi Rissa dalam buku ini cenderung bergerak pada tataran yang pertama. Rissa seperti hanya memindai apa yang dilihat, didengar, dan dirasa perihal Banyuwangi ke dalam puisi. Namun ada beberapa puisi yang juga sampai pada level kedua, misal pada puisi “Meraba Wajah Ijen”, “Angin Sidrah Kawah Merapi”, Sahadat Bumi”, dan lainnya. Sementara itu, puisi yang sampai pada level ketiga, belum ditemukan.

Berarti, buku Bisikan Tanah Penari karya Rissa Churria ini adalah buku puisi yang gagal? Mari kita pindah ke telinga Subagio.

Terakhir Mendengarkan: Meminjam Telinga Subagio Sastrowardoyo

Subagio Sastrowardoyo dalam “Mengapa Saya Menulis Sajak” di buku Keroncong Motinggo (1992) mencoba membandingkan antara melukis dengan menulis. Dia akhirnya memilih menulis sajak daripada melukis. Sajak baginya lebih mampu mewakili sari pikiran dan perasaannya serta mampu bersuara pada pembaca. Sementara lukisan baginya tidak sanggup, ia sebut sebagai ‘seni bisu’.

Bertolak dari Subagio di atas, saya kira apa yang dilakukan Rissa sudah tepat. Dia memilih mengabadikan Banyuwangi melaui puisi dengan buku ini daripada melalui lukisan, foto, atau video. Kenapa tepat?

Tidak ada yang abadi dalam hidup ini. Tidak menutup kemungkinan, bahwa apa yang ada sekarang, pada akhirnya akan hilang perlahan seiring zaman, misalnya kesenian Janger di Banyuwangi. Tidak ada lagi yang tertarik melestarikan kesenian tersebut, orang akan lebih perhatian pada hal-hal baru. Beruntungnya, Rissa telah mengabadikannya ke dalam bentuk puisi di buku ini.

Kemudian apa yang membedakan antara puisi tentang lokalitas, misal Janger dengan lukisan, foto, atau video dengan objek yang sama? Bedanya adalah lukisan, foto, atau video tetap saja ‘sesuatu yang bisu’. Ia tidak bisa menyatakan pada kita deksripsi, filosofi, dan relevansinya dibanding apa yang bisa dilakukan oleh puisi.

Setelah Mendengarkan: Mengatakan yang Banyak dengan Cara yang Sedikit

Setelah mendengarkan dengan saksama Bisikan Tanah Penari ini, saya juga ingin berbisik tanpa basa-basi pada Rissa, bahwa puisi –dalam hemat M. Faizi- adalah mengatakan yang banyak dengan cara yang sedikit. Saya banyak menemukan hal sebaliknya dalam buku ini, yakni puisi-puisi Rissa kadang ‘mengatakan yang sedikit dengan cara yang banyak alias redundant!

Mari kita ambil contoh, misalnya pada puisi “Mepe Kasur” di salah satu baitnya tertulis:

ritual jemur kasur
mitos yang terpelihara
serupa lelehan cerita tak habis
dari generasi ke generasi yang terus
berjalan hingga kini

Larik: serupa lelehan cerita tak habis/ dari generasi ke generasi yang terus/ berjalan hingga kini ini merupakan larik yang boros, Rissa memakai “tak habis”, “terus berjalan hingga kini” hanya untuk menyatakan bahwa tradisi mepe kasur itu masih bertahan sampai sekarang.

Contoh lain pada puisi “Gemuruh di Langit Ijen” di salah satu baitnya juga tertulis:

edelweis lambang cinta
tumbuh bermesra di ladang damai
alam mengajarkan tulus
tanpa pamrih dan balasan

Larik: alam mengajarkan tulus/ tanpa pamrih dan balasan juga merupakan larik yang boros. Dia sudah menggunakan kata “tulus”, kemudian “tanpa pamrih atau balasan”. Dua hal yang sama, atau menjelaskan kata tulus secara tersurat, yang seolah-olah pembaca tidak akan paham perihal definisi tulus.

Hal-hal semacam itu, semoga bisa dihindari Rissa di puisi-puisi selanjutnya, sebab kesia-siaan tidak akan memberikan apa-apa.

Terakhir, selamat atas terbitnya buku ini. Benar apa yang pernah disampaikan Maman S. Mahayana dalam sebuah diskusi tentang lokalitas dalam sastra bahwa “ketika kita kurang mengenal persoalan etnis, sastra sebetulnya dapat menjadi pintu masuk”. Dengan demikian, terlepas dari ulasan ini, melalui Bisikan Tanah Penari Rissa berhasil membuat pintu masuk untuk tanah kelahirannya, Banyuwangi, bagi siapa saja yang ingin masuk dan mengenalnya lebih dalam.(*)

Tentang Sofyan RH. Zaid (sambungan)

Puisi dan esainya juga terbit di sejumlah media, seperti  Media Indonesia, Jawa Pos, Bali Post, Indopos, Padang Ekspres, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Seputar Indonesia, Solopos, Merapi, Suara NTB, Banjarmasin Post, Metro Jambi, Minggu Pagi, Horison, Annida, Sahabat Pena, Kuntum, dan lainnya.

Sofyan RH. Zaid kini tinggal di Bekasi sebagai editor dan founder Taretan Sedaya International. Bukunya yang akan segera terbit: Kaidah Puisi dan Akidah Kepenyairan (TareBooks, 2022)


Baca juga:
Lima Fungsi Imaji Biblikal dalam Komuni Karya Saddam HP
Cold War: Romansa yang Terjebak dalam Politik Ideologi Negara
Green Book: Drama Perjalanan untuk Saling Memahami


1 thought on “Mendengarkan Bisikan Tanah Penari Karya Rissa Churria Lebih Saksama”

  1. people berkata:

    saya akan menjelaskan lebih detail mengenai isi buku “Bisikan Tanah Penari” karya Rissa Churria:

    1. Tema-tema Utama:
    – Alam dan Lingkungan: Banyak puisi yang mengangkat keindahan alam, hubungan manusia dengan alam, serta pentingnya menjaga lingkungan.
    – Spiritualitas dan Mistisisme: Terdapat puisi-puisi yang merefleksikan dimensi spiritual, keyakinan, dan pengalaman mistis.
    – Identitas dan Pengalaman Hidup: Puisi-puisi juga mengeksplorasi pertanyaan tentang identitas diri, pengalaman, dan perjalanan hidup.
    – Budaya dan Tradisi: Beberapa puisi mengangkat unsur-unsur budaya dan tradisi lokal yang memengaruhi kehidupan penyair.

    2. Gaya Penulisan dan Bahasa:
    – Rissa Churria menggunakan bahasa yang sangat puitis, imajinatif, dan kaya akan metafora.
    – Struktur puisi bervariasi, ada yang berbentuk lirik, naratif, maupun prosa puitis.
    – Penggunaan bahasa yang indah dan musikal, sehingga menciptakan suasana yang kuat dan menghanyutkan.
    – Terdapat banyak penggunaan simbol-simbol alam, benda, dan fenomena alam untuk menyampaikan makna yang lebih dalam.

    3. Penggambaran Alam dan Lingkungan:
    – Alam menjadi latar dan inspirasi utama dalam banyak puisi, mulai dari hutan, gunung, sungai, hingga tanah.
    – Rissa Churria menggambarkan alam dengan sangat indah dan hidup, seolah-olah pembaca dapat merasakan kehadiran dan suasana alam tersebut.
    – Puisi-puisi tersebut juga menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga dan menghargai alam.

    4. Refleksi Spiritual dan Mistis:
    – Beberapa puisi mengeksplorasi dimensi spiritual, keyakinan, dan pengalaman mistis penyair.
    – Terdapat penggunaan simbol-simbol dan bahasa yang kental dengan nuansa spiritual dan mistis.
    – Puisi-puisi tersebut mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan yang lebih dalam.

    Secara keseluruhan, buku “Bisikan Tanah Penari” karya Rissa Churria merupakan kumpulan puisi yang kaya akan imajinasi, bahasa yang indah, serta eksplorasi tema-tema penting seperti alam, spiritualitas, identitas, dan pengalaman hidup. Karya-karya dalam buku ini mampu membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang diciptakan oleh penyair.

Komentar Anda?