Menu
Menu

“Di matamu, ini tak lain daripada setangkai bunga jelita yang rapuh, tak berdaya, tetapi ia sedang membunuhku,” tegas Ferdinand, membuat Marius terkejut dan bertanya: “Mengapa gerangan begitu?”


Oleh: Sarita Rahel Diang Kameluh |

Lahir di Surabaya, pada tanggal 10 April 1998. Menempuh pendidikan di jurusan Teknobiomedik di FH Aachen, Jerman. Beberapa karyanya tersiar di media daring dan cetak.


Untuk seorang kawan, H.

Musim panas di Göttingen adalah dengung falsetto lebah madu, langit samudera tak berawan penuh roh-roh yang mati tenggelam di Weissbier, mekarnya mahkota wangi berwarna pelita seperti matahari. Tanah hitam berubah bermekaran pelangi. Taman Botanischer Garten tampak riuh oleh bising kumandang kawin kumbang. Dedaunan oak bergelantung seperti mimpi-mimpi, meliuk lamban seperti api.

Ketika para pelajar Georgia-Augusta menggelar tirai untuk piknik di Botanischer, mencuci mata dengan bunga-rerumput setelah ternoda oleh tinta tulisan buku, Ferdinand von Sigismund hanya termenung dengan sesak di dada. Di kedua paru-parunya tumbuh bunga-bunga musim panas Göttingen: mawar, anyelir, oleander, acerola, dafodil, tulip Belanda. Sudah tiga bulan ia batuk-batuk mengeluarkan petal beragam warna. Mulai warna kuning langsat, hijau alang-alang hingga merah kamelia. Ia tak tahu mengapa benih anyelir dan mawar memilih tubuhnya untuk tumbuh? Mengapa tidak tanah, bebatuan, kerak dinding ataupun di lengan ukiran perunggu Gänseliesel di Altstadt? Dan ia tahu persis, bahwa para pujangga dan penyair mati karena tersedak bunga-bunga di dalam dadanya. Seringkali akarnya merambat ke pembuluh, lalu menghisap darah supaya tumbuh. Bunga mawar dengan durinya gemar menusuk dinding selaput dada, begitu pula dengan kamelia merah, yang menjadi ternama semenjak ia membunuh pelacur jelita di rumah sundal borjuis Paris.

“Ah, itu berarti kau memiliki jiwa yang indah,” sela kawan seorang pengukir, Marius Weber, yang sudah lama mengagumi keelokan Ferdinand. Bulir matanya seperti batu kecubung, rambutnya ikal keemasan gelap, wajahnya berparas marmer Maestro Praxitelles, bibirnya berwarna seperti sinabar. Marius sering berandai bahwa Ferdinand adalah seorang wanita, sehingga ia diperbolehkan untuk jatuh cinta padanya. Tetapi ia seorang Venus de Milo tanpa buah dada, seorang David yang matanya menyihir dengan kobaran suluh meraup bintang-bintang, bertubuh digerogoti penyakit tersedak bunga musim panas.

“Hentikan omong kosong itu,” keluh Ferdinand yang masih terkapar lesu di ranjangnya, masih dengan desah-desahan menciut di dada, “keindahan itu tidak ada. Tengoklah bunga dafodil ini,” ia menyuguhkan setangkai dafodil kuning ke wajah sang pengukir. “Di matamu, ini tak lain daripada setangkai bunga jelita yang rapuh, tak berdaya, tetapi ia sedang membunuhku,” tegas Ferdinand, membuat Marius terkejut dan bertanya: “Mengapa gerangan begitu?”

Dengan sedikit lantang, Ferdinand melanjutkan, “sebab keindahan adalah doa-doa manusia yang berjiwa lelah. Suatu ranah yang semu. Jiwa mereka haus dan tandus seperti gurun sahara, lalu mereka menciptakan oasis dan pohon kurma. Demikianlah Tuhan “berbicara” pada Musa di Bukit Sinai. Tanpa Tuhan, manusia tampak berkelana tanpa rasi bintang, merayap di bayang-bayang malam, melalang buana ke langit hampa. Tanpa keindahan, manusia kehilangan sosok malaikat bertubuh puisi. Bukankah doa kepada langit yang melahirkan banyak hal? Bukankah cinta yang memilin dunia menjadi surga? Bukankah Taman Eden dialiri sungai Siphon dan di tepi-tepinya tumbuh ayat-ayat Alkitab?”

Marius termangu. Kawan sakitnya ini lihai sekali meluluhlantakkan imannya pada seni. Jika estetika adalah doa manusia belaka, maka senipun tak memiliki nilai nyata, terjebak di dunia semu. Lalu ia tertegun akan suatu hal: bukankah Botanischer Garten tak bisa merasakan warna-warninya sendiri? Apakah bunga mengetahui bahwa dirinya adalah bunga? Tentunya, Ferdinand yang indah tak bisa merasakan keindahan sebab ialah keindahan itu sendiri. Bak tragedi Sophocles, ialah tanah kuburan subur yang dimangsa bunga-bunga.

*** Lelaki yang Membatukkan Bunga

Malam itu ia pucat seperti bakung. Lelaki itu tampak tak bernadi. Rupanya ia bersimbah keringat dan jemarinya bergemelutuk. Jendela yang menghadap ke Altstadt membeku seperti jam di dinding, seperti Kristus yang bergelantung di dinding kapel.

“Aku merasa tersalib,” tuturnya lemah. Petal-petal kamelia merah mulai bertaburan di atas ranjangnya. Baunya wangi seperti ranjang pengantin baru. Entah bagaimana ia menyadarinya, rupanya ia tahu Marius mencintai keindahannya. Ferdinand bertutur dengan lesu, “Aku tahu kau mencintaiku, tetapi itu tidak mungkin. Kau tidak semestinya bersenggama dengan bunga-bunga.”

Sebentar lagi, jasadnya akan tertutup petal-petal. Ia ingin Marius mengenang bahwa keindahan itu tidak nyata supaya kawannya itu tidak bersedih, bahwa ia yang indah itu tidak pernah nyata di mata Marius.

“Tetapi aku tak bisa. Aku seorang pengukir,” tangkas Marius sedih,

Ferdinand menjawab dengan lirih pedih, “lalu kenangilah diriku sebagai orang yang tidak nyata. Seseorang yang kau cintai di dunia semu, dunia idealnya Plato. Tidakkah kau sadar selama ini aku telah menyuapimu bara api neraka? Kenaifanmu menganggapnya sebagai potongan tubuh Elysium,”

“jika aku harus mencintai neraka…” tegas Marius dengan mata mengkilat,

“…maka biarlah tubuhku hangus terbakar!”

Ferdinand menghela nafasnya yang wangi seperti mawar. Marius tak jatuh cinta padanya, tetapi pada David-nya Michelangelo. Ia seorang pengukir yang matanya tertipu daya, tetapi ia tak tahu betapa Ferdinand adalah luka yang menguar bau tak sedap bagi siapa pun yang mendengar sajak-sajak setajam belatinya. Tiap petal yang ia batukkan adalah serpihan kecil jiwanya, lama-kelamaan jiwa akan luput dari tubuh.

“Kau dilarang untuk mencintai bunga-bunga,” jawab lelaki itu tak kalah tegas. Andai saja, Marius tak berhenti berharap bahwa ia seorang wanita dari Kamelia! Hatinya berkerak seperti tanah terhantam gempa. Lelaki itu sesungguhnya sadar, bahwa di dalam lubuk hati Ferdinand yang dirambati, Ferdinand tidak ingin Marius meratapi kematiannya yang akan segera menghilir, meskipun kematiannya terlihat indah. Marius yang jatuh cinta kepada bunga-bunga takkan bisa melupakannya. Demikianlah, lelaki yang sekarat itu melarangnya mencintainya, ataupun beriman kepada keindahan. Menurutnya, derita akan kehilangan lelaki yang ia cintai sama seperti terbakar di tungku neraka, ataupun mati terkubur seperti kota Sodom.

Air mata mulai menitik dari mata sang pengukir. Batinnya terluka oleh banyak goresan, berkepingan dan terasa kosong seperti lembah gelita. Ia ingin melakukan sesuatu agar lelaki yang di ambang maut itu tetap hidup. Ia ingin mengabadikan keindahannya. Seperti Da Vinci yang mengabadikan kecantikkan Mona Lisa, seperti John Keats yang mengabadikan cuitan surgawi burung sikatan londo dalam odenya.

Di dalam kamar yang sepi dan menghardik jiwanya, yang kepingannya masih ia coba satukan kembali, ia mulai mengukir buntalan batu pualam putih lunak yang baru digali. Batu pualam elgin, seperti kanvas ukiran para pengukir Yunani klasik. Batu itu setinggi Ferdinand. Ia membuat maquette kecil dari tanah liat, di atas bingkai. Dari model awal ini, model ukuran penuh lelaki yang ia cintai itu dikembangkan. Paku payung dimasukkan pada titik-titik yang sudah ditandai. Bingkai pengukur kemudian ditempatkan di atas model yang mencatat lokasi paku payung. Lokasi paku payung kemudian dipindahkan ke blok marmer mentah.

Ia merobohkan potongan batu yang tidak diinginkan menggunakan palu dan pahat panjang, atau pahat pelempar berbentuk baji, sembari mengingat-ingat rupa tegap lelaki itu. Ingatan itu mengiris pedih, dan rasa pedih itu semakin sembab seiring buntalan batu marmer mirip dengan rupa Ferdinand yang telanjang. Kepedihan ia tumpahkan dalam pahat dan palu tajam yang menusuk-nusuk buntalan elgin. Setiap kali ia memahat dan merobohkan potongan batu yang tak sesuai tancapan paku, rasa sakitnya semakin mendidih seperti air yang dipanaskan. Ia memahat dengan teliti: mulai dari detil gerai rambut bergelombang yang menciptakan ilusi bayangan seperti Kristus Berkerudung, mata yang sayu dan dalam menyiratkan kekhidmatan seperti senja, dagu dan hidung bangir yang tegas seperti patung Caesar dari Romawi, rahang dan bibir yang dipahat selembut pahatan cadar Sanmartino, dada yang bidang karena ditumbuhi bunga-bunga, punggung yang meliuk indah diikuti pantat sehalus kulit bayi, lengkap dengan lubang hajatnya. Marius memahat perut yang menonjolkan otot walaupun kenyataan pahitnya ialah perut dan dada sang model menonjolkan tulang rusuknya. Ia juga memahat kemaluan yang menjuntai, menyerupai kemaluan David tetapi tanpa kulup sebab lelaki itu telah dikhitan ketika ia masih bayi.

Pagi itu, buntalan elgin Marius tampak menyerupai Ferdinand telanjang dan berwajah sendu. Sorot mata seperti senja itu terlihat ingin menitikkan air mata, seperti rintik gerimis di musim panas sore temaram. Ia merasa seperti kaca yang hancur berkeping menyaksikan sosok elgin lelaki itu. Rasa retak yang melanda sang pengukir seketika berubah menjadi serigala yang kelaparan, dadanya meledak seperti gunung berapi Vesuvius, abunya bergumul menjadi birahi yang merambat ke kelaminnya. Kepalanya berseru ia harus memasuki gunung berapi itu ke liang hajat yang sengaja ia ukir begitu mulus. Ia merasa seperti serigala yang dituntun ke peraduan, mengoyak-ngoyak mangsa dengan lapar. Lapar yang timbul dari oasis air mata yang tandus, dari sukma yang terbenam dalam jurang terkoyak-koyak sepi. Air oasis itu kini bercucuran lewat kedua mata dan gunung berapinya yang terus berjuntai dan meledak-ledak, membasahi lubang hajat buntalan elgin yang berwarna tulang. Ia tampak merasa bersenggama dengan punai yang terkapar mati. Nyawanya sudah lesap ditelan malam. Lalu rasa perih itu merambat seperti tersengat api, mulai dari gunung berapi di kelaminnya, hingga ke jantung yang terus berpacu, seperti Sisyphus yang menggulung batu hampar ke atas gunung; para dewata hanya tertawa menonton erangan dan derai keringat Sysiphus. Menggulung batu hampar ke atas gunung yang tak berpuncak sama saja berharap bahwa manusia mampu membangun kastil di atas awan. Marius segera bergegas ke hunian lelaki yang ia ukir itu. Apakah kini ia juga terkapar seperti punai yang terbentur peluru pemburu, seperti elgin pucat tak bernyawa di hadapannya?

Ia berlari memasuki kamar Ferdinand. Aroma manis bunga-bunga menggoda hidung sang pengukir dari kejauhan. Lebah-lebah madu, kupu-kupu, dan para kumbang berdengung dan berduyun dari dalam kamar yang tertutup pintu. Jendela kamar di dalam tampak terbuka, membiaskan terik musim panas Göttingen seperti kilatan Zeus di lautan Kreta. Pintu itu terbuka. Di atas ranjang yang bertaburan petal mawar, anyelir, dan tulip itu: tubuh Ferdinand terbujur kaku, pudar, kering dengan rusuk menonjol, tampak penuh lebam seperti jasad Kristus di dalam makam karya Holbein. “Bahkan anak Tuhan, manusia terindah sekalipun, tunduk dan binasa oleh hukum alam,” begitulah komentar Ippolit ketika ia menyaksikan lukisan itu, seorang pemuda tak bertuhan yang sekarat dari novel Der Idiot karya Dostoyevsky.

Dari mulutnya yang menganga, dan mata berkilat berwarna kastanye samudera yang memudar, menjulur dan berdiri tegap bunga-bunga mawar, anyelir, dan tulip merah berduri, yang melukai bibir dan pipinya hingga meneteskan darah. Lidahnya hancur dirambati tangkai berduri mawar dan dedaunan. Bunga Mawar itu merah menyala, tampak berdenyut memandang mata sang pengukir penuh hasrat, berwarna seperti darah segar dari arteri yang pecah. Warna kulit tubuh yang terbujur itu kucam seperti perkamen kuno. Darah di setiap pembuluhnya sudah habis diserap oleh bunga-bunga yang menjulur keluar dari mulut, yang benihnya sudah lama tertanam di paru-paru. Dengan getir, lidah dan mata yang kelu, ia menyaksikkan jasad yang dimangsa bunga-bunga polos dan tampak menangis, seperti tangis bayi yang ditarik keluar dari rahim dan telah membunuh ibu yang melahirkannya. Di kamar itu, hanya suara dengung lebah madu dan kumbang berselirat dan memutari bunga-bunga yang menjulur berwarna merah darah dari mulut jasad, seperti orang Juden yang mengerumuni Tembok Ratapan. Bau wangi nektar dan petal mawar segar menyerbak dan membuat kepala sang pengukir melayang ke atas awan-awan. Tuhan, apakah aku membunuhnya? Ia bertempik dalam hati, setengah siuman dimangsa bau wangi. Matanya terpukau oleh jasad terindah dan terbengis yang pernah ia saksikan.(*)


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung |

Baca juga:
Leo Tolstoy dan Karyanya – Esai J. M. Coetzee
Perempuan di 18 Ave
Darah di Pantai Omaha


1 thought on “Lelaki yang Membatukkan Bunga”

  1. Jeli Manalu berkata:

    Cerpennya indah sekaliiiii

Komentar Anda?