Menu
Menu

Hal menarik lain yang juga menjadi sorotan peserta adalah tentang novel Kokokan Mencari Arumbawangi sebagai dongeng.


Oleh: Seltus Fridolin Karson |

Siswa kelas XI Bahasa SMA St. Klaus Kuwu, Manggarai. Lahir di Lembor, Manggarai Barat, 7 Juli 2005. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Dolin memilki hobi menulis dan juga meminati dunia olahraga dan publik speaking.


Bergelut dalam sastra merupakan suatu kegiatan yang dapat membuat siapa saja yang menyukainya akan memusatkan seluruh perhatiannya pada suatu karya (sastra).

Karya sastra ternyata mampu membuat penikmatnya mengerahkan logikanya sekeras mungkin demi menguak berbagai maksud yang terkandung di balik setiap narasi atau fragmen cerita. Maka tak jarang pula, bila diskusi sastra akan lebih menarik ketimbang diskusi ilmiah. Diskusi ilmiah mendorong peserta mencari pendasaran akurat pada ilmu pengetahuan, sedangkan diskusi sastra lebih menyuguhkan tafsiran pribadi yang bersandar pada pengalaman dan emosi. Hal inilah yang menjadikan diskusi sastra antara 25 orang siswa SMA St. Klaus Kuwu bersama tim Bincang Buku Sekolah dari Yayasan Klub Buku Petra lebih terasa estetik dan menarik.

Senin, 14 Maret 2022, sekitar pukul 10.00 Wita, setelah semua peserta Bincang Buku Sekolah telah lengkap, Fr. Kardi Jebau yang mewakili Kepala SMA St. Klaus Kuwu menyambut sekaligus membuka kegiatan secara resmi. “Selamat datang kami ucapkan kepada para anggota tim Petra yang telah berkesempatan mengunjungi kami dalam bingkai bincang buku bersama di tempat ini. Saya mewakili Kepala SMA St. Klaus Kuwu mengucapkan terima kasih kepada tim Petra karena sudah memilih tempat ini sebagai salah satu destinasi literasi. Kegiatan ini sejatinya bukan hanya ajang temu muka tetapi lebih dari itu, dapat menjadi media edukasi, baik wawasan maupun pola prilaku dalam diri siswa,” ucapnya diikuti dengan tiga ketukan pada mikrofon tanda dibukanya kegiatan.

Bertindak sebagai moderator diskusi pagi itu adalah Kak Lolik Apung, Penanggung Jawab Program Bincang Buku Sekolah dari Yayasan Klub Buku Petra, sedangkan tanggung jawab pemantik diserahkan kepada Ibu Retna Teme (Guru Bahasa Indonesia dan Sastra kelas Xl). Yang dibincangkan adalah Kokokan Mencari Arumbawangi, sebuah novel/dongeng karya Cyntha Hariadi. “Kali ini kita jangan pakai kata bedah, terlalu ilmiah. Untuk lebih ringan kita pakai kata curhat saja,” komentar Kak Lolik Apung yang langsung mengubah gurat suasana tegang yang sejak tadi menyelimuti ruang diskusi.

Kesempatan pertama diberikan kepada pemantik diskusi yakni Ibu Retna. Tanda tanya pertama yang dikuaknya adalah penentuan tema Kokokan Mencari Arumbawangi. Menurutnya, tema kehidupan bisa disematkan sebagai tema yang membungkus novel ini. “Lekat dan pekatnya latar kehidupan masyarakat desa yang ditoreh Cyntha dalam novelnya ini, memperkuat pandangan saya mengenai tema kehidupan dari novel perdana Cyntha Hariadi ini,” ungkapnya. Penggunaan simbol-simbol seperti burung dan anjing, tanaman dan tumbuhan juga turut memperkuat tema novel ini,” lanjutnya.

Ibu Retna mengakui jika ia membutuhkan waktu untuk masuk dan mengikuti alur yang tumpang-tindih dalam novel ini. Meski demikian ia tetap menikmati Kokokan Mencari Arumbawangi dan merasa kagum dengan beberapa tokoh, terutama pada Arumbawangi yang berwatak sabar, rajin, dan penyayang. Baginya, Arumbawangi menggambarkan hubungan antara lingkungan tempat tinggal dengan karakter yang dimiliki manusia. Meski Arumbawangi datang dibawa oleh burung Kokokan, Arumbawangi tetap mampu beradaptasi dengan keluarga barunya, Nanamama dan Kakaputu. Kemunculan Arumbawangi dinilai oleh Ibu Retna sebagai dongeng, sehingga ia tidak terlalu mempersoalkan dengan akal sesuatu yang tidak masuk akal: Arumbawangi yang dibawa oleh sekelompok burung.

Setelah ibu Retna, Noya Guritno menjadi pembincang pertama dari para siswa. Noya lebih dulu menggambarkan perasaannya selama menyelami novel Cyntha Hariadi ini. “Lembar pertama berhasil mengguncang hati saya, tentang Kakaputu dan Arumbawangi, bocah berusia 13 dan 15 tahun ini melakukan hal yang tidak lazim dilakukan bocah seusia mereka, yaitu mengubur ibu mereka sendiri,” ungkapnya. Noya sendiri setuju dengan pandangan ibu Retna bahwa kuat dan lemahnya diri dan hati manusia amat tergantung pada sejauh mana manusia bisa menerima dan berlapang dada atas rasa sakit yang datang menimpa. Namun baginya, salah satu kekurangan dalam novel Kokokan Mencari Arumbawangi ini terletak pada latar tempat yang baginya terlalu monoton. “Menurut saya, latar tempat yang variatif akan menambah nilai estetik dan edukatif sebuah novel melalui pendeskripsian tiap-tiap latar itu,” tutupnya.

Kesempatan berikutnya diambil oleh Tantri Jaya. Bertolak belakang dengan pandangan Noya tentang latar tempat yang cenderung monoton, Tantri justru merasa latar cerita novel ini amat bervariatif dan ia tertarik dengan latar tersebut. “Bagi saya, latar novel ini sangat unik. Saya menerka-nerka dan membayangkan Kakaputu dan Arumbawangi berusia seperti saya saat ini, lalu menjalankan hidup di sebuah desa yang permai dengan sawah-sawah membentang sepanjang mata memandang dan jauh dari hiruk-pikuk budaya perkotaan. Bayangan-bayangan seperti itu membuat novel ini tidak monoton,” tutupnya.

Berikutnya, acungan tangan Dolin Karson membuat moderator memberinya ruang. Ia bertanya tentang alasan memilih novel karya Cyntha Hariadi ini sebagai novel yang harus didiskusikan. Menurutnya, viabilitas seseorang dalam memahami isi novel bukan hanya dilihat dari bagaimana si pengarang merangkai atau menciptakan novel seindah mungkin, atau bagaimana si pengarang menyertakan pesan spontan yang memotivasi pembaca, melainkan bagaimana si pengarang mampu membawa pembaca masuk ke dalam cerita. Ia mengakui jika selama menyelami isi novel ini, ia tidak merasakan sugesti yang besar yang dapat mengubah pola pandangnya tentang sesuatu. “Mengapa tim Petra memilih novel ini untuk dibedah?” tutupnya. Pertanyaan ini langsung menjadi bahan yang dibahas bersama.

Tidak butuh waktu lama pertanyaan dari Dolin ini mendapatkan tanggapan. Vidi, Aurel, dan Nisa tidak setuju dengan Dolin. Menurut Vidi Gata, tokoh dan konteks cerita yang didominasi oleh anak-anak (Arumbawangi, Kakaputu, Jojo) menjadi alasan Klub Buku Petra memilih novel ini. “Mereka adalah anak-anak seusia kita dan dengan memilih novel ini untuk dibincangkan di sini, kita sebenarnya mau diberi pengetahuan moral, budaya, sosial, dan lingkungan,” tutupnya. Aurel Esem pun menambahkan sedikit pandangan Vidi dengan menyertakan beberapa nilai yang menurutnya dilewatkan oleh Vidi. “Nilai religius serta buah-buah karakter yang unggul yang tercermin lewat watak para tokoh juga bisa membentuk karakter pembaca khususnya pelajar dalam berelasi dengan sesama dalam masyarakat,” katanya. Sedangkan bagi Nisa, pembaca bisa belajar untuk merawat, menghormati, dan menjaga setiap warisan, baik itu dalam rupa nilai moril, moral, maupun materil. Dengan menjaga warisan-warisan itu menurutnya, anak-anak sudah terlibat dalam upaya untuk melestarikan nilai-nilai itu yang semakin hari semakin terkikis oleh perkembangan dunia modern yang tidak terkendali.

Setelah pertanyaan Dolin berhasil dipecahkan, kesempatan berikutnya diberikan kepada Gill Montegranaro. Berbagai pertanyaan terlintas di dalam kepalanya saat membaca buku ini, misalnya tentang Kakaputu dan Arumbawangi yang menguburkan ibu mereka. “Mengapa Nanamama tidak dikuburkan oleh warga desa seperti yang seharusnya terjadi pada umumnya? Mengapa harus dua anak kecil yang menguburkannya?” tanyanya. Gill juga menyatakan kekagumannya pada penulis novel ini. Menurutnya Cyntha pasti melakukan riset yang mendalam tentang budaya Bali hingga ia yang bukan keturunan asli Bali bisa mengangkat dan menjelaskan dengan baik problem besar yang sedang dihadapi masyarakat pedesaan Bali. Kepedulian Cyntha untuk menulis tentang Bali melalui Kokokan Mencari Arumbawangi, baginya sudah merupakan sebuah pelajaran istimewa.

Ruang diskusi bertambah seru dengan pernyataan Cika Dewi tentang insiden Arumbawangi dengan Pak Wawatua. Menurutnya ia tidak lagi bersimpatik dengan Arumbawangi ketika ia meludahi Pak Wawatua. Menurutnya hal itu tidak dapat dibenarkan, meskipun Pak Wawatua sering bersikap curang terhadap mereka. Pandangan Cika ini langsung disanggah oleh Asni Sarima. Menurutnya, tindakan Arumbawangi ini terjadi karena Pak Wawatua melampai batas. Anak-anak seringkali bertindak nekat dan tidak mengetahui batas-batas baik-buruk ketika ada orang yang memperlakukan mereka dengan buruk. Kepolosan dan kejujuran mereka seringkali sulit ditebak. Dari sisi ini, penulis sebenarnya mau menggambarkan karakter polos dan jujur yang ada pada diri anak-anak. “Saya justru sangat tertarik dengan tindakan tokoh utama saat meludahi Pak Wawatua. Di sana Arumbawangi berhasil menggambarkan sisi manusiawinya,” tutupnya.

Setelah Asni, Sa Seda menjadi pembicara kesepuluh. Ia menyukai tokoh Nanamama karena berhasil berdiri sendiri untuk sesuatu yang benar. Meskipun ia berwatak keras, Nanamama tetap berhasil menampilkan sisi keibuannya baik ketika merawat Kakaputu maupun ketika menerima Arumbawangi, lalu menerima Jojo di rumahnya, dan membantu Pak Rudi pulang ke hotelnya karena mabuk sehingga lupa jalan pulang. Ia tersentuh dengan tindakan-tindakan yang dilakukan Nanamama ini.

Setelah Sa, Cindy menjadi pembicara kesebelas. Sama seperti Sa Seda, ia juga tertarik dengan tokoh Nanamama, serta dua anaknya: Kakaputu dan Arumbawangi. Menurutnya, mereka mengalami masalah yang berat di kehidupannya berupa penolakan dari orang-orang sekampung, tetapi Cindy menilai mereka tetap hidup bahagia, artinya mereka tidak membutuhkan hotel atau drone seperti yang dimiliki Jojo untuk mendapatkan kebahagiaan itu. “Mereka hanya butuh pergi ke sawah dan lempengan-lempengan CD untuk bermain dan menakut-nakuti burung-burung sawah,” katanya.

Seorang peserta yang bernama Lisa kemudian menjadi pembicara keduabelas. Ia mempunyai banyak kebingungan dan pertanyaan, salah satunya tentang nama Arumbawangi. Ia berasumsi jika nama Arumbawangi diambil dari kata bawang yang harum, yang cukup dekat dengan kehidupannya. Nama ini menurutnya bisa jadi juga merupakan sebuah simbol akan bentuk bawang yang berlapis-lapis. “Apa artinya itu?” tutupnya.

Tania Darso juga mempunyai banyak pertanyaan salah satunya tentang makna sampul buku Kokokan Mencari Arumbawangi yang menampilkan seekor burung yang berdiri di sebuah bentangan kawat duri dan juga menampilkan banyak warna. Hal ini juga dialami oleh Wenseslaus dan Avi.

Pertanyaan Tania dan pengalaman dari Wenseslaus dan Avi ini kemudian dijawab Beni Ndoso dan Adwin. Menurut Beni, apa yang ditampilkan di sampul buku merupakan simbol perjalanan para tokoh cerita, khususnya Nanamama dan anak-anaknya. Kawat duri melambangkan penolakan masyarakat atas perjuangan mereka menolak alih fungsi lahan sawah. Burung, baik burung pipit maupun kokokan melambangkan tokoh-tokoh utama yang ingin meraih mimpi mereka sambil harus tetap menyadari pijakan mereka, yang adalah kawat duri. Sedangkan menurut Adwin banyaknya warna yang ada pada sampul buku melambangkan naik-turunnya kehidupan para tokoh, yang tidak selalu bahagia dan tidak selalu sedih. Hal ini disetujui juga oleh seorang peserta yang bernama Sera. Warna-warni sampul buku, menurutnya merupakan lika-liku kehidupan yang dijalani oleh para tokoh. Meski demikian, lanjutnya, warna-warni itu menjadikan latar cerita tidak monoton.

Beberapa peserta kemudian menyoroti tokoh Jojo dalam novel. Sebagian merasa simpati dengan kisah hidup Jojo, sebagian juga merasa kagum dengan caranya bergaul dengan Arumbawangi dan Kakaputu. Arca yang menjadi pembicara kesembilan belas merasakan kesedihan ketika mengikuti riwayat Jojo. Jojo yang sudah mulai masuk dalam cerita menurutnya seakan-akan ditendang secara paksa untuk keluar dari alur cerita. Peserta lain yang bernama Resti dan Marisa merasa terinspirasi dengan tokoh Jojo. Mereka sama-sama sepakat jika Jojo adalah gambaran anak-anak yang belum terpengaruh oleh apa pun. Buktinya ia tidak sungkan bergaul dengan Kakaputu dan Arumbawangi, bahkan ia bermain di rumah mereka.

Hal menarik lain yang juga menjadi sorotan peserta adalah tentang novel Kokokan Mencari Arumbawangi sebagai dongeng. Peserta keduapuluh dua yang bernama Vano berpendapat, jika novel ini adalah tipe novel klasik yang memakai dongeng sebagai bentuk bercerita. Beberapa peserta menyampaikan bukti-bukti yang menguatkan pernyataan Vano ini. Mereka adalah Silvester, Putra, dan Lifi. Bentuk dongeng ini misalnya bisa diketahui dari Arumbawangi yang jatuh dari langit, atau dari kisah awal tentang Nanamama yang dikuburkan oleh anak-anak. Mereka sepakat bahwa hanya dengan menerima novel ini sebagai dongeng, hal-hal tadi bisa dipahami.

Diskusi yang berlangsung selama dua jam itu, cukup menjawab semua pertanyaan yang muncul dari benak para siswa sekaligus memberi berbagai nilai dan eksistensi wawasan sebagai media edukasi. Dokter Ronald sebagai perwakilan dari tim Bincang Buku Sekolah – Klub Buku Petra menjelang akhir diskusi mengungkapkan peluang pola diskusi menarik yang terjadi hari itu terjadi juga dalam proses belajar mengajar di ruang kelas.

“Dalam beberapa kesempatan selama diskusi tadi, saya menyempatkan diri bertanya kepada seorang siswi yang duduk di samping saya. Jika dilihat dari model diskusi ini yang begitu seru dan mengasyikkan, coba kamu bayangkan jika saja cara kita mempelajari salah satu mata pelajaran di dalam kelas sama seperti model bedah buku yang kita lakukan seperti sekarang ini. Pastinya pelajaran itu akan sangat seru. Selain itu, saya rasa siswa juga akan lebih mudah memahami materi ketika ingin belajar apalagi jika dituangkan dalam model diskusi seperti ini. Saya mengharapkan teman-teman sekalian untuk tetap melestarikan budaya literasi dan semangat membaca apa saja baik itu novel, koran, majalah maupun buku-buku lainnya. Di akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih atas partisipasi kita semua dalam kegiatan bedah novel ini.”

Di akhir bincang buku Kokokan Mencari Arumbawangi, Fr. Kardi Jebau menyampaikan terima kasih sekaligus menutup rangkaian kegiatan bincang buku sekolah. Fr. Kardy kemudian mengutip kata-kata yang pernah dibacanya entah di mana: “Kejahatan paling besar selain dari membakar buku adalah tidak membacanya sama sekali.”(*)


Baca juga:
Mendengarkan “Bisikan Tanah Penari”
Memasuki Cerpen “Singgah di Sirkus”


Komentar Anda?