Menu
Menu

Dibawakan pada diskusi pameran buku Patjarmerah Kaget, Pos Bloc, 5 Juni 2022. Siapa Berhak Menulis Apa?


Oleh: Felix K. Nesi |

Redaktur Cerpen Bacapetra.co. Buku-bukunya: Kita Pernah Saling Mencinta (2021), Orang-Orang Oetimu (2019), dan Usaha Membunuh Sepi (2016).


Pada pembukaan Brisbane Writers Festival tahun 2016, Lionel Shriver, penulis Amerika pemenang Orange Prize 2005, didaulat untuk menyampaikan pidato kebudayaan dengan tema “community & belonging”. Alih-alih membicarakan topik itu, ia naik ke panggung mengenakan topi sombrero dan meminta maaf karena harus membicarakan hal yang menurutnya lebih mendesak untuk didiskusikan: fiksi dan politik identitas.

Ia mengawalinya dengan mengulang cerita tentang sekelompok mahasiswa kulit putih Amerika yang di awal tahun itu menjadi viral karena dianggap melecehkan budaya Meksiko. Mereka mengadakan pesta dengan tema tequila, menyediakan topi sombrero untuk teman-temannya yang datang. Keesokan harinya foto mereka beredar—foto anak kulit putih berpesta ala Meksiko dengan topi sombrero, dan menimbulkan protes dari mahasiswa Meksiko. Anak-anak kulit putih ini dikeluarkan dari asrama, dan pihak kampus menyampaikan maaf karena ulah anak-anak yang dianggap “melakukan tindakan stereotip”.

Dari sini, Shriver mempertanyakan ketiadaan hak kita untuk mengenakan topi (baca: diri, budaya) orang lain, mempertanyakan batasan dari apropriasi budaya. Ia menyesalkan betapa isu politik identitas, aprosiasi budaya, dan interpretasi bisa mengekang kreativitas penulis.

Ia menyebutkan beberapa novel masterpiece yang tidak akan ada jika penulisnya takut menulis “yang liyan”. Matthew Kneale, laki-laki Inggris kulit putih, menulis tokoh aborigin dalam novel English Passanger. Dalton Trumbo, laki-laki sehat dari Amerika, menulis tokoh difabel dalam novel Johnny Got His Gun. Maria McCann, perempuan straight, menulis tokoh laki-laki gay dalam novel As Meat Loves Salt; dan beberapa karya masterpice dengan tokoh yang jauh berbeda dari penulisnya.

Yen Rong, penulis yang menjadi volunteer di acara itu, menceritakan dalam blognya, bahwa sementara Lionel Shriver berbicara, beberapa penulis bangun dan berjalan keluar. Walk-out. Salah satunya adalah Yassmin Abdel-Magied, penulis Australia yang muslim dan berkulit hitam—dobel minoritas. Yasmin Abdel-Magied kemudian menulis esai di The Guardian (10/9/2016) dengan judul yang tidak basa-basi: “Saat Lionel Shriver Meremehkan Perkara Identitas, Saya tidak Tahan untuk Berjalan Keluar”. Tulisannya memulai kontra atas pidato kebudayaan Lionel Shriver. Perang sastra di topik ini berkembang, dan saya kira belum akan selesai dalam waktu dekat; dengan kasus paling baru adalah pro-kontra untuk penghargaan terhadap Trish Lorenz di Nine Dots Prize 2022.

Trish Lorenz mendapatkan penghargaan Nine Dots Prize 2022 sesudah menulis tentang perlawanan anak-anak muda Nigeria di tahun 2020 melawan SARS—sebuah unit polisi Nigeria yang gemar melakukan kekerasan. Ia memberi judul bukunya Soro Soke: The Young Disruptors of an African Megacity. Setelah buku itu diumumkan sebagai pemenang Nine Dots Prize, protes bermunculan, menyebut buku ini sebagai hasil dari “pencurian kekayaan intelektual tanpa penghormatan terhadap bangsa Nigeria.”

Saya pikir kemarahan publik Nigeria tidak bisa kita lepaskan dari sejarah mereka. Nigeria adalah bangsa yang masih muda, baru merdeka di tahun 1960. Kita bisa bayangkan, setelah dijajah ratusan tahun lamanya, kini mempertahankan apa yang mereka punya bukan lagi keinginan, tetapi kebutuhan. Bahkan cerita, luka, trauma, tidak boleh lagi dirampas dari mereka. Mereka menulis dalam petisinya: “Ia (Trish Lorenz) mendapatkan untung dari trauma kami”.

Hingga hari Minggu (5/6/2022) petisi yang dibuat terhadap buku karya Trish Lorenz telah ditandatangani oleh 7.000 lebih orang. Mereka menuntut agar proyek buku itu dihentikan, dan meminta Trish Lorenz untuk menyampaikan permohonan maaf secara publik.

Jika melihat ke belakang, di tahun 2021, buku tentang gerakan feminisme perempuan kulit hitam yang ditulis oleh Jennifer Buck, seorang akademisi feminis berkulit putih, ditarik dari peredarannya karena isu yang sama: dianggap tidak punya hak menulis tentang perempuan kulit hitam. Kita belum tahu apa yang akan terjadi pada Trish Lorenz dan bukunya Soro Zoke.

**

Satu poin yang menarik dari esai Yassmin Abdel-Magied adalah: “Jika dunia ini adil dan setara, tentu diskusi ini akan berbeda. Tetapi ini bukan dunia yang setara.”

Apa yang ia katakan bisa kita pakai untuk membaca apa yang terjadi di Nigeria dalam kasus Trish Lorenz. Ada penulis kulit putih yang diberi penghargaan dan menjadi terkenal dengan menulis tentang Nigeria, sementara ada puluhan penulis Nigeria yang menggarap tema itu, tetapi tidak pernah mendapatkan publikasi yang baik.

Sampai di sini saya teringat esai Eka Kurniawan yang berjudul “Yang Lebih Besar, Minggir” (terbit di Jawa Pos, 26/7/20). Eka menganalogikan representasi dalam dunia sastra dengan permainan sepak bola. Jika anak kecil yang terusir dari lapangan besar membuat lapangannya sendiri dan bermain di antara mereka, apakah mereka perlu mengajak anak besar untuk bermain bersama? Apakah etis jika anak besar datang, mengambil bola anak kecil, dan memainkannya? Dalam kasus dan diskusi lain kita bisa juga membalik pertanyaannya: jika ada anak kecil yang cukup berani untuk datang dan mengacaukan permainan anak-anak besar (seperti Bodhi dan Soda dalam Hari-Hari yang Mencurigakan karya Dea Anugrah) bagaimana kita harus menyebut mereka? Pahlawan atau bandit?

Saya pernah ditanya soal keberpihakan saya pada keributan ini saat memberi kuliah di Cornell College, Mount Vernon, di sebelah utara Kota Iowa. Bagi saya, soalan ini perlu dilihat per kasus, dan tak dilepaskan dari konteks. Seseorang bertanya apakah saya tidak masalah jika seorang asing datang dan menulis tentang Timor?

Saya tidak masalah, saya menjawab. Penulis tidak mungkin tidak menuliskan sesuatu di luar dirinya sendiri.

Tetapi jika kamu ingin menulis sesuatu di luar dirimu, pastikan batas tulisanmu. Tanyakan pada dirimu: Apakah kamu mau berbicara tentang orang lain, atau mau berbicara atas nama orang lain. Apakah suara orang lain itu mewakili individu secara spesifik, atau ia mewakili suatu golongan. Apakah itu hal baru yang mau kamu tulis, atau hal usang yang kamu ulang dalam bahasa asing. Pastikan bahwa kamu punya cukup tenaga untuk melakukan semua pekerjaan rumah itu.

Karena kamu akan bekerja dua kali lipat daripada orang-orang yang memahami tema itu. Kamu akan menjadi seperti tentara Indonesia yang kebingungan di hutan-hutan Timor. Dihantam malaria dan ilmu sihir. Entah kamu akan mati. Atau kamu akan mempersenjatai orang lokal, milisi-milisi yang lebih menguasai medan. Yang bekerja tidak setara, di mana kamu adalah komandannya. Dan jika kamu memenangkan perang, bukan mereka yang naik pangkat.

Hal itu yang dilakukan oleh bangsa kolonial. (*)


Ilustrasi: Foto Kaka Ited.

Baca juga:
Mario F. Lawi – Ambil Bagian dalam Usaha Penciptaan
Armin Bell – Kita Semua Perantau


Komentar Anda?