Menu
Menu

Meskipun novel Segala yang Diisap Langit adalah karya fiksi, Pinto Anugrah berusaha menjelaskan sejarah nenek moyangnya dengan cara yang menarik.


Oleh: Arsy Juwandi |

Guru Bahasa Indonesia di Seminari Pius XII Kisol. Peserta Bincang Buku Petra.


Bincang Buku Petra telah memasuki pertemuan ke-41 dan membahas novel Segala yang Diisap Langit, salah satu karya fiksi yang ditulis oleh Pinto Anugrah. Dilaksanakan pada hari Sabtu, 28 Mei 2022 di Perpustakaan Klub Buku Petra dan dihadiri oleh 10 peserta: Yuan Jonta sebagai pemantik diskusi, Marcelus Ungkang, dr. Ronald Susilo, Lolik Apung, Etak Janu, Armin Bell, Beato Lanjong, Maria Pankratia, Febry Djenadut, dan saya sendiri sebagai notulen

Yuan Jonta memulai diskusi dengan menjabarkan hasil pembacaannya untuk novel Pinto, penulis yang menerima Residensi Kepenulisan ke Malaka-Malaysia dari Komite Buku Nasional tahun 2019. Kesan awal yang didapatnya setelah membaca novel ini adalah bahwa judul benar-benar mewakili isi cerita. Menurut Yuan maksud dari yang diisap langit adalah kondisi kampung yang telah terbakar dan kepulan asap yang membubung tinggi, peristiwa kampung yang terbakar setelah perang hingga tidak ada satu pun yang tersisa.

Catatan penting yang disampaikan pemantik malam itu adalah masih banyaknya peristiwa yang belum dimasukkan, seperti penggambaran karakter tokoh dan perkembangannya dalam cerita. Kisah pertobatan dari Magek Takangkang tidak diceritakan, padahal ada perubahan drastis yang terjadi dalam diri tokoh yaitu dari orang baik menjadi orang yang begitu membenci kampung dan adat istiadat yang ada di sana. Perkembangan tersebut tidak diceritakan sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dari pembaca. “Menurut saya, penulis harusnya memasukan satu bab lagi untuk menjelaskan apa motif dari Magek Takangkang membenci kampung halamannya. Misalnya, jika memang ada doktrin tertentu yang didapat oleh tokoh dalam perjalanannya sebagai pedagang, mesti dijelaskan dan diceritakan,” tutur Yuan Jonta.

Satu penggalan kisah yang menarik menurut Yuan adalah penggambaran kisah antara Tan Amo dan Jintan Itam, juga pertarungan-pertarungan yang terjadi dalam cerita. Menurutnya cara penulis membangun narasi tentang hubungan Tan Amo dan Jintan Hitam sangat singkat tetapi mampu membawa pembaca untuk mengimajinasikan kisah antara keduanya..

Hal yang sama disampaikan Maria. Menurutnya, membaca novel ini seperti membaca ringkasan sebuah peristiwa, bukan membaca sesuatu yang utuh sebagai sebuah fiksi. Penggambaran tokoh dan segala perubahan yang terjadi dalam diri tokoh tidak dijelaskan dalam novel. Banyak hal terjadi dalam diri tokoh tetapi tidak diceritakan dengan rinci. “Bagi saya, ada bagian-bagian yang terputus dalam novel ini, kita butuh penjelasan lebih. Hal yang mengejutkan justru datang dari testimoni yang sangat menjanjikan tetapi tidak sesuai yang diharapkan,” kata Maria. Tetapi Maria mengapresiasi cerita yang diangkat dalam novel karena secara khusus menceritakan budaya Minangkabau, Sumatera Barat, yang selama ini jarang ditemukan dalam karya sastra modern. Gaya bahasanya juga mengingatkan pembaca pada karya sastra lama yang menggunakan bahasa Melayu. “Gaya novel ini mengingatkan saya pada karya sastra lama, baik itu puisi atau novel. Pinto sangat berani menulis cerita dengan menggunakan bahasa Melayu untuk konteks sekarang,” tutup Maria

Febri yang mendapat giliran ketiga memulai dengan sebuah pertanyaan tentang judul novel: apa sebenarnya yang diisap langit? Ia berasumsi, setelah membaca judul ia akan menemukan kisah-kisah heroik tentang seorang tokoh (Magek Takangkang). Namun dalam perkembangannya, ia tidak menemukan kisah-kisah semacam itu. Lebih jauh ia berpendapat bahwa novel yang ditulis Pinto Anugrah ini sebenarnya novel yang memiliki banyak penjelasan tetapi tidak bertele-tele. Menurutnya, kesan yang didapat setelah membaca novel adalah seperti sedang membaca ringkasan-ringkasan peristiwa dan membuat pembaca tidak langsung menikmati isi cerita. Ada satu peristiwa yang menurutnya sangat mengganggu yaitu kisah tentang Bungo Rabiah melahirkan. Ada hal yang tidak bisa diterima secara ilmu kesehatan tentang proses persalinan. “Menurut saya, harusnya rasa sakit yang dialami Bungo Rabiah itu bukan pada saat mengejan tetapi ketika terjadinya pembukaan-pembukaan,” tutur Febri.

Selanjutnya giliran Beato yang menyampaikan hasil pembacaannya. Ia memulainya dengan apa yang dia rasakan ketika melihat testimoni yang justru memberi harapan ketika memulai membaca. Meski kemudian, dia menemukan beberapa bagian dalam novel Segala yang Diisap Langit yang kurang fungsional dan justru membingungkan saat membaca. Hal lain yang juga menjadi perhatiannya adalah bab-bab dalam novel seperti kumpulan cerpen. Dalam novel begitu banyak percakapan yang tidak berfungsi dengan baik, juga kisah-kisah yang tidak ada kaitannya dengan tokoh. “Ada banyak hal penting tidak dimasukkan dalam cerita padahal itu sangat berpengaruh dalam kelangsungan cerita, misalnya perubahan karakter tokoh dan penyebab setiap konflik yang terjadi,” tutur Beato

Setelah Beato giliran saya yang membagikan hasil pembacaan. Kesan awal ketika membaca Segala yang Diisap Langit adalah melihat kisah yang sadis. Di awal kita diperlihatkan dengan seorang tokoh bernama Magek Takangkang yang menghancurkan alat kelaminnya. Peristiwa itu menurut saya adalah cara yang digunakan oleh tokoh Magek Takangkang supaya cinta terlarangnya dengan Bungo Rabiah tidak mengasilkan sesuatu yang disebut aib. Kisah cinta terlarang ini juga yang menjadi pemicu dari semua peristiwa yang ada dalam novel. Misalnya Magek Takangkang yang memanfaatkan kaum Padri untuk menuntaskan dendamnya terhadap kampung halamannya.

Hal yang sama menjadi perhatian dari Retha Janu. Menurutnya cerita dalam novel bicara tentang cinta yang tak sampai antara Bungo Rabiah dengan Magek Takangkang. Cinta kemudian menjadi alasan Magek Takangkang untuk memusnahkan warga lokal-adat di kampungnya. Namun kekecewaan juga disampaikannya tentang tokoh Magek Takangkang yang memaksa orang untuk bertobat dengan jalan kekerasan.

Lolik Apung, peserta berikutnya, membagi beberapa catatannya setelah membaca. Pertama, penggunaan kata dan frasa Melayu dalam novel ini bisa menyulitkan pembaca, tetapi hal itu menurutnya menambah perbendaharaan kata-kata. Kedua, tokoh yang menjadi perhatiannya adalah Bungo Rabiah. Hal-hal yang dilakukan oleh Bungo Rabiah dalam cerita menyebabkan Magek Takangkang marah dan melakukan hal-hal yang kejam seperti membunuh. Keinginan tokoh utama untuk memiliki anak perempuan dan harus berhubungan dengan Tan Amo menjadi sumber masalah bagi Magek Takangkang. Karakter tokoh Tan Amo yang digambarkan mengingatkan Lolik pada cerita-cerita karya sastra lama seperti tokoh Datuk Maringgi yang terkenal dengan kekejamannya. Tokoh Tan Amo menjadi menarik karena kemampuannya dalam menciptakan hal utama dalam adat Rangkayo yaitu kehadiran keturunan perempuan. Terakhir, bagi Lolik, novel Segala yang Diisap Langit merupakan karya yang bagus dan membawa pembaca ke dalam cerita sejarah perkembangan masyarakat Minangkabau dari feodalisme tradisi lokal menuju rezim Kaum Padri.

Giliran terakhir yang berbicara adalah Dokter Ronald. Kesan awal yang disampaikan adalah cerita yang begitu singkat dan novel yang cepat selesai ketika dibaca. Penggunaan diksi yang dipakai juga sangat halus dan bahasa yang digunakan yaitu Melayu, masih bisa dipahami pembaca pada umumnya. Namun meskipun menggunakan bahasa Melayu, ada perbedaan antara novel yang ditulis Pinto dengan karya sastra lama lainnya, misalnya cara menjelaskan sesuatu secara singkat. Menurutnya Pinto adalah penulis modern yang bisa menulis sesuatu yang simpel dengan singat tetapi akhir ceritanya bisa dibayangkan.

Cerita-cerita dalam novel juga mengingatkan Dokter Ronald pada film-film Indonesia tentang perempuan dan segala permasalahannya. Namun, yang menjadi catatan juga adalah cara penulis memperkenalkan kaum Padri yang sedikit gagal, seperti tiba-tiba hadir dalam cerita tanpa ada penjelasan sejak awal. Hal penting yang juga menjadi perhatian Dokter Ronald adalah karakter tokoh utama, Bungo Rabiah yang begitu kuat dan dominan (di dalam keluarga dan di tengah masyarakat). Dalam novel, banyak hal yang dilakukan tokoh utama seperti memarahi Tan Amo di depan orang tuanya, sesuatu yang jarang terjadi dalam kehidupan nyata. Terakhir, Dokter Ronald menjelaskan tentang frasa “yang diisap langit” yang juga digunakan sebagai judul oleh penulis. Menurut Dokter Ronald langit itu adalah rahim Bungo Rabiah, dan siapa saja laki-laki yang bisa memberinya keturunan perempuan akan diisapnya.

Malam itu, Bintang 3,5 disematkan untuk novel Segala yang Diisap Langit karya Pinto Anugrah ini. Selama bincang buku, saya begitu senang apalagi ketika diberi kesempatan untuk menjadi notulis. Mengikuti diskusi seperti ini menambah wawasan saya dalam mendalami karya sastra, khususnya dari sisi sejarah perkembangan suatu masyarakat. Sejarah yang disampaikan melalui karya sastra terasa lebih asik dan membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. Saya kira, meskipun ini karya fiksi, Pinto yang bergelar Datuk Rajo Pangulu, datuk pucuk di Minangkabau, berusaha menjelaskan sejarah nenek moyangnya dengan cara yang lebih menarik dan dapat dinikmati oleh banyak orang.(*)

Komentar Anda?