Menu
Menu

Kutulis Puisi Ini di Satu-Satunya Café Kotamu; Perempuan Memilih Warna; Malam di Ponu; Tiga Hal yang Diingat Darimu; Tiga Tanda Kemenangan Perempuanku; Pagi Ini Ada yang Jatuh Cinta dengan Marlince.


Oleh: Ricky Ulu | Perempuan Memilih Warna

Lahir di Dili, 27 Juli 1993. Sekarang bergiat di Komunitas Pohon Asam, Ponu.


Kutulis Puisi Ini di Satu-Satunya Café Kotamu

Tiga bait dari sini, akan kujumpai kau di meja ujung sana. Berebut satu kursi kosong yang mulai dilirik sepi dan kesedihanmu. Musik dari tape berirama masa lalu dan terdengar memanggil-manggil. Tembok sekelilingmu selalu diam dan kaku seperti sejarah bangsa ini yang berwarna putih dan penuh balon. Kau menarik kursimu lebih dekat. Patah hati menjulurkan lidahnya, mengejek gelas teh yang belum kausentuh: golak penuh gonggong anjing.

Ahai, gelas teh itu. Aku mengingat seorang gadis di puisi lain. Mungkin Nelci. Mungkin luka yang lain. Ia mencintai apa saja yang berwarna cokelat dan mendengar Twenty One Pilots. Ia berdoa semoga matahari bersinar dari dalam celana sebab ia percaya puisi selalu menolak keteraturan. Sejak itu, apa yang saja yang kuminum selalu terasa bekas bibirnya. Setelahnya, beberapa semut akan merayap dari ayat-ayat Kitab Suci dan mengumpulkan sisanya.

Ini bait ketiga dan belum juga ada kau di mataku. Kursi, tape, tembok, dan gelas. Atau mau kau tambahkan doa-doamu untuk negara dan kemenangan Liverpool. Cepatlah, sebab setelah selesai satu baris, selalu ada sejarah yang menggonggong dari baris berikut. Itulah alasan kenapa puisi tercipta: menyembuhkan dan menyembunyikan.

Tiga bait di atas adalah caraku mencintaimu. Mempercayakan semua lorong hatiku pada namamu, kecuali arah pergi dan pulang. Tinggallah. Sisakan satu kursi di senja matamu. Kita bernyanyi tentang masa depan tanpa perlu notasi. Kita berpuisi tanpa takut terluka. Dan kita saling mencinta untuk sekadar melupakan kita pernah hilang dari diri kita sendiri dalam satu bait puisi ini ketika semua kata adalah pisau dan satu-satunya cara sembuh adalah melukaiku dengan masa lalu.

Setelah tiga bait ini kau harus percaya, Tuhan melempar api ke dalam kata-kata setelah melihatku mencintaimu dan kutulis sebuah panorama kota yang hangat. Kita berdua sendirian di sana. Kau memimpin dan aku juru fotomu. Menunggu saat terbaik menyalakan lampu, mengarahkan kamera ke pasar, sekolah, dan rumah sakit. Melihat senyummu di sana dan tiba-tiba terbit pelangi dari bibirmu, hujan turun di mataku.

Kusudahi puisi ini, satu-satunya yang kutulis di café kotamu. Menutup pintu dan pulang.

.

Perempuan Memilih Warna

Apalah arti seorang perempuan
Di depan Paskah ketika Rumah Tuhan
Terkunci dari dalam?
Ia tak berani mengetuk apalagi menunggu
Bunyik klik dan sebuah pelukan melingkar
Bahunya.
Maka ia memilih beberapa kenangan
Yang akan dipakai untuk berdoa.
Sebuah kenangan paling hijau disiapkan
Untuk menuntun langkah keledai
Yang membawa Tuhan masuk ke hatinya,
Menemukan pagar patah, tutup jergen laru
Terbuka dan orang-orang bercerita dengan
Suara yang meninggi, “Kemarin dulu hujan
Di Naipeas dan Kali mulai banjir dan sebentar
Lagi tumbuh tunas di pohon lontar. Buat apa takut
Kehabisan laru, buat apa takut kehilangan harapan
Padahal Kitab Suci membuka kisah keselamatan
Dari pesta nikah yang kekurangan sopi dan harum
Babi bakar?

Ia menangis sampai di sini. Ia menangis sebagai seorang
Perempuan yang harus memilih dua belas kenangan
Paling luka, dua belas luka paling putih untuk dibasuh
Air mata Tuhan yang ditampung dalam cerita masa kecil
Tentang gentar di mata Mama
Ketika Bapak membawa kelewang setiap malam
Ke sudut pagar untuk menjaga kawanan pencuri
Tidak masuk dan mengambil musim penghujan
Di mimpi anak-anak yang lucu dan menggemaskan

Sebab langit yang gemuruh, laut yang gelora,
Langkah prajurit yang lari hanyalah sampiran
Ketika cinta menjadi kental dalam merah darah
Dan keringat jatuh di pembatas-pembatas sawah
Untuk menumbuhkan iman tentang sepenggal kalimat
Yang sudah ia hafal: tak ada kasih yang lebih puisi
Dari seorang yang menyerahkan nyawanya
Untuk mimpi anak-anaknya.

Dan sebuah lubang menganga di hatinya,
Menguarkan harum rempah paling kuat
Sebagai penggenapan sabda tentang harapan
Yang bangkit dari kuning padi dan biru laut
Dan gelas laru diisi sukacita yang memabukkan

. Perempuan Memilih Warna

Malam di Ponu

1.
Tiga gelas laru dan malam
Menjadi masam di ujung bibir

2.
Hidup selalu tentang bagaimana
Kau tertawa di depan masalah
Yang memabukkan

3.
Dari dalam lopo, mimpi para perempuan
Selalu bermula dari pertanyaan: nama siapa
Lagi yang harus didoakan menjadi utang?

4.
Begitulah puisi menghijau di tanah ini
Tempat sepi menuang dalam kepala
Ketika pematang merekahkan terik kemarau

5.
Tiga gelas laru lagi dan kita berbalas
Pantun. Selebihnya hanya hitam

6.
Biarlah Tuhan menyimpan mukjizat-Nya
Untuk tempat lain dan memberi
Pohon-pohon gewang ini kekuatan
Mengabulkan doa-doa kita

.

Tiga Hal yang Diingat Darimu

1. Teh
2. Anjing
3. Twenty One Pilots

Dua laki-laki tampil di depan
Gelas teh berwarna pucat
Yang penuh gonggong
Anjing berbulu terang.

Seekor anjing melolong
Seperti dua laki-laki yang bernyanyi
Dengan suara pucat
Sehabis minum teh.

Segelas teh direbut
Seekor anjing yang penuh lolong
Dan dua laki-laki bersuara pucat.

Ada anjing dalam puisi ini
Tidur

Lalu

Apa kabar dua rindu
Yang menggonggong
Dari jauh, jarak yang memucat
Tetapi tak berani menggigit?

.

Tiga Tanda Kemenangan Perempuanku

1. Kaki
Kita sepakat bahwa
Tempat ternyaman
Untuk semua
Yang bernama surga
Adalah telapak kakinya

2. Lemak di lengan, leher
Usia yang gagah bisa
Beterbangan seperti balon
Di tangannya.
Percayalah, tidak ada gagak yang mematuk
Meski mereka lapar

3. Dada
Buah paling nikmat
Ia simpan di dadanya
Dan puisi
Tentang rindu selalu
Ditulis
Ketika membayangkan
Hangat gunung
Di balik kaos longgar itu

.

Pagi Ini Ada yang Jatuh Cinta dengan Marlince

Makanya harus ada puisi pagi ini. Ketika tlolet-tlolet mas salome menjauh dan kenangan masa kecil mendekat dalam bentuk rindu yang manis-manis pedis. Sini, kau harus tahu kenapa harus puisi dan bukan slip gaji untuk mencintaimu.

1.
Adakah yang lebih putih dari asap motor ketika tlolet itu hilang di balik gunung lidak? Menuju laut, menuju atapupu dengan santai sebab ia tahu lengkung jalan tanjakan manbaan adalah lengan yang selalu memberi dan menerima semua kepulangannya, hidung sepotong yang akan menciumnya di depan pintu.

2.
Selalu saja ini yang terjadi ketika menunggumu berulang kali: sapi, kambing duduk di pinggir jalan, dan kepergian dan kedatangan yang terlihat hanya sejauh lampu motor atau oto yang buru-buru. Itulah rindu. Itulah kerelaan. Itulah cinta. Itulah puisi.

Dan bersiaplah dikagetkan oleh langkah kucing yang melompat ke dalam tidurmu tengah malam. Seorang penyair sementara mempersiapkan cinta dan rindunya dalam aroma masa kecilnya yang lucu: aroma manis-manis pedis.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited (diolah dari sini).

Baca juga:
Puisi-Puisi Irzi – Pastoral Rorotan
Puisi-Puisi La Ode Gusman Nasiru – Broadcast Hari Raya
Puisi-Puisi Setia Naka Andrian – Surga Itu


 

Komentar Anda?