Menu
Menu

Rasisme, pseudo-referendum, LGBTQ, kita punya banyak daftar hal yang tidak ingin didiskusikan.


Oleh: Felix K. Nesi |

Redaktur Cerpen Bacapetra.co. Menjadi peserta The International Writing Program di Iowa tahun 2022. Menulis buku kumpulan cerpen Usaha Membunuh Sepi dan novel Orang-Orang Oetimu.


Abdulrazak Gurnah, peraih Nobel Sastra tahun 2021, diundang untuk berbicara dalam pembukaan PEN World Voices Festival, 11 Mei 2022. Ini adalah penampilan pertamanya di Amerika Serikat sesudah ia diumumkan sebagai peraih nobel. Sebelumnya, ia memang tidak popular di Amerika. Dalam diskusi yang akan digelar, seorang penanya sempat menceritakan sulitnya mencari buku Gurnah sesaat sesudah namanya diumumkan sebagai pemenang nobel.

Sehari sebelum pembukaan festival ini, saya dan 14 penulis lain dari International Writing Program Universitas Iowa, terbang ke New York untuk mengikuti festival yang akan dilaksanakan selama lima hari itu. Saya hampir terlambat mengikuti pembukaan karena lupa mengganti setelan zona waktu di komputer. Zona waktu di New York lebih cepat satu jam daripada di Iowa—mirip perpindahan dari WITA ke WIT di Indonesia. Salah turun di stasiun kereta bawah tanah membuat saya berlari 5 blok jauhnya ke Skirball Performing Arts Center New York University, tempat acara diadakan. Beruntung acara masih dibuka oleh musik dari Alsarah, musisi kelahiran Sudan, sehingga saya tidak melewatkan sambutan dari Suzanne Nossel, CEO PEN America, ataupun diskusi bersama Gurnah sendiri.

Sesudah Nossel berbicara tentang sejarah dan tujuan festival diadakan—suatu sambutan tentang pentingnya kebebasan berekspresi bagi para penulis dan sedikit pujian untuk Gurnah, Gurnah muncul di panggung bersama moderator, Nadifa Mohamed. Nadifa Mohamed adalah seorang penulis novel berdarah Somalia yang kini tinggal di Inggris—novelnya yang berjudul Fortune Men yang bercerita tentang seorang kulit hitam yang dituduh sebagai pembunuh, masuk dalam daftar pendek Man Booker Prize 2021.

Mohamed membuka percakapan dengan basa-basi soal pertemuan pertamanya dengan Gurnah, dan bertanya tentang masa kecil Gurnah di Zanzibar-Tanzania hingga pelariannya ke Inggris.

Gurnah bercerita, ia besar di bawah penjajahan Inggris. Namun tiga tahun sesudah kemerdekaan mereka, yaitu tahun 1963, revolusi Zanzibar pecah. Banyak orang terbunuh, rakyat dilarang meninggalkan kota. Ia melarikan diri, mengungsi ke Inggris.

Di Inggris, ia dan pemuda dari generasinya bercita-cita menjadi insinyur, suatu cabang ilmu yang akan memberi dampak langsung bagi pembangunan negara.
“Sarjana Sastra,” katanya, “tidak dibutuhkan oleh negara yang masih muda. Kami merasa negara kami akan lebih butuh insinyur untuk membangun kota, bukan novelis.”

Gurnah menghabiskan masa muda dengan bekerja di ruang operasi sebuah rumah sakit: memperbaiki kursi roda, AC, atau membersihkan sisa bagian tubuh manusia yang habis dioperasi, memikul kaki atau lengan atau organ tubuh lain keluar lewat pintu belakang, sesudah pasien diantar lewat pintu depan.

Namun ia akhirnya bisa kuliah, meraih doktor sastra di Kent University, dan mulai menulis novel. Novel pertamanya yang berjudul Memory of Departure bercerita tentang bocah dari keluarga miskin di Tanzania yang bercita-cita untuk pergi ke Inggris. Butuh dua belas tahun lamanya untuk mendapatkan penerbit yang mau menerbitkan novel itu.

Kenapa lebih memilih tema politik dan sejarah? Mohamed bertanya.

Gurnah mengatakan pentingnya penulis untuk menyuarakan sesuatu. Sambungnya: “Saya merasa semua cerita tentang itu sudah ada. Saya tidak perlu mengarang cerita baru, tinggal menuliskannya saja.”

Di akhir diskusi Mohamed menyinggung soal Priti Patel, Sekretaris-Negara Britania berdarah India-Uganda yang berulangkali menyangkal rasisme di Inggris tahun 2021, dan di tahun 2022 ini mengeluarkan keputusan untuk mendeportasi para pengungsi perang dan pencari suaka keluar dari Inggris.

“Saya kira latar belakangnya akan membuat ia melakukan sesuatu yang lebih baik untuk para imigran. Ternyata tidak. Orang macam apa yang menyangkal dan melakukan sesuatu yang jahat, yang mungkin akan menimpa bapak dan ibunya sendiri? Benar-benar monster!” katanya.

Penyangkalan Rasisme

Saya tidak bisa tidak memikirkan Indonesia saat Gurnah berbicara tentang penyangkalan rasisme. Pemikiran, perilaku, dan pengambilan keputusan dengan bias rasial rasis adalah hal lain, tetapi menyangkal bahwa hal itu terjadi juga melegitimasi hal tersebut. Dan kadang, tanpa disadari.

Indonesia adalah negara kepulauan dengan begitu banyak suku dan ras, tetapi tidak pernah secara terbuka mendiskusikan isu rasial.

Tahun 2019 sesudah beberapa tentara, secara harafiah, menyebut mahasiswa Papua sebagai monyet, diskusi soal ini pun tidak terjadi. Demonstrasi pecah di berbagai tempat, tetapi diskusi soal apa yang harus kita lakukan ke depan tidak pernah terjadi.

Sementara itu, sudah menjadi pengetahuan bersama kalau orang Papua an Indonesia Timur pada umumnya sering mengalami perlakuan rasis. Televisi dan industri film terus menempatkan manusia Indonesia timur sebagai orang bodoh, terbelakang, penjahat bermuka seram. Mahasiswi-mahasiswa Indonesia timur yang bersekolah di Jawa sering berakhir membentuk kelompok antar-mereka sendiri karena lelah mengharapkan penerimaan yang cukup.

Saat saya menulis soal ini di facebook, seorang teman mempertanyakan apakah mahasiswa Indonesia Timur yang datang ke Jawa sudah cukup beradaptasi. Kadang saya pikir pertanyaan seperti ini adalah satu bentuk penyangkalan.
Kalimat lainnya adalah: “Tidak ada rasisme. Hanya kalian saja yang kurang beradaptasi.”

Sebelum mereka ditanya apakah mereka sudah cukup beradaptasi, coba tanya dulu apa bentuk rasisme yang mereka alami sejak turun dari pesawat, saat mencari kos, saat berusaha berbaur di kampus, saat menghadapi dosen—saya yakin mereka akan menceritakan banyak hal jika kita mau mendengarkan. Banyak orang yang tidak akan mengerti bagaimana susahnya beradaptasi di Indonesia jika kamu punya rambut keriting, kulit hitam, dan dialek yang berbeda. Terlebih jika kamu berhadapan dengan mereka yang tidak pernah menghargai perbedaan.

Kalau tidak salah ingat, pada tahun 2000-an, saat seorang mahasiswa asal Papua di Salatiga mengkritik seorang DPR yang memberi kuliah umum di kampusnya, si DPR kontan menjawab: “Mending kamu jangan banyak pikir yang berat. Kuliah saja yang baik, dan cari perempuan Jawa, supaya bisa pulang dan perbaiki keturunan.”

Hal-hal seperti itu masih sering kita temukan. Tetapi jika saatnya tiba untuk mendiskusikan itu, banyak yang akan bilang kalau isu rasial tidak ada di negeri kita. Saya pikir, kita yang belum siap mendiskusikan hal itu. Kita selalu lebih memilih untuk menghindari diskusi tentang perbedaan. Rasisme, pseudo-referendum, LGBTQ, kita punya banyak daftar hal yang tidak ingin didiskusikan. (*)


Foto diambil dari laman facebook Felix K. Nesi.

Baca juga:
Hikmah
Apa yang Membentuk Kelopak Bunga Pohon Sakura?


Komentar Anda?