Menu
Menu

Kita Pergi Hari Ini, bila memakai bentuk yang sudah banyak dikenal barangkali akan menjadi cerita yang biasa.


Oleh: Retha Janu |

Anggota Klub Buku Petra yang juga bergiat bersama teman-teman di Komunitas Teater Saja Ruteng. Menyukai anak-anak dan bunga matahari.


“Yang paling mengerikan adalah anak-anak. Jeritannya, tentu saja. Lalu tangisannya, dan kecepatan larinya, dan tipuan-tipuannya.

Ngeri! Ngeri sekali, mengetahui betapa orang malang mana pun dapat saja disergap oleh satu atau beberapa manusia jenis ini di rumahnya.  Demikianlah dunia yang kita hidupi. Kengerian tak tertahankan ada di mana-mana.

Banyak anak berarti banyak keributan. Masa itu, tempat itu, ribut bukan main dengan segala macam suara yang bisa ditimbulkan anak-anak: jerit, pekik, tawa, tangis, rengek, isak, desak, desah, hela, tuntut, teriak, hardik, hina, celoteh, gerutu, geram, singkatnya keributan yang memekakkan.”

Kita Pergi Hari Ini karya Ziggy Zesyazeoviennazabrizkie menjadi buku ke-39 yang dibincangkan Klub Buku Petra tanggal 05 Maret 2022. Selain Yasinta Ajin yang menjadi pemantik diskusi malam itu, hadir juga sembilan pembincang lain: Ronald Susilo, Armin Bell, Marto Rian Lesit, Beatto Lanjong, Lolik Apung, Isma Manehat, Filip Jeharum, Hermin Nujin, dan saya sendiri.

Dunia Anak-anak dan Cara Orang Dewasa Melihatnya

Ajin memulai hasil pembacaannya secara umum dengan mengamati cara Ziggy menggambarkan anak-anak dalam tiga paragraf pembuka yang membuatnya langsung mengambil kesimpulan bahwa Kita Pergi Hari Ini adalah buku yang bagus. Selain paragraf pembuka, ending yang tak tertebak berhasil menciptakan perasaan campur dalam dirinya. Secara lebih rinci, Ajin membagi hasil pembacaannya dalam tiga bagian sesuai jumlah bab dalam buku. Bagian pertama: “Kota Suara”. Pada bagian pertama ini, Ajin tersentuh oleh kisah kehidupan anak bersama orang tua mereka. Tokoh Ma, Mi, dan Mo mewakili anak-anak yang sedari kecil kerap ditinggal pergi orang tua demi pekerjaan. Keadaan ekonomi yang sulit kerap jadi alasan utama untuk melepas anak di rumah (nyatanya, anak butuh banyak pendampingan, perhatian, dan pengawasan di usia seperti itu). Sementara itu, dikisahkan juga model kehidupan lain melalui tokoh Fifi dan Fufu, dua anak yang hidup bersama ibu tunggal.

Selanjutnya ada penggambaran menarik soal “label gender”. Pada bagian ini ditampilkan perspektif orang tua terhadap watak dan perilaku anak seturut gender. Dalam penggambaran umumnya, anak-anak seharusnya seperti Mi, Ma, dan Mo.  Mi, anak lelaki yang sangat bandel. Ma, anak perempuan yang sangat rewel, dan Mo, anak (bayi) yang sulit dimengerti. Hal ini bertolak belakang dengan karakter Fifi anak lelaki yang benar-benar manis, dan Fufu anak perempuan yang benar-benar keren (bandel). Kecenderungan melabeli kebiasaan anak-anak sesuai gender banyak terjadi di lingkungan masyarakat kita sehari-hari, yang tidak biasa dianggap salah dan aneh.

Bagian kedua adalah “Perjalanan”. Bagian kedua dalam buku ini menjelaskan proses yang harus dilalui anak-anak sebelum sampai pada tujuan akhir mereka, yakni sebuah gambaran dunia yang pelik dengan berbagai tantangan yang harus mereka lalui. Hal ini dapat ditemukan lebih rinci pada bagian “Sirkus Sendu”.

Bagian ketiga adalah “Kota Terapung Kucing Luar Biasa”. Pada bagian ini, Ajin menyodorkan pertanyaan: apakah sebenarnya buku ini ingin bercerita tentang imajinasi orang tua yang hendak melenyapkan anak-anak mereka atau sebaliknya buku ini ingin melukiskan imajinasi anak-anak yang kehilangan dunianya?

Pemantik menutup hasil pembacaanya dengan beberapa refleksi yang menyoal fenomena lain seperti dalam beberapa kasus binatang kerap lebih bisa menggantikan posisi manusia, juga tentang pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan, yang menegaskan bahwa keduanya setara. Hal lain yang menarik perhatian Ajin adalah gambar mirip jamur di bagian akhir buku. Seturut riset sederhananya, jamur adalah tumbuhan yang bisa bertahan hidup dalam waktu yang lama dan mudah hidup di mana saja. Barangkali lewat gambar itulah Ziggy juga ingin menegaskan banyak hal soal imajinasi anak yang tidak pernah mati dan membawa mereka ke banyak tempat di dunia.

Pembacaan berikutnya disampaikan Lolik. Ia menilai novel ini menarik dan unik dari segi bentuk yang dipakai Ziggy dalam tulisannya. Penggunaan sub-sub judul menjadi sesuatu yang tidak biasa ia temukan dalam novel-novel fiksi yang lain.  Setelah berusaha masuk dan memahami buku ini, Lolik dengan mantap mengatakan bahwa latar kebudayaan yang dominan diangkat dalam novel ini adalah latar budaya Eropa, walau beberapa kata dan istilah sedikit menyentil kebudayaan Indonesia. Ia juga tertarik membahas kucing, tokoh yang direpresentasikan oleh Nona Gigi dalam novel ini. Menurut amatannya, kucing belum dianggap sebagai binatang kesayangan masyarakat Manggarai, tempat ia tinggal sekarang. Beberapa negara lain di belahan dunia ramai memelihara kucing. Bahkan mereka juga memperjuangkan hak asasi binatang.

Tidak hanya itu, Lolik coba menyinggung soal energi membaca. Beberapa buku Ziggy sebelumnya tidak dapat ia selesaikan karena mengandung banyak irasionalitas. Pembaca ini bahkan menyampaikan secara terbuka bahwa walau bercerita soal anak-anak, ia tidak yakin bahwa anak-anak dapat dengan mudah membaca karya-karya si penulis. Lain cerita jika buku-bukunya dibaca oleh orang dewasa. Kisah novel ini akan sangat membantu mereka melihat semesta lain dalam diri anak-anak. Justru di sana kehebatan Ziggy terlihat. Ia seolah mampu kembali menjadi anak-anak sebelum menulis buku-bukunya.

Kesenangan Meriset Kucing dan Kebingungan Memperlakukan Bacaan

Hermin sebagai pembincang selanjutnya memberi tanggapan secara khusus tentang kucing. Baginya, dibanding soal orang tua dari kelima tokoh anak dalam novel ini, pembahasan tentang kucing lebih dominan. “Mengapa harus kucing?” Pertanyaan itu cukup untuk membuat Hermin mencari tahu sebanyak mungkin informasi tentang kucing. Dari riset pustakanya, Hermin mengetahui bahwa rangka kucing sudah ditemukan 6000 SM di Pulau Cyprus, sebuah negara dengan lima belas bentangan alam yang indah. Hal ini barangkali yang juga menjadi inspirasi Ziggy menulis petualangan kelima anak dalam buku ini. Masih dari riset yang dilakukannya, Hermin menjelaskan bahwa jumlah neuron yang dimiliki binatang ini dua kali lebih banyak dibanding anjing. Hal inilah yang membuat kucing menjadi binatang yang jauh lebih sensitif. Beberapa penelitian bahkan menyebut kucing mampu memprediski bencana, mempunyai kepekaan yang cukup tinggi untuk mendengar suara alam lebih jelas, dan mendeteksi penyakit majikannya. Kucing juga dipercaya mampu menarik rezeki dan menetralisir energi negatif.

Setelah asyik membagikan pengalamannya riset sederhananya, Hermin juga mengakui bahwa ia tidak kaget dengan buku ini. Ketidakmasukalan dalam Semua Ikan di Langit (karya Ziggy yang lain), telah membuat Hermin jauh lebih terbiasa menghadapi cara bertutur Ziggy. Walau demikian, satu hal baik yang kemudian dipelajari Hermin dari gaya bertutur seperti ini adalah soal pengulangan. “Jika ingin menanamkan sesuatu di kepala anak-anak, butuh kalimat yang diulang terus-menerus.” Ia juga belajar menghargai ketidakmasukalan yang diciptakan anak-anak.

Beatto menjadi pembincang keempat malam itu. Kita Pergi Hari Ini menjadi buku pertama Ziggy yang dibacanya. Ia belum berhasil menyelesaikan proses membaca karena bingung memperlakukan buku ini. Namun, pesan yang sedikitnya ia tangkap dari beberapa halaman buku adalah bahwa orang dewasa harus melihat dunia lain yang harus dihargai keberadaannya: imajinasi anak-anak.

Kebingungan yang sama dialami Filip, seorang ayah dua anak yang diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pembacaannya. Novel ini menjadi novel pertama yang ia baca kembali setelah lima belas tahun tidak membaca karya fiksi. “Saya tidak terlalu punya minat dan pengetahuan yang cukup tentang sastra,” katanya kemudian. Meski begitu, Filip berusaha memahami beberapa halaman awal yang berhasil ia tuntaskan. Walau sedikit sulit, pengalaman menjadi ayah dua anak cukup membantu Filip merasakan pengalaman kacau balau yang digambarkan Ziggy. Ia mengalami situasi serupa di rumahnya, bersama Ma-Mi-Mo yang dimilikinya.

Abadilah Anak-Anak dalam Diriku

Isma diberi kesempatan selanjutnya. Isma adalah satu-satunya pembincang malam itu yang datang dari kategori umur anak. Berbeda dengan proses membaca pembincang lainnya, Isma terlebih dahulu memberikan buku itu kepada dua orang temannya di sekolah untuk dibaca. Selanjutnya ia meminta tanggapan kedua temannya terhadap buku karya Ziggy tersebut. Ia memperoleh dua jawaban berbeda. Ada yang mengatakan bahwa buku ini mudah dipahami, ada pula yang memberi tanggapan sebaliknya.

Ketika melihat ilustrasi pada beberapa halaman buku ini, Isma menebak bahwa buku ini akan gampang dibaca seperti layaknya membaca komik. Nyatanya, buku ini harus ia bolak-balik ketika dibaca. Kendati demikian, ilustrasi yang dipakai cukup membantunya untuk berkhayal. Dalam pembacaannya, Isma juga menekankan isu eskploitasi hewan dan anak-anak: “Buku ini bagi saya mengajarkan saya untuk menghormati anak-anak; dan juga tidak bertindak semena-mena terhadap hewan, khususnya seekor anjing yang kami pelihara di rumah.”

Saya mendapat giliran selanjutnya. Buku ini adalah buku tipe saya. Barangkali karena hal yang diangkat dekat sekali dengan keseharian saya, anak-anak. Saya ingat, Semua Ikan di Langit menjadi buku pertama Ziggy yang saya baca. Saya mengingat perasaan-perasaan gembira dan mendebarkan saat membaca buku itu. Cukup jauh berbeda ketika saya membaca buku ini. Saya kehilangan perasaan itu ketika membaca bagian-bagian awal buku ini. Pelan, lambat, dan melelahkan. Namun demikian, hal tersebut justru membawa saya kepada refleksi yang lain: Seberapa sabar saya menghadapi buku yang demikian? Seberapa sabar saya membaca pengulangan yang setiap hari saya lihat, dan seberapa sabar saya bertahan dengan imajinasi yang diciptakan anak-anak. Untungnya, saya masih memiliki keyakinan bahwa Ziggy pasti menyiapkan kejutan dalam tulisannya. Saya beruntung menemukannya di akhir buku ini. Saya terlampau sedih dengan kematian Fifi. Saya pikir kematian tersebut ingin menggambarkan kisah anak-anak yang tidak diinginkan, tidak dilihat, dan dilupakan dalam masyarakat. Juga terlampau sedih ketika anak-anak pergi ke Sirkus Sendu. Kisah itu barangkali ingin menunjukan luka masa kecil setiap anak.

Namun saya senang karena melalui buku ini, saya bisa mengingat banyak orang dan banyak peristiwa sekaligus. Saya teringat murid les dan anak-anak kecil yang bersama saya setiap hari. Melalui anak-anak itu saya kembali mendapatkan dunia bermain yang sudah lama hilang seiring saya bertambah umur. Saya senang diajak mengenang kembali luka masa kecil. Meski melelahkan, buku ini memberi saya sesuatu yang lain. Bagi saya, buku ini tidak menyajikan latar budaya secara khusus. Ziggy hanya ingin bercerita dan membawa saya ke banyak tempat. Juga soal kucing yang banyak disinggung pembincang lain malam itu. Saya pribadi malah melihat kucing sebagai simbol yang dipakai penulis untuk menggambarkan posisi orang tua. Mereka selalu terlihat mengerti banyak hal di depan anak-anak mereka (bayangkan Nona Gigi yang sangat cerdas dan mampu menjelaskan banyak hal dengan sangat baik pada anak-anak), tetapi mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa (lalu memilih pergi bekerja).

Berdamai dengan Bacaan

Marto sebagai pembincang selanjutnya mengakui bahwa ia merasa sulit mengakses buku ini. Itu sebabnya, ia membuat strategi membacanya sendiri dengan membaca bagian awal novel ini berulang kali hingga ia merasa cukup punya dasar pijakan untuk melangkah ke bagian berikut dari buku. Marto mengakui, amatlah penting bagi pembaca sepertinya untuk berdamai dengan bacaan dan pengalaman membaca sebelumnya. Menerima pilihan bentuk bercerita seperti ini bisa membantu pembaca untuk lebih mudah mengakses isi buku. Oleh karena itu, karya Ziggy ini menyajikan semacam pengalaman lain kepada Marto: sebuah kesempatan yang baik untuk mengalami dunia anak sekaligus menegaskan betapa terasingnya ia dari dunia anak-anak.

Marto ikut memberi tanggapan tentang kucing. Baginya Mi, Ma, dan Mo adalah nama yang bunyinya dekat dengan suara kucing: “Miaoooo”. Anak-anak kerap menciptakan keributan dan kegaduhan “miaoooo” di rumah. Ada beberapa ekor kucing yang tinggal dekat rumah Marto, dan menurut amatannya mereka rewel, bandel, dan sulit dimengerti. Kucing sebagai peliharaan bagi Marto dipakai untuk membicarakan tentang anak-anak. Meski mereka “miaooo” tiada hentinya, mereka harus tetap diurus. Sejalan dengan itu, Marto menambahkan bahwa dalam beberapa kebudayaan kucing telah mendapat tempat tersendiri. Ia menyebut budaya Cina dan beberapa mitologi yang kerap mengisahkan tentang kucing, sehingga kucing sesungguhnya telah lama hidup dalam banyak kebudayaan dan layak dipakai sebagai media bercerita bagi anak-anak. Hal terakhir yang disampaikan Marto adalah soal personifikasi yang dipakai penulis untuk merasionalkan imajinasi anak-anak. Bahwa segala sesuatu yang tidak hidup di mata orang dewasa menjadi lebih dari sekadar sesuatu di mata anak-anak. Mereka adalah seseorang.

Pembincang berikut adalah Armin Bell. Baginya buku Ziggy termasuk buku yang cukup sulit diakses, terutama bagi mereka yang tumbuh dari bacaan anak yang realistis seperti karya Alfred Hitchcock, Enid Blyton, Dokolelono, dan lain-lain. Karena itulah Armin mengaku harus berusaha lebih keras menerima bentuk yang ditawarkan Ziggy. “Saya tahu apa yang hendak disampaikannya, tapi saya seolah sulit menerima bentuk yang ia pakai,” tegasnya. Namun, ia mengaku senang karena selain Triskaidekaman, Ziggy barangkali juga satu-satunya penulis yang menggunakan bentuk yang lain dalam bercerita. Kita Pergi Hari Ini, bila memakai bentuk yang sudah banyak dikenal barangkali akan menjadi cerita yang biasa.

Selain itu, menurut pengamatan Armin, Ziggy sangat baik menggambarkan tokoh Mo. Ketika Mo ingin medapatkan sesuatu, ia melepaskan yang lain yang dimilikinya. Itulah juga yang ingin disampaikan penulis melalui buku ini. Menanggapi Isma, Armin mengungkapkan jika buku ini menjadi tamparan bagi para orang tua yang kadang tidak mengerti konsep asisten; menyerahkan segala tanggung jawab mengurus anak pada mereka. Padahal sesungguhnya tugas asisten hanya membantu. Sebagian besar pekerjaan utama (dalam hubungannya dengan kebutuhan anak) tetaplah pada orang tua.

Pembincang terakhir malam itu adalah Dokter Ronald. Sebelum melanjutkan hasil pembacaannya, Dokter Ronald berbagi cerita tentang buku lain yang sedang dibacanya akhir-akhir ini yaitu ‘Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis’ karya Eka Kurniawan. Ia dengan sengaja memulai hasil pembacaannya melalui buku tersebut sebab ia mengaku sedang mencari alasan yang tepat mengapa ia tidak begitu menyukai karya Ziggy.  Ternyata karena ia memang lebih menyukai karya beraliran realis. “Buku ini bukan tipe saya, barangkali saya memang lebih cocok membaca karya fiksi yang beraliran realis-sosialis,” akunya.

Sama halnya dengan Armin, Dokter Ronald mengaku tidak menyukai cara Ziggy bercerita. Walau demikian, Dokter Ronald tetap memberi apresiasi pada beberapa hal dalam buku ini. Hal baik pertama baginya adalah semua orang memerlukan ‘menulis seenaknya’ seperti Ziggy yang seolah tidak terikat banyak aturan. Salah satunya bisa dilihat pada penggunaan catatan kaki “nyeleneh” yang juga sempat membuatnya terkecoh. Namun, ia juga mengakui menulis ‘nyeleneh’ bukan perkara yang gampang. Hal baik berikutnya ialah soal ilustrasi yang dikerjakan sendiri oleh Ziggy. Bagi Dokter Ronald, Ziggy bisa dibilang penulis dengan paket lengkap. Tidak banyak penulis sepertinya. “Penggunaan tanda baca dan diksi yang ketat juga membantu para pembaca menemukan iramanya,” tutupnya. Buku ini membawa Dokter Ronald pada ingatan tentang buku-buku yang lain, seperti Alice in Wonderland, Kafka on the Shore, dan 1Q84 (Haruki Murakami) yang juga memiliki kucing di dalamnya.

Dengan berakhirnya pembacaan dari Dokter Ronald, berakhir pula bincang buku pada malam itu. Bintang 4 disematkan para peserta untuk Kita Pergi Hari Ini karya Ziggy.(*)


Baca juga:
Menulis Orang-Orang Oetimu, Menulis Luka
Jejak Kerang dan Jejak Daun

Bincang Buku Petra adalah program rutin Yayasan Klub Buku Petra. Dilaksanakan sebulan sekali di Perpustakaan Klub Buku Petra, Karot, Ruteng, Manggarai.


Komentar Anda?