Menu
Menu

Pada akhirnya kita bisa saja menjadi seperti tokoh utama dalam cerpen Iwan Simatupang.


Oleh: Mochammad Fajar Nur |

Penulis artikel lepas yang gemar membaca buku-buku sastra. Terkadang menulis esai, kolom opini, cerpen, dan sajak-sajak picisan. Pendiri akun instagram edukatif (Topiknongkrong.id).


“….Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia lainnya…” (Iwan Simatupang, Cerpen “Tegak Lurus dengan Langit”).⠀

Saya rampung membaca satu judul cerpen Iwan Simatupang yang berjudul “Tegak Lurus dengan Langit”. Ada yang menarik dari kisah tentang seorang tokoh utama yang keluarganya hancur lebur akibat sang ayah, kepala keluarga itu dinyatakan hilang selama 17 tahun. Hilang—kita tahu terkadang lebih perih dibandingkan kematian. Seseorang yang menghadapi kehilangan harus menjalani hari dengan bimbang antara harapan atau merelakan. Bersandar atau kecewa. Dan, kita tahu telah banyak yang orang-orang hilang dalam pelukan pertanyaan.⠀

Kembali ke cerpen, menurut saya pokok utama yang menarik lainnya adalah sisi psikologis para tokoh. Mereka harus menjalani hari-hari dengan menyembunyikan hantu-hantu keresahan yang takut dibangkitkan—”orang lain”. Hantu ini tak lain menjelma pembicaraan tentang ayah mereka dan tentu saja kehadiran ayah mereka sendiri yang bisa jadi tiba-tiba datang. Pada akhirnya keluarga ini berakhir muram. Orang lain berhasil membangkitkan hantu-hantu keresahan dan ketakutan mereka. Sang Ibu, mati karena tak kuat menahan sedih akibat merasa bersalah terjebak goda kawan suaminya. Dua kakak si tokoh utama, dipenjara karena membunuh pegawai sensus yang menanyakan ayah mereka. Bahkan si tokoh utama, gagal menikah karena keluarga calon istrinya menanyakan asal-usulnya. ⠀

Hidup si tokoh utama hancur, karena “orang lain” banyak mengintervensi hal-hal yang ada di lingkup pribadinya—kenyamanan dan keamanannya. Si lelaki penggoda, pegawai sensus, hingga keluarga calon istri dalam cerpen karya Iwan Simatupan ini seakan-akan membenarkan frase dari Jean-Paul Sartre yang mengatakan: L’enfer, c’est les autres; neraka adalah orang lain.

Ketika kehendak pribadi kita dimasuki oleh kehendak orang lain, maka akan terjadi berbagai benturan. Tumpang-tindih pemikiran, mendominasi dan menguasai.

Bagi Sartre, manusia adalah mahluk yang bebas: ia adalah tuan dari kehidupannya sendiri. Bahkan bisa dibilang bagi Sartre kebebasan ialah manusia itu sendiri. Namun seperti kenyataan dalam hidup, kebebasan itu tidaklah ajeg. Dalam pola relasi kehidupan bermasyarakat, tentu saja kita akan berinteraksi dengan “yang lain”. Interaksi antara “aku” dengan “yang lain” akan menghasilkan tatapan dari yang lain kepada aku. Begitu pula sebaliknya. Pola ini tentu saja tidak selalu berjalan mulus, apalagi kita selalu melihat “yang lain” sebagai objek, demikian sebaliknya. Pola komunikasi subyek-subyek nantinya akan dikembangkan Habermas dalam komunikasi yang bisa dibilang “memanusiakan manusia lain”.

Tatapan dari “yang lain” akan menimbulkan kesadaran-ada-bagi-yang-lain (being-with-others). Dengan begini, tentu saja kebebasan manusia menurut Sartre akan diganggu dengan tatapan orang lain. Labeling, judgement, hingga keterasingan dapat muncul ketika “yang lain” mulai mendominasi dan mengintervensi kebebasan. Jika diikuti terus, tentu saja kebebasan pribadi manusia bisa hilang karena “yang lain” membuat tuntutan. Mengikuti hidup sesuai kehendak orang lain hingga dijebak kekhawatiran akan pesimisme diri di mata orang lain, menurut Sartre sama saja dengan kematian yang hidup (living death).

Namun haruskah “yang lain” (liyan) selalu kita anggap ancaman?

Saya jadi teringat kisah Nelson Mandela yang dipenjara bertahun-tahun untuk memperjuangkan kesetaraan bangsa Afrika dengan penjajah kulit putih. Ia menentang politik Apartheid dengan lantang. Ia tak bergerak dari keinginan agar kulit putih dihapuskan atau diusir jauh, ia justru menyuarakan perdamaian. Sebuah kehidupan yang adil dan demokratis. Antara kulit putih dan bangsa Afrika. Bahkan setelah ia dipenjara bertahun-tahun, ia memaafkan. Ia menerima “yang lain” agar bisa saling setara dan bersama. Bahkan dengan mengubur terus hantu-hantu dalam dirinya. Pada saat kursi kekuasaan justru menjadi kesempatan baik untuk membangkitkan hantu-hantu tersebut, untuk berontak dan balas dendam. Ia memilih diam, lantas memaafkan. Ia relakan hantu itu lenyap, sebab barangkali ia hanya ilusi dari sebuah berhala egoisme terhadap “yang lain” (liyan).

Pada akhirnya saya jadi teringat kalau tidak salah Goenawan Mohamad mengatakan bahwa konsep liyan (yang lain), bukan hanya tentang “berbeda” namun juga tentang “menerima”. Menerima yang berbeda. Artinya menanamkan empati. Menerima juga berarti berani berkomunikasi pada yang asing. Yang tak diketahui. Sebagaimana Levinas berkata “If one could possess, grasp, and know the other, it would not be other“. Bersikap adil pada yang berbeda; bukankah kitab suci juga menyarankan manusia berlaku demikian?⠀

Barangkali pada zaman di mana adil dan empati adalah suatu “sunah” yang langka diterapkan umat, hasilnya adalah suatu tsunami sikap penindasan yang terjadi pada liyan. Di zaman modern seakan-akan media dan informasi massa membuat kita menjadi berkubu-kubu. “Me vs You“, adalah slogan paling laku yang disukai orang ramai. Simbol pemersatu dan kemanusiaan mulai dari negara, bahasa, bahkan agama seakan-akan luntur hanya karena ada “yang lain”. Yang beda dengan yang kita pahami.⠀

Nampaknya kita tidak bisa terus-terusan menjadi tokoh cerita pada cerpen Iwan Simatupang itu. Pada akhir cerita si tokoh menjadi pembunuh, ia membunuh “yang lain” (liyan). Membunuh sosok ayah yang tiba-tiba muncul kembali, yang tentu saja membangkitkan hantu-hantu dan keresahan si tokoh hingga ke puncak. Ia tak sempat mendengar kenapa sang ayah hilang begitu lama? Atau kenapa sang ayah bisa begitu tega? Sebab ia tak perlu tanyakan, ia lebih nyaman mendengar hantu-hantu hatinya. Ia tak dapat melawan, ia lemah sebab tragedi hidup yang begitu panjang dan trauma akan “yang lain” (liyan) begitu menghancurkannya. Ia tak bisa seteguh dan selapang Mandela. Ia adalah tokoh fiksi dengan sekelumit tragedi yang begitu nyata dan dapat terjadi di mana saja, oleh siapa saja. Namun Mandela nyata, dan ia begitu fiksi bagi kehidupan nyata yang nampak kejam dengan nyala kebencian.⠀

Pada akhirnya kita bisa saja menjadi seperti tokoh utama dalam cerpen Iwan Simatupang tersebut. Kita bisa bertindak kejam dan semena-mena hanya karena tragedi kehidupan—kita validasi lebih tinggi dibanding yang lain. Dan kita tak mau mengerti. Tak mencoba mengerti. Dengan begitu kita menjadikan seluruh “yang lain” (liyan) sebagai musuh dan ancaman yang mengganggu keamanan.

Namun, bukan tak mungkin kita berusaha seperti Mandela sebab ia nyata. Ia yang belajar sekuat tenaga menerima dan memaafkan. Justru baginya, ancaman terbesar adalah ketika ia menjadi ancaman bagi “yang lain” dan bertindak sewenang-wenang. Ia tak ingin memvalidasi kebenaran pribadi hanya untuk melukai. Mungkin Mandela mengerti, memutus rantai kebencian adalah satu-satunya jalan dibandingkan mengencangkannya dengan dendam.⠀

Liyan “yang lain” tak selalu jahat dan menjadi ancaman. Ia terkadang dibentuk persepsi dari dalam diri dan ekspektasi kita yang terpengaruh infomasi sesat. Seringkali kita menghakimi sebelum mengenali. Menuduh sebelum konfirmasi. Dan yang paling rentan, menolak maaf karena dikuasai benci. Kitalah “yang lain” bagi hati nurani sendiri. Jika hati telah mengeras dan rasa curiga selalu muncul, maka kebencian akan sangat mudah lahir. Nalar kritis lambat-lambat menguap hilang dan empati mudah tergerus pada kegoyahan hati. Jika sudah seperti ini, siapa sebetulnya yang menjadi ancaman? (*)


Baca juga:
Melihat Penyebab Gangguan Jiwa Tokoh Utama Cerpen Suatu Hari di Rumah Idrus
Dharsana dan Kejahatan-kejahatannya dalam Novel Hotel Prodeo


Komentar Anda?