Menu
Menu

Dalam Pelukan Rahim Tanah berkisah tentang derita TKI di tanah rantau.


Oleh: Afin Gagu |

Pemandu Wisata dan anggota HPI Cabang Manggarai. Peserta Bincang Buku Petra.


Bincang Buku Petra ke-40 yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 9 April 2022 di Perpustakaan Klub Buku Petra. Diskusi malam itu dibuka dengan pembacaan puisi berjudul ‘Malam Minggu’ yang dibacakan oleh Lolik Apung yang bertindak sebagai moderator. Puisi tersebut diambil dari buku Kumpulan Puisi Kemeja Kenangan karya Apri Bagung, seorang siswa kelas 3 SMAK St. Fransiskus Xaverius Ruteng. Buku yang dibincangkan pada pertemuan ke-40 ini adalah buku terbitan Basabasi yang berjudul Dalam Pelukan Rahim Tanah karya Jemmy Piran, penulis asal Flores Timur.

Pembincang pertama adalah dr. Ronald Susilo yang juga berperan sebagai pemantik. Dokter Ronald memulai dengan bercerita tentang banyak orang yang merekomendasikan buku Dalam Pelukan Rahim Tanah karya Jemy Piran kepadanya, lantaran Jemy adalah penulis NTT. Dirinya kemudian menemukan cukup banyak kesalahan pengetikan (typo) yang membuat Dokter Ronald menyimpulkan bahwa novel ini diterbitkan terburu-buru dan tidak menempuh proses penyuntingan yang baik. “Ibarat senjata tanpa peluru,” katanya.

Tentang isi novel itu, dirinya melihat cerita yang disajikan sungguh berangkat dari kehidupan masyarakat setempat. “Jemy Piran sudah berhasil membuat cerita dalam novelnya menarik karena menceritakan isu lokal tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI); mulai dari kemiskinan yang memicu kehendak merantau hingga penyiksaan berujung hilangnya nyawa TKI,” ungkapnya. Meski demikian, beberapa hal dalam buku tersebut dianggapnya membingungkan termasuk alasan penulis memakai Bango yang telah meninggal dunia sebagai pencerita. Ia juga mendapat kesan jika penulis ‘terlampau berjuang’ memasukkan unsur ekologis dan budaya Lamaholot ke dalam cerita. 

Setelah Dokter Ronald, Retha Janu menjadi pembicara kedua. Bagi Retha sebuah buku harus bisa menciptakan ‘perasaan bertamasya’ bagi pembaca. Akan terasa sia-sia saat tidak mendapatkan perasaan itu ketika sudah menghabiskan waktu dan energi untuk membacanya. Hal inilah yang membuat Retha merasa kurang puas dengan novel ini. Dalam Pelukan Rahim Tanah merupakan novel pertama Jemy Piran yang Retha baca. Ia mengapresiasi Jemmy Piran karena sudah berhasil menulis novel di usia yang masih muda.

Dalam novel ini, ketika Ibu dari Bango memasukkan lombok ke dalam mulut Bango karena Bango memaki temannya, Retha teringat pengalaman masa kecilnya. Pengalaman ini membuat Retha bertobat dan tidak pernah memaki lagi. Pengalaman lain yang didapatkan oleh Retha, yaitu cerita tentang TKI. Menurutnya, isi novelnya begitu sadis tetapi entah kenapa, dia merasa biasa-biasa ketika membacanya.

Tentang bagian terbaik dalam novel itu, Retha melihat dalam pesan moral agar selalu mengingat korban-korban kekerasan dan jiwa-jiwa anggota keluarga yang terlupakan. Retha sangat menyukai sosok Ehak. Bagi Retha, Ehak adalah ibu yang sangat bijaksana. Sepenggal percakapannya dengan suaminya di halaman 73 berhasil membuat hati Retha luluh. “Apakah kau lelah mendampingiku?” tanya Abah tanpa menoleh. “Aku lelah jika kau putus asa.”

Di bagian terakhir, Retha menambahkan hal berikut: “Di NTT banyak sekali sebenarnya orang-orang yang bisa menulis dengan baik tetapi mereka tidak mau menulis. Sangat disayangkan.”

Pepeng yang mendapat giliran sebagai pembincang ketiga mengatakan hal yang sama dengan apa yang telah disampaikan Dokter Ronald dan Retha. Sampul novel ini menarik meski setelah masuk ke bagian isi, kita akan menemukan banyak kekeliruan dalam pengetikan. Setelah selesai membaca, Pepeng teringat dengan Agnes Davonar, penulis naskah film My Idiot Brother. Banyak kesedihan yang menyayat hati yang dikisahkan di dalam novel ini. Tema-tema kesedihan seperti perdagangan manusia (human trafficking) yang banyak dibicarakan oleh media dan juga dari pengalaman-pengalaman hidup orang-orang yang pernah merasakannya adalah hal penting yang perlu diketahui oleh masyarakat sehingga dapat menjadi lebih sadar akan bahaya ini. Riset kecil Pepeng menemukan jika Kalimantan Barat merupakan pusat perdagangan manusia paling tinggi di Indonesia, disusul NTT, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Berdasarkan informasi yang diperolehnya dari Literatur International Migration Organization, terhitung sejak tahun 2005-2017, ada 8.876 korban perdagangan orang dengan rincian: 52% diperdagangkan ke luar negeri dan 47% di dalam negeri.

Pembincang berikutnya adalah Febhy Irene. Menurutnya, pada bab awal kita sudah diberi pandangan bahwa buku ini ringan untuk dibaca, sehingga kita bisa membuat jeda baca tanpa harus bersusah-susah untuk mengingat kembali jalan cerita sebelumnya. Cerita tentang perdagangan manusia yang sudah umum terjadi di tengah kehidupan masyarakat dan acap kali disuarakan membuat Febby merasa hal-hal yang diceritakan oleh Jemmy Piran di dalam novel ini tidak terlampau membuatnya bersedih. Seperti saat ia menggambarkan sosok Bango ketika berpisah dengan orangtuanya, maupun ketika ia bergumul dengan teman-temannya pada saat mereka disekap; penggambarannya sederhana.

Dari keseluruhan novel, ada dua hal yang jadi fokus Febhy yaitu tentang perempuan dan pendidikan di NTT. Pertama, sosok perempuan NTT yang diceritakan dalam novel ini sungguh terlihat bodoh, tidak berpendidikan, tidak berdaya, seolah-olah perempuan tidak memiliki akal budi untuk berpikir; apakah perempuan-perempuan NTT sebodoh dan selemah itu? Tanpa disadari buku ini berpotensi membuka peluang bagi calo untuk mencari Tenaga Kerja Perempuan (TKW) di NTT. Kedua, tentang pendidikan di NTT. Menurutnya, sudah ada sekolah gratis yang dicanangkan oleh pemerintah, sehingga masyarakat seharusnya memanfaatkan kesempatan itu. Pendidikan mungkin bisa menjadi salah satu cara mengatasi keinginan untuk bekerja di luar negeri.

Setelah Febhy, Isma Manehat menjadi pembincang keempat. Ada dua poin yang dikomentarinya. Pertama, pemerintah. Menurut Isma, seharusnya pemerintah memberdayakan para TKI melalui pelatihan-pelatihan. Hal yang tidak habis ia pikirkan yaitu kemudahan untuk memberikan akses oleh pemerintah kepada TKI untuk bekerja ke luar negeri. Kedua, kepribadian Bango yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk memberontak dan hanya mengeluh di hatinya sungguh mengganggu Isma. Isma juga jengkel ketika Bango dengan mudahnya memercayai Guru Demo yang membujuknya untuk menjadi seorang TKI. Menurut Isma, sosok guru yang diceritakan dalam novel adalah sosok yang tidak patut untuk ditiru karena ia menipu orang lain untuk mendapatkan uang. Hal-hal yang dilakukan Bango sama sekali tidak mewakili kepintarannya sebagai seorang juara kelas.

Setelah Isma, saya mendapat giliran sebagai pembincang kelima. Saya tidak banyak menemukan hal-hal penting dari novel ini selain tentang kewajiban untuk melengkapi dokumen jika ingin menjadi TKI. Pengalaman pahit Bango, diceritakan dalam novel, disebabkan oleh dokumen yang tidak lengkap (sehingga membuat ia dan teman-temannya bertemu maut).

Merantau memang merupakan jalan memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Seperti Bango yang ingin menolong ayah, ibu, dan masyarakatnya untuk pembangunan sebuah rumah adat (Sebua). Namun hal-hal yang dibawa pulang justru sebaliknya. TKI sering pulang dengan keadaan yang tidak utuh lagi, entah membawa penyakit karena diperkosa/dipekerjakan di tempat-tempat prostitusi atau dengan tubuh tak bernyawa. Seperti Bango. Kepergian Bango jelas meninggalkan luka yang mendalam untuk kedua orangtuanya dan juga kekasihnya, Peha. Kisah cinta antara Bango dan Peha ini tidak diulik dengan baik, padahal kisah asmara tokoh selalu berpotensi membuat suatu novel menjadi menarik. Jemmy seakan-akan takut bermain di sana, hal ini membuat karakter kedua tokoh menjadi menyedihkan, tanpa hasrat dan semangat.

Pembincang berikutnya adalah Ajin Yasinta. Sudut pandang roh untuk menceritakan kejadian-kejadian yang ada mengingatkan Ajin pada drama Korea 49 Days yang berkisah tentang perjalanan roh yang mencari tiga air mata yang benar-benar tulus dari orang yang masih hidup selama 49 hari. Jika drakor ini mampu membuatnya terlibat dalam film, novel ini tidak mampu memberikan feel yang sama kepada Ajin. Typo yang Ajin temukan dalam novel juga mengurangi minatnya untuk membaca. Menurut Ajin, kesalahan ini sebetulnya menjadi tugas dan tanggung jawab editor agar lebih teliti.

Ajin juga menyoroti nepotisme (hal.26) di mana anak yang berprestasi dikalahkan oleh anak yang memiliki hubungan erat dengan pejabat terkait. Kasus seperti ini sering terjadi di sekitar kita, tidak hanya di tingkat sekolah tetapi juga instansi dan perkantoran. Biaya wisuda yang diceritakan dalam novel (hal.28), menurut Ajin, sangat aneh dan tidak masuk akal jika dibandingkan dengan kesulitan yang mereka alami untuk mencari uang demi kebutuhan hidup sehari-hari. Terakhir, pesan moral yang Ajin dapatkan dari novel ini adalah agar selalu berdoa bagi keluarga dan leluhur yang sudah meninggal.

Selanjutnya, Philip Djeharum sebagai pembicara kedelapan, merasa tersentuh dengan kisah novel ini, sebab teringat akan pengalamannya menggagalkan kepergian seorang calon TKI ke Malaysia. Ketika ditelusuri, ternyata keinginan ke Malaysia disebabkan oleh kalah judi dan diiming-imingi gaji yang besar setiap bulannya. Pengalaman ini membawa Philip pada refleksi agar kita jangan terlalu memojokkan korban-korban TKI terutama mereka yang pergi karena tidak mempunyai sistem filter yang baik terhadap iming-iming gaji tinggi dari calo-calo tenaga kerja. “Kita tidak tahu apa yang mendorong mereka untuk merantau,” katanya. Justru yang mesti dilakukan adalah meyakinan para calon TKI untuk tidak pergi merantau, terutama orang-orang terdekat. Philip menganjurkan agar buku ini bisa dibaca oleh orang-orang yang mempunyai keinginan untuk menjadi TKI yang bekerja di luar negeri.

Beato menjadi pembicara kesembilan pada malam itu. Cerita dengan sudut pandang arwah baru Beato temukan dalam novel ini, dan ia menyukai cara itu,  sehingga ia juga mau agar buku ini dibaca oleh lebih banyak orang. Beato juga merasa bahwa cerita Dalam Pelukan Rahim Tanah berhasil mengisi kepalanya, tetapi tidak cukup menyentuh hatinya meski kisahnya adalah kisah yang tragis. Cerita tentang Bango yang marah atau Bango yang benci tidak mampu masuk ke hatinya, karena marah dan benci digambarkan terlampau biasa saja, tanpa detail dan tanpa melibatkan indra-indra yang lain—seharusnya penulis menunjukkan kemarahan itu (show) dan bukan menguraikannya dengan kata-kata (don’t tell).

Setelah Beato, Lolik Apung menjadi pembicara kesepuluh. Menurutnya, novel ini adalah sebuah propaganda. Ia diterbitkan dengan alasan politis yaitu agar semakin banyak orang yang tahu tentang kasus perdagangan manusia di NTT dengan muslihat menjadi tenaga kerja dengan gaji besar. “Jika karya ini dilihat sebagai karya sastra, maka beban yang dipikulnya (tema) amatlah berat,” tuturnya. Ia melanjutkan, kasus perdagangan manusia NTT adalah lingkaran setan yang berputar dari faktor ekonomi-pendidikan-hukum-politik. Hal ini membuat Lolik sedih, apalagi para calo tenaga kerja sering datang dari orang-orang dekat dan status sosial yang lebih baik seperti Guru Demo.

Armin Bell menjadi pembicara terakhir pada malam itu. Masalah dalam novel ini adalah karena penulis melakukan reportase semata. Hanya melaporkan. Padahal menurutnya, ada perbedaan besar dalam menceritakan ulang sebuah peristiwa oleh seorang reporter dengan seorang penulis karya sastra. Armin juga menyayangkan banyaknya typo dalam novel ini yang mengganggu kenyamanan membaca. Armin mengaku membaca beberapa karya Jemy dan menyukai cara Jemy mengeksplorasi dunia laut dalam karya-karyanya yang lain.

Di sesi terakhir, seluruh peserta menyematkan bintang 3 untuk novel Dalam Pelukan Rahim Tanah karya Jemmy Piran ini.(*)


Baca juga:
Di Timur Matahari, dari Papua untuk Indonesia
Sepuluh Lompatan Puitik Puji Pistols


Komentar Anda?