Menu
Menu

Saya menitipkan harapan lebih pada sebuah cerita yang tidak berada dalam kuasa saya, pada seorang tokoh yang mendapat banyak “spotlight” dan hampir menutupi karakter utama.


Oleh: Yuan Jonta |

Tinggal di Ruteng. Anggota Klub Buku Petra.


Ia adalah karakter yang bijaksana, tenang, pemberani, dan selalu mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Tentu saja ini adalah kualitas-kualitas kepribadian yang baik; dan bila dilihat dari sudut pandang cerita, ia akan menjadi aset yang menjanjikan dalam merengkuh penggemar. Ia diperankan oleh Sean Bean, aktor yang tepat untuk menghidupkan Eddard “Ned” Stark.

Ketika dulu menyaksikan serial Game of Thrones, saya, dan saya rasa sebagian besar penonton, begitu terkejut ketika di akhir season pertama, Ned Stark meninggal. Dia sebelumnya didapuk sebagai Hand of the King dan di sisi lain ia adalah Lord of Winterfell, posisi yang menunjukkan dirinya secara politis adalah individu yang kuat. Sangat sulit membayangkan dirinya mendapatkan kematian yang tidak terhormat seperti dalam adegan itu.

Nasib, kenyataannya tidak ditentukan oleh narasi hidup seseorang. Kita bisa saja menceritakan pengalaman hidup kita, menjadi heroik, menyedihkan, menyenangkan, atau biasa-biasa saja, berdasarkan perjalanan hidup yang kita ilhami. Tetapi suatu peristiwa, bisa saja menjadi “plot twist” yang mematahkan perspektif cerita yang telah kita bangun, membelokkan pemaknaan naratif kita, atau bahkan mengakhirinya dengan antiklimaks.

Tyrion “The Imp” Lannister adalah tokoh yang lebih mencuri perhatian saya, karena itu, kematian Eddard, sekalipun mengejutkan, tidak lantas membuat saya patah hati untuk melanjutkan cerita. Sebaliknya membuat saya semakin penasaran dengan kelanjutan cerita “Game of Thrones”.

Pengalaman patah hati saya dapatkan dalam Kokokan Mencari Arumbawangi karangan Cyntha Hariadi, ketika pada halaman kesekian mengenal tokoh yang bernama Jojo. Ia adalah salah satu alasan mengapa saya begitu penasaran, membuka lembar demi lembar, memperhatikan kalimat demi kalimat, menjadi pembaca yang khusuk mengikuti jalan cerita.

Ada dua alasan ketertarikan saya dengan tokoh ini: Pertama, ia saya anggap sebagai seorang tokoh potensial—perkembangan karakternya terlihat jelas, masuk akal—dan dia, saya rasa adalah seorang anak yang mudah dicintai; kedua, adalah alasan yang sangat personal, yang membuat saya menyukainya bahkan sebelum mengenal cerita tentangnya.

“Teriakan frustasi anak itu jauh, jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya yang terhuyung gemetaran keluar jendela. Wajahnya yang bila kertas pasti sudah sobek karena ketarik-tarik emosi. Ia mengutarakan keinginannya seperti seorang tuan memberi perintah kepada bawahannya. Dan ternyata memang begitulah hubungan mereka. Pemanjat pohon itu mengangguk-angguk sambil terus menjawab, ‘Nggih, nggih.’ Rasa takut campur kesal –terhadap si anak, bukan pada ketinggian– tak bisa disembunyikan wajahnya yang legam dan banjir keringat.” (Kokokan Mencari Arumbawangi hal. 73).

Ia nampak arogan, tetapi di sisi lain ia menyimpan lara, sakit, dan keputusasaan. Perjumpaannya dengan Arumbawangi, Kakaputu, dan Nanamama menguak sisi lain pribadinya: Kerinduannya akan keluarga yang hangat dan antusiasmenya dengan hal-hal baru. Ia adalah anak-anak, kedua hal itu adalah tanah yang subur untuk kepekaan hati dan keluasan pengetahuannya. Dan kemungkinan-kemungkinan pribadinya begitu menjanjikan hingga peristiwa kebakaran itu. Saya mengambil waktu istirahat yang cukup lama setelah kematiannya.

Ia tidak sepenuhnya meninggalkan cerita, sebab Cyntha Hariadi memberikan kesempatan bagi saya, pembaca, untuk mengetahui bagian penebusan, di mana arwah Jojo melihat bahwa ayahnya mencintainya, hanya saja Pak Rudy seperti tidak mengerti cara menunjukan rasa cinta itu. Bukan materiil. Tapi kebersamaan. Bagian itu tentu saja menjadi sedikit obat, sekalipun tidak begitu memuaskan, karena kontak satu arah; Pak Rudy tidak pernah tahu keinginan hati anaknya.

“Tapi itu di atas sana. Di bawah sini, aku seperti layangan yang tak bisa terbang. Ayah memegang tali yang mengikatku. Tapi percuma, tak ada angin. Aku terus jatuh.” (Jojo dalam Kokokan Mencari Arumbawangi hal. 164).

Relasi orang tua dan anak inilah yang menjadi alasan kedua saya menyukai Jojo. Bukan sekadar relasinya dengan Pak Rudy. Oleh karena sebuah alasan yang nampaknya superfisial, tetapi bagi saya begitu dalam. Saya membaca novel ini di samping Zozo, panggilan kecil mendiang anak kami. Saat itu ia masih terbaring di sisi saya, mencoba meraih-raih buku yang saya baca. “Uiiii, lihat Nana ini ada nama tokoh mirip dengan Nana punya nama.” Saya sudah lupa persisnya seperti apa kata-kata saya saat itu. Yang jelas, saya sudah menjadikan diri Jojo sebagai bagian dari kehidupan saya. Dan cerita karakter Jojo sangat menjanjikan. Saya berharap banyak, bahkan meyakini, ia adalah seorang tokoh penting yang akan terus berlari di sawah, mengumpulkan compact disc, menjadi seorang anak yang bahagia di akhir cerita ini. Saya patah hati.

Saya menitipkan harapan lebih pada sebuah cerita yang tidak berada dalam kuasa saya, pada seorang tokoh yang mendapat banyak “spotlight” dan hampir menutupi karakter utama. Yang dalam proses penulisannya mungkin membuat pengarang gelisah dengan perkembangan karakternya. Dan mungkin sempat terbersit dalam benaknya bahwa akan ada penggemar yang harus kecewa karena sudah memupuk banyak harapan pada Jojo. Kecewa sama halnya dengan Tyrion yang sudah menaruh rasa cintanya kepada Shae, yang kemudian ia temukan terbaring di kamar Tywin Lannister, ayahnya; atau Ned Stark yang sudah terlanjur memercayai Littlefinger.

Eddard Stark dan Tyrion Lannister. Keduanya adalah protagonis dalam Game of Thrones. Namun mereka berdua memiliki karakter yang sangat berbeda. Nama pertama seperti yang sudah saya sebutkan di awal adalah seorang pemimpin di utara Seven Kingdom, dicintai dan dihormati masyarakatnya, menjadi junjungan dan tokoh penting dalam keluarga dan wilayah kekuasaannya. “The Imp” di sisi lain, lahir dengan kondisi bawaan lahir yang membuat ia menjadi anak yang dikesampingkan dalam keluarga Lannister, ia dituduh sebagai penyebab kematian ibunya sendiri (ibunya mati sesaat setelah melahirkan Tyrion). Bila ia dan Lord Stark berdiri bersamaan, dan kepada orang-orang kita mintai hendak menjadi siapa dari antara keduanya, saya pikir sebagian besar orang ingin menjadi Lord Stark. Eddard menjunjung tinggi kehormatannya dan keluarganya, sementara Tyrion sebaliknya menempatkan kehormatan diri dan keluarga sebagai hal yang tidak begitu penting, ia degil dan apa adanya. Keduanya tersusun oleh atribut psikologis yang sangat berbeda, mereka terlahir dengan bawaan lahir yang berbeda, perlakuan sosial yang berbeda, lingkungan dan pengalaman hidup yang berbeda.

Pengalaman individu begitu kompleks, karakter terbentuk dari setiap jalan dan tikungan yang dilalui. Orang tua, sejak anaknya masih merah sudah tentu memikirkan fondasi apa yang hendak ditanamkan dalam diri anaknya. Bayangan-bayangan tentang masa depan anak muncul setiap hari dalam diri orang tua. Tuntutan-tuntutan diri untuk memberikan yang terbaik muncul silih berganti; Ia harus menjadi manusia yang paling bahagia; Ia harus menjadi pribadi yang tangguh; Ia harus bisa memaksimalkan potensi baik yang ia miliki.

Never forget what you are, the rest of the world will not. Wear it like armor and it can never be used to hurt you,” ucap Tyrion Lannister, seorang penyandang dwarfisme yang tumbuh dengan penerimaan akan kondisi bawaan yang ia miliki sehingga tidak seorang pun dapat memakai senjata itu untuk menyakitinya.

Segala penguatan, penonjolan kelebihan-kelebihan, memang sangat penting untuk kepercayaan diri anak. Tetapi ucapan Tyrion kepada Jon Snow tadi patut dipertimbangkan; tentang mengenali diri, menerima kelemahan, agar tidak dapat dipakai sebagai penjagal diri kita sendiri. Cara yang baik untuk memulainya adalah dengan keterbukaan orang tua, bahwa mereka tidak sempurna, penuh cela.

Narasi-narasi hidup sudah terputar lebih dulu di dalam pikiran saya. Segala kemungkinan yang terpikirkan. Segala manuvernya. Narasi-narasi lain tentang saya dan istri sebagai orang tua juga berputar lebih dulu di dalam pikiran saya. Akan jadi orang tua seperti apa kami ini. Menjadi ayah yang berkarir demi memenuhi kebutuhan anaknya? Menjadi pejuang hak kelompok difabel? Tukang pukul para perundung? Hingga pada suatu waktu di bulan Januari bayangan itu luntur, menghadirkan pertanyaan yang lebih mendasar. Sudahkah kami menjadi orang tua yang baik?

Setiap waktu seorang kawan, atau orang tua mana pun bercerita tentang anaknya, tentang kepolosan, kenakalan, tingkah-tingkahnya; sejumput haru membumbung di dada saya. Namun dalam hati yang sangat kecil, seujung paling tipis jarum menghentak sesuatu yang lain. Kerinduan yang mustahil.

Ned dan Jojo, dalam kisahnya masing-masing, masih hidup di dalam sanubari orang-orang yang mereka tinggalkan. Kepergian mereka menggoreskan duka, tetapi di sisi lain menanamkan nilai-nilai baru kepada mereka yang kehilangan. Keduanya hilang, tidak akan pernah kembali, dan tidak akan terganti; tetapi keduanya hidup selamanya dalam ingatan.

Manusia selalu berusaha memeluk erat orang yang mereka cintai, tetapi pada akhirnya kehendak Tuhan, Sang Penulis naskah ilahi-lah yang menentukan.

Ruteng, 22 Juni 2022

Salam

25 Januari yang lalu, tepat satu hari sebelum hari ulang tahun saya, Enzo (sebagaimana Zozo dikenal orang lain) berpulang. Dan saya tidak punya kuasa untuk menulis tentangnya. Sampai akhirnya saya menuliskan ini.


Baca juga:
Mengapa Orang-Orang Hilang dari Sebuah Cerita?
Bagaimana Pandemi Mengubahmu Menjadi Gregor Samsa


Komentar Anda?