Menu
Menu

Ia pernah meracaukan cerita tentang seekor seekor gajah kecil merah muda setelah jatuh dari sepeda, dan kepalanya terbentur cukup keras


Oleh: Rayi El Fatih |

Sopir truk penyuka biru dan Manchester United. Facebook: Rayi El Fatih, IG: @rayi.ef.


Gajah kecil ini—yang baru saja melompat keluar dan kini sedang berlari-lari mengejar capung—teramat betah mendekam di kepalaku, berpuluh-puluh tahun, seakan-akan kepalaku adalah kandang mahaluas nan nyaman yang pernah ia temukan. Mulanya, gajah kecil ini bermukim di kepala Xavierus, bocah bertubuh kurus kering dan seringkih sebatang pohon yang sekarat. Meskipun begitu, kaki Xavierus selincah milik para rusa. Dengan kaki-kaki itu ia mampu berlari secepat mobil F1.

Ketika kami masih sangat muda­­ dan hidup hanyalah tentang bersenang-senang dan belum harus memikirkan peliknya cara memberi makan celengan babi, lapangan kecil di dekat bendungan itu saban hari kami kunjungi. Bendungan itu dibangun secara swadaya di tahun ketika kemarau menggila dan membuat sungai—yang konon mata airnya keluar dari celah sebuah batu sebesar rumah, dan di atasnya tumbuh beratus-ratus pohon nanas—sekerontang sahara.

Sepak bola adalah permainan yang paling sering kami mainkan di lapangan tersebut. Biasanya kami bertanding lima lawan lima, dan tentu saja, si kaki rusa selalu menjadi rebutan. Siapa pula yang tidak ingin mempunyai seorang pelari kencang, mahir menggiring bola serta fasih menjebol gawang bak Gabriel Batistuta dalam timnya? Belum lagi tendangan bebasnya, dahsyat!

Aku pernah menanggung malu karena hebatnya tendangan Xavierus. Bola yang ditendangannya menerobos di antara kedua kakiku. Aku kena nutmeg. Sebelumnya, aku dijuluki “keong” gara-gara kalah adu sprint dengannya. Si kaki rusa itu memanglah sangat menyebalkan!

Meskipun terkadang menyebalkan tetapi tangannya ringan. Xavierus beberapa kali membantu kami—aku, Ayah,dan Ibu—menanam kacang tanah. Walaupun hari sangat terik, dan matahari menyengat tanpa ampun, dan membuat kepala seperti dipatuk-patuk pelatuk bertubuh api, ia tidak mengeluh sekata pun. Kami—aku dan Xavierus—bertugas menutupi lubang-lubang yang dibuat oleh Ayah menggunakan sebatang kayu lamtoro sebesar lengan yang diruncingi ujungnya. Lubang-lubang itu sebelumnya diisi dua atau tiga butir benih oleh Ibu.

Namun, seperti pada umumnya sebuah kebersamaan, kebersamaan kami akhirnya harus berakhir. Itu terjadi beberapa bulan selepas Orba ambruk karena tiga kata: Saya memutusken berhenti. Saat itu kami belum begitu mengerti apa itu referendum dan apa pula alasan Timor Timur minta merdeka.

Seingatku, aku pernah bertanya pada Xavierus. “Kalau Timtim merdeka, kamu pulang ke sana?”

“Aku senang di sini. Tapi aku harus selalu ikut ke mana Omku pergi, dia satu-satunya keluargaku.”

Menurut cerita Xavierus, pamannya seorang eks kombatan Falintil yang sangat militan. Pamannya itu pernah bertempur melawan Indonesia ketika Operasi Seroja digelar. Paman Xavierus bernama Fransciskus. Kami memanggilnya Om Frans: seorang pria tinggi besar dengan sorot mata sedingin es batu. Suaranya berat dan berwibawa, mengingatkanku pada seorang politikus kawakan pemilik TV Swasta.

Om Frans, masih menurut cerita yang kudengar dari Xavierus, saat itu bergerilya di hutan-hutan. Bahkan katanya, pernah meledakkan kepala tentara yang memperkosa adiknya, Anna Maria. Anna Maria yang secantik Bunda Maria, kata Om Frans.

“Om Frans bilang begini kira-kira seminggu yang lalu: ‘Saatnya kita pulang, kita sudah merdeka!’ Jadi, mungkin kami akan pergi.”

Xavierus berkata demikian dengan sangat lirih. Aku dapat merasakan getaran kesedihan pada suaranya, dan kesedihan itu merayapiku; seperti seekor tarantula merayapi punggungmu, mengerikan. Aku juga menemukan kesedihan di mata, wajah, sekujur tubuh, bahkan pada gerak-geriknya. Saat itu aku hanya bisa menepuk pundaknya beberapa kali.

“Kalau mau, kamu bisa tinggal bersama kami. Orang tuaku pasti tidak keberatan,” kataku.

Xavierus tersenyum. Seulas senyum yang hari ini kupahami sekadar melengkungkan bibir. Basa-basi. Itulah senyum terakhirnya untukku, karena, ketika berpamitan wajahnya semuram kuburan di saat sandikala. Mukanya gelap, seolah-olah ada segumpal mendung menempel di sana—di wajah yang bila kupikir-pikir seperti ada bayangan seorang pria Jawa. Mungkin saja ada sedikit darah Jawa mengalir di tubuhnya. Ibu pernah berkata, “Nek tak dhelok-dhelok, Xavier ki raine kaya ana jawa-jawane.” Ibu berkata demikian ketika kami tengah meriung di gubuk seusai menanam kacang tanah.

Ah, aku selalu ingat momen itu. Kami berkelakar sembari menikmati intip goreng. Semilir angin dan gemericik air sungai kecil yang tak jauh dari gubuk membuat kebersamaan kami sungguh menyenangkan. Ya, semenyenangkan bermain sepak bola lima lawan lima; berkejar-kejaran, berebut bola, saling jegal, dan gaprakan, apalagi saat ada sebiji gol tercipta.

Tidak ada batas waktu berapa lama kami bertanding. Biasanya kami baru akan berhenti saat sudah merasa sangat letih, saat kaki-kaki terasa seberat gunung dan kami tidak mampu berlari, atau saat bola plastik yang kami gunakan telah pecah. Dengan tubuh banjir peluh kami berteduh di bawah pohon beringin yang rimbun. Kata Xavierus, “Pohon ini semakin rimbun karena minum keringat kita yang menetes-netes.”

Xavierus memang sering dan piawai melontarkan kalimat-kalimat konyol. Bahkan, ia pernah meracaukan cerita tentang seekor seekor gajah kecil merah muda setelah jatuh dari sepeda, dan kepalanya terbentur cukup keras. Aku masih ingat benar kejadian itu. Xavierus baru saja bisa mengendarai sepeda. Ia begitu bersemangat melajukan jengki, berputar-putar di lapangan. Aku dan beberapa kawan bersorak-sorai menyemangati.

Setelah kira-kira sepuluh menit Xavierus berputar-putar dengan jengkinya, tiba-tiba salah seorang kawanku berteriak: Xavier, coba lepas tangan, kalau bisa nanti sepedaku boleh kamu pinjam seminggu! Provokatif dan bodoh.

Namun, Xavierus jauh lebih bodoh. Ia benar-benar melepas tangannya dari stang. Karena belum terbiasa, si kaki rusa itu justru kehilangan keseimbangan kemudian jatuh setelah terlebih dahulu menabrak pohon kersen. Kami beramai-ramai mendatanginya, tentu saja sambil tertawa-tawa.

“Lihat! Itu ada gajah,” kata Xavierus begitu kami telah menggotong dan menyandarkannya di batang pohon beringin, ia menunjuk ke arah bendungan.

“Gajah apa?” tanya seorang kawanku sambil mengupil.

“Itu, gajah kecil berwarna merah muda. Tadi keluar dari sini.” Xavierus berkata sembari mengetuk-ngetuk pelipis kirinya yang berdarah. “Dari belalainya ada keluar asap. Lihat! Asapnya berubah jadi awan, awannya bisa terbang seperti awan kington. Aku ingin pelihara gajah kecil itu. Cepat tangkap gajahnya, cepat tangkap gajah merah muda itu, cepat!”

Mungkin hampir lima belas menit Xavierus meracau. Aku sempat berpikir kalau ia kesurupan dan perlu memanggil Mbah Kliwon yang konon pandai mengusir jin, setan, dan konco-konconya. Namun, ternyata air selokan cukup manjur. Byuur … Seorang kawanku menyiramnya setelah terlebih dahulu komat-kamit dan meniup air di bekas wadah cat. Xavierus gelagapan lantas memuntahkan segala macam makian yang dihapalnya dan tawa kami kembali pecah di udara.

Sejak itulah gajah kecil ini mendekam di kepalaku. Dan karena gajah kecil ini aku dapat selamanya mengenang Xavierus. Bocah bertubuh ringkih yang tampak lebih rapuh dari sebatang pohon sekarat—kering dan kaku, tapi selincah rusa.

Entah sampai kapan gajah kecil ini akan mendekam di kepalaku. Mungkin sampai aku mati lalu habis disantap sepasukan cacing seperti Xavierus. Xavierus meninggal tahun lalu karena DBD. Atau sampai kelak Timor Leste kembali dipangku Pertiwi, tetapi itu  mustahil—semustahil mengusir Freeport dari Papua atau menjadikan Dollar kembali seharga dua ribu lima ratus rupiah. Rasanya, seekor gajah dari seorang kawan Timor Leste sudah lebih dari cukup. Kepalaku terlalu sempit untuk menampung gajah lainnya. (*)


Ilustrasi: The Little Elephant Who Wanted to Be a Sailor (Maria Primachenko).

Baca juga:
Di Beranda Katua’s
Kita Semua Perantau


2 thoughts on “Gajah di Kepala”

  1. Kal berkata:

    Xavierus atau Xaverius?

    1. BACAPETRA.CO berkata:

      Xavierus, Kak. Terima kasih.

Komentar Anda?