Menu
Menu

Namun Adin mendekatkan telinganya ke koper, dan mendengar suara kucing itu dengan jelas. Saat dia yakin, dia berteriak keras, “Mantra itu ajaib!”


Oleh: Wawan Kurniawan |

Menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan. Buku-buku puisinya: Persinggahan Perangai Sepi (2013) dan Sajak Penghuni Surga (2017). Buku esai pertamanya yang memuat 50 tulisan yang pernah dimuat di Koran Tempo Makassar dari tahun 2013-2016 terbit Februari 2017 dengan judul Sepi Manusia Topeng oleh Penerbit Nala Cipta Litera kerjasama komunitas Literasi Makassar dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Sulawesi Selatan.


Sehabis menyembunyikan dua belas ikat uang dalam koper pakaiannya, Adin memesan tiket penerbangan menuju suatu pulau. Dia sama sekali tidak tahu berapa tepatnya jumlah uang di dalam koper berwarna biru tua itu. Di perjalanan menuju bandara, dia merapal sebuah mantra yang singkat, “baruta naapi latasi katanupa dalina”, dia mengulangnya sepanjang perjalanan yang kira-kira memakan waktu sekitar satu jam.

Sehari sebelumnya, Adin bertemu dengan seorang lelaki misterius yang mengetuk pintu rumahnya. Lelaki itu menggendong seekor kucing hitam yang mengibas-ibaskan ekornya, satu matanya buta dan tertutup. “Bolehkah saya meminta segelas air untuk kucing saya ini? Dia sepertinya kehausan!” lelaki itu mengangkat kucingnya seolah ingin menyerahkannya kepada Adin.

“Silakan masuk, Pak, akan saya ambilkan.”

Dengan langkah terburu-buru, Adin masuk ke dapur, memutar kran, mengambil mangkuk kecil berwarna merah, dan mengisinya sambil bertanya-tanya siapa dan mengapa lelaki itu tiba-tiba muncul di hadapannya.

Saat Adin menurunkan mangkuk itu di lantai, lelaki itu menurunkan kucingnya yang segera berlari-lari kecil menuju air yang disiapkan.

Suasana sejenak hening, yang terdengar hanyalah suara yang timbul dari sentuhan lidah kucing hitam buta itu dan air yang ada di mangkuk. Hingga tak lama kemudian, Adin sejak tadi penasaran mulai bertanya pada lelaki itu.

“Saya baru pertama kali melihat Bapak di perumahan ini, apakah Bapak sedang mencari seseorang atau baru pindah ke tempat ini?”

“Saya sedang mencarimu, Adin.”

Adin tersentak kaget mendengar pernyataan lelaki misterius itu. Belum sempat merespons, Adin kembali terkejut pada kalimat selanjutnya yang terlontar dari mulut lelaki misterius di hadapannya.

“Kau bisa melunasi utangmu bulan depan!”

Setelah kalimat itu terdengar jelas dan membuat Adin tidak tahu harus berbuat apa, lelaki itu pun kembali bicara. Seolah ada banyak hal yang dibawanya untuk disampaikan ke Adin. Akan tetapi, semua yang disampaikannya hanyalah rahasia Adin yang jarang diketahui orang-orang. Bahwa Adin senang merokok diam-diam, meski di luar dia mengaku tidak pernah merokok. Bahwa Adin gemar menusuk ibu jarinya dengan duri kaktus di pagi hari hingga satu atau dua tetes darah keluar. Bahwa Adin punya seorang kekasih yang mendua minggu lalu. Bahwa adik Adin punya utang yang cukup banyak setelah merintis sebuah usaha dengan rencana yang tidak pernah matang.

Saat mendengar semua itu, Adin ingin teriak agar lelaki itu berhenti bicara, tetapi di sisi lain dia penasaran untuk mendengar sesuatu yang keliru, dan di situ dia akan punya kesempatan untuk memotong pembicaraan lelaki itu. Sayangnya, hingga lelaki misterius itu berhenti bicara, tidak ada satu pun yang keliru. Apa yang dikatakan lelaki itu memang benar adanya.

Dalam hati, Adin terus bertanya-tanya, siapa dan bagaimana lelaki misterius ini mengetahui banyak hal tentang dirinya.

“Kau bisa melunasi utangmu, Nak!”

Kata “nak” membuat suasana sedikit canggung. Adin melihat lelaki itu tampak bugar dan mengira jika usianya masihlah muda, bahkan Adin mengira dirinya jauh lebih tua dibanding lelaki itu. Namun, semua itu dibiarkan berjalan begitu saja.

“Apa yang sebenarnya ingin disampaikan orang ini?” Adin bertanya-tanya dalam hati. Lelaki itu terbatuk setelah bercerita cukup panjang. Dengan sigap, Adin kembali ke dapur dan mengambil segelas air dengan terburu-buru untuk lelaki itu.
Saat kembali, Adin melihat sebuah koper biru tua di dekat mangkuk yang sudah kosong.

“Lihat, Nak, ini bukti jika kau benar-benar akan melunasi utangmu. Kucing tadi telah berubah jadi sebuah koper biru tua ajaib, ini untuk kebaikanmu selama ini!”

Adin diam di tempat, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak mungkin seekor kucing berubah menjadi sebuah koper. Tidak mungkin juga, lelaki yang ada di hadapannya itu adalah seorang penyihir atau orang yang punya kekuatan magis. Tidak mungkin. Akan tetapi, semakin keras dia berusaha meyakini bahwa semua itu tidak mungkin, harapan bahwa dia bisa melunasi utang seperti setitik cahaya dalam gua yang amat gelap.

Harapan kecil itu membuatnya berani bertanya, “Bagaimana mungkin?”

***

Rumah Adin akan disita lantaran saudaranya telah menjadikan surat-surat rumah sebagai jaminan saat akan meminjam uang di bank. Alasan ingin mendapat modal untuk membuka usaha baru membuat Adin iba dan percaya kepada adiknya, meski sudah tiga kali adiknya gagal dan menghabiskan warisan keluarga sebagai modal. Pertama, usaha restoran di pinggiran kota, hanya bertahan dua bulan. Setelah itu, membuka percetakan, yang akhirnya bangkrut di bulan kelima, dan terakhir dia ingin membuat usaha peternakan. Semua rencana adiknya hanya membawa Adin pada kesialan. Proses pelunasan sudah tidak berjalan dengan baik, adiknya juga tidak dapat dihubungi lagi. Akhirnya sebelum disita, pihak bank mengirim sejumlah orang untuk menagih hingga Adin merasa mendapat teror, bahkan terbawa mimpi.

Bermodal tabungan yang dia miliki, Adin memutuskan untuk pergi menjauh dan memulai kehidupan yang baru. Menjelang kepergiannya, tiap malam dia melewati malam yang panjang disertai dengan mimpi buruk. Dia juga mendapati hal-hal ganjil di luar nalar, tetapi dia merasa semua seakan seperti halusinasi belaka. Dia bahkan curiga, skizofrenia yang pernah diderita oleh kakeknya sudah mulai menular kepadanya. Benturan pikiran di kepalanya membuatnya mudah lelah, bahkan bisa mual dan terdiam mematung dengan pikiran yang melayang-layang.

Memilih lari dari masalah bukanlah pilihan yang bijak, tapi di situasi seperti ini, saat satu-satunya saudara yang disayanginya membuatnya menderita, pilihan ini tampak masuk akal. Dia bertanya-tanya, apakah keluarga memang hanya beban? Di satu titik, kadang dia ingin membunuh adiknya sendiri dengan dalih, membunuh demi melepasnya dari kebodohan mungkin pilihan yang lebih baik. Pada akhirnya Adin memilih menyelamatkan diri dengan caranya sendiri.

***

Setibanya di bandara, dia mulai merasakan debar jantungnya lebih cepat, telapak tangannya pun basah karena keringat. Koper yang dibawanya mulai terasa berat, seperti yang dijelaskan lelaki misterius yang ditemuinya sehari sebelumnya. Saat petugas memintanya untuk menyimpan koper itu di bagasi, Adin menolak dan memilih untuk terus membawanya. Di atas pesawat, dia bahkan memeluk koper itu setelah memenangkan pertengkaran dengan pramugari, yang memintanya menyimpan koper biru tua itu di kabin.

“Baruta naapi latasi katanupa dalina.”

Selama perjalanan menuju pulau, dia kembali merapalkan mantra. Dia juga membayangkan akan melunasi sejumlah utangnya yang tersebar mulai dari bank, di kawan dekatnya, di pinjaman online, dan beberapa kerabat yang masih mempercayainya. Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan lagi, koper itu adalah mukjizat yang seakan membuat matanya menyala menghadapi masa depan.

Butuh waktu sejam untuk tiba di pulau tujuan Adin. Pesan lelaki itu kembali teringat, “Saat kau membuka koper ini, kau akan melihat kucing hitam yang tak lagi buta dan uang-uangmu akan bertambah dengan sendirinya. Semakin kau dekat di pulau dan semakin banyak kau merapalkan mantra itu, keajaiban akan semakin besar!”

Orang yang duduk di samping Adin bahkan menegurnya lantaran merasa terganggu dengan suara Adin yang lama kelamaan terdengar. Bahkan pramugari pun menegurnya. Adin hanya berhenti sejenak lalu tak lama setelah itu, suara dari mulut Adin kembali mengganggu.

***

Untuk sementara, Adin menyewa sebuah penginapan sebelum mendapat tempat yang akan ditempatinya lebih lama. Saat masuk ke dalam penginapan, pintu kamarnya langsung ditutup dan dikunci rapat-rapat. Seperti yang dikatakan lelaki misterius itu, kopernya memang semakin berat, tapi saat dia mendekat ingin membuka kopernya, suara ketukan terdengar, disusul dengan suara lelaki yang memanggil-manggil dengan sebutan, “Nak…” Adin merasa mengenal suara itu. Ditambah lagi ada suara kucing yang mengeong, Adin mencoba mendengarnya dengan saksama. “Suara itu berasal dari dalam koper, tidak suara itu berasal dari luar pintu,” batinnya. Namun Adin mendekatkan telinganya ke koper, dan mendengar suara kucing itu dengan jelas. Saat dia yakin, dia berteriak keras, “Mantra itu ajaib!”

Suara pintu kamar penginapan Adin pun berderit, tangannya masih tertahan menyentuh koper. Belum sempat dia melihat semua kejadian itu, dia kembali mual dan memuntahkan nyaris seluruh makan siangnya. Suara-suara terdengar samar, pengelihatan Adin mulai berkunang-kunang. Kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Di titik ini, sebuah hasrat membunuh adiknya terasa lebih besar dibanding keinginan melihat mantra itu mengabulkan harapannya.(*)


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Gajah di Kepala
Suku Bunian dan Tiga Kisah di Gunung Kerinci


Komentar Anda?