Menu
Menu

Makam adalah rahim bagi si mati. Rahim adalah ampun mahaluas sekalipun sang anak jauh durhaka dan jatuh terluka.


Oleh: Saddam HP |

Lahir di Kupang, NTT, 21 Mei 1991. Buku puisinya berjudul Komuni (2019). Ia bergabung di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Akun twitter: @saddam_hp.


Tukang Mimpi

Kelak ia akan memberi tafsir
Pada sepi-sepi yang kurus
Yang tetap sunyi dan pedih
Meski menelan sepi-sepi gemuk

Dan pada anggur-anggur tua
Yang merobek kantung muda
Juru anggur dan menjemurnya
Di tiang gantungan

Sebab raja pun takut pada sepi
Di keliling istana dan tukang
Minum terus mereguk cawan
Demi mabuk di lingkar penjara

Tapi kini di hadapan fitnah semalam
Mimpi tak muncul walau celah puan
Kepala tukang jaga dan sebuah peluru
Bakal menembus jantungnya yang belia

Telah pulas tidur membelainya
Mengecup mata dan keningnya
Tapi bunga tidur tak lagi dipetik
Seperti pada hari lalu ketika

Mimpi pernah membuat ia dibenci
Bahkan oleh silsilah darah sendiri
Dan lebih dicintai oleh hikmat
Di dasar sumur

Sesekali ia ingin punya tempat
Sembunyi menjadi burung yang
Mematuk gandum si tukang roti
Atau carang anggur dalam mimpi

Juru minum atau selalu menjadi
Rasa bersalah yang menghantui tidur
Sang puan dan saudara-saudaranya

(2022)

.

Di Sebuah Sumur

Setiap menghela napas, sekam
Dan duri ikut terhirup
Aroma percintaan di bilik Lea
Dan pemuda yang mengingininya
Tak ada yang demikian menikam

Bila harus mengendap atau lenyap
Ingin ia segera tertelan mulut sumur ini
Yang gelap seperti dendam, sungguh pendam
Yang ikhlas dan tabah bagai jumpa pertama
Dan pedihnya laksana hari-hari hampa
Tak pernah habis ia timba

Para sahabat tahu itu lelakinya
Ia ceritakan dengan manja
Pemuda yang menciumnya
Pertama kali di tempat ini
Mata yang bisa menanggalkannya
Lalu meninggalkannya

“Tujuh tahun aku tabah
untuk sia-sia, bila harus
tujuh tahun lagi untuk
menggenapkanmu, menggenapiku
tunggulah.”

Pemuda itu memeluknya
Dan menempelkan kata itu
Lagi di bibirnya
Ingin ia beri kata ingkar
Pada janji lelaki itu, tapi
Jantungnya berdetak
Di dada kekasihnya

Di malam rindu
Jauh di batas antara dendam
Dan hari baru yang tak pasti
Ia benci segala kambing domba
___________________ ayahnya
_______________ saudari tuanya.

“Bila setelah 14 tahun
dan si Tua menipuku lagi
wahai juwitaku, sungguh jelitaku
demi dirimu
demi tahun-tahun yang hilang itu
tak ada yang lebih tabah
daripada hatiku.”

Betapa waktu selalu tak pasti tapi
Ia tahu desir darah di nadinya
Berasal dari lelaki itu.

(2022)

.

Si Kusta

Malam yang retak sampai ke ruang mimpi adalah jubah yang membungkus kelingkingku yang telah putus saat jari manis tinggal seruas maka tak mungkin bisa utuh kau kusentuh biarpun pupur putih lesi dan najis ini ditahirkan demi sahabat-sahabat yang jauh.

Putih lesi yang membungkus pupur yang retak bagai malam yang tak bisa utuh kusentuh jubahnya sebab sahabat-sahabat menjauh dari jari manis yang putus ruas demi ruas tapi kau masih mengira ini ruang mimpi yang aku mungkin tak akan sampai.

Kelingking manis yang putus itu seperti pupur yang membungkus malam najis karena selalu mengingatkan jari retak putih lesi yang ditahirkan pada sahabat-sahabat jauh dan ruas jubah yang telah utuh meninggalkanku untuk sampai ke ruang mimpi yang memang tak mungkin kusentuh itu.

Kau masih Sahabatku, bukan?

(2022)

.

Rahim

Kaurenangi samudera itu dan menanggalkan luka-lukamu satu per satu. Tangan laut yang mekar adalah bunda memeluk tubuhmu yang remuk, mengusap bilur-bilur ragamu yang dihancurkan dendam seteru, dan menghapus duka di dadamu yang muda belia. Bentangan ini punya nama lain bagi kepala batumu yang tak tegas pada pulang dan lupa pada masa lalu tubuh dan jiwamu yang lunak. Kausebut apa bunda yang tetap menatangmu meski lumpur salah dan dosa melumurimu? Kecerobohan menelan mimpimu, memecahkan hari depan yang belia, dan menjadikan malam sebagai ranjang kesedihan. Benteng hatimu hancur terlalu awal, terlalu cepat diserang kaum musuh yang pernah mencintaimu. “Makam adalah rahim bagi si mati. Rahim adalah ampun mahaluas sekalipun sang anak jauh durhaka dan jatuh terluka,” suara bunda seperti desir angin di telinga pelaut yang menuntun kembali ke dermaga. Tangan bunda yang lembut seperti ampunan menjahit kulitmu yang koyak, menyusun tulangmu yang patah, menata hatimu yang pecah dengan airmata. Airmata yang asin seperti samudera yang kaurenangi di baris awal puisi ini.

(2022)

.

Gol Bunuh Diri

Kita (juga udara sunyi dalam bola) tahu belaka
Jaring sendiri adalah sasaran tuju para musuh
Hanya bila ingin cerca pemirsa menyumpah riuh
Kau boleh mengarahkan tujuan salehmu ke sana.
Demikian pemain terakhir itu keluar dari karpet
Apalagi mulutnya beraroma anggur dan khianat
Dan kantung koin itu lebih dalam dari kesumat.

“Pengkhianat itu memang tak pantas jadi penyerang
Ia mudah jatuh dalam godaan lawan di gelanggang,”
Kata kapten yang suaranya menembusi tembok Roma
Tendangannya menaklukkan Yunani dan segala bangsa
Meski pernah seekor anjing melibas putih betisnya
Sebab begitu malu ia pada kokok ayam pagi dan senja.

Di perjamuan malam sebelum kalah lagi dan lagi
Suara laksana langit siang terbelah meramal kami
Parasnya surai Batistuta, tangannya lubang paku
Sebab bukan Maradona, “Barangsiapa dekat kursiku
akan menyarangkan kulit si bundar ke lubuk sendiri.”
Kami saling menuduh seolah sepak-sepak jelata ini
Tak mampu berkhianat pada bola dan jala dan kaki.

Kami memang bukan penendang yang cakap segala
Sepak pun kadang meleset dari punggung bola karena
Dari lautlah kami datang lebih pandai merayu ombak
Yang marah tapi tak pernah menikam kawan sendiri
Membunuh kemenangan dengan aneka tindak-tanduk:
Karena yang satu bertindak, nasib yang lain di tanduk.

Setelah Getsemani dan Golgota tiada gol-gol tercipta
Bersebelas kami gelar ulang karpet di gersang arena
Di lapangan hijau dekat kubur yang ditutupi batu tua
Dengan geram lelidah api kami kalahkan kaum mereka,
Kaum yang tak percaya. “Pujilah sepak yang setia pada
Bola,” kata pemain yang muda seperti kabar gembira.

Itulah laga usai pemain keduabelas meninggalkan stadion
Sebab benarlah hanya ia yang mengambil seutas tali nilon
Erat seperti maut dan bagai dielu-elukan para penonton
Di dekat lampu jalan yang menunduk dan sebuah pohon
Ia menahan jeritnya. Putus-putus seperti suara memohon.

(2022)


Ilustrasi: Foto Kaka Ited (diolah dari sini).

Baca juga:
Puisi-Puisi Lolik Apung – Sehasta Cerita di Sisi Api
Puisi-Puisi Ama Achmad – Mengunjungi Dapur Ibu


Komentar Anda?