Menu
Menu

Bagaimana kalau ternyata hal-hal yang hilang atas nama pembangunan itu sesungguhnya potensial membuat hidup kita jauh lebih baik?


Oleh: Armin Bell |

Pemimpin Redaksi. Tinggal di Ruteng, bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino, mengelola blog ranalino.co. Kurator Flores Writers Festival.


Flores Writers Festival tahun 2022 dilaksanakan di Ende. Pemilihan tempat untuk gelarannya yang kedua ini bukan semata menjalankan niat awal agar kegiatan tahunan ini ‘digilir’ ke setiap kota di pulau Flores. Kerangka kuratorial festival cukup jelas menyampaikan ‘maksud lain’ yang jauh lebih penting: Ende mengalami akselerasi pada beberapa hal (pendidikan, media massa, literasi/percetakan) tetapi pada saat bersamaan, disadari atau tidak disadari, hal-hal yang sudah ada jauh sebelumnya (budaya pesisir, aksara lota, dan beberapa lainnya).

Situasi yang mirip terjadi di banyak tempat, pada banyak situasi, dan kita mengalami kehilangan-kehilangan (sekali lagi, disadari atau tidak disadari); sudah kita lihat, diceritakan berulang-ulang dalam berjenis-jenis karya, dan barangkali akan terus terjadi.

Pernah dengar lagu “Ujung Aspal Pondok Gede” kan? Salah satu lagu Iwan Fals yang rasanya berkisah tentang situasi serupa. Mulai dari ada yang hilang dari halaman kita sampai pada halaman kita ternyata hilang kalau tidak berganti. Narator dalam lagu itu menampilkan satu dari sekian banyak hal yang hilang dari halaman kita. Tanpa teks literal yang sungguh-sungguh menyiratkan protes, nada/notasinya “Ujung Aspal Pondok Gede” mengirimkan kisah itu; atau paling tidak dampak yang ingin dicapai adalah agar publik menyadari risiko yang akan mampir padanya suatu ketika. Kawan, suatu ketika kita yang tercerabut dari halaman kalau halaman itu tidak pergi. Akan begitu.

Ada kisah yang lain. Tentang seorang perempuan bernama Mek. Mek yang berusaha melakukan protes atas kehilangan halamannya’. Mek ada di semesta cerpen karya Rizqi Turama—melakukan protes yang barangkali kecil tetapi ada. Judul cerpen itu “Mek Mencoba Menolak Memijit”. Diterbitkan Harian Kompas, 10 Februari 2019 dan jadi salah satu cerpen dalam Kumcer Pilihan Kompas 2019: Mereka Mengeja Larangan Mengemis. Pada suatu hari, Mek mendapat karunia (superstition: melalui mimpi) memijit orang sampai sembuh tetapi memutuskan untuk tidak memakai karunia itu meski potensi ekonominya sangat besar.

Ceritanya begini. Mek dan suaminya adalah penduduk desa yang hidup dari menggarap lahan milik tetangga mereka. Hidup yang cukup, meski tidak bisa menabung. Hidup kita pada umumnya pada masa seperti sekarang ini, barangkali; suami istri itu dan tiga anak mereka, hidup dengan baik. Suatu ketika, pemilik lahan datang mengabarkan bahwa satu minimarket waralaba sudah membeli tanah itu untuk keperluan membangun cabang baru mereka. Tentu saja begitu.

Kehilangan lahan membuat mereka pindah ke kota bersama satu keluarga lain yang juga mengalami nasib yang sama: ”Merantau ke kota. Cari kerja di sana. Di sini sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan.” Tetapi kita semua tahu nasib para pencari kerja pada hari-hari awal di kota yang baru. Nasib yang sulit dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama: kita akan makan apa besok? Di antara situasi sulit itu, terjadilah karunia: Mek didatangi oleh seseorang via mimpi bahwa dia bisa jadi tukang pijit. Mek menolak tetapi terjadi hal lain, seorang istri pengusaha datang sebab melalui mimpinya dia menemukan Mek-lah yang bisa menyembuhkan sakit di bahunya. Dua orang memiliki tema mimpi yang sama dalam posisi yang berbeda—satu bisa menyembuhkan dan yang lain membutuhkan pertolongan—dipertemukan. Tidak ada pilihan lain. Mek terpaksa ‘menjalankan kemampuannya’ itu dan secara ajaib hampir bisa menyembuhkan pelanggan pertamanya itu. Tetapi pada kesempatan terakhir, dia urung memberi pijatan pamungkas sebab dari obrolan mereka, dia akhirnya tahu bahwa perempuan itu adalah istri pengusaha pemilik minimarket waralaba yang membuat mereka kehilangan lahan garapan di desa.

Protes Mek, curahan hati Iwan Fals, bukankah juga adalah suara-suara kita pada beberapa situasi? Suara yang kecil, suara yang juga problematik (sebut saja begitu); kita memakai barang-barang produksi pabrik-pabrik besar, kita menikmati berbelanja di minimarket yang tertata rapi. Tentu saja pertanyaannya adalah: kita yang mana?

Narator dalam “Ujung Aspal Pondok Gede” dan Mek dalam cerpen karya Rizqi Turama, serta tokoh-tokoh lain yang kita dengar (atau barangkali saya dan anda) adalah orang-orang yang kehilangan halaman. Aku dalam “Ujung Aspal Pondok Gede” kehilangan tempat bermainnya sepintas karena keinginan sendiri: kambing sembilan/ motor tiga bapak punya// Ladang yang luas/ habis sudah sbagai gantinya … tetapi gaya hidup adalah sesuatu yang diciptakan (pihak lain). Selanjutnya, nasib kita kemudian sama saja: menjadi manusia baru.

Apakah menjadi manusia baru itu salah? Atau, apakah menjadi manusia baru itu benar? Kita akan punya banyak bahan dalam diskusi-diskusi tentangnya, tentang menjadi manusia baru. Tetapi yang juga seharusnya ada dalam diskusi-diskusi itu adalah kemampuan memberi nilai dengan adil sejak dalam pikiran, bahwa desa tidak lebih kecil dari kota, bahwa pabrik tidak lebih hebat dari “ladang yang luas, atau sebagaimana telah disampaikan dalam kerangka kuratorial Flores Writers Festival 2022: … darat/gunung dan laut/pesisir ditempatkan dalam relasi oposisi biner—akibat dari relasi oposisi biner ini adalah kerap salah satu kutub lebih diutamakan atau dipandang lebih tinggi daripada yang lain.

Halaman yang Mana?

Yang banyak kita percayai sebagai halaman (depan) adalah tanah/daratan. Laut, tidak. Laut lalu dipandang semata-mata sebagai gudang protein meski dalam banyak cerita kita tahu laut sesungguhnya adalah semesta yang mengajarkan semua hal. Pernah baca The Old Man and The Sea kan?

Tetapi begitulah kini. Laut kerap dipandang sebagai halaman belakang (yang kita punggungi) padahal bagi sesungguhnya adalah halaman depan bagi masyarakat/orang laut. Situasi demikian kemudian menentukan cara pandang/perilaku kita terhadapnya. Laut hilang dari percakapan sebagaimana kita sibuk menata halaman depan rumah kita dan menumpuk sampah di halaman belakang. Terhadap pabrik, terhadap minimarket, dan terhadap banyak hal, cara kita melihat sesungguhnya dipengaruhi oleh bahasa umum (untuk tidak menyebutnya penguasa)—dalam skema pembangunan. Pertanyaannya adalah bagaimana kalau ternyata hal-hal yang hilang atas nama pembangunan itu sesungguhnya potensial membuat hidup kita jauh lebih baik/hebat dari sekarang–tidak ada monopoli opini/ekonomi/lain-lain?

Saat ini kita melihat (dan menjadi gembira) karena kegelisahan-kegelisahan tentang halaman yang hilang telah jadi percakapan di komunitas-komunitas melalui . “Beragam kolektif/komunitas muncul di pelbagai tempat dan dengan sokongan yang tepat dapat meretas kemandekan institusi-institusi dalam pengembangan kebudayaan. Boleh jadi, pengembangan kebudayaan memang sudah seharusnya ‘dikembalikan’ kepada warga, kepada kolektif. Negara dan institusi lainnya hanya berkewajiban untuk menunjangnya.” Begitu para kurator merumuskannya dalam kerangka kuratorial FWF 2022. Kalimat baik yang juga menghadapkan kepada kita beberapa situasi—dan semoga dapat jadi bahan diskusi bersama.

Pertama, suara Mek yang tidak jadi menyembuhkan istri pemilik minimarket waralaba tadi adalah suara/protes yang begitu kecil. Bagaimana mengamplifikasinya? Akankah terjadi bahwa tak ada lagi yang akan kehilangan lahannya? Apa yang akan terjadi kalau mereka kehilangan lahan? Hidup siapakah yang akan jadi lebih baik setelah (transaksi) pembangunan?

Kedua, dalam situasi bahwa pengembangan kebudayaan memang sudah seharusnya ‘dikembalikan’ kepada warga sebagai pemilik halaman, apakah negara atau institusi lain yang akan menunjangnya memahami gerakan komunitas itu dan mendukungnya dengan tulus atau justru menitipkan agenda yang lain—via kapital?

Ketiga, saya memikirkan hal yang lain. Siapa saja yang memerlukan kembalinya hal-hal yang hilang dari halaman? Pertanyaan ini sebaiknya dijawab karena akan ada pertanyaan berikutnya: bagaimana memperlakukan halaman kita di hari-hari yang akan datang?

Salam


Ilustrasi: Foto Valentino Luis – Monolog Ansel Langowuyo pada Penutupan FWF 2022. Ansel menampilkan cerita tentang halaman masa kecil yang dirampas membuat seseorang kehilangan segala hal.

Tulisan ini disampaikan pada Seminar Pembuka Flores Writers Festival 2022.

Baca juga:
Franco di Vatikan
Apa yang Membentuk Kelopak Bunga Pohon Sakura?


Komentar Anda?