Menu
Menu

“Orang Bunian adalah satu-satunya alasan gunung ini hutannya kian lebat!” kata Awang.


Oleh: Baron Yudo Negoro |

Seorang buruh yang gemar menulis. Beberapa cerpennya pernah dimuat di surat kabar.


1. Satu Jiwa, Dua Badan

Antara kau dan hutan itu tak ubahnya satu jiwa dalam dua badan. Kau terhubung dengannya bukan akibat kemauanmu, melainkan karena ketentuan Tuhan. Maka dari itu, di suatu petang yang tak pernah surut, saat kau tertidur di atas tumpukan dedaunan rumbia, dadamu mengejang hebat. Kau tak henti-henti menjerit memecah kesunyian.

Ketika kau terbangun lalu menyeka keringat di leher, para Bunian telah berkerumun di gubukmu, masing-masing menggenggam obor. Mereka tampak was-was menatapmu.

“Apa yang terjadi kepadamu, Datuk?”

“Ada anak manusia melibas ranting-ranting muda, menyeraki tanah hutan dengan kotorannya, mengencingi beringin tanpa permisi.”

“Lalu, apa perintahmu, Datuk?”

“Suruh Nijat membawanya kemari.”

Kau lalu berdiri. Kerumunan itu bagai Laut Merah yang diketuk tongkat kayu oleh Sang Nabi; membelah ketika kau akan lewat dan keluar dari gubukmu.

Di luar, sesosok Bunian tengah membenahi atap gubuknya; merangkak seraya merapikan dedaunan rumbia yang melorot karena angin. Ia buru-buru turun dari atap saat melihatmu merapal doa sembari menatap ke langit. Ia mungkin khawatir tersampar angin, sebab yang terjadi selanjutnya, awan gelap entah dari mana, gulung-gemulung di angkasa diikuti gemuruh halilintar. Burung-burung hitam di udara melayang tak tentu arah, berkoak-koak, seakan-akan menyampaikan pesan bahwa malam di dunia yang sebenar-benarnya dunia, akan bernasib buruk, terutama bagi manusia-manusia celaka.

Tak ada lagi sinar bulan, begitu pula ratusan bintang. Para Bunian di gubuk masing-masing menyalakan obor untuk menghalau kegelapan, mengaitkannya pada dinding luar, lalu berkegiatan seperti sediakala.

Tak lama berselang, derap kaki mengusik telingamu yang runcing. Pada beringin kembar di seberang sungai, kau memicingkan mata. Sesaat kemudian, Nijat dengan badan kerdilnya datang dengan seorang lelaki yang diseretnya.

“Lepaskan aku, bangsat!” teriak lelaki itu.

Mendengar teriakan itu, para Bunian terampok perhatiannya. Secara serempak, mereka ke tepi sungai, merapal doa dengan cara aneh, menimbulkan dengung yang mencekam; satu-satunya bunyi yang terdengar saat itu.

Lelaki itu mengerang-erang sambil menggeliat, seperti tersiksa karena dengung itu. Bersamaan dengannya, sebuah jembatan kayu muncul, melintang di antara tepi kali, disertai kabut tebal.

“Kemarilah, Rong.”

“Hamba, Datuk.”

“Bantulah Nijat.”

Kau melihat Rong di tengah jembatan menjabat tangan Nijat, lalu menariknya secara kencang. Badan lelaki itu terlepas dari tangan Nijat, tergeletak di tengah jembatan. Kau menyeringai. Yang tersisa setelah itu hanyalah hening tanpa tepi.

2. Jasad yang Tertinggal di Jembatan

Di dunia ini, tak ada yang lebih memuakkan bagimu kecuali kisah takhayul. Oleh karena itu, kau muak kepada Awang yang sepanjang waktu di pos satu Gunung Kerinci, kepada para pendaki muda, berkisah mengenai Bunian, suatu suku gaib yang mustahil ada bagimu, juga bagi orang lain.

“Orang Bunian adalah satu-satunya alasan gunung ini hutannya kian lebat!” kata Awang. “Merekalah yang menanami bibit-bibit, merawat pohon-pohon baru, dan menjaga hutan!” sambungnya.

Sementara para pendaki menganga-nganga mendengar ceritanya, kau ingin meludah. Namun, kau mustahil meludah karena akan kentara betul kemuakanmu kepadanya. Hal yang bisa kau lakukan hanyalah membatalkan niat untuk mengajaknya mendaki Kerinci.

“Kau tak perlu membayarku, Ben. Aku tetap akan menemanimu,” kata Awang, saat kau menyampaikan niatmu. “Ini hari biasa, pendakian sepi, aku bisa meninggalkan pos satu,” lanjutnya.

“Tak perlu, Wang. Tiba-tiba saja aku ingin sendiri.”

“Baiklah bila itu maumu. Berhati-hatilah dan berperilakulah secara terhormat sebagai manusia.”

“Apa maksudmu?”

“Kau tahu maksudku.”

Kau semakin muak kepada Awang. Namun, urusanmu masih panjang. Tak ada urusan yang lebih penting ketimbang urusanmu yang panjang itu. Maka, kau pun meninggalkannya ketika matahari di barat bagai kuning telur segar.

Hutan yang kau telusuri kian lebat: semak belukar setinggi lutut, ranting-ranting menjulur kian kemari, dan sulur-sulur sesekali tersangkut kakimu. Karena kesal, kau loloskan parang yang terikat di samping tas panggulmu, lantas menebas segala alang rintang di hadapanmu.

Beranjak petang, kau merakit tenda di tanah datar, membakar tumpukan ranting, lantas kencing di samping batang pohon raksasa. Kau berniat tidur setelah secangkir kopi, dan melanjutkan mendaki pada pukul tiga karena ingin tiba di Bukit Waru saat fajar. Di bukit itulah Cucak Kerinci, ragam burung yang nyaris punah, sering hinggap di pepohonannya. Kau ingin memfotonya karena memang itulah pekerjaanmu.

Saat menyeduh kopi dengan kompor portabel, kau terkejut alang kepalang karena awan gelap seketika gulung-gemulung di langit, disusul gemuruh halilintar. Burung-burung hitam di udara melayang tak tentu arah, berkoak-koak, membuat pundakmu berat bagai membopong sebongkah baja.

Tak ada lagi sinar bulan, begitu pula bintang; segalanya tampak gelap di matamu. Karena itu, kau menambahi ranting agar api membesar. Saat itulah secara samar, matamu melihat sesosok kerdil menyelinap di balik pohon raksasa.

“Siapa di sana?” teriakmu. Parang yang tertancap di tanah kau cabut, lantas kau acungkan ke depan.

Anak panah kecil melesat, menancap ke lehermu. Tak lama berselang, sekujur badanmu lemas, lalu terjatuh di tanah. Kau sempat melihat seorang kerdil menghampirimu, menyeringai kepadamu, hingga akhirnya kau pun pingsan.

Saat siuman, kau terkejut lantaran tangan dan kakimu terikat seutas akar. Kau merintih karena badanmu diseret oleh seseorang yang mustahil kau lihat wajahnya. Badanmu menerjang semak belukar, tanaman berduri, melewati pepohonan rimbun dengan dedaunan yang rapat. Andaikata siang, mustahil terik menyusup.

“Lepaskan aku!” teriakmu, seraya menggeliatkan badan.

Gemercik air terdengar olehmu, beradu dengan gemeresik daun yang tertiup angin. Orang itu menyeretmu melewati sela di antara beringin kembar.

“Lepaskan aku, bangsat!” teriakmu sekali lagi.

Sesaat kemudian, kau mendengar dengung yang ganjil. Dengung itu bagaikan jarum yang menusuk kupingmu, bagaikan godam yang menghantam kepalamu. Kesakitan yang amat sangat menyerang kepalamu, membuatmu mengerang-erang hebat dan menggelinjang di tanah bebatuan. Tubuhmu banjir keringat.

Ketika kau melihat kabut tebal turun, orang itu menyeretmu ke tengah jembatan. Entah bagaimana, kau merasa tanganmu ditarik kencang; sesuatu entah apa, lepas dari badanmu. Tiba-tiba, kau dapat melihat tubuhmu sendiri rebah di jembatan kayu.

Kau ingin berteriak, tetapi mulutmu kaku, tenggorokanmu perih seakan-akan ada ranting tersangkut di dalamnya. Matamu membelalak kemudian ketika tubuhmu berdiri, menatapmu, menyeringai kepadamu. Kau pun lalu pingsan.

***

Kau terbangun karena seseorang mengguncang-guncang badanmu.

“Bangun, Nijat. Saatnya menanam bibit,” kata sesosok aneh di sampingmu, yang memanggilmu dengan nama baru.

Kau lalu menjerit ketika menyadari bahwa tubuhmu bagai menyusut, menjadi kerdil.

 3. Lelaki itu Benny dan Bukan Benny

Aku bersumpah bahwa orang yang kutemui tadi ialah Benny. Mustahil aku melupakan wajah itu. Ia Benny, sungguh. Kendati tak seperti Benny yang dulu, karena ia mengenakan kaos putih kumal dan celana kain selutut. Tapi aku yakin 100 persen bahwa ia benar Benny.

Ia di suatu pertokoan, membopong sekarung beras, lalu meletakkannya di bak pikap. Aku menghampirinya, menyapanya, tapi ia sama sekali tidak mengenaliku. Ia Benny, tetapi ia bukan Benny yang dulu, yang angkuh dan percaya diri dan mendaki Gunung Kerinci seorang diri dan tak pernah kembali. Namun, ia kembali. Aku melihatnya, menemuinya, itu tentu suatu bukti bahwa ia kembali.

Atau jangan-jangan, ia bukan Benny?

Aku ingat betul ketika ia mengajakku untuk menemaninya mendaki Gunung Kerinci pada tujuh tahun ke belakang. Ia bahkan menawarkan upah. Aku senang, tetapi bukan serta merta lantaran upahnya, melainkan karena Benny orang kota.

Sebagaimana orang kota, Benny tentu cerdas, sedangkan aku hanyalah orang dungu yang terlahir di desa, anak seorang Juru Kunci, bekerja sebagai penjaga pos satu Gunung Kerinci. Maka dari itu, aku pun gembira saat ia mengajakku menemaninya.

Namun beberapa waktu kemudian, ia menjelma angkuh. Setiap aku bercerita mengenai Suku Bunian, kepada para pendaki muda yang rentan, ia menyela dengan berkata, “Halah, takhayul dipercaya!”

Terus terang, dadaku nyeri saat itu. Betapa ia sebagai orang kota sama sekali tak menaruh hormat kepadaku. Meski diam-diam, aku masih ingin mengenalnya karena ia orang kota. Maka dari itu, dadaku sesak saat ia membatalkan ajakannya.

“Kau tak perlu membayarku, Ben. Aku tetap akan menemanimu,” kataku.

“Tak perlu, Wang. Tiba-tiba saja aku ingin sendiri.”

“Baiklah bila itu maumu. Berhati-hatilah dan berperilakulah secara terhormat sebagai manusia.”

“Apa maksudmu?”

“Kau tahu maksudku.”

Benny lantas meninggalkanku begitu saja. Aku masih sempat melihat punggungnya, yang kemudian hilang di antara pepohonan rimbun.

Siapa yang menyangka bahwa itu terakhir kali aku melihat punggungnya, sebab ketika Sabtu sore tiba, saat para pendaki beramai-ramai ke Gunung Kerinci, Minggu paginya seorang pendaki berkata bahwa sebuah tenda berwarna ungu tampak compang-camping di samping pohon beringin. Tentu saja itu milik Benny. Aku yang membantunya melipat, merapikan segala isi tas carrier-nya agar nyaman di punggung.

Kupikir, ia telah kembali. Kupikir, ia telah melewati pos satu tanpa menemuiku karena memang ia bukan pendaki, melainkan fotografer yang tak mengenal etika pecinta alam.

“Kenapa ia tak ada di catatanmu?” teriak seseorang dari Tim SAR.

“Karena ia bukan pendaki!” bentakku.

“Semua yang naik dan turun harus dicatat!” teriaknya lagi.

“Apakah Mak Darsih, si pemungut kayu itu, harus saya catat juga?” bentakku sambil menunjuk Mak Darsih yang sedang melintas.

Siang itu, aku diminta untuk ikut dalam pencarian Benny. Semua bermula dari tendanya, lalu seorang dari Tim SAR melacaknya melalui dedaunan yang bengkok, ranting yang pantah, sobekan kain celana Benny.

Pencarian kami terhenti di Sungai Sube. Aku terengah-engah lantaran kehabisan napas. Betapa tim itu sangatlah kuat, melangkah cepat menelusuri hutan tanpa lelah.

“Ayo, jalan lagi!” kata seorang dari Tim SAR.

“Bapak dulu saja, saya mau istirahat,” kataku sambil megap-megap.

Kuraih sebatang rokok, kusulut, lalu kutiupkan asapnya ke atas. Saat itulah aku mendengar seseorang di seberang sungai memanggil-manggil namaku.

“Awang!”

Itu suara Benny, aku masih menghafalnya.

“Ben, di mana kamu?”

Tak ada siapa pun di seberang sungai, kecuali pepohonan dan gubuk-gubuk kayu reyot yang amburadul. Aku pergi saat kabut tebal mulai turun.


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung 

Baca juga:
Cerpen Afryantho Keyn – Kasmir dan Kina
Cerpen Dadang Ari Murtono – Pembuat Topeng


1 thought on “Suku Bunian dan Tiga Kisah di Gunung Kerinci”

  1. Widaningsih berkata:

    Cerpen mas baron selalu menarik untuk dibaca

Komentar Anda?