Menu
Menu

Agen wisata resmi, yang bekerja berdasarkan regulasi, yang mengutamakan kenyamanan para tamu dengan menawarkan paket yang jujur, tersingkir. Mereka kalah bodi dari anak buah Franco di Vatikan.


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi. Tinggal di Ruteng. Bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino, Ruteng.


Di hampir semua tempat di dunia, ada orang luar yang ikut terlibat dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Nama mereka tidak tercantum dalam daftar resmi pejabat pengambil keputusan tetapi peran mereka ‘menjalankan kota’ diakui semua kalangan.

Dalam pidato-pidato formal pejabat publik, mereka akan dianggap tidak ada. Tetapi di ruang-ruang gelap, dengan atau tidak dengan berelasi dengan para pengambil kebijakan itu, mereka bekerja. Menjalankan kota, sesekali dengan ancaman, sesekali memberi tekanan, dan hampir selalu tak pernah terlihat benar-benar terlihat.

Saya mengetahuinya dari beberapa cerita, berinteraksi juga dengan mereka beberapa kali—orang-orang yang bisa dengan enteng mengucapkan ‘gampang, nanti kita urus’ untuk hal-hal yang sulit; mereka benar-benar bisa mengurusnya dengan gampang. Mereka ada di semua kota. Dari kota tempatmu tinggal saat ini sampai ke salah satu kota paling penting di dunia: Vatican City.

Kalau suatu saat nanti ke Vatikan, saya mungkin akan sangat berhati-hati di tempat yang kerap disebut kawasan Metro.

Di kawasan beberapa anak buah Franco berdiri, menawarkan paket tur keliling Vatican City dan meminta jumlah uang yang cukup besar untuk tur tersebut. Isi paket tur kota itu adalah sesuatu yang dahsyat untuk orang Katolik sejak lama dan penggemar cerita-cerita lama seperti saya. Mengunjungi Kapel Sistine, melihat pentas Gladiator, bahkan jika beruntung bisa minum teh bersama Sri Paus. Kesempatan sekali seumur hidup itu, siapa yang tidak tergiur? Lalu mengapa saya harus berhati-hati dengan tawaran city tour para anak buah Franco itu?

National Geographic Channel (NGC) dalam satu episode Scam City menelusuri penipuan oleh para agen wisata di Vatikan, di kota tempat jutaan orang datang setiap tahunnya, tempat ribuan orang berkunjung setiap hari. Conor Woodman, jurnalis yang memegang program itu, dengan berbagai peralatan—termasuk kamera kancing baju—bersama timnya berhasil menangkap geliat penipuan berkedok pariwisata di kota itu.

Di Roma, hanya sedikit jumlah agen wisata yang resmi terdaftar di Pemerintah. Wilayah kekuasaan mereka juga mencakup kota suci Vatikan. Tetapi di Vatikan itu, jumlah tour guide-nya sangat banyak dan sebagian besar adalah mereka yang tidak terdaftar sebagai organisasi agen wisata resmi. Salah satu dan yang paling besar adalah yang dijalankan Franco, seorang mantan gladiator yang pernah dipenjara karena sebuah kejahatan dan setelah bebas lalu membangun jaringan bisnis ‘unofficial‘, termasuk pertunjukan gladiator.

Anak buah Franco di Vatikan tersebar, menguasai tempat bernama Metro dan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan tamu yang ‘bisa ditipu’ berkeliling Vatikan. Mereka bersaing dengan agen wisata resmi yang terlampau santun. Hasilnya bisa ditebak. Anak buah Franco lebih berkuasa, mendapatkan lebih banyak uang.

Di Indonesia, kita pasti akan menyebut mereka calo atau bahkan preman. Ya, di negeri ini juga ada banyak Franco, tokoh yang oleh berbagai kalangan akan disebut sebagai “you know who” tetapi tidak untuk dibicarakan secara terbuka. Seorang polisi di Vatikan malah berkelit ketika Conor Woodman menyebut nama: Franco. “No Comment,” kata Pak Polisi tentang Franco di Vatikan.

Sampai akhir tayangan Scam City: Spies at the Vatican (2014), Franco tidak perna muncul di layar. Di bagian akhir dia mau bertemu Conor untuk berbagi cerita, tetapi tidak ingin direkam. Franco di Vatikan menjadi tokoh yang hanya muncul dalam bentuk narasi. Bukan dalam wujud suara atau gambar. Menurut Franco: “Bisnis seperti itu akan terus dijalankan sampai ada regulasi yang jelas dari pemerintah tentang pengaturan agen wisata!”

Setelah episode itu ditayangkan, terjadi perubahan regulasi di Roma, termasuk meniadakan pertunjukan gladiator. Tetapi bisnis mencari tamu dengan konsep ‘menipu’ tetap berjalan dan Franco tetap setia menjadi man beyond the money sebagai you know who, seseorang yang kau sebut namanya setengah suara—suara yang pasrah. Barangkali seperti kelelawar yang kau tahu telah mampir semalam ketika pagi ini kau lihat buah pepaya setengah matang di pohon di kebun belakang rumahmu sudah rusak setengahnya.

Akibatnya jelas. Agen wisata resmi, yang bekerja berdasarkan regulasi, yang mengutamakan kenyamanan para tamu dengan menawarkan paket yang jujur, tersingkir. Mereka kalah bodi dari anak buah Franco di Vatikan. Ribuan tamu juga dipaksa membayar tur yang tidak jelas. Tidak jadi minum teh dengan Sri Paus, mereka pulang dengan cerita buruk tentang Vatikan. Akibat lain? Negara tidak mendapatkan apa pun dari para wisatawan karena uangnya telah jatuh tangan ke orang per orang yang tidak terdaftar sebagai agen wisata resmi dan tidak terjangkau petugas pajak. Negara rugi meski jutaan orang tetap berdatangan ke Vatikan, termasuk saya suatu saat nanti.

Beberapa waktu setelah menyaksikan tayangan ini, saya berbincang-bincang dengan turis asal Belgia di Labuan Bajo. Itu beberapa waktu sebelum Komodo Island terpilih sebagai salah satu dari New7Wonders of Nature bersama Table Mountain di Afrika Selatan, Amazon di Brasil, Iguazu Falls di Argentina, Jeju Island di Korea Selatan, Ha Long Bay di Vietnam dan Puerto Princesa Subterranean River di Filipina. Dia mengeluhkan biaya transportasi dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo yang sangat mahal.

Saat itu, tahun 2014, penyedia jasa transportasi penyeberangan dari Labuan Bajo ke pulau-pulau di sekitarnya dikuasai oleh pemilik perahu, tanpa ada pengawasan pemerintah. Maka demikianlah, seorang nelayan kaya mengalihfungsikan perahu motor penangkap ikannya menjadi alat transportasi pariwisata. Pendapatannya lebih besar karena penentuan harganya dia lakukan sendiri sedangkan kewajiban membayar pajaknya tetaplah sebagai seorang nelayan. Barangkali semirip Franco yang membayar pajak sebagai warga negara biasa tetapi mendapatkan uang berlimpah ruah dari sektor pariwisata.

Setelahnya, saya ngobrol dengan pemandu turis lokal. Dia bilang: “Selama pemerintah tidak mengeluarkan regulasi yang jelas, praktik seperti itu akan tetap ada di Labuan Bajo.” Tentu saja, di Labuan Bajo, sekarang semua telah menjadi lebih baik (atau kita berharap demikian), sebab sekarang seluruh mata mengarah ke destinasi wisata premium itu. Seorang pelanggan restoran melakukan protes keras (atau melakukan kekerasan sebab dia menampar?) karena pelayanan yang dianggapnya kurang maksimal di restoran itu. Kabarnya, ini adalah sumbangsih pelanggan itu untuk peningkatan kualitas jasa pelayanan di kota itu. Eh, sumbangsih? Hmmm … dengan cara menampar seseorang? Reaksi berdatangan. Termasuk yang terbesar adalah agar para wisatawan juga menjaga perilakunya; pariwisata seharusnya membahagiakan semua pihak.

Tentang itu, gereja lokal Keuskupan Ruteng juga telah mengarahkan perhatiannya pada pengembangan pariwisata di tiga kabupaten (dalam wilayah Keuskupan Ruteng): Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur di bawah tema besar: Pariwisata Holistik—digambarkan sebagai karakter pembangunan pariwisata yang partisipatif, berbudaya, dan berkelanjutan. Berpartisipasi berarti masyarakat lokal tidak hanya menjadi penerima keuntungan pariwisata, tetapi juga terlibat aktif dalam mendesain, melaksanakan, dan mengendalikannya. Dengan itu terwujudlah keluhuran martabatnya. Berbudaya berarti menghargai dan merawat kearifan dan tradisi lokal secara inklusif, dialogal dengan budaya lain, serta lentur dalam budaya mondial. Berkelanjutan berarti ramah lingkungan menuju integritas ciptaan, sebab bumi adalah rumah kita bersama. Sebuah niat yang mulia, bukan?

Lalu kau tiba-tiba teringat Franco di Vatikan. Apakah dia ada di Labuan Bajo juga? Atau di mana-mana? Saya pernah ke Gunung Bromo dan harus merelakan sejumlah uang pada proses tawar menawar yang tidak seimbang untuk angkutan, beberapa topi, beberapa gelas teh, dan kuda. Tentu saja bukan masalah kalau uang itu akan masuk juga sebagian kecilnya ke kantong negara. Kekhawatiran saya adalah semuanya menjadi milik Franco yang matanya setajam kucing dan negara hanya bisa bilang, “Kau tahulah…!”

Bukankah menggelikan ketika situasi Franco menjadi sangat berkuasa lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan negara menyiapkan regulasi dan melakukan pengawasan terbaik daripada niat Franco di Vatikan itu menjadi mafia? Sasaran empuknya adalah para turis yang datang tanpa agen perjalanan wisata (atau bahkan agen perjalanan wisata yang ternyata tidak bertanggung jawab). Sebagian besar adalah backpacker yang mau berhemat; jumlah mereka banyak dan orang-orang yang telah mendaftar melalui aplikasi-aplikasi yang bertebaran. Kasihan mereka. Regulasi tentang pariwisata menjadi penting terutama di negeri yang indah dan elok ini, memayungi semua niat baik menjadikan sektor pariwisata sebagai prime mover. Menyerahkannya begitu saja kepada seorang pria bernama Franco atau Benedicto atau Frederico atau Lord You Know Who hanya karena kita tidak menyiapkan semuanya dengan baik tentu akan berdampak buruk di masa-masa yang akan datang. Franco telah terbukti lebih berkuasa di Vatikan. Who run the world? (*)


Ilustrasi: Foto Kaka Ited.

Baca juga:
Ambil Bagian dalam Usaha Penciptaan
Usmar Ismail dan Gemerlap Kelab Malam


Komentar Anda?