Menu
Menu

Bila Sedih Agni Bernyanyi menyuguhkan diversitas Indonesia yang mampu memperkaya pengetahuan remaja, terlebih karena latar belakang Ruteng dalam novel ini tidak hanya sekadar tempelan.


Oleh: Avia Maulidina |

Pembaca biasa yang mencari kearifan lokal pada rak-rak di toko buku. Jika senggang, ia dapat ditemukan sedang menghidupkan cerita-cerita favoritnya lewat ilustrasi.


Tahun 2021 lalu, kisah seorang gadis asal Ruteng yang merawat tiga anggota keluarga berstatus Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) telah mencuri perhatian publik. Sehari-hari Afni Milan harus menyuapi dan memandikan Bapa serta Bapa Kecilnya yang dipasung, sementara Mamanya hanya bisa diam termangu. Belum lagi soal ketiga adik Afni yang bertumpu pada Afni karena ketiadaan sosok lain di rumah. Kondisi tersebut hampir membuat Afni merelakan pendidikannya, kalau saja kisah Afni tidak terangkat ke permukaan dan ditanggapi oleh berbagai pihak, termasuk Bupati Manggarai.

Satu tahun berselang, nama Afni telah terpampang sebagai salah satu penulis novel Bila Sedih Agni Bernyanyi terbitan Balai Pustaka. Ia digandeng oleh Annisa Setya, seorang penulis muda, untuk membuat novel yang terinspirasi dari kisahnya sendiri. Melalui novel ini tersirat harapan mereka agar remaja-remaja yang membacanya selalu kuat dalam menghadapi kehidupan, sebagaimana Afni yang pada akhirnya menuai apa yang ia tabur.

Hatinya terasa hangat. Ia ingin selamanya seperti ini. Kehangatan Bapa dan Mama menghidupkan keluarga mereka. Tak apa biarpun mereka hidup seadanya, asalkan Bapa dan Mama baik-baik saja. Makan dengan nasi, sayur, dan lauk seadanya terasa enak bila bersama-sama dengan tawa dan canda mereka, tidak seperti hari-hari kemarin saat Mama dan Bapa banyak pikiran dan kehilangan semangat, rumah menjadi muram dan gelap. Agni memanjatkan doa kecil dalam hatinya, semoga akan selamanya seperti ini (hal. 36).

Bila Sedih Agni Bernyanyi mengambil penokohan yang dibuat berdasarkan karakter-karakter di dunia nyata. Cerita berpusat pada tokoh Agni, gadis delapan belas tahun yang membanting tulang demi kelangsungan hidup keluarganya. Dulu hidup Agni baik-baik saja. Hanya pamannya yang mengidap gangguan jiwa. Tetapi lama kelamaan, dunia yang dikenalnya runtuh ketika orang tuanya turut mengalami hal yang sama. Kondisi Bapa yang terus menurun menjadi bagian yang pahit dalam novel ini, sebab kita turut mengetahui betapa hangatnya sosok sang ayah sebelum ia berubah dan mulai tersesat dalam pikirannya sendiri. Pun Mama yang sebelumnya lembut dan perhatian kian lama kian menjauh dari anak-anak, meratapi kondisi Bapa tanpa menyadari bahwa ia sendiri telah berubah seperti Bapa. Kenyataan tersebut harus diterima Agni sambil terus berupaya agar ketiga adiknya—Mara, Lucas, dan Yeva—tetap dapat hidup dengan baik.

Mengingat kisahnya yang memang diangkat dari pengalaman, buku ini menggambarkan realita penanganan ODGJ di daerah-daerah pelosok. ODGJ tidak mendapat perhatian khusus. Yang terjadi adalah perawatan seadanya sampai akhirnya dipasung karena takut mengganggu lingkungan sekitarnya. Bukannya pihak keluarga tak ingin memberikan fasilitas yang layak, banyak di antara mereka yang terkendala biaya. Jalan alternatif pun ditempuh, seperti pergi ke orang pintar.

Dalam menggambarkan fenomena tersebut, hadir sosok Nenek Anton yang didatangi Agni untuk menyembuhkan sang ayah. Berbagai upaya yang dilakukan memang sempat membuat Bapa membaik, tapi tidak lama. Inilah sesuatu yang dihadapi oleh orang-orang yang merawat ODGJ: mereka harus memahami bahwa ODGJ tidak serta merta membaik. Ada dinamika lain yang entah akan berakhir di titik mana.

Ikatan antara Agni dengan adik-adiknya menjadi sesuatu yang menyegarkan dalam novel Bila Sedih Agni Bernyanyi. Keempat bersaudara itu memiliki kepribadian berbeda-beda. Sebagaimana anak sulung lainnya, Agni merasa ia berkewajiban untuk menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi. Punggungnya dipaksa tegak oleh keadaan, dipaksa kuat demi semua orang di keluarganya. Hanya melalui nyanyian, Agni mampu menyampaikan kesedihan-kesedihan yang ia rasakan. Namun, semua kepedihan yang tak Agni ucapkan tetap dapat didengar oleh Mara, si anak kedua. Mara selalu menawarkan bahunya pada Agni untuk bersandar. Dari mulut Mara, mengalir kalimat-kalimat indah yang mampu menenangkan kalut dalam hidup mereka.

“Jadi gini… kita berempat dilahirkan ke dunia untuk membawa pesan, bahwa sekeras apa pun ombak menghantam, sekuat apa pun badai menerpa, kita yang makan dari pengorbanan Tonu Wujo, mengalir darah putri laut di nadi kita, memang ditakdirkan untuk menanggung semua ini.” (Mara kepada Agni, hal. 71).

Lain lagi dengan Lucas. Anak ketiga yang berwatak keras, tak ragu membalas orang-orang yang telah meremehkan keluarga mereka. Kalau Agni mencintai menyanyi dan Mara punya seribu kata mutiara, maka Lucas adalah pelari yang lekas. Lucas adalah kebalikan yang sempurna dari Yeva, bungsu dari keempat bersaudara. Yeva memiliki kepolosan khas anak kecil. Walaupun dia tertatih-tatih menghadapi dunia yang telah menjauhkan jiwa ayah dan ibunya dari mereka, Yeva tetap menghadapi semuanya dengan ceria. Bersama-sama, mereka menghadapi keadaan yang begitu pelik untuk dihadapi anak-anak belia. Keempat tokoh tersebut menjadi kekuatan novel yang bisa menginspirasi pembacanya.

Berkaitan dengan pembaca, novel ini cocok untuk disimak oleh mereka yang berusia remaja. Bukan rahasia bahwa novel-novel remaja dipenuhi oleh kisah yang Jawa-sentris. Bila Sedih Agni Bernyanyi menyuguhkan diversitas Indonesia yang mampu memperkaya pengetahuan remaja, terlebih karena latar belakang Ruteng dalam novel ini tidak hanya sekadar tempelan. Mulai dari dialek yang digunakan hingga cerita-cerita daerah yang diangkat, semua berdasarkan kenyataan di Ruteng. Pembaca akan turut menyimak legenda Jedo Pare Tonu Wujo, Bala Nogo, juga Darat Tana yang terselip pada narasinya.

Mengingat tokoh utama dalam novel ini masih remaja, Bila Sedih Agni Bernyanyi tak luput memasukkan permasalahan khas anak muda ke dalam alurnya. Dalam hal ini, yang harus dihadapi Agni adalah tantangan-tantangan dalam prosesnya mencapai impian dengan bernyanyi.

Penulis menghadirkan Orlin, sosok ceria dan setia kawan yang selalu membela Agni kala diolok-olok oleh Maria. Maria merupakan gadis populer di sekolah yang menyimpan ketidaksukaan terhadap Agni, terlebih setelah Agni dipasangkan dengan pemuda bernama Noel untuk mengikuti lomba menyanyi. Romansa antara Noel dan Agni tipis tapi berarti, jenis romansa yang tidak mengalihkan pembaca dari inti perjuangan Agni dalam menjalani hidup. Berdua, Agni dan Noel berupaya untuk memenangkan lomba menyanyi. Lagu-lagu populer di kalangan remaja bertebaran dalam proses latihan mereka, sebut saja River Flows in You, Fight Song, dan lainnya.

Cerita inspiratif nan sederhana yang berasal dari daerah luar pulau Jawa sudah lama tidak ditemukan di rak-rak buku kita. Barangkali buku terakhir yang memiliki dampak besar adalah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, itu pun sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Membaca Bila Sedih Agni Bernyanyi menimbulkan perasaan yang serupa seperti membaca tetralogi Laskar Pelangi. Narasinya indah, menghanyutkan pembaca dalam kalimat-kalimatnya. Dengan halaman yang berjumlah 250, buku ini dapat menjadi pilihan yang pas dan membekas untuk dibaca dalam sekali duduk. Rasanya membaca buku ini pun dapat menjadi suatu bentuk kepedulian kita terhadap Afni Milan, sang pemilik kisah asli yang kini mendapat beasiswa kuliah kebidanan di Universitas Katolik Indonesia (Unika) St. Paulus Ruteng untuk mengangkat kondisi keluarganya.


Baca juga:
Duka-Duka Perempuan dalam Novel Silsilah Duka
Terpidana Nomor 19394


Komentar Anda?