Menu
Menu

Laki-laki berambut putih itu duduk dan bergeser pelan ke dekat tangga. Ia hendak ke sumur yang terletak di samping rumah untuk berwudhu. Penglihatannya sudah benar-benar payah hari ini. Ayah yang Buta.


Oleh: Ida Fitri | Ayah yang Buta

Lahir di Bireuen pada 25 Agustus. Buku kumpulan cerpennya berjudul Air Mata Shakespeare (Lovrinz Publishing, 2016) dan Cemong (Basabasi, 2017).


Dengan perasaan yang sangat berbeda, Banta Amat membuka mata, ia mengerjap berulang kali, kabut itu tetap tidak mau pergi. Setiap hari, kabut yang datang semakin banyak, kali ini hanya menyisakan sedikit saja cahaya yang bisa ia lihat. Banta Amat bangkit, duduk di atas tempat tidur yang terbuat dari kayu meranti, tempat tidur tua yang dulu pernah dipakai bersama istrinya semasa pengantin baru. Kerinduan terpancar jelas dari raut keriput berdagu belah itu, istrinya yang lembut, istrinya yang pintar memasak, berbeda jauh dengan Ubiet yang keras kepala. Putri bungsunya mewarisi sifat keras kepala Banta Amat, bukan hanya sifat tetapi kulitnya yang legam juga diambil putrinya, beruntung hidung bangir ikut diwarisinya juga. Membuat putrinya terlihat sangat manis meski berkulit gelap.

Tangan lelaki tua itu mencengkram jerjak-jerjak kayu satu hasta yang mengelilingi tempat tidur. Bulu-bulu putih pendek memenuhi wajah Banta Amat, dalam tahun-tahun terakhir ia telah menua dengan sangat cepat. Istrinya telah lama mati, saat melahirkan anak ketiga mereka, meski sanak famili merujuk beberapa nama perempuan, ia tak pernah menikah lagi. Lelaki berkulit gelap itu menyingkap kelambu, kemudian bangkit, mengambil tongkatnya di sisi tempat tidur, dan meraba-raba sakelar lampu di samping pintu. Kenangan itu menjadi begitu terang di matanya.

Pulang dari Meuligo untuk mengurus panen padi sawah warisan orang tua istri, Banta Amat mondar-mandir gelisah di halaman rumah, adiknya mengabarkan kalau satu jam yang lalu perut istrinya mulas, dan saat ini, Ma Blin, sang dukun beranak sudah berada di kamar mereka. Ia tak ingin percaya ketika Ma Blin memanggilnya untuk naik ke rumah panggung mereka, menemui sang istri, padahal ia belum mendengar suara tangis bayi. Ada yang tidak beres, ia menduga-duga kalau bayinya tak selamat.

Istrinya terbaring lemah dengan wajah sepucat kapas, di dekat kepala sang istri terdapat setengah gelas air yang ia duga berisi campuran kopi dan telur. Diberikan gelas itu pada Ma Blin, ia duduk di samping sang istri. Kaki perempuan itu masih bengkak, sudah lama kaki itu bengkak. Banta Amat begitu terkejut ketika pandangannya jatuh pada kain sarung istrinya, kain itu basah, bersimbah darah. Ia genggam tangan perempuan yang terlihat ingin berbicara itu, ia dekatkan telinga ke mulutnya. — Ayah yang Buta —

“Jaga anak-anak.” Kalimat terakhir yang terdengar dari mulut istrinya, adalah pesan yang tak pernah bisa ia laksanakan dengan baik. Burong tujoh telah mengambil wanita yang ia cintai. Seharusnya sore itu, ia tidak pulang saat matahari bewarna kemerahan. Jin jahat berkeliaran pada saat senja membingkai langit; salah satu dari mereka mengikutinya ke rumah, mengunci mulut istrinya yang hendak melahirkan, membuat geliginya menggigit lidah sendiri. Wanita yang ia cintai itu kejang, tak lama kemudian menghembuskan napas terakhir dengan membawa anak di dalam perut. Istri yang direbut kematian merupakan hal paling menyedihkan dalam hidup Banta Amat, kematian kedua orang tuanya tak ia rasakan sepedih itu, mungkin karena mereka tidak begitu dekat. Ayahnya mengambil jarak dengan anak-anak, bagi ayahnya, pipis bayi adalah najis yang mencemari kesucian wudhu. Sebagai guru ngaji di kampung, menjaga kesucian wudhu itu mutlak.

Berbeda dengan ayahnya, Banta Amat malah memilih belajar tari seudati, menggelutinya dengan serius hingga menjadi penari terkenal, meski itu berarti harus melawan titah ayah yang menginginkan seluruh putranya, terutama putra sulungnya, menjadi penceramah terkenal. Demi keinginannya, Banta Amat harus merelakan badannya dipenuhi bilur-bilur biru, dipukul dengan tali tambang yang dipakai mengembala sapi. Di samping belajar menari seudati, Banta Amat kecil juga tertarik mempelajari pertukangan dari sang kakek di pihak ibu.

Menurut ayahnya, adalah kesalahan menikahi perempuan bukan dari jenis yang sama. Andaikan istrinya anak ulama, tentu Banta Amat tidak akan terkontaminasi hal-hal keduniawian. Banta Amat bisa mengerti kenapa ayah memukuli dirinya yang tak patuh, tapi Banta Amat tak pernah bisa menerima melihat ayahnya juga memukuli ibunya. Apa salah ibu yang sibuk di dapur dan mengurus adik-adiknya. Banta Amat larut dalam tangis tanpa suara.

Istri Banta Amat berasal dari kampung Meuligo yang terletak di seberang sungai. Dahulu ia sering melihat istrinya, sebagai kanak-kanak, bermain di depan rumah orang tuanya ketika ia menjadi tukang di samping rumah tersebut. Keahlian menukang yang ia punya memang terkenal hingga ke kampung-kampung tetangga. Kerapian, pemilihan bahan yang bermutu, dan keseimbangan sebuah bangunan menjadikan Banta Amat tukang tiada duanya. Mengukur keseimbangan atap rumah saja bisa menghabiskan waktu satu hari; ia akan berjalan menjauh dan mendekat, menggunakan tali-tali yang diberi pewarna sebagai alat ukur, biar rumah tidak terlihat miring ke kanan atau miring ke kiri. Ketekunan semacam ini juga ia terapkan dalam membuat rapai, alat musik pukul orang kampung Samalanga dan kampung-kampung sekitarnya. Berulang kali juga Banta Amat dimintai tolong untuk membangun rumah-rumah panggung milik penduduk Meuligo.

Setelah perempuan yang berkulit putih licin itu sedikit lebih besar, berumur enam belas, Banta Amat melamar pada orang tua si perempuan. Pada saat itu, istrinya masih terlihat sangat kekanak-kanakan. Jembatan besar belum dibangun, antar linto dan antar dara baro masih lewat sungai, menyeberangkan pengantin laki-laki ke rumah sang perempuan dengan menggunakan perahu, lalu membonceng pada sepeda ontel menuju rumah pengantin perempuan, begitu pun ketika pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin laki-laki. Dan saat prosesi perkawinannya, hujan rintik-rintik, air sungai sedang tinggi dan berwarna coklat. Kemudian istri Banta Amat tumbuh menjadi wanita dewasa dengan cepat, dan secepat itu pula ia beradaptasi sebagai istri tukang, petani, dan penari seudati serta pembuat rapai yang handal. — Ayah yang Buta —

Sebagai penari seudati, terkadang suaminya pulang larut malam dengan lebam di rusuk dan paha. Menarikan seudati adalah seni untuk menepuk rusuk kanan dan kiri, menepuk paha dan langkah kaki diiringi nyanyian puji-pujian anuek syahi. Sebuah seni yang memerlukan ketekunan dan kesehatan fisik, bahkan ada teman Banta Amat yang mati dengan membawa lebam di perutnya. Sang istri pasti merasa khawatir setiap kali Banta Amat pamit untuk menari di panggung-panggung rakyat, dan menunggu Banta Amat pulang dengan cemas sambil berulang kali menajamkan telinga di pintu, berharap Banta Amat mengetuknya. Tetapi Banta Amat tidak bisa berhenti menari seudati, ini bukan tentang bayaran, ini bukan tentang uang, ini tentang jiwa dan harga diri seorang lelaki.

Begitu pun ketika Banta Amat akan membuat sebuah rapai. Ia akan pergi ke hutan untuk mencari kayu ceuradih yang lingkarannya sebesar rapai yang diinginkan, memahatnya dengan sangat teliti, mencanai dan memberi inai biar mengkilat dan halus, dan bulatan baloh rapai harus simetris. Kemudian menyiapkan kulit kambing atau kulit lembu yang diasapi di kandang selama tiga bulan dan memasangnya ke baloh rapai. Terkadang istrinya turut duduk di dekatnya, menunggui Banta Amat memahat baloh atau ketika ia membuat lingkaran dengan bambu di tanah, membalik kulit dan memasangnya ke baloh rapai. Tetapi istrinya telah mati, ia melewati seratus panggung dalam kesunyian tiada akhir. Tidak! Mungkin ia memang telah dikubur di sisi istrinya, ia yang masih berjalan-jalan, mengurus sawah, membangun rumah orang, menari dan membuat rapai hanya qadamnya saja, qadam yang bisa mengabaikan anak lelakinya karena bukan anak lelakinya.

Suara azan bergema dari menasah yang tidak jauh dari rumahnya. Ia berjalan tertatih keluar kamar, menuju rambat. Ada tika duek bersusun di sudut ruangan, ia memutari seuramo belakang, mungkin, Ruseli masih tertidur di bawah kelambu yang berada pada sisi dekat dinding. Tempat tidur kayu hanya berada di rumoh inong, kamar utama tempat Banta Amat tidur. Ia tidak tahu kapan anak-anak menikah yang akan menggantikan tempat untuk tidur di rumoh inong.

“Ruseli, bangun! Sudah subuh, Nyak.” Ruseli adalah kegagalan pertamanya dalam menjaga wasiat istri. — Ayah yang Buta —

Terdengar suara putra sulungnya menjawab dalam igauan antara bangun dan kantuk. Berbicara perihal Ruseli, hati Banta Amat diliputi penyesalan tiada berujung. Kepergian sang istri menghadap Tuhan, menoreh luka yang begitu menganga di hati Banta Amat, membuatnya abai pada kedua buah hatinya. Ruseli yang waktu itu baru berumur lima tahun bermain di rangkang bersama sepupu-sepupunya yang lain. Tak sengaja, sepupu yang lebih tua mendorong Ruseli hingga terjatuh dari bangunan bertiang yang biasanya digunakan untuk menghalau burung di tengah sawah itu.

Banta Amat masih terlarut dalam seratus hari kematian istrinya. Wajah pias Bang Rahman hari itu seakan tak berarti apa-apa baginya, padahal sang abang datang dengan hati was-was dan rasa bersalah karena anaknya telah menyebabkan Ruseli celaka. Ia ingat, hari itu dan beberapa hari kemudian Ruseli memang rewel dan badannya panas terus. Banta Amat menyuruh adiknya untuk membeli obat penurun panas di warung. Ia tidak membawa Ruseli berobat dengan benar, saat itu ia tidak peduli pada apa pun, ia mendengar anaknya terjatuh dari rangkang dan melupakannya begitu saja. Bahkan ia tidak tahu kapan tepatnya tulang punggung Ruseli tumbuh melengkung menyerupai punuk unta–tidak tumbuh tinggi seperti orang dewasa pada umumnya. Ketika menyadari hal itu, semua sudah terlambat. Tak ada gunanya ia mendatangi lima orang juru suntik dan sepuluh dukun ilmu putih. Beruntung waktu itu adik bungsunya belum menikah dan bisa membantunya merawat putrinya yang lain, Ubiet, yang saat itu baru berumur tiga tahun.

Melangkah ke rambat, tangan Banta Amat gemetar memegang tongkatnya, ia telah benar-benar luntur, tak ada lagi Banta Amat yang dulu, yang memikul sapi jantan di atas kepalanya. Sudah takdir manusia menjadi tua, badannya menjadi ringkik, itulah yang terjadi pada Banta Amat saat ini; jangankan untuk mengangkat seekor lembu jantan, mengangkat langkah sendiri saja ia terlihat kesusahan. Dan sudah setahun lalu kabut-kabut itu mendatanginya, membuat benda-benda di depannya semakin pudar, semakin lama kabut itu semakin banyak, seperti saat bangun tadi pagi, kabut-kabut itu hampir menutupi seluruh penglihatannya. Pijakan Banta Amat pada bambu yang diletakkan terbelah sebagai lantai jerambah menimbulkan suara-suara aneh. Bila berjalan lurus akan langsung sampai ke dapur, tapi Banta Amat berbelok ke arah tangga sambil meraba lantai dengan tongkatnya. — Ayah yang Buta —

Laki-laki berambut putih itu duduk dan bergeser pelan ke dekat tangga. Ia hendak ke sumur yang terletak di samping rumah untuk berwudhu. Penglihatannya sudah benar-benar payah hari ini. Perlahan ia menuruni tangga dengan posisi duduk, saat turun ke tangga selanjutnya, ia yakin sudah menginjak anak tangga, tapi kakinya menginjak ruang hampa yang lebar sebelum kakinya merasakan anak tangga selanjutnya. Ia hampir tidak berhasil mengendalikan keseimbangan, meluncur jatuh ke bawah.

“Hati-hati, Pak.” Sepasang tangan memegang badan dan tangannya.

“Biet, kamu sudah bangun?” Telinganya sangat mengenal suara anak perempuan satu-satunya itu.

“Sudah, Pak.” — Ayah yang Buta —

Ubiet membimbing bapaknya turun tangga. Ia tidak melepaskannya hingga ke sumur. Setelah menimba air untuk lelaki tua itu, Biet keluar dari sumur. Pohon hagu ditanam membentuk persegi mengililingi sumur; menghalangi pandangan orang ke dalam sumur. Biet duduk di tangga rumah, menunggu Bapak selesai dari kamar mandi.

Sejenak ia teringat di masa kecilnya dulu, ketika ibu masih hidup, ketika bapak masih sering tersenyum. Waktu itu Biet baru bisa berjalan, tapi ia mampu mengingat detail-detail kecil di masa kecilnya. Ia ingat ketika iseng mengambil pisau silet dan membuat tangannya terluka, ia paham ibu melarangnya memegang benda itu karena bisa membuatnya terluka, tapi ia tetap mengambilnya saat ibunya tak melihat. Pisau silet yang dipakai kakaknya untuk membuat layangan, saat itu Biet baru dua tahun lebih, perut ibu terlihat membesar, tak lama lagi pesawat akan mengantar adik baru untuk mereka.

Biet memahami pembicaraan orang dewasa di sekitarnya tetapi berpura-pura tidak paham dengan keluguan anak-anak seperti anak kecil lainnya. Pernah sekali waktu, ia mengaku paham kenapa Mak Cik, adik bapak yang belum menikah mencuri-curi makan di bulan puasa saat Biet dan abangnya sedang bermain kelereng di bawah tangga dapur. Biet yang melihat ke atas lewat celah-celah lantai dapur yang terbuat dari bilah bambu dan bilah pinang melihat Mak Cik melahap sepiring nasi, duduk di dekat tungku dapur. Karena kejujurannya itu, telinga Biet dijewer ibu, menurut ibu, Biet masih terlalu kecil untuk memahami itu. Semenjak saat itu, Biet berpura-pura tak paham pada apa yang dilakukan orang dewasa. Bahkan pada saat ibunya mati, ia tahu tubuh ibunya ditanam, dan akan membusuk, tapi tak ada air mata yang jatuh pada saat itu.

Ia juga ingat ketika dulu bapak sering membawanya untuk menjebak burung di semak-semak yang berada di bawah kebun kelapa, bapak akan meletakkan Biet di atas pundaknya. Membawa ranting bambu yang sudah diraut, mereka berjalan ke semak-semak di ujung kampung; bapak mengikat ujung bambu dengan benang, menancapkan bambu ke tanah, sepertiga benang yang lain diikatkan ke kayu pendek yang disangkut ke pohon kayee kunyeut, sementara ujungnya dibuat simpul yang bisa menjerat benang dan diletakkan pada cabang kayee kunyeut yang berbuah, buahnya yang berwarna merah sangat disukai burung kutilang, kurcica, dan lainnya. Pada sore hari, mereka kembali lagi untuk melihat burung yang masuk perangkap, membawanya pulang dan memasukkan ke dalam sangkar dari bambu yang diraut bapak. Tapi itu sudah sangat lama terjadi, ketika ibu masih hidup dulu, masih hidup, berbicara dan memeluk Ubiet kecil. Yang paling diingat dari ibu, ketika ia duduk di seuramo, menganyam tikar, menunggu bapak pulang dari menari seudati atau menabuh rapai.

“Mata Bapak semakin parah,” Biet seperti berguman pada diri sendiri. Minggu lalu, Biet telah membawa bapak ke rumah sakit kabupaten, menurut dokter berkaca mata yang mengaku sebagai ahli berbagai hal tentang mata, mata bapak harus segera dioperasi. Tetapi masalahnya bukan hanya soal operasi saja, ternyata bapak juga menderita darah manis, itulah alasan kenapa luka bapak susah sembuh dalam bulan-bulan terakhir. Gula bapak harus distabilkan dulu, obat gula tidak gratis, begitu pun dengan biaya operasi. Angka yang disebut sang dokter membuat Biet beberapa kali menghela napas panjang.

Sejak saat itu, Biet mulai memutar otak untuk mendapat uang lebih banyak, tak bisa berharap banyak pada Bang Ruseli yang menjaga pasar buah milik Toke Lah. Ia juga tidak mau terlalu membebani abangnya, Bang Ruseli sudah sangat menderita dengan kondisi fisiknya yang tidak biasa. Biet ingat ketika teman-teman sekolahnya dulu mengejek bentuk badan abangnya, abangnya yang tetap membisu, abangnya yang tak pernah marah, tapi sekali waktu, ia pernah memergoki Bang Ruseli menangis di depan kuburan ibu. — Ayah yang Buta —

Magrib itu bapak sangat marah karena sapi jantannya terlepas dan belum pulang, Bang Ruseli yang bertugas menggembala menjadi sasaran amarah Bapak. Dengan kayu tukai di tangan, kayu yang ujungnya runcing, yang biasa dipakai untuk melubangi tanah untuk menanam kedelai atau kacang panjang atau tanaman biji-bijan lainnya, Bapak mengejar Bang Ruseli. Beruntung, abangnya lebih gesit dan berhasil kabur.

Selesai magrib, Biet menyusul Bang Ruseli yang bersembunyi di tanah pekuburan untuk mengantarkan nasi yang ia ambil dari panci tanah yang dimasak Mak Cik. Biet melihat abangnya mematung di depan kuburan ibu, saat ia tegur, tangan Bang Ruseli terlihat menghapus air mata. Beruntung saat itu malam bulan purnama. Karena takut pada bapak, malam itu, Bang Ruseli bermalam di pekuburan milik Kampung Samalanga, tidak jelas ia tidur di atas makam ibunya atau kakeknya atau makam orang-orang Turki atau orang-orang India para leluhurnya, atau di atas makam kakek mereka yang konon ditunggui seekor binatang. Ketika Bapak menanyakan keadaan Bang Ruseli, Biet tidak bisa menahan diri untuk tidak menceritakan apa yang dilihatnya di depan kuburan ibu, semenjak saat itu Bapak tidak pernah terlihat memarahi Bang Ruseli lagi.

Begitu melihat bapak keluar dari sumur, Biet segera membimbingnya kembali naik ke rumah panggung. Setelah meletakkan sajadah untuk bapak, Biet kembali ke dapur, mengangkat air yang sudah mendidih, menyedu bubuk kopi dan mencuci beras untuk memasak nasi. Ia tambahkan kayu-kayu kering yang diletakkan di sisi dapur ke bawah tungku, lalu mulai mengukur kelapa. Jika saat itu kepalanya dibelah, isinya cuma, “Bagaimana caranya mendapatkan uang untuk mengobati Bapak?”[] — Ayah yang Buta —

Istilah: — Ayah yang Buta —

Anuek syahi: Pendendang dalam tarian Seudati
Tika duek: Tikar persegi berukuran kurang lebih 50 cm x 50 cm
Rambat: Ruang utama dari rumah khas Aceh
Seuramo: Serambi
Jerambah: Bagian tak berdinding yang berada dekat tangga samping rumah khas Aceh


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Sejarah Donat
Amir Sareh dan Ikan-Ikan


Komentar Anda?