Menu
Menu

Rumah; Arkipelago; Kapal; Arkais; Frekuensi; Anonim; Kronik.


Oleh: Bramantio |

Membaca dan menulis fiksi dan puisi. Sehari-hari beraktivitas sebagai dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga. Buku kumpulan cerpennya Equilibrium (2016).


Rumah

Rumah kecil dan sedikit miring
di ujung dermaga berderik
khusyuk pada teluk di hadapannya
bulan sedang sunyi dan sabit
tapi pasang semakin menjadi
hingga setiap jengkal keusangannya
khatam meraba asin bintang-bintang laut
dan langit yang berdetak tanpa jarak
sampai yang ribuan tahun cahaya.

. kronik

Arkipelago

Seperti lingkaran-lingkaran kecil dan besar yang memuai berkali-kali memenuhi sebidang datar lukisan bola Bumi berlatar biru tanpa bingkai saling beririsan menetaskan ruang-ruang baru dari batas-batas aneka warna yang tak berpangkal-ujung.

Seperti trikroma asali yang mengejawantah semburat lembayung fajar dan senja, padat teduh hutan hujan tropis hingga liuk nyiur di sepanjang pesisir, dan aura mata ketiga meski tak pernah mahatahu ihwal di sebalik permukaan dan di kejauhan masa.

Bintik demi bintik segitiga tegak lurus dengan langit pun sejak masa yang belum terekam titimangsa kolofon meniti lini pertemuan jagat bawah dan semesta atas hingga pergi dan pulang menjadi kehilangan makna karena keduanya sisi-sisi sekeping tanah air.

. kronik

Kapal

Kau mengundangku memasuki kapalmu.

Kaulupa anyaman kayu dan batu itu tak lagi
menyisakan bilik seukuran peti jenazah
berjendela bundar pembingkai lazuardi
berlatar gelegak melankolia.

Dalil yang tak pernah usang
menemukan ruang mengada
: penumpang ketiga dan terakhir
harus disingkirkan.

Serupa golem yang didamba lalu
dibangkitkan di antara keredap lilin
dan siul syahdu angin malam menyisip
jejarum pinus-pinus ranggas
demi dilebur kembali
menjadi tanah
mati.

. kronik

Arkais

Tahun-tahun mengucap selamat
tinggal menggerus lalu menghapus
mereka yang hidup di kitab-kitab
lama mematri silang sewarna luka
di sepasang mata renta milik sejarah.

Seorang bocah yang belum genap
bicara tak lagi menghidu deru udara
sayap naga yang dadanya rahim bara
sementara kuda bertanduk satu tersekap
gelap sumur uzur yang terlupakan.

Lalu kaututurkan halaman demi halaman
kumpulan dongeng sedunia pada malam-
malam menjelang mimpi hingga mereka
yang pernah hilang sekadar lelap dalam
bahtera menuju pelabuhan di jutaan Ararat.

. kronik

Frekuensi

Ia berhenti berhitung sejak gema panggilan terakhirnya disambut dingin dinding benteng es dan kecipak empasan sirip ekornya sendiri pada wajah air Antartika.

Kabar dari ombak ihwal bahtera Nuh mendarat di Ararat pernah meledakkan citanya hanya untuk menjelma lubang hitam ribuan kilometer berikutnya seusai menyadari kekonyolan absurdnya: tiada paus dan tirtafauna yang menjadi penumpang.

Hingga puluhan milenia sesudahnya ia sekadar berenang berkawan bayangannya pada kubah legam angkasa sambil sesekali bertanya-tanya bagaimana rasanya menggantung di kehampaan sebagai katai putih yang soliter dan sekarat.

. kronik

Anonim

Setiap hari buletin pagi memberitakan kepingan demi kepingan yang pernah benua hanyut ke samudera yang kian lama kian dalam dan hangat hingga Palung Mariana perlahan depresi lalu kehilangan jati diri menjelma perairan khatulistiwa pada tengah hari paling cerah di titik zenit perihelium.

Beruang utara dan penguin selatan yang bertemu di Pasifik teduh sepakat berikrar senyap selamanya demi menjulang jalan pulang yang terhapus dari peta dan ensiklopedia terbaru disertai canda suram satu di antara mereka mungkin kelak mengikuti hikayat moyang menatap Bumi dari angkasa sebagai rasi bintang.

Berkelip satu per satu pada jeda metronomiah percik air yang semakin sering singgah ke pintu rumah pantai tempat wartawan anonim meregang ruas jemari pada mesin ketiknya, mengubah tabularasa menjadi kabar buruk yang terlalu sering dilempar pembaca ke tong sampah seolah sekadar pagi hektik beriring hujan bulan Juli.

. kronik

Kronik

Berita kepulanganmu ke rumah di atas bukit menarikku ke semesta sepia tempat garismu dan garisku pertama kali bersilangan pada senja panjang paling ilalang.

Jejak peta dunia dan samar gurat hantu laut menyemai di wajahmu yang senantiasa sewarna madu seolah waktu tak mengantarmu ke mana-mana sekaligus menggaramimu menghitung ratusan terbit dan terbenamnya bulan dan matahari.

Dulu kita bertukar cerita sepi ihwal melacak kediaman keong di balik bebatuan suaka fosil trilobita, menunggui sarang kepiting di hamparan pantai yang ditinggal surut, melipat kertas koran menjelma kapal lapuk berumur pendek, dan menggambar ulang gugusan bintang sambil mengingat apakah biduk ataukah waluku.

Kini kau bertutur riuh ihwal menyimak wiracarita sepanjang kalacakra pada setiap lengkingan paus Yunus, bermain teka-teki terang dan gelap tanpa kata dengan makara berwajah ganda, memburu kawanan duyung bersuara merdu beraroma alam kubur, dan nyaris tewas tanpa nisan oleh leviathan setengah buta di ujung dunia.

Sementara aku dari masa ke masa sekadar foto beku yang tepiannya tak lagi selurus cakrawala yang terlalu sering kita kunjungi melalui puncak mercusuar beraroma camar dan lelah.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited

Baca juga:
Puisi-Puisi Ama Achmad – Mompopot
Puisi-Puisi Saddam HP – Nakama
Puisi-Puisi Ayu Ruhyuni – Intimina


1 thought on “Puisi-Puisi Bramantio – Kronik”

  1. Dalana WK berkata:

    Keren Pak, semoga bisa baca puisi-puisinya yang lain … ??

    Jatuh Hati sama pemilihan diksinya

Komentar Anda?