Menu
Menu

Novel Guru Aini ini begitu mengagumkan karena mengandung tema yang sangat dekat dengan kehidupan saya yaitu pendidikan.


Oleh: Antonia Purnawarni Linamorga Yus |

Pelajar SMA Negeri 6 Kota Komba, Manggarai Timur.


Bincang Buku Sekolah yang berlangsung pada Sabtu, 26 Februari 2022 di ruang guru SMA Negeri 6 Kota Komba itu ternyata lebih seru dibandingkan bincang-bincang lain yang pernah saya ikuti. Keseruan bincang buku kali ini terletak pada novel yang dipilih. Novel karya Andrea Hirata berjudul Guru Aini menjadi pilihan yang cocok dengan saya dan teman-teman sebagai pelajar. Kami merasa dekat, baik dengan tema maupun cara penulis menuturkan kisahnya. Peserta-peserta yang hadir juga menambah keseruan bincang novel ini; ada delapan siswa Seminari Pius XII Kisol, empat orang anggota Klub Buku Petra Ruteng, dan dua puluh tiga pelajar SMAN 6 Kota Komba. Selain mendapat ilmu, sore itu saya juga mendapat banyak teman. Notula ini merangkum pembacaan teman-teman SMAN 6 Kota Komba terhadap novel Guru Aini karya Andrea Hirata.

Kekaguman terhadap Tokoh Aini dan Guru Desi

Pa Guru Adrianus Hariadi, Guru Bahasa Ingggris SMA Negeri 6 Kota Komba yang berperan sebagai pemantik langsung memuji Andrea Hirata. Menurutnya Andrea Hirata adalah salah satu penulis Indonesia yang hebat. Ia telah menulis banyak novel dan beberapa dari karyanya itu telah difilmkan, seperti Laskar Pelangi. Karya-karyanya juga berhasil menjadikan kampung halamannya Belitung Timur sebagai destinasi wisata. Di sini, menurutnya, karya-karya Andrea berhasil mempengaruhi banyak orang.

Dalam Novel Guru Aini, Pa Adrianus juga memuji karakter yang diperankan oleh Guru Desi dan Aini. Menurutnya amat sulit menemukan guru seperti Guru Desi di Indonesia; yang mau mengabdi untuk kemajuan pendidikan di wilayah terpencil. Jika semua guru di Indonesia memiliki prinsip dan idealisme seperti Guru Desi, pendidikan di Indonesia akan bersaing dengan pendidikan di negara maju. Ia juga memuji Aini. Aini mewakili anak-anak sederhana di Indonesia yang mempunyai mimpi yang tinggi meski tidak tahu bagaimana harus ke sana. Semangatnya untuk belajar Matematika yang ditakutinya, bisa menginspirasi siapa saja.

Saya mendapat giliran pertama setelah pemantik. Novel ini begitu mengagumkan karena mengandung tema yang sangat dekat dengan kehidupan saya yaitu pendidikan. Saya juga menemukan beberapa kelebihan dan kekurangan dalam novel ini. Kelebihannya terletak pada bahasa yang bisa dipahami oleh semua kalangan. Namun, bahasa dalam novel ini juga menjadi kelemahannya karena menggunakan beberapa istilah ilmiah dan istilah Melayu yang tidak mudah dipahami, salah satunya adalah ilmu kalkulus atau sebutan boy untuk anak laki-laki (jadi mirip dengan bahasa Inggris?). Melalui novel ini, saya juga diyakinkan bahwa Matematika bukan ilmu untuk seorang penakut.

Enji Mengo mendapat kesempatan berikutnya. Tokoh dan cara penulis menggambarkan karakter tokoh membuat Enji terinspirasi. Cara penulis melukiskan sifat Aini yang keras kepala dengan datang terus-menerus, bahkan hingga mengemis pada Guru Desi untuk belajar Matematika sangat baik. Aini, menurutnya adalah anak baik yang hanya mau mengabdikan diri untuk orang tuanya. Ketika orang tuanya sakit dan miskin, Matematika membimbing jalannya, meski dengan didikan yang keras. Menurutnya ilmu Matematika bukanlah musuh, melainkan penuntun masa depan.

Titin Wangur yang menjadi pembicara selanjutnya juga menyampaikan kekagumannya dengan tokoh-tokoh dalam novel itu, khususnya pada Aini dan Guru Desi. Aini dan Guru Desi menurutnya hebat, sebab mereka bisa melampaui ketakutan dan keterbatasannya masing-masing demi cita-cita dan idealisme pribadi. “Saya jarang menemukan karakter seperti mereka,” katanya. Vera Purwaka juga mengalami kekaguman yang sama meski ia tidak terlalu tertarik dengan novel ini karena ia sendiri tidak menyukai Matematika. Di beberapa fragmen, ia merasa terharu, khususnya dengan kisah antara Aini dan bapaknya yang sakit. “Penderitaan yang dialami oleh orang yang paling dekat dengannya justru menjadi pemicu perjuangan Aini mengatasi masalah yang datang dari les Matematika,” kata Vera.

Demikianpun Nafri Mbawu. Menurutnya isi cerita ini sangat cocok dengan masalah pendidikan di Indonesia. Bahkan, cerita dalam novel ini, menurutnya, merupakan kenyataan yang banyak dialami oleh anak-anak miskin di seluruh negeri; mereka tidak mampu membiayai pendidikan yang mahal sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Andrea Hirata mewakili suara-suara yang tidak berdaya berhadapan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang kurang adil. Dirinya merasa kagum dengan pilihan mengangkat tema pendidikan dari penulis.

Aril Arlano yang menjadi pembicara selanjutnya merasa sangat senang karena bisa berkenalan dengan karya Andrea Hirata. Terlepas dari implikasi cerita yang dibawa oleh penulis, menurutnya cara Andrea menyajikan cerita amat unik. Penulis menyisipkan nada olok-olok yang tidak merendahkan budaya dari mana latar cerita diambil. Olok-olok yang disampaikan penulis membuat dirinya kerap tertawa ketika sedang mendalami cerita.

Resa Jehadit, yang berbicara setelah Aril, merasa kagum dengan tokoh-tokoh yang disajikan dalam novel. Resa yang bercita-cita menjadi guru mengagumi cara Guru Desi memilih pekerjaan dan tempat untuk mengabdi. Menurutnya, Bu Desi mempunyai pendirian teguh untuk mengabdi di daerah pelosok. Simbol sepatu tua yang terus dipakainya hingga menemukan murid yang jenius di Ketumbi juga adalah tanda tentang pendiriannya yang teguh. “Apakah Bu Desi bahagia? Saya tidak tahu pasti, tetapi saya kira dia bahagia dengan pendirian yang tidak popular itu,” katanya. Fatrin Banggur mengamini hal ini. Dirinya merasa senang ketika langsung menemukan konflik begitu mulai membaca buku ini. Konflik yang terjadi antara Desi dengan kedua orang tuanya terjadi karena perbedaan harapan antara orang tua dan anak-anak. Menurutnya, Desi tidak bahagia jika mengikuti keinginan orang tuanya. Dia bahagia ketika mengikuti keinginannya mengabdi di daerah pelosok, di Ketumbi, Tanjung Hampar.

Konflik orang tua dan anak membuat novel ini makin realis. Tia Faoni membayangkan pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi antara dirinya dan kedua orang tuanya. Ketika ia menemukan pertengkaran di awal novel ini, ia merasa sulit memahami novel lain yang tidak menulis fakta-fakta yang terjadi di tengah masyarakat. Menurut Tia, novel yang berguna seharusnya menulis hal-hal yang terjadi di dunia, seperti pertengkaran antara orang tua dan anak-anak atau persoalan dengan les tertentu seperti Matematika. Persoalan dengan Matematika inilah yang dialami oleh beberapa peserta seperti Arsen Tue. Arsen merasa dekat dengan novel ini justru ketika penulis membahas kesulitan Aini dalam belajar Matematika.

Deskripsi yang Berlebihan

Beberapa peserta mengalami novel Guru Aini ini sebagai sesuatu yang lain. Fatmi Ghasa misalnya. Ia menilai judul novel ini sangat membingungkan, ending-nya juga kurang memuaskan, dan kisahnya bisa membuat sebagian pembaca merasa tidak percaya diri. “Buat apa kita belajar susah-susah jika pada akhirnya kita gagal meraih cita-cita karena masalah ekonomi”, kata Fatmi. Namun Fatmi mengambil pesan dari novel ini jika mungkin kita cukup jalankan prinsip hidup masing-masing dengan tekun. Senada dengan Fatmi, Yuyun Diman juga menilai jika isi novel ini membuatnya galau, sebab perjuangan Aini menjadi pakar Matematika dipatahkan oleh sistem pendidikan yang tidak bisa mengakomodasi siswa miskin seperti dirinya.

Selain itu beberapa orang siswa juga mendapatkan kesan hiperbola dari novel ini. Yalentus Woni, Rena Djaiman, dan Novriana No setelah menceritakan secara singkat isi novel ini, menilai jika Andrea Hirata mempunyai kecendrungan melebih-lebihkan suatu peristiwa. Peristiwa yang sebenarnya sederhana, diceritakan oleh penulis secara berlebihan, sehingga kesannya adalah bohong, meski cerita ini merupakan karya imajinatif. Namun sebagai karya motivasional, novel ini menurut mereka memberi inspirasi dan cocok dibaca para pelajar.

Masalah lain yang ditemukan peserta bincang buku dari novel ini adalah tentang judul Guru Aini yang membingungkan mereka. Kebingungan ini khususnya hadir ketika mereka berusaha menemukan tokoh utama dari novel ini. Aci Oswan menilai jika dalam novel terdapat dua tokoh utama yaitu Guru Desi dan Aini. Meski demikian, ia lebih tertarik untuk menyoroti tokoh Debut Awaludin. Menurut Aci, penjelasan mengenai watak tokoh ini kurang detail; juga tidak dijelaskan dengan baik alasan Debut muncul sebagai orang yang pandai Matematika. Selain itu, ia juga menilai bahwa sampul novel kurang menarik. “Sebaiknya penulis harus menyertakan gambar seorang ibu guru, Aini, dan gambar gedung sekolah, bukannya gambar sepatu yang digantung di huruf I yang memiliki ekor yang panjang.

Peserta lain yang bernama Nurti Rahmat juga merasa bingung dengan judul dan tokoh utama novel ini. Menurutnya, novel-novel yang lain dari Andrea Hirata juga sering menggunakan dua tokoh dengan porsi kisah yang sama. Hal ini membuat pembaca bingung memilih tokoh utama atau malah menganggap ada dua tokoh utama. Elfi Pele, Mayang Yus, dan Sarni Wea juga mempunyai kebingungan yang sama seperti Nurti dan Aci. Mereka sama-sama kesulitan menemukan tokoh utama dari cerita ini. Jika mereka mempunyai kesempatan bertemu dengan penulis novel, mereka ingin bertanya tentang siapa sebenarnya tokoh utama dari novel ini.

Ketika berhadapan dengan ending novel, banyak peserta yang merasa tidak puas. Ada yang melihat ending gantung yang dipakai penulis sebagai kelebihan, tetapi ada juga yang melihatnya sebagai kelemahan. Kelebihan ending gantung ini diutarakan oleh seorang peserta yang bernama Celsi. Menurutnya ending gantung merupakan strategi penulis dalam mengakhiri cerita, sehingga ia tidak melihatnya sebagai suatu kekurangan. “Justru dengan meninggalkan cerita dalam keadaan gantung, pembaca dibuat penasaran dan ketika pembaca penasaran disitulah mereka akan mencari kelanjutan cerita,” kata Celsi. Ia juga melihat ending gantung merupakan usaha penulis untuk membuka ruang penafsiran yang lebih kreatif di kepala pembaca. “Penulis tidak boleh menyuap pembaca sampai kenyang. Ia juga harus mampu membuat pembaca berpikir,” tutupnya pada sore itu.

Hal berbeda disampaikan oleh Rizal Jardik. Menurutnya ending novel yang gantung, di mana Aini gagal masuk ke sekolah kedokteran sungguh membuatnya patah hati dan dirinya tidak suka dengan ending seperti ini. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih asyik, yang berakhir dengan kemenangan di pihak Aini. Ia membayangkan Aini mengikuti sumpah dokter lalu pulang ke kampung dan menyandang gelar sebagai dokter pertama dari Ketumbi, Tanjung Hampar. Meskipun ide seperti itu ada di kepalanya, ia tetap menantikan kelanjutan kisah Aini dalam mengejar cita-cita sebagai dokter. Ia juga siap menerima jika Aini gagal menjadi dokter. Ia tidak menemukan modal lain dari Aini yang bisa menjadi landasan kuat agar ia menjadi seorang dokter. Oleh karena itu Greis Naghung yang menjadi pembicara kedua puluh tiga pada sore itu menganggap ending gantung ini sebagai kekurangan dari novel Guru Aini ini.(*)


Baca juga:
Tidak Ada Internet di Kampung, Portal Mana yang Akan Terbuka?
Kartini, Salah Satu Bukti Feminisme Bukan Melulu Budaya Barat

Bincang Buku Sekolah merupakan salah satu program kerja sama Yayasan Klub Buku Petra dengan sekolah-sekolah di Manggarai. Program ini mulai dilaksanakan pada tahun 2022. Notula Bincang Buku Sekolah dikerjakan oleh pelajar yang menjadi peserta Bincang Buku Sekolah; penyuntingan dilakukan Lolik Apung, oleh penanggung jawab program ini.


Komentar Anda?