Menu
Menu

terapi membaca; perjamuan rutin dan cosplay pagi; statistik lirisisme; artefak demokrasi; sirkus pemilu.


Oleh: Halim Bahriz |

Tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Dua naskah pertunjukannya mendapat Rawayan Awards (Dewan Kesenian Jakarta: 2017). Pemenang pertama sayembara penulisan The 4th Asean Literary Festival dan esai seni rupa Kemendikbud (2019). Mengikuti Residensi Penulis Indonesia (2018). Debut buku puisinya, Igauan Seismograf, masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019.


terapi membaca

puisi terapi membaca

. terapi membaca

perjamuan rutin dan cosplay pagi

tubuh di timur dan pikiran di barat saling mendekat ke ambang batas. utopia menuntun lampah keduanya. ketika sampai, mereka berciuman, mengunyah waktu lantas memuntahkannya. darah menulis cerita. air mata membacanya. menjamas sejarah luka di seranjang altar yang setiap malam menghidangkan subaltern yang payau dan hampir pingsan, doa-doa kedaluarsa, atau jantung yang merenangi hening sebaring napas—yang denyutnya mengembari sirine ambulans setiap kali tersadar bahwa negara tidak pernah membangun rumah sakit untuk dirinya sendiri, kecuali: mendirikan semacam barak pengungsian rohani atau program sejuta popok untuk kesedihan tak beradab. ketika alarm memberinya serahim pagi sungsang, igauan kuno ini pun diasahnya kembali : elloi, elloi, lamma sabakhtani! ia tahu mesti bersilekas mengemasi keping-keping diri, menyiapkan perpisahan ringan depan cermin, kemudian berjalan menjejaki catwalk pedestrian sebagai maneken pesanan para pemilik saham.

. terapi membaca

statistik lirisisme

puisi puisi 2 terapi membaca tabel

. terapi membaca

artefak demokrasi

partai politik dan para taipan menggunakan demokrasi sebagai meja makan untuk berkencan dan saling memesrai. menggelar lelang dan memenangkan tender masa depan. sebab itu kutulis paragraf pendek ini. untukmu. pecandu kekuasaan mengisap peluh kesedihanku sebagai bensin, untuk mengendarai waktu, mencemarkan reputasi sang liyan dalam semarak konvoi; saat orang-orang memainkan notasi-notasi mayor untuk merayai mimpi-mimpi berasap—seumpama pesta: akulah lilin yang nyala, sebentar, kemudian dipadamkan dengan meriah. suaraku belaka getah lamunan. etimologi yang terkelupas di lidah penafsir. tetapi pamflet, yang terendam tangis, dipernyaring. orasi para jurkam mengarak dukkha di tengah, badai sorak-sorai, memperalat api untuk mengkolosalkan kebodohan dan memperalat kebodohan untuk menghimpun bakat-bakat fanatisme. harap tak terunggah, protes tergilas gimmick trending topic, nasib yang piatu terus dikucilkan (berlumut karat) di luar bilik pemilu.

mayoritas memborong demokrasi untuk memonopoli keadilan.

. terapi membaca

sirkus pemilu

ketika nasionalisme yang pilek dan harapan-harapan migrain khusyuk memadami (demam dalam sekam) lipatan paragraf yang terpanggang; memungut sisa, sejarah, tafsir dan igauan memilah takdir dan rekayasa, doa setengah gosong―di sana

setrum dan angka merumuskan kerja cuaca, mistisisme baru di antara aura daftar menu, siasat sulap, atau siklus tamasya rombongan sirkus pemilu; kobar iklan dirapal para kriminal di muka mazbah, di sebuah pesta barbeku—sorak-sorai janji diacungkan tinggi-tinggi ke arah utopia:

“suara rakyat adalah suara tuhan!”

. terapi membaca

pencarian semar

halo, denmark, aku semar. utusan waktu dari timur. tugasku menjamas lidah para jelata, menyucikan ludah asam, di bibir cangkul. kepadamu aku datang sebagai lamunan lambung jawa—lumbung demit—yang sudah dikosongkan dari metafisika tropis. ratu sudah jadi batu. nisan bagi primbon yang gosong setelah pagi. ziarah turis! dukun parpol! tamasya bagi pecandu togel! musim dan bintang-bintang mengungsi ke gulungan seluloid si buta huruf. sepasang lorong yang merasakan pagi seperti pelukan ibu. tetapi ladang tinggal setipis napas, di mana angin dibaringkan, dan kalender cocok tanam selalu dicuacai algoritme dukun-dukun barkeley; seseorang yang matanya serupa cctv, yang ketika bicara, seperti ingin memarkir angin di ujung lidahnya.

lihat, denmark, lihatlah! anak-anak menggunakan matematika untuk berlatih memaknai cinta dan harga diri. mereka hafalkan nama-nama terkenal sambil mengunyah lidah sendiri. mengunyah lidah sendiri sambil pura-pura tertidur dan dalam tidur mereka, diam-diam, kompeni-kompeni pribumi menginstall software babi ngebet. all-digit-all-digit-all! lihatlah, orang-orang merayakan kemajuan seperti sedang belajar debus, para kriminal berjudi sambil berlatih pidato di mimbar-mimbar kampanye.

namaku semar, denmark, datang dari suatu tempat yang tak punya matahari. semua pagi yang terbit di negeri kami, adalah terang yang kami pinjam dari langit greenwich, matahari yang selalu terbenam di washington. apa kau tahu di mana matahari kami dikuburkan? malam-malam negeri kami disesaki bau kemenyan dari hollywood. bahasa yang kami tanam tumbuh menjadi benalu mimpi, dan kata, berbunyi sendiri seperti alarm token listrik. kami tidak bisa membedakan lagi, mana shinta mana dedes siapa rama siapa arok. nasib dan masa depan kami telah diretas dengan mantra – html – yang menyihir remaja sekolah pula berjuta penerima jatah beras murah menjadi warga negara yang masokis. sebagaimana hipnotika bel sekolah menggiring para belia ke dalam kelas. kelak, berkat surat-surat resmi, mereka percaya: perdagangan manusia (berkedok standar upah) sudah tak ada lagi.

tidak, gandhi cuma hampir malam, tetapi nehru tidak membiarkan matahari terbenam di mana pun. tidak, tidak. soekarno tidak menerbitkan matahari. ia mengirimkan lahan-lahan pertanian ke langit soviet dan meniru jam lembur milik beijing. tidak, denmark, jangan salah paham. intenet telah membonsai iman menjadi pose-pose jihad di kolom komentar, dan orang-orang percaya, bahwa kata-kata dapat menjelma kerikil ababil. negeri kami, umpama ruang tunggu akhirat dalam sebuah musim kampanye yang abadi, kami perlu grup whatsaap untuk merasa hidup seperti dan sebagai sebuah keluarga.

demikianlah, denmark, ratu yang dahulu mendengar nasihat-nasihatku sudah jadi nisan bagi primbon yang gosong. setelah pagi, mengantar hari-hari buta, setelah tuhan rutin memarkir takdir di lidah pejabat dan mimpi konglomerat. semula kami mengira, ludah jendral batavia adalah pose tulah, bagi ratu-ratu yang khianat. tapi mereka titisan setan-setan lama juga, yang merasuki cucu-cucu kami dengan kata-kata licin. kesejahteraan tak pernah jadi kompensasi; sekadar rumor, sesingkat breaking news! meskipun limbah kekuasaan (yang menyebabkan doa jadi pendek, masa depan jadi kumuh) terus mengalir, jauh sampai ke lubuk payudara ibu; meski hak-hak binatang, yang menyemayami badan dan ingin berburu peruntungan nasib-nasib liar, senantiasa harus kami jinakkan demi terjamasnya kehidupan berbangsa dan bernegara. denmark, di negeri kami, kesejahteraan adalah janji-janji becek, yang membikin harapan-harapan bunting berkali-kali terpeleset.

aku semar, denmark, diciptakan dari suara-suara baik di timur. datang untuk menimba kegaiban barat dari tahtamu. ajarkan kepada kami jenis-jenis sulap dan berbagai-bagai kekhusyukan untuk mengekstrak pajak menjadi keadilan dan menjadikan keadilan sebagai asuransi bagi nasionalisme yang terlukai.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited diolah dari sini.

Baca juga:
Puisi-Puisi Joy Olree – Singkatnya Hidup
Puisi-Puisi Fathulrachman – Mencintai Vegetarian
Puisi-Puisi Tjak S. Parlan – Piknik


 

Komentar Anda?