Menu
Menu

Malam makin larut, tetapi semua orang tampak masih ingin bermain-main di halaman Gedung Imaculata tempat berlangsungnya kegiatan malam terakhir.


Oleh: Lolik Apung |

Admin Program Klub Buku Petra.


H-1

Flores Writers Festival (FWF) yang kedua akhirnya berhasil digelar di Ende, 28 September-1 Oktober 2022. Kota Ende tampaknya telah lama menyebarkan mozaik-mozaik petunjuk di ‘halamannya’ agar FWF tahun ini diselenggarakan di sana. Setelah tahun lalu para kurator sepakat dengan tema ‘Tanah’, tema domestik lain tahun ini muncul ke permukaan yaitu ‘Halaman’.

Ende adalah kota yang istimewa dalam beberapa hal. Ia menjadi halaman sejarah, menjadi halaman lahirnya Pancasila, menjadi halaman keberagaman, menjadi halaman pelajar, dan lain-lain. Begitu banyak identitas eksternal yang disematkan pada kota ini, membuat identitasnya yang asli begitu sulit dikenal. Maka dengan melihat Ende sebagai sebuah ‘halaman’, ia hendak dibayangkan sebagai sebuah ‘ruang antara’, wilayah bermain bersama antara kolonialisme dan misionarisme, tradisi dan modernisme, yang nasional dan yang lokal, apa-apa yang privat di dalam rumah dan apa-apa yang sosial di masyarakat.

Hari Pertama

Seluruh rangkaian festival dibuka dengan seminar “Ende dan Imajinasi tentang Halaman” pada hari Kamis (29/09). Seminar ini berlangsung di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende, menghadirkan lima orang pembicara yaitu Armin Bell, Syukur Suprojo, P. Lukas Jua SVD, Nando Watu, dan Hermin Kleden.

Armin yang mewakili Tim Kurator Festival berbicara tentang ide dan percakapan-percakapan yang berlangsung selama festival.

Syukur Suprojo sebagai perwakilan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, berbicara tentang Indonesia Pasca-Kolonialisme. Menurutnya penjajahan tidak hanya terjadi pada ranah fisik, tetapi juga pada ranah pengetahuan dan mental. Oleh karena itu menurutnya kerja-kerja kebudayaan merupakan usaha memajukan pengetahuan dan mental orang Indonesia.

Pater Lukas Jua, Provinsial SVD Ende, berbicara tentang Sejarah Misi Katolik di Flores. Menurutnya misionaris berperan menghantar orang-orang Flores dari halaman rumah ke halaman sekolah dan ke halaman buku.

Nando Watu, Kepala Desa Detusoko Barat, sebagai perwakilan masyarakat Lio berbicara tentang halaman kampung menurut orang desa. Menurutnya masa depan yang harus dibangun adalah masa depan dalam perspektif dan aksi orang kampung.

Selanjutnya Hermien Y. Kleden berbicara tentang perkembangan pers di Flores. Menurutnya pers dan wartawan di Flores berutang pada tradisi masa kecil yang diciptakan oleh kampung halaman dan oleh para misionaris SVD yang mengajarkan Bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Dengan tema-tema yang besar tetapi menarik, masing-masing pembicara terasa tidak cukup dihadirkan pada satu sesi seminar, sehingga seminar ini berlangsung selama tiga jam, dari pukul 10.00 Wita-13.00 Wita. Semula, Seminar Pembuka ini hanya dijadwalkan berlangsung selama dua jam.

Setelah seminar berakhir, para peserta festival mengikuti telaah karya Novel Cantik itu Luka” di ruangan yang sama. Telaah karya ini menghadirkan penulis novel Cantik Itu Luka, Eka Kurniawan dan dosen Unika St. Paulus Ruteng, Marcelus Ungkang sebagai penanggap. Telaah karya ini berjudul “Percampuran dan Strategi Peralihan Genre dalam Novel Cantik itu Luka“. Eka Kurniawan sungguh dinanti-nantikan dalam sesi ini. Ia bercerita jika novel Cantik Itu Luka dipengaruhi oleh banyak konteks penulisan seperti cerita-cerita silat yang dibacanya waktu kecil, cerita horor, romantisme, cerita-cerita sastra tinggi, sastra rendah, maupun sastra global, juga oleh era kekerasan yang terjadi dalam sejarah Indonesia.

Percampuran dan peralihan genre dalam novel ini dinilai oleh Marcelus menciptakan beragam pengalaman membaca. Situasi horor, komedi, heroik, dan romansa menciptakan jukstaposisi—penempatan bersamaan dua situasi yang berbeda: tokoh Maman Gendeng masuk melalui genre silat, tokoh Dewi Ayu masuk melalui situasi horror. Jukstaposisi ini pada gilirannya menciptakan genre baru yaitu komedi. Genre-genre ini memberikan beragam pengalaman membaca seperti pengalaman memilih rute, pengalaman masuk ke lubang kelinci, pengalaman singgah di sirkus, dan lain sebagainnya.

Para peserta yang hadir tidak lupa mengajukan komentar dan pertanyaan. Mereka umumnya menilai Cantik itu Luka adalah novel yang bagus tetapi tidak menganjurkan bacaan ini kepada anak-anak atau adik-adik mereka. Eka Kurniawan tersenyum mendengarkan komentar-komentar para peserta. Ia sendiri tidak menyangka Cantik itu Luka akan dibaca dan mendapatkan tanggapan beragam dari para pembaca termasuk pembaca dari Flores.

“Pindah Meja ke Halaman” menjadi acara ketiga yang digelar pada hari pertama. Para peserta diberi kesempatan menikmati makanan-makanan ringan hasil racikan Citra Kader dari Videoge, Tim Kreatif Simpasio Institute, dan Erlis Talan dari Lakoat.Kujawas. Citra membuat lawar jantung pisang yang diracik dari jantung pisang, daging ikan bakar, kelapa yang disangrai, santan kental, tea lada bubuk, tea garam, bawang merah, cabe rawit, jeruk purut, dan daun kemangi. Racikan lawar jantung pisang ini bisa ditemukan dalam buku Resep Tetangga (2022) yang ditulisnya sendiri. Tim Kreatif Simpasio tidak mau kalah dengan Citra karena itu mereka membuat lawar dari ikan teri. Ikan teri ini diolah bersama bawang merah, kemangi, belimbing, garam, jeruk nipis, dan tomat. Adapun Erlis Talan meracik bubur bose maktutu. Kegiatan ini berlangsung di Taman Renungan Bung Karno.

Kegiatan ini berakhir setelah di panggung yang sama, di Taman Renungan Bung Karno, teman-teman Gunera Band dari Kota Ende tampil membuka acara Pembukaan Flores Writers Festival 2022 dengan lagu-lagu yang menghibur semua peserta festival. Acara pembukaan ini diisi pula dengan penampilan teman-teman SARE (Sastra Rakyat Ende) yang membacakan puisi dan cerita-cerita buatan dan gubahan sendiri, juga Eka Kurniawan dan Dhianita Kusuma Pertiwi.

Hari Kedua

Sesi bincang tematik paralel hadir membuka hari kedua dengan tema-tema yang agak nostalgik. Sesi paralel yang satu berlangsung di Box Coffe – St. Yosef, membahas “Gorys Keraf dan Pengajaran Bahasa Sastra di Flores”. Sesi ini menghadirkan Maria Mathildis Banda yang berbicara tentang pengaruh Gorys Keraf dalam novel-novel dan karya-karya yang sudah ditulisnya. Pada sesi yang sama, Yohanes Sehandi banyak berbicara tentang kiprah Gorys Keraf, pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan temuan-temuannya dalam bidang linguistik dan tata bahasa Indonesia. Pa Yan juga berbicara tentang pengaruh Gorys Keraf dalam perkembangan literasi di NTT dan nasional. Buku-buku bermutu yang sudah ditulis oleh Gorys seperti Komposisi; Eksposisi dan Deskripsi; Argumentasi dan Narasi; serta Diksi dan Gaya Bahasa.

Sedangkan sesi paralel yang lain berlangsung di Penerbit Nusa Indah dengan tema “Pers di Flores”. Perbincangan tentang pers ini menghadirkan Pater Steph Tupeng Witin SVD, Intan Nuka, Valentino Luis, dan Rini Kartini. Pater Steph, Pemimpin Umum Flores Pos 2014-2020, berbicara tentang politik redaksi. Intan Nuka, kontributor ANTARA, berbagi pengalaman tentang kebebasan pers dan problem-problem keamanan seputar kerja jurnalistik. Valentino Luis, Kurator FWF, berbagi temuannya tentang sejarah pers di Flores, dan Rini Kartini, dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa, membahas migrasi media cetak dan media digital serta tantangan dan peluang yang turut hadir bersamanya.

Para peserta kemudian berkumpul lagi dalam sesi telaah karya II. Sesi ini menghadirkan Dhianita Kusuma Pertiwi dan Elvan de Porres. Dhianita adalah penulis novel fiksi sejarah yang berjudul Buku Harian Keluarga Kiri. Elvan mendampinginya mengulas novel ini dan memperhadapkannya dengan konteks Flores. Sesi ini memakai judul “Yang Lokal dan Personal dalam Tragedi 65” dan menjadi menarik karena dibahas tepat pada tanggal 30 September di Serambi Soekarno – St. Yosef Ende. Hujan turun dengan deras di tanggal itu, tetapi diskusi justru berlangsung dengan hangat dan seru.

Buku Harian Keluarga Kiri menggunakan beragam sudut pandang penceritaan dan bercerita tentang kehidupan Bapak Suwadi (Kakek penulis) di Malang, Jawa Timur. Ia dituduh terlibat dalam aktivitas PKI-PNI dan dianggap simpatisan Bung Karno, lalu diangkut ke Pulau Buru, Maluku. Buku ini menampilkan kebingungan dan kegelisahan personal para tokoh.

Kegelisahan para tokoh menurut Elvan bisa membawa pembaca mempertanyakan dan larut dalam situasi riil yang terjadi pada 1965. Menurut Elvan perkara 1965 adalah perkara trauma, perkara struktural bangsa yang tidak diketahui apakah kita sudah berdamai dengannya. Ia menjadi trauma karena menyusup melalui propaganda kesenian-kebudayaan (film, pertunjukan teater, dan lain-lain), lalu mengendap di alam bawah sadar. Menulis, menurut Elvan, seperti yang dilakukan Dhianita adalah salah satu usaha untuk memulihkan diri. Teks ditempatkan pada halaman sosial supaya dibaca banyak orang.

Adapun Dhianita memulai merancang menulis buku ini sejak di bangku kuliah. Ia merasa beruntung karena di antara semua cucu, dia lebih banyak mendapat kesempatan mendengar cerita kakeknya. Ia juga melakukan beberapa riset ke keluarganya, seperti pada ibunya. Buku ini menurutnya amat personal dan ditulis untuk mengembalikan subyektivitas dari para penyintas peristiwa ’65. Dalam buku ini Dhianita sengaja menggunakan beragam sudut pandang penceritaan demi subyektivitas tadi. Untuk itu pula, ia menganjurkan pemakaian kata-kata yang lebih netral pada peristiwa 1965 yaitu ‘Gerakan 30 September’ saja, tanpa embel-embel pelaku/organisasi di belakangnya.

Para peserta menyampaikan banyak pertanyaan juga memanggil ulang memori-memori seputar peristiwa 1965 yang terjadi di lingkungannya, baik yang dialami langsung maupun yang mereka dengar penuturan dari orang lain.

Malam harinya para peserta mengadakan nobar film Ria Rago, sebuah film dokumenter bisu yang diproduksi oleh Rumah Produksi Soverdi (Ndona-Belanda) pada tahun 1938. Film ini disutradarai oleh Simon Buis, berkisah tentang seorang wanita bernama Ria (Katolik) yang dikawinkan secara paksa dengan Dapo (seorang laki-laki muslim). Karena imannya Ria menolak dinikahkan. FWF 2022 memutar kembali film ini sebagai upaya membaca ulang representasi lanskap ‘Ende-Lio’ dalam imajinasi para misionaris zaman itu. Dengan pendekatan fiksi-etnografis, film ini bisa membuka tafsir sejarah yang mungkin jarang ditampilkan dalam perbincangan sejarah lokal, sekaligus melihat dinamika hubungan kekerabatan, relasi, dan interaksi warga kota Ende hari-hari ini.

Hari Ketiga

Sayembara Pembaca adalah program unik yang dihadirkan Flores Writers Festival sejak gelaran yang pertama. Tahun ini para pembaca didudukkan bersama dalam satu panel. Mereka membagi ide dan imajinasi tentang kampung, halaman, dan Ende melalui karya-karya sastra yang mereka baca. Hari ketiga dibuka dengan sesi “Ruang Baca” ini. Peserta Sayembara Pembaca yang karyanya berhasil melewati tahap kurasi diundang untuk mengikuti festival. Mereka mengulas novel, kumpulan cerpen, dan juga buku kumpulan puisi. Mereka adalah Ansel Langowuyo, Tika Abdul Aziz HB, Erik Jumpar, dan Riyanti Syofianto.

Ansel mengulas karya kumpulan cerpen Sumur dari Selo Lamatapo. Tika Abdul membaca halaman rumah yang penyakitan melalui novel Kawi Matin di Negeri Anjing karya Arafat Nur. Erik mencoba berkunjung ke masa lalu melalui novel Molas Flores Gadis Pulau Bunga dari Willy Hanguman. Riyanti mengingat kematian halaman melalui kumpulan puisi Percakapan Paling Panjang Perihal Pulang Pergi dari Theoresia Rumthe dan Weslly Johanes.

Keempat pembaca ini didudukan bersama dengan Bapak Fabian Thomas dari Tim Editorial Nusa Indah. Bapak Thomas hadir untuk mengulas karya-karya para peserta sayembara melalui kacamata editor. Bapak Thomas mengulas karya-karya dengan memakai kacamata intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Juga melalui teori kesusastraan dari Rene Wellek dan Austin Warren, yang melihat adanya hubungan antara karya sastra dan kondisi kejiwaan pengarang; antara sastra dan dimensi-dimensi politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan; antara sastra dan buah pikiran manusia dalam ilmu pengetahuan, filsafat, ideologi; dan antara sastra dengan semangat zaman yang sedang berkembang.

Lebih lanjut, dalam konteks kebudayaan, Bapak Thomas melihat kebudayaan sebagai kata kerja (Culture is Verb) dan sebagai kata benda (Culture is Noun). Kerja mengulas karya sastra yang dilakukan oleh para peserta sayembara menurutnya merupakan bagian dari kebudayaan sebagai kata kerja. Jika karya sastra ditulis dengan bertumpu pada fungsi otak kanan, maka mengulasnya merupakan kerja otak kiri. Kerja-kerja otak inilah yang menegaskan budaya sebagai kata kerja. Sedangkan produk ulasan yang mereka hasilkan merupakan bagian dari kebudayaan sebagai kata benda. Ulasan-ulasan tersebut merupakan suatu produk budaya.

Saat panel ini sedang berlangsung, hujan turun dengan deras hingga sore hari sebelum sesi “Showcase I” dan “Showcase II” pada pukul 14.00 Wita. Para peserta tidak bisa merasa nyaman-nyaman saja ketika berada di Gedung Imaculata tempat berlangsungnya semua kegiatan pada hari ketiga. Gedung ini adalah bangunan mewah yang dibuat sebagai kenangan akan tonil-tonil Soekarno—sebelum ditinggalkan, menjadi tidak terawat, dan pelan-pelan dilupakan. Maka ketika hujan datang, hujan tidak mengetuk lagi, justru masuk begitu saja menggenangi beberapa sisi gedung yang membuat kegiatan di dalam ruangan terjeda. Sesi kedua pun baru dimulai ketika hujan sudah reda dan waktu menunjuk pada pukul 16.00 Wita.

Showcase I menghadirkan tema “Kampong Katong: Komunitas dan Ekosistem”. Kampong Katong adalah inisiatif Lakoat.Kujawas, Videoge, dan Simpasio Institute bersama RMI dan didukung oleh Voice Global. Inisiatif yang membawa spirit Being and Becoming Indigenous ini bermaksud mengkonservasi nilai-nilai tradisi, pembelajaran ulang sejarah kota, dan refleksi atas gerak urbanisasi.

Lakoat.Kujawas bergerak pada konservasi nilai-nilai tradisi berbagai tentang Skol Tamolok yaitu sebuah upaya kreatif untuk meneruskan pengetahuan mengenai tradisi yang tidak diakomodasi oleh sekolah formal. Sementara itu Simpasio berbagi tentang dokumentasi Kota Larantuka. Videoge berbagi mengenai proyek Rekam Kampung Lama yaitu sebuah usaha untuk memaknai hal-hal keseharian sebagai kacamata paling dekat untuk melihat perubahan yang digerakkan oleh ekonomi neoliberal. Paparan Kampong Katong ditanggapi oleh tiga komunitas yang tengah merintis gerakan serupa, yaitu Rumpi Nuhalolon (Solor), Forum Giat Literasi (Ende), dan Remaja Mandiri Community (Detusoko). Hadir sebagai pembicara adalah Indi Seran dari Lakoat.Kujawas, Citra Kader dari Videoge, Vici Kean dari Simpasio Institute, Afryanto Keyn dari Rumpi Nuhalolon, Mario Gesiradja dari Forum Giat Literasi, dan Ovyn Wangge dari Remaja Mandiri Community.

Showcase II bertema “Mementaskan Ende”. Forum ini ditujukan untuk membaca dan mementaskan Ende dalam aneka gagasan dan bentuk artistik. Dua proyek seni yang diundang untuk mempresentasikan karya sedang tumbuh yang tengah digarap adalah Sejarah dan Aksara Lota dari Palota Ende dan Soekarno 5 Km dari Komunitas KAHE. Sejarah dan Aksara Lota adalah proyek dokumentasi dan reproduksi pengetahuan tentang sebuah aksara yang pernah ada dan hidup di wilayah Pulau Ende dan sekitarnya. Keberadaan aksara ini bisa menjadi upaya untuk menggali epistemologi lokal masyarakat Ende di masa lalu. Sedangkan Soekarno 5 Km berusaha membaca kembali ruang dan tempat hidup Soekarno di Ende. Dalam proyeksi yang lebih kontekstual, proyek ini ingin melihat dengan lebih jelas persoalan perebutan ruang dan tempat dalam perjalanan kota Ende.

Hadir sebagai pembicara adalah Eka Putra Nggalu dari Komunitas KAHE Maumere. Jamaludin Adjhar dari Komunitas Palota (Pegiat Aksara Lota) Ende, Ryanti Ibrahim dari Palota Ende, Marcelus Ungkang dari Komunitas Teater Saja Ruteng, dan Marto Rian Lesit dari Komunitas Siapa Kita Labuan Bajo.

Setelah sesi-sesi yang menguras energi sepanjang hari, malam ketiga menjadi malam Penutupan Flores Writers Festival 2022. Malam penutupan diisi oleh beberapa sambutan seperti dari Manajer Produksi FWF Eka Putra Nggalu dan sambutan dari Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende, Bapak Vinsensius Triardi Wanggo ST.,M.Eng. Juga oleh penampilan Dramatic Reading: dr. Syaitan (Tonil Soekarno) dari Forum Giat Literasi Ende, Monolog dari Ansel Langowuyo, Stand Up Indo Ende (Sultan Gemoy dan Udo Petrus), serta live music dari Rocketqueen, Calypso, Rokatenda Band dan ditutup dengan Dixxxie-Bianca Da Silva yang tampil dengan lagu-lagu hip-hop andalan mereka.

Malam makin larut, tetapi semua orang tampak masih ingin bermain-main di halaman Gedung Imaculata tempat berlangsungnya kegiatan malam terakhir. Beberapa suara sumbang menyebutkan jika mereka menunggu undangan dari FWF ketiga di tahun 2023 mendatang, yang justru tertelan oleh alunan musik DJ dari DJ Jupe dan oleh angin laut yang membawa suara-suara itu, entah ke mana.

H+1

FWF 2022 mungkin akan dikenang sebagai salah satu FWF yang melibatkan begitu banyak komunitas seni, volunter, dan sponsor yang merasa perlu hadir dalam festival ini. Kekuatan yang dipakai pada pagelaran FWF kedua ini tidak bertumpu pada donor atau sponsorship besar melainkan pada simpul-simpul jejaring yang berasal dari berbagai penjuru Flores, NTT, dan Indonesia. Bisa dibayangkan energi yang dipakai untuk mengajak kerja sama komunitas, volunter, dan sponsor yang dilibatkan dalam festival kali ini. Hal yang tentu saja akan lebih mudah dilakukan jika kekuatan dari donor tersedia dalam jumlah yang memadai.

Mungkin kata ‘kolaborasi’ adalah kata yang kurang lebih tepat untuk menggambarkan pagelaran FWF 2022. FWF 2022 terselenggara berkat dukungan dan kerja sama Yayasan Klub Buku Petra dan Jakarta International Literary Festival, Pemerintah Kabupaten Ende, Komunitas KAHE-Maumere, Taman Baca Anak Merdeka Onekore, serta Komunitas-komunitas Kolaborator. FWF 2022 berkolaborasi dengan Forum Giat Literasi Ende (FGL), Pegiat Aksara Lota Ende (Palota), Videoge, Teater Saja, Komunitas KAHE, Lakoat Kujawas, Siapa Kita Labuan Bajo, Perpustakaan Rumpi Nuhalolon, Simpasio Institute, Remaja Mandiri Community, Jagarimba.co, Universitas Flores, Gramedia Pustaka Utama, Kedai Buku Petra, Provinsial Serikat Sabda Allah (SVD) Ende, dan para volunteer yang berasal dari daratan Flores dan Rote. Media partner FWF 2022 adalah Bacapetra.co dan Laune.id.

Kolaborasi lintas komunitas dan lembaga inilah yang memungkinkan FWF 2022 terselenggara dengan baik. FWF 2022 berhasil menerjemahkan dan memperluas kekuatan modal, tidak melulu tentang bertumpu pada modal finansial, tetapi juga pada modal jejaring, pengetahuan, dan budaya. Karena itu FWF 2022 mungkin akan dikenang sebagai FWF dengan linearitas tema dan pengelolaan yang akurat. Tema halaman mesti melibatkan banyak orang. Di halaman kita bermain, dan kita tidak mungkin dan tidak pernah bermain sendirian. Selamat kepada Flores Writers Festival 2022.(*)


Baca juga:
Diri yang Lain
Kita adalah Tokoh dalam Cerita


Komentar Anda?