Menu
Menu

Yang saya saksikan adalah kebakaran yang menghancurkan seluruh wastu kayu yang bertahan.


Oleh: Saddam HP | Kebakaran dan Reruntuhan

Lahir di Kupang, NTT, 21 Mei 1991. Aktif di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku puisi perdananya berjudul Komuni (2019). Puisi-puisinya dimuat di Majalah Sastra Majas, Mata Puisi, Kompas, dan Tempo. Sesekali menerjemahkan dari bahasa Inggris dan Latin. Terjemahan puisi Vergilius yang dikerjakan bersama Mario F. Lawi adalah Ecloga I (2019). Ia adalah salah satu emerging writers di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2014. Cerpen dan puisinya tergabung dalam antologi Dari Timur 2 (2018) dan Dari Timur 3 (2019), kumpulan tulisan pilihan MIWF. Kebakaran dan Reruntuhan


Sebelum saya lahir, kakek dan nenek saya tinggal di sebuah wastu batu megah bersama dengan paman-paman saya, ayah dan ibu saya, dan keluarga besar kami yang lain; wastu itu kemudian disewa oleh sebuah sekolah dasar swasta, lalu diruntuhkan. Sekolah dasar saya sendiri berada di wastu megah yang lain, sampai kemudian terbakar. Ketika saya di sekolah menengah, kami bermain sepak bola di taman wastu tua ketiga; wastu ini juga terbakar dan kemudian dihancurkan, seperti banyak toko dan bangunan di masa kecil saya.

Sejarah Istanbul adalah sejarah kebakaran dan reruntuhan. Sejak pertengahan abad ke-16, saat pembangunan rumah kayu pertama kali populer, hingga kuartal pertama abad ke-20—selama lebih dari 350 tahun—yang membentuk kota dan membuka jalanan besar dan gang (selain pembangunan masjid-masjid besar) adalah kebakaran. Letak rumah yang terbakar adalah subjek dari banyak diskusi selama masa kanak-kanak saya dan meniupkan aroma nasib buruk. Karena lantai pertama terbuat dari batu dan bata, maka akan tersisa tembok yang hangus tetapi tidak dihancurkan, tangga lantai pertama (yang tapak marmernya akan diruntuhkan atau dicuri), ubin, pecahan kaca, dan vas bunga; di tengah puing-puing ini pohon ara kecil akan tumbuh dan anak-anak akan bermain di sana.

Saya belum cukup dewasa untuk menyaksikan pembakaran dan penghancuran seluruh lingkungan; yang saya saksikan adalah kebakaran yang menghancurkan seluruh wastu kayu yang bertahan. Kebanyakan terjadi secara misterius, di tengah malam. Sampai pemadam kebakaran tiba, semua anak-anak dan orang muda di lingkungan itu akan berkumpul di taman rumah kosong tempat mereka pernah bermain dan berbisik satu sama lain sambil menyaksikan kobaran api.

“Mereka membakar wastu yang indah itu,” kata paman saya nanti, di rumah.

Pada masa itu, melanggar hukum jika merobohkan rumah lamamu demi memberi ruang bagi gedung apartemen baru sebab akan menunjukkan kepada dunia betapa kaya dan modernnya dirimu. Namun, orang-orang akan pindah, dan begitu wastu itu tidak dapat dihuni karena pengabaian, pembusukan kayu, dan penuaan, kau bisa mendapatkan izin untuk merobohkannya. Ada yang akan mencoba mempercepat proses itu dengan menarik ubin biar hujan dan salju dapat masuk. Pilihan yang lebih cepat dan berani adalah membakarnya pada malam hari saat tidak ada yang melihat. Untuk sementara bisa dikatakan bahwa kebakaran ini dilakukan oleh tukang kebun yang lalai. Bisa juga dengan menyebutkan bahwa, sebelum dibakar, rumah-rumah tersebut telah dijual kepada seorang kontraktor dan orang-orangnya sendirilah yang membakarnya.

Itulah objek penghinaan dalam keluarga kami, orang-orang kaya inilah yang membakar rumah-rumah yang pernah dihuni bersama oleh tiga generasi, rumah-rumah yang penuh kenangan, menghancurkannya tengah malam seolah-olah oleh penjahat biasa. Merasa ngeri dan hina, keluarga saya juga telah cukup berhati dingin untuk menjual wastu art deco tiga lantai tempat ayah, para paman, dan nenek saya pernah tinggal dan akhirnya membangun sebuah apartemen sangat jelek di tempat semula. Kemudian, untuk meyakinkan saya bahwa dia tidak ikut serta dalam rencana ini dan tidak pernah “benar-benar” ingin rumah tua yang indah itu diruntuhkan, ayah saya sering berbicara tentang kepulangan kami dari Ankara, tempat kami pindah karena pekerjaannya; saat kami kembali dan dia melihat rumah tua itu runtuh oleh palu godam, dia berdiri di depan pintu taman dan menangis.

Seperti kebanyakan keluarga Istanbul tua yang memiliki wastu mewah, “pindah ke apartemen” memicu banyak perselisihan seperti yang saya saksikan. Pada awalnya, tidak ada yang ingin melihat rumah-rumah lama itu dihancurkan. Namun, tak ada yang mampu menghentikan pertengkaran, perseteruan, ataupun persaingan yang menyebabkan begitu banyak keluarga membawa sengketa properti mereka ke pengadilan, sampai akhirnya meruntuhkan wastu sengketa itu dan membangun di tempatnya semula sebuah gedung apartemen yang baru dan buruk yang tidak disukai sejak awal. Kemudian, mereka akan berbicara dengan nada sedih tentang wastu tua yang hancur, tetapi tentu saja mereka memendam keinginan yang tak terucapkan itu demi memperbaiki hidup dengan pendapatan dari apartemen baru mereka itu. Namun, mereka bertekad untuk meneruskan sakit hati dan tanggung jawab untuk urusan yang memalukan ini kepada anggota keluarga yang lain.

Populasi Istanbul meningkat dari satu juta menjadi sepuluh juta jiwa dalam waktu yang sangat singkat, dan jika kau memandangnya dari atas, kau akan serta-merta melihat mengapa semua perselisihan, keserakahan, rasa bersalah, dan penyesalan keluarga ini sebenarnya sia-sia. Dari bawah kau akan melihat legiun beton, sama hebat dan tak terhentikan seperti tentara dalam Perang dan Damai-nya Tolstoi, saat mereka menggulung semua wastu, pohon, taman, dan satwa liar di jalan mereka; kau melihat jalur aspal yang mereka tinggalkan; kau dapat melihatnya kian mirip dengan lingkungan tempat kau pernah menjalani kehidupan surgawi dan abadimu. Jika, setelah mempelajari peta dan statistik, dan melacak pergerakan kekuatan yang tak terbendung ini, kami menimbang gagasan bahwa satu individu mungkin dapat menyelesaikan pertengkaran keluarga, yang lain mungkin mengingat dengan baik pemikiran gelap Tolstoi tentang peran individu dalam sejarah. Jika kami kebetulan menjadi bagian dari kota yang berkembang dan tak kenal lelah ini, ruang dan taman dan jalan-jalan yang menghidupi kami – dinding yang telah membentuk ingatan dan jiwa kami – akan dihancurkan.

Bagi mereka yang melawan, atau yang mencoba menunda hal tak terhindarkan ini, hantaman terakhir adalah pengambilalihan. Selama masa kanak-kanak saya, banyak gang sempit Ottoman di Istanbul dibersihkan untuk dijadikan jalan, untuk diambil alih yang berarti digusur, untuk menjadi tunawisma secara tidak adil. Selama lima puluh tahun terakhir, Istanbul telah mengalami dua gerakan pembuatan atau pengambilalihan jalan berskala besar dan saat gerakan yang pertama terjadi, saya berusia enam atau tujuh tahun. Saya ingat jalan-jalan menakutkan yang saya lewati bersama ibu saya pada tahun 1950 di sepanjang pantai seberang Golden Horn, di tengah debu reruntuhan Ottoman. Area pembongkaran tampak seperti wilayah perang; karena setiap tanah kosong rebah di sana menanti kehidupan barunya, penuh dengan teror tiada henti dan aneka rumor. Ada desas-desus tentang beberapa pemilik tanah yang lebih disukai daripada yang lain dalam hal kompensasi, dari pengambilalihan yang tidak perlu, dari peta yang kelak mengindikasikan pengambilalihan, dan dari seorang politikus berpengaruh yang mampu menyelamatkan jalan tertentu atau mengubah peta. Di mana pun jalan di sepanjang Bosforus dan Golden Horn yang berbelok ke jalan sempit yang melewati pasar desa, akan muncul seseorang yang sangat kaya atau dekat dengan kekuasaan tinggal di sebuah rumah yang harus dihindari oleh jalan itu. Ini banyak dikomentari oleh wanita-wanita tua yang menumpangi dolmuş dan para tukang cukur tua dan pengemudi taksi yang selalu berterima kasih atas jalan yang lebih lebar—sangat mendukung pembongkaran, kelompok yang terakhir ini selalu bersikeras bahwa jalur itu belum cukup jauh. Ada yang lebih daripada keinginan untuk bulevar Paris yang luas, yakni mengekspresikan kemarahan pendatang baru Istanbul pada kota tua dan budayanya dan dendam yang mereka pendam pada semua yang telah datang sebelum mereka, dan keinginan Republik untuk melupakan sisa-sisa kota orang Kristen dan bangunan kosmopolitan, kota orang Bizantium dan bahkan Ottoman. Pada tahun 1970-an, saat industri otomotif dalam negeri mulai memproduksi mobil yang mampu dibeli oleh kelas menengah, permintaan jalur cepat membuat masa lalu segera disembunyikan di bawah beton dan aspal.

Ada dua cara untuk memandang kota. Yang pertama adalah dari sudut pandang turis, orang asing yang baru tiba yang melihat bangunan, monumen, jalan, dan cakrawala dari luar. Ada juga sudut pandang dari dalam, kota yang kamarnya adalah tempat kami tidur, koridor dan bioskop dan ruang kelas tua, kota yang terbuat dari aroma dan lampu dan warna kenangan kami yang paling berharga. Bagi mereka yang melihatnya dari luar, satu kota bisa tampak seperti kota yang lain, tetapi ingatan kolektif sebuah kota adalah jiwanya, dan reruntuhannya adalah kesaksian yang paling fasih.

Selama penghancuran besar-besaran tahun 1980-an, saya kebetulan sedang berjalan di Tarlabaşi Avenue saat buldoser-buldoser melintas, diamati oleh kerumunan. Pekerjaan itu telah berlangsung selama berbulan-bulan saat itu; semua orang sudah terbiasa, sehingga kemarahan dan perlawanan telah mereda. Meskipun gerimis, dinding terus jatuh, luruh menjadi debu saat runtuh, dan saat kami berdiri memandanginya, bagi saya hal yang lebih mengganggu daripada melihat rumah dan kenangan orang lain hancur adalah melihat Istanbul berpilin sekaligus berubah bentuk dan tahu betapa lebih rapuh dan fananya kehidupan kami sendiri. Saat anak-anak berkeliaran di antara reruntuhan dinding, mengumpulkan pintu, jendela, dan potongan kayu, saya mengerti betapa tumpukan puing ini mewakili hilangnya ingatan yang, pada waktunya, akan tampak seperti hal yang biasa.

Beberapa tahun sebelumnya, saya mengunjungi gedung kosong dan akan dihancurkan yang dulunya adalah Şişli Terakki Lycée, tempat saya terdaftar sejak tahun-tahun terakhir sekolah dasar hingga akhir sekolah menengah. Saya telah berjalan di jalan yang sama selama lima puluh tahun, dan ketika saya melewati lokasi sekolah lama, yang sekarang menjadi tempat parkir, saya ingat hari-hari di sekolah dan perjalanan terakhir melewati ruang kelas yang kosong. Awalnya kehancuran itu menusuk seperti pisau, tetapi sekarang perlahan-lahan saya menjadi terbiasa. Puing-puing kota juga membantu untuk melupakannya. Pertama kami kehilangan ingatan, tetapi kami tahu kami telah kehilangannya dan kami menginginkannya kembali. Kemudian kami lupa bahwa kami telah melupakannya, sementara kota tidak dapat lagi mengingat masa lalunya sendiri. Reruntuhan yang membuat kami menderita dan membuka jalan menuju lupa, akhirnya menjadi tempat di mana orang lain dapat menemukan mimpi baru.

*** Kebakaran dan Reruntuhan

Tentang Orhan Pamuk:

Orhan Pamuk adalah penerima anugerah Nobel Sastra pada 2006. Novelnya Namaku Merah memenangi 2003 IMPAC Dublin Literary Awards. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa.

Esai di atas diterjemahkan oleh Saddam HP dari versi Inggris berjudul “Fires and Ruins” dalam buku Orhan Pamuk berjudul Other Colors Essays and A Story (New York, Alfred A. Knopf, 2007)


Baca juga:
Dunia adalah Articok – Esai Italo Calvino
Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o


Komentar Anda?