Menu
Menu

Setiap jengkal kota adalah kuburan yang terang. Patung-patung kudus dan terhormat menari bersama cahaya lilin. (Aura Asmaradana).


Oleh: Aura Asmaradana |

(Twitter/IG: @aurayleigh) suka menulis cerita pendek, puisi, dan esai. Berkesempatan ikut serta dalam program Residensi Penulis Indonesia 2019 di Timor-Leste. Bukunya yang telah terbit adalah “Solo Eksibisi” (kumcer, 2015) dan “Solilokui” (novel, 2018).


Bergelas-gelas vinho tinto[1] kuhabiskan sejak pukul delapan malam. Sekarang pukul sebelas. Sudah belasan kali aku pindah duduk. Beranda. Ruang tamu. Beranda. Ruang tamu. Nyeri di pinggul sudah reda. Mungkin karena aku terus bergerak, mungkin pula karena vinho. Di sofa ruang tamu, aku bersandar dan memejamkan mata, menunggu suara gerbang besi digeser sedikit. Kubayangkan tersedia cukup ruang untuk sebuah sepeda motor masuk ke halaman rumah. Parkiran motor sedang kosong. Seisi indekos pulang kampung, menyisakan aku yang tidak pulang karena jarak terlalu jauh, hambur ongkos, sekaligus tidak ada seorangpun yang menantiku pulang. Takkan ada percakapan basa-basi di parkiran motor yang menahan Abé, kekasihku, untuk segera masuk. Tentu tak perlu waktu lama sampai ia ikut bersandar di sampingku, sama-sama memejamkan mata, menunggu kalimat pembuka yang akan mengisi ruang-ruang kosong di ruang tamu.

Tak seperti pesta-pesta pada umumnya, rumah tetangga sebelah kanan tidak juga mengencangkan suara musik. Biasanya, semakin larut malam, meninggi dan tempo akan semakin cepat. Malam ini tak ada EDM, tak ada dangdut remix. Hanya lagu-lagu lawas berirama lambat. Suara yang memimpin adalah denting alat makan. Riuh suara percakapan. Beberapa kali suara balon meletus menyela. Suara musik hanya sayup.

Sayang, mengapa masih saja kau ragukan cintaku…

Kualitas pelantang suara pesta wisuda itu tidak lebih baik daripada yang dipakai rumah ujung gang tahun lalu, ketika pesta sambut baru anak ketujuh mereka. Pesta itu begitu meriah. Aku ikut berdansa dari petang hingga tengah malam. Rumah itu selalu ramai. Hingga suatu hari di bulan April, anak itu tewas bersama bapaknya dalam kecelakaan sepeda motor. Waktu itu, ia yang baru saja pulang sekolah duduk di bagian depan sepeda motor, tanpa helm. Bagian depan mobil yang berbenturan dengan sepeda motor mereka ringsek parah. Siang itu, di Rua de Portugal, tepat di pertigaan menuju Kampung Alor, mendung tidak bosan-bosan, tetapi hujan tidak turun-turun.

Malam ini tepat 2 November. Di pertigaan itu, juga sepanjang jalanan Dili dan distrik-distrik lain, pasti terang nyala lilin-lilin. Aku agak menyesal tidak pergi ke luar saja seperti tahun lalu. Indekos sepi dan dingin. Jalanan Dili bisa jadi lebih hangat bak perkemahan dengan api unggun.

Setiap tahun, orang-orang merayakan hari arwah dengan khidmat. Setiap jengkal kota adalah kuburan yang terang. Patung-patung kudus dan terhormat menari bersama cahaya lilin. Hal-hal seperti itu yang membuatku bertahan hingga tahun kedua di kota ini. Cara happy hours di bar-bar membebaskan aku memperlihatkan belahan dada dan paha sama dengan cara kota ini membebaskan orang-orang membangun nisan semen bersalib di lokasi kecelakaan lalu lintas; menyalakan lilin di mana saja untuk belahan jiwa yang sudah mati. Cara minuman keras dihidangkan di atas meja sama dengan cara orang-orang menghidangkan diri di hadapan Tuhan, di dalam gereja yang senantiasa sesak.

Anehnya, sekalipun hampir setiap orang melakukan dialog dengan caranya masing-masing dengan arwah, tak hadir padaku perasaan mencekam itu. Perasaan yang menyergap ketika mendengar suara tercekik dari kerongkongan orang tua yang sakaratul maut—seperti kakekku dulu. Atau ketika berjalan malam hari melintasi pohon asam di gang gelap. Atau ketika pertama kali masuk ke sel gelap tempat penyiksaan di bekas penjara di sebuah sudut kota Dili. Padahal pada waktu-waktu yang lazim, aku tidak sanggup terlalu lama mengimajinasikan bagaimana orang-orang mati di tanah ini. Terlalu banyak cerita mengerikan sehingga memaksa orang-orang mengakrabinya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Bagaikan orang-orang yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah hingga bau busuk tak terasa mengganggu lagi. Aku menyaksikannya langsung di Manatuto pada kunjungan pertamaku.

Aku mematung cukup lama di hadapan sebuah monumen. Monumen semen berbentuk Pulau Timor itu berdiri bersama sebuah tiang bendera. Tak ada bendera berkibar di pucuknya ketika aku datang. Di bawah pulau itu, tujuh patung semen berbentuk tengkorak berjajar seakan menopang pulau supaya tidak tenggelam.

“Siapa yang membuat itu?”

“Warga. Dengan uang hasil urunan.” Bisik rekanku.

Aku diam sepanjang jalan pulang ke Dili, memikirkan tentang orang-orang dengan estetika kematian di dalam kepala mereka. Membentuknya bermodalkan batu dan semen, menjadikannya ingatan bersama tentang tanah dan arwah para pendahulu yang mungkin tidak terkait langsung dengan mereka.

Orang-orang berdamai dengan sejarahnya, sementara aku semakin merasa terpenjara meski nyatanya berjalan dari satu distrik ke distrik lain. Mendengar dari satu cerita ke cerita lain. Dari imaji kematian satu ke kematian lain.

Maka bagiku—menghadapi semua itu—mual-mual ketika makan atau bahkan hanya melihat budu tasi[2] bukan perkara aneh. Makanan yang kupuja sejak pertama menginjak Timor-Leste itu berubah  intimidatif sejak aku mendengar cerita Abé tentang kematian nenek dari mamanya. Kepala avó[3] dipenggal menggunakan parang. Tubuh tanpa kepala itu berlari sekitar 50 meter. Baru kemudian jatuh menumbuk tanah kelahirannya sendiri, di tangan tetangga yang menuduhnya seorang traidor[4].

“Aku hanya dengar cerita tentang avó dari mama saja.” Ujar Abé pada kencan pertama kami di lapak ikan bakar tepi pantai yang juga menghidangkan ketupat, budu tasi, dan bir. Meski hanya berupa kata-kata, tanah lapang yang berdebu, semburan darah, jerit histeris, sinar matahari terik jadi stop motion dalam kepalaku. Aku membayangkan leher tempat kepala itu pernah melekat, lengkap dengan benda-benda kecil yang tersisa di situ. Mungkin pembuluh darah, urat, otot, dan serpihan daging yang tergantung-gantung. Setiap kali melihat budu tasi, aku membayangkan rumput laut dan cacahan bawang seperti benda-benda itu. Aku tidak bisa menyantapnya hingga berbulan-bulan lamanya.

Abé seharusnya pulang kampung setiap 2 November. Seluruh anggota keluarga berkumpul, ziarah ke makam-makam. Namun, yang ia katakan padaku adalah,

“Berdoa itu kapan saja. Di mana saja.” Salah satu alasan yang juga menopang ketidakhadirannya di gereja tiap pekan.

“Kalau sedang tidak punya pacar saja. Kalau ada pacar, aku mau kok temani dia ke gereja.” Jika kencan pertama Abé bercerita tentang kematian avó, kencan kedua ia bercerita tentang ketidakreligiusannya. Dan kisah cintanya yang lampau.

“Kami mulai pacaran itu SMP. Pacarannya, ya pergi ke gereja. Tidak ada alternatif lain. Di tahun keenam, dia berpacaran dengan orang lain. Hamil. Ya sudah. Aku tidak apa-apa. Pacarku yang setelahnya juga begitu. Aku pacaran selama delapan tahun dengan dia. Kami pisah karena dia harus pergi kuliah di Kupang. Orangtuanya berpikir, masa depannya akan lebih baik kalau dia kuliah di Indonesia. Waktu libur, aku jemput dia di bandara untuk pergi ke kampung bersama-sama. Di jalan, dia bilang padaku bahwa dia sudah hamil dua bulan. Dia meminta putus hubungan. Ya sudah, aku tidak apa-apa. Beberapa bulan kemudian, aku dengar dia menggugurkan kandungannya.” Abé memberi jeda pada kalimatnya.

“Sudah. Aku tidak apa-apa.” Abé mengakhirinya. Waktu itu, dalam hati aku bertanya, apakah dia akan ‘tidak apa-apa’ pula ketika kami berpisah? Bisa jadi karena kelak orangtuaku yang Katolik taat melarangku menikah dengannya karena tahu bahwa Abé tidak pernah menghadiri misa.

Ketika Abé tiba, aku akan mengajaknya menyalakan lilin di tepi kolam ikan halaman belakang. Untuk huma’ara[5]. Untuk para arwah yang menjaga tanah Timor supaya tidak tenggelam. Untuk arwah janin-janin yang tidak lahir secara baik.

Aku masih menunggu Abé pulang dari perjalanan dinas ke distrik. Rombongannya mungkin sudah tiba di kantor. Ia pasti agak lama bersusah payah membangunkan petugas keamanan yang menyimpan kunci sepeda motornya. Cerita lama.

Aku kembali duduk di beranda setelah memboyong seluruh isi meja: kotak vinho, gelas, sekotak rokok yang dipenuhi gambar jasad janin, pemantik biru, dan telepon genggam. Vinho di gelas tinggal sedikit. Bisa habis dengan satu tegukan saja, tapi aku terus menunda. Sementara itu, musik tetangga sebelah sudah hilang sama sekali, berganti nyaring manduku “interfet” [6] di sekitar kolam ikan.

Di hadapanku, dua kotak vinho kosong tiba-tiba berbuah penyesalan. Aku bertekad untuk tak melakukannya: menyumbang kematian pada tanah ini. Setelah dua janin yang pernah luruh berakhir di septic tank rumah, tidak akan ada yang ketiga. Jika harus pulang ke tanah air, terlebih dulu saudara anakku akan kuninabobokan di atas pohon beringin di Timur, dekat saudara sang papa, bersama kain katun, buku, dan pena.

Telepon genggamku berdering. Telepon dari José, atasan Abé di kantor. Aku mengamati jam dinding sungguh-sungguh. Hampir pukul dua.

“Ya, halo?”

“Sinta di kos?”

Sim, Maun Jo.”

Desculpa, Sinta,[7] saya dalam perjalanan ke situ. Kita ke hospital sekarang, ya.”

“Kenapa?”

“Mobil kantor terguling di tebing dekat Hera…”

“Hera?” Mataku pejam. Aku mendengar nama yang begitu kukenal, dengan jarak yang terbayang begitu dekat.

“Mereka bilang, awalnya Abé masih bisa… Tapi… Kamu tenang di situ, saya sudah di Delta.” José bicara dengan tempo lambat, lugas, dengan getaran yang kabur. Namun kalimat-kalimat José tidak dapat kudengar jernih dan tuntas. Kata-katanya beterbangan entah ke mana.

Aku tidak akan menunggu Abé sebab akulah yang harus mengantarnya pulang. Sebelum berangkat bersama José, aku meninggalkan nyala lilin-lilin dan doa untuknya. Untuk huma’ara. Untuk para arwah yang menjaga tanah Timor. Untuk arwah janin-janin. Untuk mereka yang pergi begitu saja.

Tepian kolam ikan halaman belakang terang benderang. (*)

[1] Anggur merah (Portugis)

[2] Secara harfiah “rujak laut”, makanan sejenis salad berbahan dasar rumput laut.

[3] Nenek (Portugis)

[4] Pengkhianat (Portugis)

[5] Roh tetua (Fataluku).

[6] “Manduku” berarti kodok (Tetun), diberi nama demikian karena dipercaya merupakan satu jenis yang sengaja dibawa oleh International Force East Timor (Interfet) ke tanah Timor.

[7] Maaf (Portugis)


Ilustrasi: Oliva Sarimustika Nagung

Baca juga:
– MEG DAN PRIA-PRIA BRENGSEK
– HIDUP DAN PERJUANGAN DALAM KUMPULAN PUISI “MONUMEN LUKA”

Tulisan Aura Asmaradana yang lain di bacapetra.co adalah reportase tentang Peer Gynts di Larantuka. Aura Asmaradana

Aura Asmaradana, Aura Asmaradana, Aura Asmaradana, Aura Asmaradana

Komentar Anda?