Menu
Menu

MIWF tidak pernah bercita-cita menjadi pusat, tetapi menjadi ruang sirkulasi dan produksi pengetahuan di wilayah Indonesia Timur.


Oleh: Lolik Apung |

Admin Program Klub Buku Petra dan Tutor di Rumah Belajar Ba Gerak, Ruteng


Makassar International Writers Festival (MIWF) 2022 mengusung tema AWAKENING. Tema ini mencerminkan situasi saat ini: sebuah pengakuan atau kesadaran atas kehidupan pasca-pandemi, yang sama sekali berbeda. Pandemi terbesar abad ini menyodorkan satu pertanyaan krusial: kehidupan seperti apa yang ingin dijalani hari-hari ini? Pertanyaan ini coba dijawab oleh para penulis, editor, penerbit, dan performer yang tampil di Rumata Art Space, Makassar, 23-26 Juni 2022.

MIWF 2022, Festival Rendah Karbon

Hari pertama tiba di Makasar International Writers Festival (MIWF), saya kelimpungan mengikuti sesi-sesi yang sudah direncanakan untuk diikuti. Sesi-sesi yang tersedia secara paralel membuat saya harus memilih. Pilihan jatuh pada Bincang Buku Eko Rusdianto: Meneropong Manusia Sulawesi. Diskusi sudah berlangsung selama satu jam ketika saya dan Retha Janu tiba di Kafe Sudut Santai. Sesi ini menghadirkan Eko Rusdianto sebagai penulis, Ilda Karwayu sebagai pembedah buku, dan Wawan Kurniawan sebagai moderator. Kami duduk bersebelahan dengan para peserta yang lain. Ada Aan Mansyur, TC dan Kak Ros dari Marjin Kiri. Tentu saja sesi ini tidak diikuti dengan maksimal. Sesi Kopi, Teh, dan Buku yang berlangsung di Rumata Art Space dan dipimpin oleh Ibe S. Palogai juga tidak diikuti secara maksimal.

Sesi yang sungguh diikuti dengan maksimal justru datang dari Climate Corner. Sesi ini menghadirkan Ka Cipu Suaib dari Ecobrick Makassar. Beberapa tahun terakhir, Ka Cipu dan kawan-kawan menangani sampah dan emisi yang dihasilkan dari setiap pergelaran MIWF. Penanganan ini dimulai dengan mengidentifikasi sumber-sumber emisi, menghitung jumlah emisi, dan mengkonversi emisi ke dalam jumlah pohon yang harus ditanam untuk mengimbanginya. Sumber emisi berasal dari empat sektor utama yaitu penerbangan, kendaraan antar jemput, listrik, dan sampah-sampah makanan. Jumlah emisi pada hari pertama festival tercatat mencapai 7.921 Kg CO2. Perhitungan ini dikonversi ke dalam 64 pohon bakau yang harus ditanam untuk menyerap emisi dari hari pertama. Sedangkan selama festival, terproduksi emisi 13.436,98 Kg CO2. Konversi pohon dari emisi ini adalah 140 pohon bakau.

Hal ini tentu saja sangat menarik. Saya berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan merancang festival atau kegiatan serupa dengan melibatkan konsep rendah karbon di Ruteng, kota saya tinggal saat ini.

Untuk mengurangi penggunaan sampah plastik, peserta diwajibkan membawa botol air masing-masing. Empat hari di Makassar, saya tidak menemukan banyak sampah plastik, meski panitia sudah menyiapkan tempat-tempat sampah untuk sampah organik dan non-organik. MIWF memang berkomitmen untuk menjadi festival zero waste, mencegah sampah-sampah berakhir di TPA dengan menjadikannya produk-produk lain yang layak pakai.

Menurut Cipu, bukan reduce, recycle, dan reuse yang paling utama dalam penanganan sampah, melainkan mengantisipasi agar sampah tidak berakhir di TPA. Mereka berharap agar MIWF 2022 bisa menjadi acuan pelaksanaan kegiatan rendah karbon baik di Makassar maupun di tempat-tempat lain.

Program Utama, Pojok Komunitas, dan Climate Corner

Pada malam pembukaan, Direktur MIWF, Lili Yulianti Farid membentang sedemikian rupa pertimbangan, keputusan, dan prinsip-prinsip pagelaran MIWF 2022 dalam pidato pembukaannya. MIWF 2022 tidak digelar di Fort Rotterdam sebagaimana biasa, tetapi di Rumata Art Space. Selain karena situasi pandemi, Lili menyadari tentang pentingnya membangun intimasi dalam bentuk percakapan kritis dengan para peserta lintas generasi.

MIWF juga adalah festival no all-male panels. Tidak ada satu pun panel diskusi yang seluruh pembicaranya laki-laki. MIWF mengidentifikasi pembicara dan moderator perempuan demi terciptanya kesetaraan di setiap program festival, serta menciptakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan untuk mengembangkan potensi sebagai agen perubahan melalui peran-peran strategis di MIWF. Selain sebagai festival no all-male panels, MIWF 2022 hadir sebagai festival zero waste. Untuk mengakali hal ini, sejak 2019 MIWF bekerja dengan Ecobrick Makassar.

Bagi Lili, festival adalah identitas kota dan tempat bertemunya pemikiran-pemikiran baru lintas disiplin, bukan hanya festival bagi penulis dan pembaca, sehingga MIWF tidak pernah bercita-cita menjadi pusat, tetapi menjadi ruang sirkulasi dan produksi pengetahuan di wilayah Indonesia Timur. MIWF 2022 yang digelar untuk merayakan satu dekade MIWF dan Rumata Art Space juga berkomitmen menjadi festival antikorupsi.

Festival diisi oleh panel-panel diskusi yang dibagi ke dalam tiga ruang program yaitu Program Utama, Pojok Komunitas, dan Climate Corner. Panel-panel pada program utama diisi oleh pembicara dengan berbagai latar belakang seperti penulis, editor, dan penerbit. Panel-panel ini dilaksanakan secara hybrid dengan para penulis dari berbagai negara.

Penulis-penulis yang hadir offline di antaranya adalah Agustinus Wibowo, Andy Setiawan, Aparna Saxena, Beth Yahp, Edwin, Eko Rusdianto, Ilda Karwayu, Julie Anne, Kalis Mardiasih, JS Khairen, Kieren Salazar, Masey Ang, Maria Pankratia, Omar Musa, Rain Chudori, Rara Sekar, Ronny Agustinus, Theoresia Rumthe. Sedangkan penulis yang hadir secara daring adalah Andy Fuller, Aquarini Priyatna, Asmayani Kusrini, Asri Saraswati, Bora Chung, Desca Ang, Dian Purnomo, Dido Michielsen, Gavin Seah, Ika Natassa, Intan Paramaditha, dan Najelaa Shihab. Para penulis dan editor ini secara bergantian mengisi panel dari tanggal 23-26 Juni. Beberapa panel diskusi diisi oleh teman-teman yang bergerak di bidang penerbitan. Penerbit-penerbit yang hadir di antaranya adalah Akasia, Marjin Kiri, Noura Books, dan Grasindo.

Selain mendapatkan cerita-cerita kerja kepenulisan dan penerbitan, hal yang paling penting dari program utama ini adalah bertemunya penulis, penerbit, dan pembaca dalam ruang yang setara. Percakapan-percakapan di luar panel diskusi menjadi tidak kalah menarik dengan percakapan yang dibangun dalam panel diskusi; di tempat makan, di halaman, dan dan di sudut-sudut Rumata.

Sedangkan Pojok Komunitas menghadirkan 19 komunitas literasi yang tersebar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Mereka berbagi pengalaman dalam mengelola komunitas literasi, melakukan diskusi buku, dan games interaktif tentang buku. Komunitas-komunitas itu adalah Akasia, Barru Membaca, Book Club Makassar, Gerakan 1001 Buku, Kabisat, Katakerja, Kampung Buku, Kedai Buku Jenny, LemINA, Nusa Pustaka, Pecandu Aksara, Pustaka Merahitam, PUSCATA, Rappo, Rumah Belajar Cinta Damai, Saraung, SAKU, Semut Merah Kaizen dan Dialektika. Tidak heran, jika Makassar cukup konsisten mencetak penulis-penulis berkualitas seperti M. Aan Mansyur, Faisal Oddang, Wawan Kurniawan, dan nama-nama lain. Selain Faisal Oddang, dua nama lain dibesarkan oleh komunitas literasi. Aan di Katakerja. Wawan di Akasia dan Dialektika.

Adapun Climate Corner adalah pojok yang diisi oleh diskusi-diskusi tentang lingkungan. Pojok ini diinisiasi oleh teman-teman peduli lingkungan di Makassar. Diskusi hari pertama yang sempat saya ikuti bertema Membuat Event yang Ramah Lingkungan. Tema-tema di hari selanjutnya tidak kalah menarik seperti Household Waste Management, Manfaat Bakau untuk Manusia dan Lingkungan, dan Program Energi Terbarukan Bagi Masyarakat Terpencil. Selain diskusi, climate corner rutin menghitung emisi yang dihasilkan para peserta selama festival serta mengolah sampah-sampah plastik yang dihasilkan menjadi barang baru yang dipakai.

Bertemu Emerging Writers

Lima emerging writers hadir secara langsung di MIWF 2022. Mereka adalah Iin Farliani dari Akar Pohon Mataram-NTB, Afryanto Keyn dan Jemy Piran dari Flores Timur-NTT, Septina Andriani dari Samarinda-Kalimatan Timur, dan Chaery Ma dari Bone-menetap di Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Siti Hajar dari Kupang-NTT hadir secara daring. Emerging writers adalah para penulis terpilih yang diundang mengikuti festival. Mereka terpilih melalui proses seleksi setelah mengirim karya berupa buku atau kumpulan karya puisi/cerpen ke MIWF. Program emerging writers sendiri menjadi semacam program khusus dari MIWF. Emerging writers yang hadir di MIWF 2022 adalah para penulis yang mengirim karyanya di tahun 2020. Situasi pandemi membuat kehadiran mereka baru terjadi dua tahun setelahnya.

Selama festival berlangsung, para penulis emerging ini mudah ditemui. Di beberapa kepala orang, bertemu penulis adalah bertemu pribadi yang introver. Tentu saja hal ini subyektif, tetapi menjadi penulis adalah mengorbankan sisi sosial dengan mengurung diri di kamar; entah untuk membaca atau menulis cerita. Proses itu hanya mereka sendiri yang tahu. Bertemu para penulis emerging yang hadir di MIWF 2022, kesan introver itu juga bisa didapatkan, meskipun beberapa di antaranya mudah akrab dengan orang lain. Namun kepribadian itu pulalah yang menghantar mereka ke MIWF 2022. Jemy Piran sudah menulis 3 buah novel: Dalam Pelukan Rahim Tanah (2021), Wanita Bermata Gurita (2020), Obituari Sebutir Telur, Seekor Ayam, dan Babi (2018). Iin Farliany sudah menulis buku puisi Usaplah Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022) dan kumpulan cerpen Taman Itu Menghadap ke Laut (2019). Dua karya ini membuat Iin diundang juga ke Ubud Writers Festival 2022. Siti Hajar sudah menulis satu buku kumpulan cerpen berjudul Menyudahi Kabair (2019). Septina Andriani sudah menulis novel Calista’s Conflict (2016). Sedangkan Afryanto Keyn dan Chaery Ma sedang mempersiapkan buku kumpulan puisi dan cerpen masing-masing.

Selama berada di MIWF, emerging writers ini hampir selalu mengisi acara pembacaan karya. Mereka membacakan karya-karya yang sudah ditulis, entah itu puisi, cerpen, atau nukilan dari novel. Di salah satu sesi yang mendudukan semua emerging writers ini, yaitu pada sesi Waktu Indonesia Timur Berpuisi mereka membagi proses kreatif masing-masing.

Afryanto Keyn mahir menulis karena kebiasaan membaca yang dimilikinya sejak masa SMP. Kebiasaan membaca ini dilakukannya karena ia susah tidur. Gurunya menyarankan agar ia membaca buku. Karena tidak ada bahan bacaan, ia sering berburu koran bekas yang dibuang orang di dermaga. Sejak saat itu, ia meluangkan waktu untuk membaca tidak hanya menjelang tidur, tetapi di waktu luang lain yang dimilikinya. Sedangkan Chaery Ma terdorong menulis karena lingkungan keluarga yang dekat dengan buku. Lingkungan ini mempengaruhi minat Chaery dalam menulis. Ia ingin sekali menulis isu pernikahan di bawah umur yang marak terjadi di Toli-Toli.

Adapun Jemy Piran terinspirasi dari seorang guru SMP yang pada suatu kali membacakan puisinya di depan kelas. Sejak saat itu, ia mulai menulis. Tema yang disukainya adalah laut. Tangkapan ikan yang mulai berkurang, kehidupan nelayan yang tidak pernah membaik, hingga kerusakan habitat laut menjadi trigger untuk menulis. Iin Farliani mulai menulis karena terinspirasi dari ayahnya yang adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Ia secara iseng membaca puisi atau cerita-cerita pendek yang terdapat dalam buku-buku pelajaran milik ayahnya. Kebiasaan itu membuatnya keranjingan membaca, mulai berlatih menulis, dan bergabung di Akar Pohon, Mataram. Saat ini kegelisahan utamanya adalah tentang menemukan bentuk menulis yang adaptif dengan perkembangan sastra Indonesia.

Septina Andriani terinspirasi dari bahan-bahan bacaan yang terdapat di sekolahnya ketika kelas 4 di sekolah dasar. Kegelisahannya saat ini adalah keinginan menulis tentang penyakit mental. Pandemi menurutnya mengganggu perkembangan mental manusia. Siti Hajar sendiri terinspirasi menulis karena di waktu sekolah dasar ia pernah menemukan buku tentang sejarah-sejarah para nabi. Ia ingat buku-buku tersebut. Ia juga ketika SMP membaca Lupus, Harry Potter dan lain-lain, yang diambil sembunyi-sembunyi dari kakaknya. Kebiasaan menulis mulai dibangun saat itu; menulis diari dan surat-surat cinta monyet.

Selama berada di Makassar emerging writers ini bertemu dengan editor Marjin Kiri, Ronny Agustinus dan editor Gramedia, Mba Siska. Mereka juga berkesempatan makan siang bersama para kurator MIWF 2022, Aan Mansyur, Sinta Febriany, dan Faisal Oddang. Pertemuan-pertemuan ini bisa menjadi pemicu lahirnya karya-karya besar dari tangan mereka. Karya-karya para penulis emerging ini cukup mudah ditemukan di media-media cetak maupun daring di tanah air, termasuk di bacapetra.co.

Tur Literasi MIWF 2022

Progam hari kedua dari MIWF 2022 adalah Tur Literasi. Ini adalah tur ke sejumlah toko buku, penerbit, dan komunitas literasi yang ada di sekitar kota Makassar. Peserta tur adalah teman-teman dari Klub Buku Petra, Post Santa, Marjin Kiri, Akasia dan beberapa volunter MIWF 2022.

Tempat pertama yang dikunjungi adalah Toko Buku Dialektika. Di sana kami melihat dialektika dari dekat. Ka Bula pengelola toko buku menceritakan tentang nama dialektika yang muncul dari kebiasaan diskusi di Kampus Universitas Hassanudin. Di tahun 2015, toko buku itu dikelola bersama dengan sebuah kafe, tetapi karena tidak ingin direpotkan urusan racik-meracik kopi, kafenya bubar dan menyisakan toko buku. Toko buku ini bermula dari rak-rak kecil berisi buku-buku pribadi dari pemiliknya saat ini, kemudian berkembang terus hingga memiliki 10 ribuan koleksi di 2022. Dialektika memiliki koleksi buku yang cukup lengkap, fiksi dan non-fiksi, dari berbagai penerbit yang ada di Indonesia. Selain merambah pasar sekitar Makassar, Dialektika menerima pemesanan online dari seluruh Indonesia. Sekarang Dialektika berdiri di Jl. Perintis Kemerdekaan 7, Ruko Gardenia, Makassar.

Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Kedai Buku Jenny (KBJ); sebuah perpustakaan, toko buku, toko musik, dan komunitas literasi yang sekarang terletak di Kompleks Pesona Pelangi Regency Blok M 18, Moncongloe, Makassar. KBJ diinisiasi oleh Zulkhair Burhan atau Bobhy pada tahun 2011 yang memiliki kenangan kolektif sebagai mahasiswa di Yogyakarta. Nama Jenny terinspirasi dari nama grup band indie di Jogja. KBJ sangat erat dengan buku, musik, dan anak-anak. Mereka misalnya menginisiasi berdirinya kelompok teater anak bernama Teater Anak Ketjil yang telah mementaskan Senandung Awan Kecil, terinspirasi dari fabel Subcomandante Marcos, seorang tokoh besar Meksiko. Program-program yang lain adalah Sajakkan Saja, Kelas Melamun, KB Jamming, dan Teman Pencerita. Sebelum pandemi, bersama Dialektika dan Katakerja, KBJ menjual buku di Wesabbe, kompleks yang berada dekat dengan kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Namun pandemi membuat ketiganya mencari tempat masing-masing.

Tempat ketiga adalah Katakerja. Katakerja didirikan tahun 2014 oleh Active Society Institute (AcSI). Di tahun 2018 resmi berdiri sendiri sebagai organisasi di bawah payung Komunitas Inninawa, dengan direktur pertama adalah M. Aan Mansyur. Aan kini menjadi konsultan dan Katakerja dikelola oleh 12 orang yang dibagi ke dalam divisi media, program, perpustakaan, dan usaha. Perpustakaan mengoleksi banyak buku dan meminjamkannya kepada warga. Dulu, Katakerja berada dekat dengan kompleks Unhas, di Wesabbe, tetapi sejak pandemi, pindah ke Kajenjeng Dalam III, Jl. Perumnas Raya No. 6, Manggala, Makassar. Hal ini tidak menyurutkan niat mereka untuk dikenal dan membawa literasi kepada warga setempat. Mereka membolehkan siapa saja datang meminjam buku. Kegiatan rutin di Katakerja diantaranya adalah Diskusi Tematik, Kelas Membaca, Kelas Menulis, Perpustakaan Manusia, Blind Book Date, Buka Puisi, Kelas Kreatif, Workshop Craft, Workshop Kesehatan Reproduksi, dan Penciptaan Karya.

Tempat keempat adalah Kampung Buku. Didirikan tahun 2005, Kampung Buku adalah tempat yang unik. Menjadi perpustakaan, kantor, toko buku, kafe, penerbit, rumah, laboratorium eksperimen, dan ruang belajar dari Kampung Buku, Penerbit Inninawa, Tanahindie, Makasar Biennale, dan Kafe Kampung Buku. Buku-buku yang diterbitkan di sini bergenre sosial-budaya, antropologi, sejarah, seni, dan kajian urban. Kampung Buku dikelola oleh 10 orang dengan Ka Jimpe Rachman, seorang pegiat kebudayaan, menjadi direktur. Ka Jimpe aktif menulis dan menerbitkan kajian-kajian di bidang kebudayaan. Program dan kegiatan yang mereka jalankan pada umumnya merespons situasi yang terjadi di Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Ketika berkunjung ke sana, Kampung Buku sedang mengadakan workshop tata ruang kota dengan berbagai penulis yang datang dari berbagai penjuru Indonesia Timur. Sekarang Kampung Buku berdiri di Jl. Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar. Kami juga sempat menikmati kopi yang disediakan dari kafe.

Tempat terakhir yang dikunjungi adalah Toko Buku Pustaka Merahitam; toko buku kecil lapakan dan juga kini jadi penerbit. Berdiri pada tahun 2019. Diberi nama Pustaka Merahitam karena Ka Adi, pemilik toko itu adalah Milanisti sejati. Dia juga menyukai kucing sehingga mereka menaruh lambang kucing pada logo toko buku ini. Selama berada di Pustaka Merahitam ini memang ditemukan sejumlah kucing yang berkeliaran akrab dengan peserta. Pustaka Merahitam memiliki koleksi buku yang cukup lengkap dan berasal dari penerbit-penerbit yang ada di Indonesia. Mereka hanya menjajakan buku-buku yang mereka anggap bagus, sebab mereka meyakini bacaan memiliki peran besar dalam membangun pola pikir pembaca. Selain menjual buku, Pustaka Merahitam mempunyai agenda lapak buku gratis di taman-taman kota, bedah buku, bedah film, belajar bersama anak-anak, dan pasar gembira bersama sahabat pustaka. Dengan program-program ini, Pustaka Merahitam tidak ingin hanya sekadar menjadi tempat jual-beli buku. Sekarang toko buku ini terletak di Sao Panritia Center UNM (No. 16), Jl. Malengkeri Raya, Mangasa-Tamalate, Makassar.

Hal yang menarik dari kunjungan literasi ini adalah tentang pemanfaatan ruang di mana perpustakaan atau toko-toko buku itu berada. Kita mungkin membayangkan sebuah toko dengan etalase dan ruangan yang luas dan megah. Tetapi tidak. Kelima toko buku, komunitas, dan perpustakaan tersebut mengelola ruang kecil yang bisa sesak bila 5-6 orang datang mengunjung di waktu yang sama. Namun dari ruang-ruang kecil itu, mereka konsisten menggerakkan literasi di Makassar dengan program-program yang menumbuhkan.


Baca juga:
Minat Baca Kita di Mesin Pencari
– Aneh, Aku Berkorban; Pengalaman Membaca Kukila


Komentar Anda?