Menu
Menu

Tiba-tiba sebuah akun menangkap gambar di layar, diperbesar lima kali, dilingkari merah partai—hitam patahan piksel. Jerait.


Oleh: D. Hardi |

Banyak menulis fiksi. Tinggal di Bandung. Karya terbaru: Buku kumpulan cerpen berjudul Palindrom (Poiesis, 2021).


Leha menandai restoran boga bahari mewah La Palourde di laman Instagram. Sebelum memotret seestetis mungkin potongan lobster frittata panggang bertabur kaviar di sisi koktail secara vertikal, ia uring-uringan di Twitter dengan cuitan sarkasme: SEBUAH UTAS. Cowok aktivis, berkacamata, pujangga lirik-lirik senja itu toksik!

“Ada tubir apa hari ini?” Komentar berdatangan.

Spill dong. Spill dong.”

“Aku ngerti banget perasaan kamu, Say. Cowok kacamata; sama rata sama aja.”

“Yang begini enggak bisa dibiarin, sahkan RUU TPKS!”

“Mutualan yuk.”

“Ada yang jual Netflix?”

“Permisi titip sendal, gan.”

Ruwet. Terlalu kompleks. Leha meringis. Dadanya perih. Dan self healing terbaik adalah: mengudap. Kibuli diet. Hidangan cantik di hadapannya kini berasal dari kenangan; kesukaan mantan kekasihnya dulu. “Tulang-belulang hanya buat anjing kurap!” Ia mencantolkan akun @Bonnixxx di story. Sebelum diserbu, akun yang bersangkutan buru-buru terkunci.

“Kalian lihat sesuatu nggak?”

Tiba-tiba sebuah akun menangkap gambar di layar, diperbesar lima kali, dilingkari merah partai—hitam patahan piksel.

“Buset! Itu kutu?”

“Lebih mirip lalat, sih.”

“Di tempat luxury dengan menu sesupreme itu masih ada kecoak?”

Kafka on the Plate,” balas pemilik akun @txtdarisastrapascakontemporer.

Leha memantau komentar, melirik piring keramik, menyingkap hidangannya dengan ujung garpu pelan-pelan. Hfft … Gigi veneer-nya selamat dari lelehan hemolimfa. Bahkan tepian frittata belum tersentuh sama sekali. “Nahas banget nasib gue. Koki sialan,” dengusnya. Ia mengacungkan tangan.

Seseorang datang menghampiri meja.

*** Jerait – D. Hardi

Ada yang bisa saya bantu? Senyuman yang nyaris membatalkan dongkol.

Dia bukan pelayan. Pria tegap dengan rahang tegas dan rambut licin jelantah itu Juned, pembawa acara memasak terkenal yang judes tapi rupawan. Restoran ini ternyata miliknya. Leha gelagapan, namun tak mau kehilangan gengsi. Diam-diam ia aktifkan tombol merekam.

“Saya pesan frittata bakar, bukan kecoak panggang!” protes Leha.

Juned menyingkap hidangan di piring, lalu mendengus.

“Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya,” “sangat,” Leha memotong. “Boleh kami ganti, atau Mbak ingin coba menu spesial kami yang lain? Gratis.”

“Pokoknya koki Anda harus meminta maaf secara langsung, atau saya sumpahi dia pengkor kesenggol bajaj!”

Juned bertanya sesaat pada asistennya.

“Maaf, kebetulan koki yang memasak hidangan ini berganti shift, baru saja pulang,” Juned berusaha sopan.

Grrrh. Leha menenggak tandas koktail seperti unta kehausan.

*** Jerait – D. Hardi

Dengan pengamatan sinematik, kita melihat Dola yang melepas tali apron dan melemparnya begitu saja dalam gerak lambat layaknya seorang jagoan, berjalan di antara keripuhan dapur sehabis menjalankan misi rahasia. Tiba di luar pintu, Dola meloloskan sebatang kretek. Mengimpit sela bibir. Membuka ponsel, raut wajahnya sedikit terkesiap. @Lehalovaholic? Nama yang tak asing. Seringainya pun mengembang.

Ini komentar warganet tentang insiden La Palourde:

“Inovasi mutakhir. Konon, serangga adalah makanan masa depan,” tulis akun @revolusialgoritma.

“QC-nya overthinking nih, butuh healing ke Maldives. Etapi pressure di high resto kitchen kyk gini emang gila-gilaan sih,” ujar akun @deraibaitgerimis.

“Cobain menu asyik lele geprek kami Kak,” ketik akun @GeprekleleMakjleb.

“Lah itu kan chef Juned??? Dia yang punya restoran? Gawat. Auto viral,” tulis akun @niki14759205 di story video berikutnya.

“Lebay nggak sih, chef Juned udah nawarin ganti menu gratis. Hari gini, apa-apa disebar ke medsos. Mempermalukan orang. Kalo bangkrut gimana. Nggak mikirin berapa kepala keluarga yg cari nafkah di sana,” ujar akun @Monacute.

“Selalu perempuan cantik jadi korban,” ketik akun@txtdariantifeminazi.

“Resto mevvah, kualitas kaki lima,” ujar akun @bacotxxx78478212.

“Warung kaki lima gak gini juga kale,” balas akun @cocothargamati54321007.

“Giliran lu sekarang, mampus!” Umpat Dola bukan pada rentetan komentar akun @Lehalovaholic di layar, kecuali menuding ingatannya sekitar dua bulan lalu: lelaki songong itu pernah memuntahkan masakannya ke tempat sampah.

“Ini bukan masakan, bahkan belum pantas disebut masakan,” dia mencibir, “ini mimpi buruk. Kematangan dagingnya, seasoning, sausnya, ya ampun, saus paling teruk yang pernah saya lihat dan cicipi seumur-umur. Ini lumpur hidup. Hancur lebur. Tabrakan. Tak ada yang menyisa di bibir saya selain rasa mual. Piringnya, coba lihat, sampah ini yang bakal kamu hadirkan di meja makan, jejak jari-jari menjijikkan ini? lupakan.” Dia melempar piring. Praaang! Pecah berantakan.

“Ambil close up!” Aba-aba pengarah acara pada juru kamera. Semua peserta bengong, terperanjat. Sebagian pura-pura berempati.

Dola menahan amuk, “Kalian semua palsu,” batinnya. Kejadian ini tak mungkin dia lupa. Dola tersingkir dari kompetisi.

Kriing! Kriing! Ponsel bunyi; Juned memanggil.

“Lu di mana?”

“Di jalan, pulang, ada apa bos?”

“Bangsat, lu bikin apa frittata pelanggan gue?”

“Hah? gimana gimana? Sorry berisik.”

“Lu bikin apa frittata pelanggan gue?!”

Dola menerawang lagi.

“Halo?”

Dola masih ingat, selesai acara, berlagak seperti tak pernah terjadi apa-apa, dia menghampiri.

“Jangan masuk ke hati ya. Namanya televisi, penonton suka keributan,” dia mengedip. “Kalau mau jadi koki sejati tanpa semua sorotan lampu ini, hubungi saya. Dapur profesional, potensi bakat kamu ada di fish cook,”

Dola menerima kartu nama.

“O ya, salmon panggang yang kemarin itu sempurna.” Telunjuk dan jempolnya melingkar.

“Halo?!”

Dola menatap lama kartu nama itu di kamar kontrakan. Menimang-nimang tawarannya untuk sebuah rencana busuk di kepala yang mungkin dapat terwujud. Ya. Ia akan menjadi kuda Troya.

“Halo?! Halo? Jawab bangsat!”

“Itu … bukan frittata, bahkan belum pantas disebut masakan, itu mimpi buruk paling teruk yang pernah lu lihat di meja makan!” Panggilan mati. Dola menelan ludah. Dendamnya tak padam.

Baru melangkah lagi, dari arah seberang, sebuah mobil tiba-tiba melesat. Dola tertabrak. Tubuhnya terpelanting ke aspal. Ponsel melayang.

*** Jerait – D. Hardi

Di warung kopi tempatnya menongkrong, baru sesapan kedua, Bonni orang pertama yang menyaksikan. Mobil SUV hitam berhenti tak jauh dari tempat kejadian. Seorang pria berpotongan cepak turun dari pintu kemudi. Bonni yang sejak kemarin susah mendapat berita, seperti menerima durian runtuh, langsung mengacir menenteng kameranya.

Cekrek! Cekrek! Dia sudah beraksi dari kejauhan. Gambar lelaki muda tertelungkup menyamping terlihat cukup fotogenik. Aspal memerah berlatar senja di musim penghujan. Sungguh dramatis. Di kepalanya kini berputar larik-larik puitis tentang kematian. “Foto ini akan menolong karierku,” batinnya.

Merasa cukup, Bonni menghampiri korban ketika pria lain ikut turun dari mobil. Kedua pria cepak lantas buru-buru mengangkut korban.

“Mau dibawa ke mana pak?” tanya Bonni.

“Rumah sakit atau puskesmas terdekat mana ya?”

“Oh, di perempatan depan belok kiri pak. Mau saya antar?”

“Nggak usah, mas. Biar kami saja. Kami tanggung jawab.”

Secepat air menetes dari mulut keran, secepat itulah mobil mereka gegas menghilang.

Bonni berdecak kagum. Zaman sekarang susah menemukan orang yang bertanggung jawab atas kesalahan. Ia pikir, dunia masih akan baik-baik saja bila semua orang bersikap jantan seperti mereka.

Tak jauh dari lokasi, sebuah ponsel dilihatnya tergeletak di tepi jalan. Bonni memungutnya sembari melirik kanan kiri. Ketika orang-orang berdatangan, dia segera menyingkir dari kerumunan.

Ponsel tak terkunci. Iseng-iseng Bonni membuka layar. Menggeser-geser jempol ke empat arah mata angin. Satu folder terlihat mencurigakan. Ketika dia membuka folder tersebut, berderetlah video-video pribadi lucah tak bermoral. Bonni tersentak bukan kepalang, mendapati mantan kekasih yang baru saja mendepaknya, ada di sana.

***

Seketika muncul pikiran balas dendam di kepala Bonni. Beberapa hari berikutnya dia kirimkan video itu memakai identitas anonim.

“Kamu suka yang viral-viral kan Leha,” dengusnya.

Terkirim. Sekian menit kemudian di tempat lain, Leha membukanya dengan setengah mengumpat tak percaya.

Berisi kenangan indahnya bersama Dola, di dalamnya tertulis pesan teramat singkat: transfer 30 juta atau kenangan manis ini menyebar!

Leha terduduk lemas di sofa.

Ikan mas koki berenang-renang kocak di akuarium mini.

Jus apel di meja perlahan berubah kecokelatan.

Samar-samar tersiar berita di televisi: telah ditemukan mayat seorang pemuda tak dikenal di pinggiran sungai. Dari penyelidikan diketahui, ada saksi yang mengenali mayat pemuda itu sebagai korban tabrak lari. Kini pihak kepolisian sedang mencari seorang saksi mata kunci yang terlihat sempat memotret kejadian itu untuk membantu petugas menemukan pelaku utama tabrak lari.

Jus apel direguknya dengan malas-malasan.

“Kacau betul dunia ini,” Leha membatin.

Mulut mas koki celangap-celangap kelaparan.(*)


Jerait | Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung.

Baca juga:
Gajah di Kepala – Cerpen Rayi El Fatih
Kulit – Cerpen Roald Dahl


Komentar Anda?