Menu
Menu

Belum ada awan yang mirip telur Litabebek, berwarna biru pastel supaya bisa digambar, supaya lima telur cantik yang semua cangkangnya retak-retak bisa tergantikan.


Oleh: Jeli Manalu |

Senang menulis dan berkebun. Ia lahir di Padangsidimpuan pada 2 Oktober 1983, dan saat ini tinggal di Rengat Riau. Cerpen-cerpennya terbit di media lokal dan nasional. Buku kumcernya: Kisah Sedih Sepasang Sepatu (2018).


Tidak ada awan yang bentuknya menyerupai telur Litabebek. Warnanya tidak biru pastel agar sebuah spidol boleh bergerak membuat gambar di sana. Dari ujung ke ujung lengkung langit sekumpulan bebatuan. Bertumpuk-tumpuk. Tebal saling menimpa. Hitam campur abu-abu. Minggu pagi 08.30 berwajah 18.30.

Makam sunyi. Hati sunyi. Para peziarah sudah pergi. Di dedaunan, angin bertiup lirih menyusul sayup-sayup lonceng pertanda misa baru saja mulai. Pauli tidak ke sana. Ia tak ke gereja hari itu. Tidak berkumpul dengan para gadis yang mengenakan gaun magenta dan renda sama di ujung lengan. Tidak ikut lomba mencari telur paling banyak. Bertanding menghias sekeranjang telur yang didapat tidak akan membuat dadanya berdenyut riang, di mana tahun-tahun sebelumnya, namanyalah yang sering keluar menjadi pemenangnya. Ia tetap di pekuburan. Membatu di pusara Kakek Jo. Memandang lengkung langit, berharap satu di antara awan-awan ada yang membentuk diri serupa telur Litabebek.

Lima butir telur cantik-cantik dalam keranjang. Dua jam lalu ditentengnya dengan hati merindu. Ia begadang semalaman demi itu. Termasuk melewatkan ajakan temannya memasak telur bersama, untuk selanjutnya disembunyikan di celah-celah bunga bugenvil yang tumbuh berderet di sepanjang jalan menuju gereja—tradisi yang biasa mereka buat menjelang hari raya Paskah.

Sebelum memutuskan konsep hadiah yang hendak dibawa, Pauli membuka-buka album foto. Dipandang-pandanginya rupa Kakek Jo. Dibolak-baliknya album bersampul kertas violet. Pauli berhenti di senyum paling ganteng. Di senyum yang ia rasa paling terberkati. Lalu ia masuk bilik. Telur-telur berukuran besar dari wadah penyimpanan dipilih. Lima butir telur dibilasnya dengan air mengalir. Direbus dalam panci berukuran medium. Selama proses pematangan, ia jaga api agar jangan sampai membuat cangkang retak. Ia akan menggambar wajah masing-masing anggota keluarga di sana. Menggunakan spidol pemberian Kakek Jo. Dipermanis oleh manik-manik serta pita pada keranjang yang dibentuk dari karton manila violet, warna favorit Kakek Jo.

Pauli berpikir Kakek Jo pasti terharu menyambut cucu tersayangnya. Sebab setelah tiada, ternyata masih ada orang bersedia menyisihkan waktu untuk mengenangnya. Pauli mau seperti itu. Ia mendambakan cinta yang demikian. Kelak jika kematian merengkuhnya, ia berharap ada orang yang selalu ingat padanya. Bila pun tak banyak, satu orang dianggapnya lebih dari cukup. Menemui makamnya tanpa bunga bugenvil atau agar-agar rasa kopi, itu tak jadi soal. Ia hanya ingin setiap orang yang pernah jadi keluarga tidak buru-buru menghapus segalanya dari rantai ingatan walau nanti sudah saling tinggal di
alam berbeda.

Kakek Jo penyabar dan kalem. Itu cinta yang terus bernyala di hati Pauli. Juga kenangan yang ingin ia simpan baik-baik selamanya. Pauli ingat, Kakek Jo tidak sekali pun berbicara dengan nada keras padanya. Kakek Jo tidak jengkel bila Pauli tak kunjung mahir mengepang rambut, atau membentaknya saat belum berhasil mengikat tali sepatu. Di samping itu, bila nyeri lutut Kakek Jo kambuh, ia tidak berbalik merepotkan Pauli. Juga tidak banyak mengeluh walau matanya semakin rabun oleh penyakit katarak, paling sekadar berkata kepada Pauli supaya kelak cucunya itu jangan sampai menderita sakit seperti dirinya.

Kakek Jo berbeda jauh dengan Ibu. Ibu orangnya lekas marah. Kadang malah menangis keras-keras.

“Aku tak akan selamanya tinggal bersamamu, Pauli. Bila nanti Ibu mati, siapa yang akan mengurus dirimu bila bukan kau sendiri?” cecar Ibu. Hari demi hari Ibu bertambah cerewet, terutama bila Pauli masih lamban untuk segera mampu mengurus diri sendiri.

Ibu bebannya memang berat. Ia tulang punggung keluarga. Ia akan marah jika ditanya ini itu ketika ia sibuk menyusun bekal makan siang sebab harus segera ke ancak sebelum matahari terlampau tinggi. Pekerjaannya buruh harian di perkebunan kelapa sawit. Masuk pagi jam delapan. Pulang jam tiga sore. Tiba di rumah 45 menit berikutnya. Malam hari membuat kue agar-agar untuk dititipkan di beberapa kedai sebelum esoknya berangkat lagi ke ancak. Kue agar-agar bikinannya beragam rasa. Kadang rasa pandan. Esoknya cokelat susu. Hari lain rasa kopi. Pauli dan Kakek Jo suka agar-agar rasa kopi. Mereka makan agar-agar rasa kopi bila Ibu salah memotong sehingga tidak mungkin untuk dijual.

Jika Ibu meradang karena Pauli tak kunjung pintar mengepang rambut, Kakek Jo akan tampak bersedih di dekat jendela. Lelaki itu selalu merasa bersalah setiap kali keadaan rumah kembali runyam. Ibu menjerit-jerit menyesali nasibnya sedemikian buruk sejak menikah. Ia yang semestinya cukup mengurus rumah saja, malah harus bekerja demi kelangsungan hidup keluarga. Ditambah beban dalam merawat Kakek Jo yang telanjur jadi mertuanya.

Namun, sekalipun sering berhadapan dengan menantu yang pemarah, Kakek Jo di mata Pauli tak pernah kehilangan semangat dalam mencinta. Kakek Jo bergerak dari dekat jendela. Meraih sisir dari kotak kosmetik. Lalu membelah tengah rambut Pauli.

“Belakangi Kakek,” katanya, sambil bersiul-siul. Bersiul adalah obat ampuh agar kata-kata Ibu tak menghunjam di hati.

Kakek Jo mengepang rambut Pauli. Dua kepangannya. Kakek Jo memang sudah lumayan rabun. Namun tangannya masih sangat hafal cara meraih rambut dari belakang telinga kemudian menjalinnya. Sewaktu masih muda dulu ia terbiasa membantu istrinya mengurus anak-anak meski dirinya seorang manajer di pabrik.

Lengkung langit di atas pusara tetap sekumpulan bebatuan. Tetap berwarna hitam campur abu-abu. Itu langit mendung serupa hati Pauli. Belum ada awan yang mirip telur Litabebek, berwarna biru pastel supaya bisa digambar, supaya lima telur cantik yang semua cangkangnya retak-retak bisa tergantikan. Telur pencetus sendu Pauli sampai-sampai ia tak ke gereja dengan gaun magenta berenda di ujung lengan. Padahal semua telur dalam keranjang berasal dari bebek peliharaan sendiri. Bebek peninggalan Kakek Jo sebelum ajal memanggilnya disaksikan sepasang ikat rambut Pauli dan dua helai tali sepatu. Pada masing-masing cangkang yang telah retak itu Pauli menggambar wajah anggota keluarga. Ibu, Litabebek, Pauli sendiri, serta sepasang kucing bernama Lukaskucing dan Sesilkucing. Lukaskucing dan Sesilkucing di mata Pauli selalu setia mencinta dalam susah maupun senang. Sedangkan Litabebek adalah bebek berbulu hitam yang rajin menelurkan senyum di rumah mereka.

Suatu kali Kakek Jo berkata kepada Pauli, “Selain Ibumu dan Kakek, dua kucing dan Litabebek, kau juga punya Ayah.”

Pauli geleng-geleng tak mengerti maksud perkataan Kakek Jo. Pauli tidak begitu paham apa itu ayah. Ia tidak memiliki hubungan emosional dengan sosok itu. Tidak pernah tahu dalam situasi bagaimana sebuah senyum bisa tercetus di wajah orang macam itu. Orang itu tak pernah menyelamatkan Pauli dari senggakan Ibu. Tidak mengajarinya mengepang rambut. Tidak pernah mengikat tali sepatunya. Pauli hanya membaca nama lelaki yang bukan Kakek Jo dalam rapor sekolah. Hanya itu. Tidak lainnya. Jadi Pauli tidak perlu merasa bersalah seandainya tidak membuat wajah itu dalam cangkang telur sebagai hadiah Paskah untuk Kakek Jo. Pauli percaya Kakek Jo tidak akan kecewa apalagi cemberut. Kakek Jo memiliki hati selembut kuning telur Litabebek.

Pada cangkang telur pertama Pauli rancang wajah Ibu tertawa lebar. Kakek Jo suka wajah menantunya saat begitu. Deretan gigi terlihat jelas. Mata berseri-seri. Kakek Jo suka melihat wajah Ibu ketika Pauli sudah pandai mengepang rambut sendiri. Mampu mengikat tali sepatu, lihai merapikan gaun yang pitanya bergulung-gulung.

Ketika masih gadis, Kakek Jo-lah yang melamar Ibu supaya mau menjadi menantunya. Kakek Jo mengenal Ibu sejak bayi merah. Sejak belajar berceloteh hingga pandai tertawa lebar. Bermain masak-masakan dan keluarga-keluargaan dengan sesama anak di desa sambil tertawa lebar. Kakek Jo kerap melihatnya. Pada usia delapan tahun, Kakek Jo sering panggil Ibu dengan sebutan menantu meski diucapkannya hanya bergurau. Alasannya, Ibu berbadan kecil, anak yang rajin dan mudah tertawa. Langsung membuatkan kopi setiap kali Kakek Jo bertandang ke rumah orangtua Ibu yang merupakan sahabat Kakek Jo. Dan Ibu kecil akan tertawa lebar bila Kakek Jo mengucapkan, “Terima kasih ya, Menantuku.”

Pauli menimbang ekspresi wajah dirinya seperti apa yang mungkin dirindukan Kakek Jo, kalau Litabebek sudah selesai. Paruh panjang leher jenjang. Demikian dengan Lukaskucing dan Sesilkucing. Kumis Lukaskucing lebih panjang. Mata agak petak. Sesilkucing bermata lebih bulat dengan bibir lumayan tebal. Pauli akhirnya menggambar wajahnya dengan rambut dikepang dua. Poni belah tengah. Dua lesung pipi persis di ujung bibir dan bukan di bawah tulang pipi. Lima wajah anggota keluarga rampung. Seterusnya menyusun telur-telur ke dalam keranjang yang dibentuk dari karton manila violet lengkap tali jinjingnya.

Setiba di makam, Pauli malah membuat wajah keluarganya itu retak tak berbentuk. Ia meletakkan keranjang di sisi nisan saat membersihkan makam sebagaimana biasa dilakukan para peziarah. Ilalang, pakis, karamunting ia cabut. 200 hari mereka terpisah, dan Pauli sudah tidak sabar ingin mengobrol dengan Kakek Jo. Waktu yang cukup lama dibanding sebelumnya dapat bicara kapan pun ia mau. Pauli mencabut rerumputan itu. Erat-erat ditariknya supaya jemari tak terluka. Ilalang, pakis, karamunting tercerabut. Tetapi punggung Pauli malah menimpa sekeranjang telur bergambar wajah keluarga.

Minggu pagi di makam sunyi sekali. Jam 8.30 berwajah 18.30. Mendung. Murung. Pauli kembali memandangi lengkung langit berharap ada awan serupa telur Litabebek. Ia tidak peduli pada setumpuk bebatuan bergerak-gerak, yang bisa saja berubah gerimis untuknya. Gerimis pun luruh. Menukik lurus padanya sampai habis. Langit hitam menjadi abu-abu terang. Lebih terang. Makin terang. Ada gumpalan awan bergeser. Dari balik awan bergeser itu tampak sekeranjang telur melayang-layang dan cangkangnya tidak ada yang retak.


Ilustrasi:

Baca juga:
Teratai Merah Isan – Dewi Kharisma Michellia
Kesaksian Mata Cecak – A. Warits Rovi


1 thought on “Telur”

  1. Martin manalu berkata:

    Semangat truss menulisnya KK.
    Biar pun cerpennya susah kucerna dgn otak kecil ku,TPI cukup menarik untuk dibaca.
    Aku lebih suka bacanya di awal cerpen ny yaitu di biodata karna mngkin aku bisa cerna

    Hahahahaja

Komentar Anda?