Menu
Menu

Kau bisa kehilangan apa saja tetapi kau akan baik-baik saja.


Oleh: Armin Bell |

Tinggal di Ruteng. Bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino.


Kau bisa kehilangan apa saja dan tidak tahu alasannya. Seketika, sesuatu yang kau perlukan, kau miliki, kau perjuangkan, atau yang kau yakini, tiba-tiba saja raib. Atau lenyap. Atau jauh.

Seperti Gadis Pantai dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer (2003) yang mengalami berkali-kali kehilangan. Pertama laut dan keceriaan bocah-bocah yang bergolek di pasir hangat pagi hari. Lalu kehilangan lainnya, dan lainnya lagi, dan berjuang menemukan alasan-alasan yang tepat agar pengalaman kehilangan itu dapat dia mengerti. Apakah berhasil?

Saya membaca novel itu (cetakan ke 14, Januari 2021) dan mengalami kehilangan yang lain. Pada “Bagian Kedua”, saya kehilangan metafora yang berkali-kali Pramoedya pakai dengan begitu hebat, tepat, dan menyenangkan di “Bagian Pertama”. Saya kutip beberapa:

… Malam kian larut. Dari ruang tengah mulai terdengar sekencang tenaga seorang mengaji. Suaranya dalam, merongga, seperti guruh keluar dari gua di bawah gunung. Tak pernah ia dengan orang mengaji seindah itu (hal. 31);

Sedu sedannya tertahan, timbul tenggelam dalam kesenyapan pagi seakan kepingan-kepingan jiwanya sendiri yang pecah-pecah (hal. 38);

Pohon mangga tertanam berderet seperti serdadu, sedang pohon-pohon pisang yang merana berbaris menepi pagar, seperti tahu akan kekecilannya (hal. 40);

Dan, kau akan temukan banyak lagi metafora-metafora demikian pada “Bagian Pertama” itu.

Saya lalu berangkat ke “Bagian Kedua” dengan harapan yang telah penuh bahwa Pramoedya akan memberikannya lagi. Barangkali karena memelihara harapanlah saya lalu merasa kehilangan. Pramoedya, saya rasa, tidak memerlukan metafora sebanyak di bagian sebelumnya pada babak ini—sebab cerita toh tetap berjalan dengan sangat baik dan sama kuatnya; ya, ini Pramoedya Ananta Toer, kan?—tetapi saya merasa kehilangan. Sebagaimana semua orang yang (tiba-tiba) ditinggalkan, saya mencari alasan-alasan. Menemukan beberapa, membuat pembenaran-pembenaran, dan melanjutkan pekerjaan menyenangkan itu: membaca novel karya Pramoedya Ananta Toer.

Kau bisa kehilangan apa saja dan tidak tahu alasannya. Seketika, sesuatu yang kau perlukan, kau miliki, kau perjuangkan, atau yang kau yakini, tiba-tiba saja raib. Atau lenyap. Atau jauh. Seperti seseorang yang sedang menikmati masa-masa emas dalam hidupnya tetapi tidak bisa merengkuhnya terlalu lama sebab seorang atau sesuatu yang lain mencurinya. Dia tidak tahu alasannya, warna matahari pagi itu tiba-tiba saja telah menjadi merah, lalu gelap: malam sudah datang. Malam yang menjadi lebih panjang ketika kau menggunakannya untuk berpikir.

Dalam banyak sekali cerita di sekitarmu, kau bertemu kisah-kisah serupa itu. Orang-orang bersedih karena merasa semua berlangsung terlampau tiba-tiba. Untuk alasan-alasan yang tepat, kesedihan demikian tentu saja tepat. Teman-temanmu sungguh telah melakukan semuanya dengan benar: menjadi sebaik-baiknya kekasih, menjadi sehebat-hebatnya pegawai, menjadi sejago-jagonya penulis, menjadi seumpama burung-burung pagi di hutan akasia di belakang rumahmu yang selalu berkicau riang di pagi hari—setia. Lalu sang kekasih pergi, rekan-rekan kerjanya menjauh, tulisannya dikritik habis-habisan, hari begitu cepat menjadi malam, dia memikirkannya begitu dalam lalu bersedih.

Setiap orang tentu saja memiliki hak yang sama atas kesedihan. Tak boleh seorang pun boleh membuat pengadilan: kau pu kisah itu tir terlalu sedih dibanding dengan sa pu kisah. Tidak ada standar untuk itu. Masing-masing orang memiliki bahu sendiri-sendiri, yang kekuatannya atas beban pasti tidak sama. Apakah gadis berusia 14 tahun yang kehilangan kenangannya akan pantai di novel Gadis Pantai masih lebih baik dari seorang perempuan yang bayi perempuannya direnggut kekuasaan Bendoro di novel yang sama? Tak ada yang tahu mana yang lebih berat dari detik-detik itu—kesedihan adalah hal yang kontekstual—selain Gadis Pantai sendiri.

Maka sangatlah tidak adil apabila kita memotong cerita sedih orang lain dengan cerita yang menurut kita lebih sedih dari yang kau dengar saat itu. Bahkan jika kita tidak tertawa saat mendengar ceritanya (katakanlah dia menangis menceritakan kematian anjing peliharaannya yang ditabrak lari seorang pengemudi mobil yang sedang terburu-buru), kita sesungguhnya telah menertawainya dengan menceritakan kisah lain yang menurut kita lebih tragis; bisa jadi membuatnya berpikir telah berlaku sebagai tuan yang buruk sebab membiarkan anjing peliharannya itu bermain di jalanan, sesuatu yang akan menempatkannya pada posisi yang lebih buruk lagi: saya adalah penyebab utama peristiwa kehilangan ini. Lalu dia menjadi semakin bersedih.

Kau bisa kehilangan apa saja dan tidak tahu alasannya. Seketika, sesuatu yang kau perlukan, kau miliki, kau perjuangkan, atau yang kau yakini, tiba-tiba saja raib. Atau lenyap. Atau jauh. Lalu kau berjuang menemukan alasan-alasannya.

Salah satu yang saya pikirkan tentang perasaan kehilangan metafora di “Bagian Kedua” novel Gadis Pantai adalah bahwa Pramoedya sengaja melakukan itu agar kita turut merasakan kehilangan yang dialami Gadis Pantai. Gadis Pantai pada laut dan keceriaan bocah-bocah yang bergolek di pasir hangat pagi hari, lalu kehilangan lainnya dan lainnya lagi, dan saya pada metafora-metafora; dengan demikian kita menjadi sama. Apakah benar begitu?

Barangkali tidak terlampau tepat begitu. Tetapi ‘melihat’ peluang itu membuat saya berhenti menyalahkan harapan saya akan hadirnya metafora Pramoedya di sepanjang novel itu. Bahwa bukan perjuangannya yang tidak cukup baik tetapi kekasih yang pergi itu melihat hal lain. Bahwa orang-orang di sekitarnya yang berubah itu bukan karena dia telah tidak sehebat dulu. Bahwa bukan tulisannya yang buruk tetapi seorang yang lain melihat ide cerita yang sama telah dibuat orang lain sebelumnya (dengan lebih baik). Bahwa anjing kesayangannya itu, atau pengemudi yang tidak hati-hatilah yang menjadi penyebab utama.

Kau bisa kehilangan apa saja dan kau akan tahu alasannya. Salah satunya adalah bahwa itu bukan salahmu. Alasan yang lain adalah agar kau menemukan sesuatu yang akan membuatmu merasa lebih baik. Sebaik Gadis Pantai yang:

… setiap hari dia terus berjalan, dari rumah ke rumah dan ke pasar. Dengan bakul besar di punggung. Tetap mandiri.

….

Barang rongsokan aneh, dinilainya cantik, juga masuk ke bawah ambin bambu itu. Dengan wajah mulus berseri dihadiahkannya padaku, atau adikku, bila kami datang berkunjung.

Kau bisa kehilangan apa saja dan bukan salahmu. Kau baik dan karena itulah kau akan baik-baik saja.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited.

Baca juga:
Rumah, Tak Selalu Bikin Betah
Suna Tak Pernah Berjalan Mundur


Komentar Anda?