Menu
Menu

Konstantin Paustovski banyak menulis cerpen dengan tema keseharian dan kemanusiaan. Cerpen “Maling Jadi Polisi” ini diterjemahkan dari “Cat Thief”.


Oleh: Anton Kurnia |

Lahir di Bandung, 1974, dan sempat menempuh pendidikan di jurusan Teknik Geologi ITB meski kini lebih dikenal sebagai penulis, penerjemah, dan penyunting.


Kami sungguh merasa putus asa. Entah harus bagaimana untuk menangkapnya. Dia merampok kami setiap malam dan begitu lihai bersembunyi. Tak seorang pun dari kami bisa menemukan dia.

Seminggu kemudian barulah kami berhasil mengetahui dan menemukan bahwa telinga kucing garong garang berbulu oranye itu rusak dan buntutnya yang kotor buntung sebagian. Kucing itu, yang tampaknya telah kehilangan hati nuraninya, adalah seekor kucing liar. Kami menjulukinya “Voryuga” yang berarti “Maling”.

Dia mencuri semuanya: ikan, daging, roti. Suatu hari dia bahkan membongkar kaleng berisi cacing umpan memancing yang ada di dalam lemari. Dia tidak memakan semua cacing itu, tetapi dia membuat ayam-ayam menyerbu dan melahap semua stok cacing kami yang tersisa. Ayam-ayam itu kekenyangan lalu mereka berbaring di bawah sinar matahari dan berkotek puas. Kami berjalan di sekitarnya dan mengutuk ayam-ayam kurang ajar itu.

Hampir seminggu setelahnya kami habiskan waktu untuk memburu si kucing garong. Bocah-bocah kampung membantu kami mencarinya. Suatu hari mereka datang berlari dan berkata bahwa pada dini hari kucing itu melesat melewati kebun dan menerkam banyak anak ayam.

Kami bergegas ke ruang bawah tanah dan mendapati banyak ayam hilang. Seharusnya di dalam kurungan ada sepuluh anak ayam gemuk. Itu bukan lagi pencurian, tetapi perampokan terang-terangan. Kami bersumpah untuk menangkap kucing itu dan menghentikan perbuatan kriminalnya.

Akhirnya malam itu juga si kucing tertangkap. Dia mencuri sepotong sosis dari meja dan membawanya sambil memanjat pohon birch. Kami menggoyang-goyangkan pohon birch itu. Si kucing garong menjatuhkan sosis yang menimpa kepala Ruben. Dari atas dahan pohon, kucing itu menatap kami dengan mata liarnya dan melolong marah.

Namun, tak ada aksi penyelamatan diri. Kucing itu malah bertindak putus asa. Dengan gemuruh yang menakutkan, ia jatuh dari pohon birch. Dia terjerembab ke tanah dan melompat seperti bola sepak, lalu melesat pergi ke kolong rumah.

Rumah itu kecil, berada di daerah terpencil, di sebuah taman yang ditinggalkan. Setiap malam apel-apel liar terjatuh membangunkan kami, jatuh dari cabang-cabang ke atas papan atap rumah. Rumah itu penuh dengan peralatan memancing, apel, dan dedaunan kering. Kami hanya menghabiskan waktu semalam di dalamnya. Sepanjang hari, dari fajar sampai gelap, kami berada di tepi kanal dan danau yang tak terhitung jumlahnya. Di sana kami memancing dan menyalakan api unggun di semak.

Untuk sampai ke tepi danau, kami harus menginjak-injak tetumbuhan aromatik yang tinggi di jalanan sempit. Kami akan kembali dengan lelah pada malam hari dengan membawa ikan-ikan perak. Dan setiap kali pulang, kami temui kisah tentang kenakalan baru si kucing garong.

Namun, akhirnya kucing itu tertangkap. Dia terpojok di bawah rumah, di sebuah lubang sempit. Tak ada jalan keluar. Kami meletakkan jaring nelayan tua pada lubang dan menunggu. Namun, kucing itu tidak mau keluar. Dia melolong dengan gahar.

Satu, dua, tiga jam berlalu. Sudah waktunya untuk tidur, tetapi kucing itu masih melolong dan mencarut ribut di kolong rumah. Itu membuat kami jengkel.

Kemudian kami memanggil Lenka agar dia segera datang. Dia anak seorang pembuat sepatu di kampung kami. Lenka terkenal akan keberanian dan ketangkasannya. Dia ditugaskan untuk menarik keluar kucing itu dari kolong rumah.

Lenka mengambil pancing sutra. Seekor ikan tangkapan diikatkan pada pancing itu dan kemudian dilemparkan melewati lubang ke bawah.

Lolongan berhenti. Kami mendengar benturan keras. Kucing membenamkan giginya ke kepala ikan. Lenka menyeret Joran pancing. Kucing itu mati-matian menahannya. Namun, Lenka menariknya lebih kuat. Kucing itu tetap tidak mau melepaskan ikan tangkapannya. Semenit kemudian, kepala kucing dengan ikan di giginya muncul di permukaan lubang.

Lenka mencengkeram tengkuk leher kucing itu dan mengangkatnya ke tanah. Lalu kami mempertimbangkan apa yang mesti dilakukan. Si kucing menutup matanya dan menekan telinganya. Dia menaruh ekornya di antara kakinya. Kucing gelandangan itu kurus meskipun sering mencuri makanan. Bulunya oranye seperti lidah api dengan pulas putih di perutnya.

Ruben berkata sambil berpikir, “Apa yang akan kita lakukan kepadanya?”

“Ayo kita beri dia pelajaran!” kataku gemas.

“Itu tak akan berhasil,” kata Lenka. “Sifatnya begitu kekanak-kanakan. Cobalah memberinya makan.”

Kucing itu menunggu sambil memejamkan kedua matanya.

Kami mengikuti saran Lenka lalu menarik kucing itu ke lemari dan memberinya makan malam yang enak: babi panggang, daging ayam beku, susu, dan krim asam.

Kucing itu makan dengan lahap selama lebih dari satu jam. Kemudian dia terhuyung-huyung keluar dari lemari. Dia membersihkan diri dengan menjilati tubuhnya dan duduk di ambang pintu, lalu memandang kami dengan mata hijaunya yang genit.

Setelah membersihkan diri dan mendengus panjang, dia menggosok kepalanya ke lantai. Itu menunjukkan bahwa dia merasa senang. Kami tidak cemas dia akan merontokkan sendiri bulu-bulu di belakang kepalanya.

Kemudian kucing itu menggulingkan punggungnya, menangkap ekornya sendiri, mengunyahnya, dan meludahinya. Lalu, dia meregangkan tubuhnya dekat tungku perapian dan mendengkur dengan tenang.

Sejak malam itu dia hidup bersama kami dan dia pun berhenti mencuri. Keesokan paginya dia bahkan melakukan perbuatan mulia yang tak terduga.

Ayam-ayam betina naik ke atas meja di taman, saling mendorong, berkotek ribut, dan mematuki piring gandum. Kucing itu menyelinap ke arah ayam-ayam dan melompat ke atas meja sambil mengeong-ngeong kepada mereka.

Ayam-ayam betina itu berhamburan turun dengan berkotek-kotek putus asa. Mereka berlari ke buli-buli yang berisi susu, bulu-bulu mereka berontokan. Mereka menjauh dari taman.

Si kucing berlari ke depan ayam-ayam itu. Ia bergegas mengejar mereka dengan tiga kakinya, sedangkan kakinya yang keempat, kaki depannya, menghalau ayam jantan yang ada di belakangnya. Ayam-ayam itu berhamburan lintang-pukang sehingga debu-debu beterbangan.

Setelah beberapa menit, ayam-ayam itu berbaring di kandang, memutar matanya dan mengerang pelan. Air dingin menyiram kucing itu dan ia pun berjalan pergi.

Sejak saat itu, ayam-ayam itu merasa takut untuk mencuri. Ketika melihat si kucing, mereka berkotek dan ramai-ramai bersembunyi di kolong rumah.

Kini si kucing berjalan tenang di sekitar rumah seperti majikan. Dia menggosok-gosokkan kepalanya dengan manja ke kaki kami. Dia meminta pujian dan meninggalkan bulu-bulunya pada celana kami. Kami pun mengganti julukannya dari “Maling” menjadi “Polisi”.

Meskipun Ruben mengaku tidak senang dengan keputusan itu, kami yakin si kucing tidak akan marah atas apa yang kami lakukan.

*** Konstantin Paustovski

Tentang Konstantin Paustovski (1892-1968)

Sastrawan ternama Rusia yang pernah dicalonkan meraih Hadiah Nobel Sastra pada 1965. Dia pernah belajar ilmu hukum di Universitas Moskow, tetapi terpaksa putus kuliah akibat meletusnya Perang Dunia Pertama. Paustovski banyak menulis cerpen dengan tema keseharian dan kemanusiaan. Dia juga menulis novel, puisi, lakon drama, dan skenario film.

Cerpen di atas diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari “Cat-Thief” dalam kumpulan cerita Summer Days (1937). Konstantin Paustovski


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga: Konstantin Paustovski
Esai Umberto Eco – Antara La Mancha dan Babel
Catullus: Kelembutan dan Kompleksitasnya


1 thought on “Maling Jadi Polisi – Cerpen Konstantin Paustovski”

  1. Oktavianus Noldi Sangga berkata:

    Apa kesimpulan dari cerpen ini?

Komentar Anda?