Menu
Menu

Ramuan Pekasih atau Bagaimana Misi Pencarian Cinta yang Nekat Berujung pada Suatu Orgi Malapetaka


Oleh: Rio Johan |

Kumpulan cerpennya berjudul Aksara Amananunna (2014) terpilih sebagai Buku Prosa Pilihan Tempo 2014. Novelnya berjudul Ibu Susu (2017) meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 untuk kategori Karya Pertama dan Kedua. Tahun 2020 menerbitkan novel Buanglah Hajat pada Tempatnya.


POSTUMUS, si pemuda pelajar calon perancang akuaduk masa depan, melangkah memasuki keramaian bazar forum. Dia punya janji kencan dengan Hilaria, pemudi yang baru saja bekerja di lokakarya tenun tak jauh dari sekolahnya; sudah beberapa harian ini dia memberanikan diri mencoba berbicara kepada Hilaria pada waktu-waktu senggang, sekalipun seringnya dia kuasa menahan laku kikuk di hadapan perempuan idaman, dan kata-kata yang mengalir dari mulutnya terdengar bahlul dan dungkul, pada akhirnya dia berhasil berkenalan dan mengajaknya berkencan pada hari pertama minggu bazar.

Ketika itu sudah memasuki tengah hari—hampir mendekati waktu yang dijanjikan—dan seperti biasa, forum sudah dijejali orang-orang: para pedagang sibuk sahut menyahut dengan para pembeli, para majikan berteriak-teriak pada budak mereka, para gladiator, tentara, dan penjaga lalu-lalang dengan seragam mereka, para tuan diarak di atas tandu sementara orang-orang papa mengesot-esot dengan sendal yang sarat debu. Postumus memacu kakinya berlari melintas lapak tukang cukur, penjual rempah-rempah, pedagang wol, menikung di depan lapak tukang buku, dan menikung lagi melewati lapak pandai besi, dan tibalah dia tempat yang dijanjikan: di pilar besar yang diapit oleh lapak ramuan obat-obatan si tua-pelupa Fabrisius dan lapak buah-buahan si-pelit Lepidus. Postumus berdiri di dekat pilar tersebut dan dari kantung kulit yang terselempang di bahunya, dia keluarkan satu botol kaca dengan cairan kuning keemasan di dalamnya dan satu lembaran kertas; dia baca apa yang tertulis:

RAMUAN PEKASIH
Cara penggunaan:

O engkau yang berburu cinta,
_____ berdukalah selagi engkau bisa;
Bukalah botolmu, bacalah tulisannya,
_____ sebab inilah ramuan pembawa bahagia.

Pada alismu sejeput tetes dipoleskan,
_____ dan pandanganmulah yang senantiasa dicarinya;
Pada bibirmu secukit tetes dipulaskan,
_____ dan ucapanmulah yang senantiasa didengarnya;
Pada telapakmu sekubit tetes dilumaskan,
_____ dan sentuhanmulah yang senantiasa didambanya.

Postumus mengangkat alisnya, menggaruk-garuk kepalanya, dan setelah memantapkan niatnya dia pun melakukan apa yang tertulis: pertama-tama, dia teteskan tiga cairan kental tersebut pada salah satu ibu jarinya, dia gosok merata pada ibu jari yang lain, lantas dia pulaskan kedua ibu jari tersebut pada kedua alisnya; kedua, dengan jari telunjuknya dia poleskan tiga tetes pada bibirnya; dan terakhir, dia tuangkan pada salah satu telapak tangannya, lantas dia lumaskan pada telapak yang lain. Mereka tidak cukup, dia tuangkan sedikit lagi, dan sedikit lagi, dan sedikit lagi, lalu dia gosokkan kembali telapaknya satu sama lain.

Dia hidu kedua telapak tangannya, dan secara spontan kedua alisnya terangkat, air mukanya seakan berkata, “Lumayan harum juga.”

Dia lihat sekelilingnya, semakin banyak orang lalu-lalang—sekelompok gadis muda yang mengenakan tunik warna-warni melintas di depannya, sepasang penari dan pemusik mengikuti di belakang mereka, seorang lelaki paruh baya bertoga biru tengah bertawar-menawar sengit dengan si pelit Lepidus tentang sekantung buah prem Damaskus, sementara si tua Fabrisius kebingungan mencari ramuan penawar wasir yang diminta pelanggannya—tapi tak kunjung juga ada tanda-tanda kedatangan si jelita Hilaria.

Dia merasa sedikit lapar dan lelah, dia belum memakan apa-apa sejak pagi, dia bersandar pada kolom di belakangnya, dan selagi melakukan hal tersebut, tanpa disadari dia menyentuh kolom tersebut dengan kedua telapak tangannya. Tak kuasa lagi menahan lapar, dia pun memutuskan untuk menghampiri lapak Lepidus; si pelit itu baru saja selesai bertawaran dan dari raut masam mukanya bisa ditebak bagaimana hasilnya. Postumus menyambar satu gugus anggur, tapi kemudian harga yang dilemparkan si empunya lapak luar biasa tak masuk akal (barangkali dia masih dikuasai rasa sebal dari negosiasi dagang sebelumnya), lantas tangannya berpindah pada sekotak kurma, dan dia kembali menggeleng-geleng kepala mendengar harganya, sampai akhirnya si empunya lapak pun tak sabaran berseru (juga mungkin karena melihat dua orang calon pedagang lain sudah datang, mengantre), “Kau ambil satu apel saja bocah, kuberi harga murah.” Postumus pun menuruti; sejenak tangannya menyentuh beberapa bongkah, kebingungan memilih mana menurutnya paling segar, dan kemudian mantap pada tiga yang paling merah.

Postumus merogoh tasnya, menyerahkan sejumlah koin pada Lepidius, dia tancapkan giginya pada satu apel dan dia masukkan dua lainnya ke dalam tasnya. Lantas, ketika hendak bergerak meninggalkan lapak buah tersebut, tahu-tahu saja seseorang menyenggolnya dan tubuhnya pun kehilangan keseimbangan, hampir-hampir saja terjerembap kalau saja tidak ditangkap oleh laki-laki yang tengah berjalan di depannya. Sialnya, apel yang baru saja dia lahap satu gigitan tergelinding dan sekarang sudah berlumuran debu dan lumpur.

“Kau tidak apa-apa, Anak Muda?” tanya laki-laki itu sambil memegang telapak tangannya, membantunya berdiri. Dia perhatikan sosoknya: tinggi dan besar, janggutnya tebal tapi tak panjang, perawakannya tampak pintar, barangkali seorang filsuf, atau pencatat di kantor pemerintahan, atau malah seorang senator?

“Jadi kau mau aku mengambil kembali harta sesanku dan kembali ke orang tuaku?” Postumus mendengar seorang perempuan mengeluh, atau lebih tepatnya mengomel, kepada laki-laki yang baru saja membantunya.

“Sebab aku tidak tahan melihatmu mabuk semalam, paham kau Betina? Berapa kali aku harus menjelaskan!” bentak sang laki-laki sambil melangkah menjauh.

“Markus Krispinus!” pekik sang perempuan sambil bersicepat menyusul suaminya, “Cuma karena satu kali mabuk kau campakkan aku begitu saja. Bagaimana dengan dirimu, hah? Berapa kali kau mabuk sampai teler di rumah, hah?”

“Tutup mulutmu, Betina!”

Postumus tidak tertarik mengikuti pertelingkahan rumah tangga tersebut. Dia lempar pandangannya kembali ke lapak Lepidus: seorang perempuan muda tengah malu-malu mengacung-acungkan sebongkah apel di depan muka si pelit—bukankah itu apel yang hendak dia pilih sebelumnya? Dia kelanakan kembali pandangannya ke sekeliling, dan karena belum ada juga tanda-tanda kemunculan Hilaria, dia pun memutuskan untuk berkeliling sejenak. Pelan-pelan dia pun memintasi tempat tukang cukur, lapak minuman, lapak penjual alas kaki di mana dia mencoba beberapa sepatu dan sandal tanpa membeli, lapak penjual hasil ternak di mana dia harus mendorong beberapa domba dan kambing yang menghalangi jalan, lalu tempat tukang cukur, tempat pertukaran uang, sekali lagi lapak ternak yang kali ini penuh oleh ayam meloncat-loncat di sana-sini, lapak kain di mana sang saudagar pemilik tengah mengomeli budak yang menjaga dagangan, gerai pakaian yang membuatnya berhenti sejenak untuk memeriksa beberapa tunik gaya terkini, sekali lagi, tanpa membeli, dan ketika kembali melanjutkan langkahnya, tanpa sengaja dia melihat sebuah benda berkilauan, sebuah kalung emas berbatu topas, dan ketika dia hendak memungutnya, dia dengar bunyi-bunyi aneh dari balik kolom di depannya, lenguh-lenguhan yang silih berganti dengan teriakan nyaring … ada apa gerangan?

Manakala menengok ke balik kolom, Postumus pun tidak bisa tidak dibuat terkejut mendapati sepasang tubuh telanjang dengan buasnya menggasak satu sama lain. Postumus yang polos pun spontan mundur, dan ketika itu pulalah kakinya tersandung dan terperenyak, dan membuat kedua sejoli itu menyadari keberadaannya dan segera mengenakan kembali pakaian mereka.

“Bocah sialan!” sang perempuan tergabas mendekati sang bocah sambil membetulkan kain stola pada bahunya, “Lancang sekali mengang—”
Sang perempuan paruh baya terentak mendapati kalung emas berbatu topas yang ada di tangan Postumus, tangannya langsung meraba-raba lehernya, lantas dengan penuh angkuhnya dia sodorkan telapak tangannya ke muka sang bocah, bola matanya bergerak-gerak dari kalung ke telapak tangannya seakan tengah memberi aba-aba.

Postumus bangkit dan memperhatikan baik-baik lawan bicaranya. Dia tentu perempuan baik-baik, kain yang membalutnya sudah cukup membuktikan.

“Itu … kalung itu, itu punyaku. Kembalikan, bocah,” sang perempuan menggerutu.

Postumus meletakkan kalung tersebut pada telapak tangan tak sabaran sang perempuan. Selagi melakukan itu, dia lihat pemuda yang tadi menggasaknya mendekat.

“Ada apa gerangan ini, Vibia sayang?” ujar pemuda itu sambil merangkul sang perempuan dari belakang.

Postumus perhatikan pemuda itu begitu muda, pastilah tak jauh dari umurnya, parasnya begitu rupawan, dan pada lehernya itu teruntai kalung kepemilikan—seorang budak, tentu saja.

“Bukan masalah besar, Sayangku, cuma bocah usil,” desah perempuan Vibia sambil menerima bibir kekasihnya.

“Jadi kau mau kabur denganku?” desah sang budak sambil menggasak bibir Vibia dengan bibirnya.

“Ah tidak! Tidak!” desah Vibia di tengah hujanan kecupan dari kekasihnya.

“Tapi kenapa?”

“Tidak! Aku tidak bisa!”

“Tapi kenapa kau tidak bisa?”

“Aku tidak bisa! Tidak bisa! Tidak bisa!”

Sebab tidak mau terus-terusan menyaksikan pameran gairah kedua pencinta tersebut, Postumus beranjak kembali ke keramaian bazar. Dia menilik ke kejauhan, ke arah kolom yang diapit lapak Fabrisius dan Lepidius, dia pindai satu per satu sosok yang dibalut tunik, polla, dan stola berbagai warna, tapi tak kunjung juga ada wajah Hilaria.

Tahu-tahu dia rasakan gejolak pada perutnya, dan seketika saja sensasi tersebut mewujud menjadi tekanan pada bokongnya. Lintang pukang dia menembus kerumunan orang, menabrak keranjang-keranjang juga sekumpulan ayam, dan, untungnya, sebelum beban biritnya celus, dia punya cukup waktu untuk masuk ke dalam lavatorium publik, menerobos antrean dan membangkitkan beragam gerutuan dan umpatan, dan mendaratkan bokongnya pada dudukan lubang kakus … Beban pun berjatuhan deras beriringan embusan napas lega, kedua telapak tangannya mencengkeram tepian jamban di kiri kanannya, dan ketika bungkal terakhir sudah lepas, dia sambar batang pembersih yang ada di pojokkan ruangan, dia lapkan spons di ujung tongkat pada biritnya, dia celupkan spons tersebut pada jambangan berisi cairan cuka dan garam, dan dia lapkan sekali lagi; selagi melakukan semua proses akhir tersebut dia perhatikan seorang lelaki tua tengah bercokol di jamban yang tadi dia gunakan, kedua telapak tangan tetua tersebut mencekau tepian, ejanannya yang keras membuat seisi ruangannya terarah padanya.

Merasa bokongnya sudah cukup bersih, Postumus pun beranjak meninggalkan lavatorium publik, dan karena merasa dia sudah menghabiskan terlalu banyak waktu, dia pun cepat-cepat berlari kembali ke kolom tempat janjian kencan. Sayangnya, ketika tiba dia tidak juga menemukan tanda-tanda pujaan hatinya Hilaria. Dia pun bersandar pada kolom, kepalanya tertunduk kecewa, tapi kemudian dia yakinkan dirinya bahwa Hilaria akan datang, mustahil gadis semanis itu mungkir, dia pasti akan datang, telat barangkali, tapi pasti.

Merasa masih lapar, dia rogoh satu apel dalam tasnya, dan ketika tengah mengunyah satu gigitan, ekor matanya mendapati sepasang telapak kaki bersandal berhenti di hadapannya. Dia angkat kepalanya pelan-pelan dan bersemuka dengannya seorang gadis muda. Sayangnya itu bukan muka Hilaria. Postumus merasa pernah melihat gadis muda itu sebelumnya… tapi di mana? Dia perhatikan bagaimana gadis muda itu menatapnya lekat-lekat, dan dia merasa kikuk juga.

“H-h-h-hai …” sang gadis malu-malu menyapanya.

“Hei …” balas Postumus ragu-ragu.

Postumus melempar tatapan bingung pada sang gadis dan lawan bicaranya cuma bisa bergeming.

Dia gigit apelnya sekali lagi sambil memperhatikan sosok di depannya dan mencoba mengingat-ingat di mana gerangan dia pernah melihatnya.

Serta-merta pipi sang gadis memerah dan dengan canggungnya dia bersuara, “H-h-h-hai …”

“Hai juga,” balas Postumus ramah.

“B-b-bole …?” sang gadis mengarahkan jari telunjuknya pada ruang kosong di samping pemuda Postumus.

Postumus bolak-balik melirik ruang kosong di sampingnya dan wajah lawan bicaranya, lalu ketika dia menggigit apelnya sekali lagi, dia pun teringat: gadis itu adalah perempuan yang mengantre di belakangnya di lapak Lepidus.

“Maaf, saya sedang menunggu seseorang,” jawabnya setelah menelan gigitan yang sudah selesai dia kunyah.

Rasa kecewa pun memenuhi muka sang gadis. Namun, belum juga sempat Postumus menggigit apelnya sekali lagi, seorang laki-laki melesat dan meloncat ke hadapannya.

“Maaf, Anak Muda, kalau saya boleh tahu … ahem … kalau saya boleh bertanya… apakah engkau punya sesuatu untuk … hmm … untuk diminum?”

“Wah, maaf, Pak, saya tidak bawa minuman,” jawab sang pemuda. Dia perhatikan sosok di depannya: tinggi besar, dengan janggut tebal dan panjang … ah dia ingat, dia lah lelaki yang membantunya ketika tadi terjatuh di depan lapak Lepidus.

Sang laki-laki membalik badan kecewa, tapi setelah dua langkah menjauh, dia berbalik kembali ke arah Postumus.

“Ah, maaf, Anak Muda, maaf kalau saya mengganggumu lagi,” ujarnya semringah, “saya tidak bisa tidak … ahem… tidak bisa tidak memperhatikan buah yang ada di tanganmu. Itu … hmm … apa itu sejenis apel Skaudius, atau apel Matian kesukaan Kaisar Augustus, atau apel kuning Armenia, atau apel emas, ah … atau jangan-jangan itu apel yang didatangkan jauh dari Suriah?”

“Aku tidak tahu engkau tengah mabuk anggur macam apa, Pak, tapi ini cuma apel biasa yang saya beli murah dari lapak Pak Lepidus,” jawab Postumus kebingungan.

“Ah … ya …,” semringah lebar sang laki-laki berubah menjadi senyuman canggung, “ya … ya … apel murah biasa … ahem … konyol sekali saya ini.”

Sekali lagi sang laki-laki berbalik, menjauh tiga langkah, berhenti sesaat, lantas berbalik dan kembali mendekati sang bocah.

“Ah, Anak Muda, maafkan saya … ahem … begini, perkenalkan: Markus Krispinus, penyair. Barangkali engkau pernah melihat bait-bait yang saya tulis dipahat di dinding-dinding kota, di pilar, ada satu yang saya suka di tempat pemandian publik, misalnya. Ah, baiklah … begini, Anak Muda, saya punya satu pengakuan,” sang laki-laki mendekat dua langkah, “kehadiranmu bagai tetesan wahyu segar bagi seniku.”

“Maaf, Pak, saya sedang menunggu seseorang,” jawab Postumus dengan dahi berkernyit.

“Jadi, Anak Muda,” sang laki-laki lanjut, tidak mengindahkan penolakan Postumus, “sudikah engkau menjadi sumber wahyu segar bagiku? Jadilah Musai-ku? Maksudku … ah, apa yang sebetulnya ingin kukatakan, dan aku harap ini tidak membuatmu terganggu: sudikah engkau memberiku kesempatan untuk mengenalmu … ahem … untuk mengenalmu lebih baik …”

“Maaf, Pak, tapi …”

“… sudikanlah aku jadi lebih akrab dengan dirimu … ah …”

“Sungguh maaf, Pak … Markus Kremu … Krespu …”

“Markus Krispinus, Musai-ku, Krispinus. Tolong, tolonglah dengarkan permohonanku. Begini, Musaiku … boleh kan aku panggil engkau demikian … sudah berbulan-bulan aku buntu inspirasi, sudah berbulan-bulan stilusku kering, dan sudah berbulan-bulan papirus-papirusku mumuk dan kancap debu. Tolonglah, Musai-ku, sudilah menjadi wahyu kebersenianku …”

“Pak Markus Krispinus, sungguh aku tak bisa …”

“Tunggu, Musai-ku, dengarkan aku, tolonglah, dengarkan aku … dari pipimu yang merekah segar sebagaimana bongkah apel di cabang paling tinggi, puisi-puisi akan bersemai. Dengarkanlah aku, Musai-ku, selamatkanlah kebersenianku, janganlah kau jadikan jiwaku serupa apel busuk di tanah yang hancur dilindas tapak budak penggembala …”

Selagi sang lelaki khusyuk berceracau di hadapan Postumus, seorang perempuan mendekat.

“ … yang melintas …” menyadari seseorang menyentuh bahunya, kalimat sang penyair pun buyar, lantas dia pun menoleh ke belakang, dan sekonyong-konyong berteriak pada sang perempuan yang baru datang: “Apa, Betina?!! Apalagi maumu?!!”

“Markus Krispinus! Kau tinggalkan istrimu sendirian di tengah pasar! Aku cari kau sampai ke kolong-kolong pasar!” sang perempuan tidak mau kalah tinggi suara.

“Tidak kau lihat aku sedang bicara dengan seseorang, Betina!” sahut Markus Krispinus sambil menarik sang perempuan menjauh dari Postumus.

Selagi kedua sejoli itu bercekcok-cekcok di dekat lapak obat-obatan Fabrisius, Postumus melihat sang gadis yang tadi menyapanya masih bertahan di sana, di seberang jalan setapak, malu-malu mencuri-curi lirik ke arahnya. Mendapati kesempatan baru sudah terbuka, sang gadis dengan canggungnya melangkah mendekati Postumus. Namun, sayangnya, baru tiga langkah dia maju, satu penghalang baru seketika muncul: seorang perempuan paruh baya berlari melejit ke arah Postumus dan mengalungkan kedua lengannya ke leher pemuda tersebut.

“Ah, maafkan daku, sungguh, maafkan daku,” sang perempuan melenguh ke telinga Postumus, “Aku sekarat, ah sayangku, aku meregang nyawa …”

“Maaf, Nyonya …” susah payah Postumus mencoba membebaskan diri dari cengkeraman lengan sang perempuan. Dia mengenali perempuan itu: dialah sang perempuan Vibia. “Apa ada yang bisa aku bantu lagi? Bukankah kalungmu sudah aku serahkan tadi?”

Di saat yang bersamaan, di dekat lapak obat-obatan Fabrisius, Markus Krispinus menyadari situasi baru tersebut, dan dari air mukanya, sungguh, dia tidak menyukai apa yang dilihatnya.

“Kau tahu, bocahku … bocah sayangku …” sang perempuan Vibia menjalarkan kedua tangannya di muka dan sekujur tubuh Postumus, “kau tahu aku melarat karena dirimu, aku meregang jiwa karena pikiran-pikiran tak pantas bersama dirimu … Sungguh, aku melarat, aaah …”

“Maaf, Nyonya …” sekali lagi Postumus membebaskan diri dari terkaman perempuan Vibia dan mundur dua langkah menjauh darinya. “Saya sedang menunggu seseorang, jadi tolonglah …”

“Betina!” Markus Krispinus tiba-tiba berteriak dan bergegas mendekat. “Lepaskan tanganmu dari Musai-ku!” sahutnya lantang pada Vibia sebelum kemudian berbalik pada Postumus dan bertutur halus: “Ah, Musai-ku yang malang, apa yang telah perempuan jalang itu perbuat padamu?”

“Musai-mu!” pekik istri Markus Krispinus yang tiba-tiba muncul di belakang Postumus.

“Ya, Betina, ya! Musai-ku! Tak setuju kau?”

“Oh, bocahku! Janganlah dikau jauh-jauh dariku!” sang perempuan Vibia menarik tangan Postumus. “Kau tak tahu betapa hausnya diriku, betapa hausnya daku akan dirimu!”

“Mundur kau, Betina!” tegas Markus Krispinus pada perempuan Vibia. “Jangan kau nodai Musai-ku!”

“Ah … siramilah dahagaku dengan kasihmu …” perempuan Vibia mencoba menanamkan kecupan-kecupan di leher dan pipi Postumus.

Dan selagi kedua kubu tersebut bergaduh-gaduh mengklaim sang bocah Postumus, satu sosok baru muncul: seorang pemuda yang tiada lain dan tiada bukan budak-kekasih sang perempuan Vibia.

“Ke mana saja kamu? Aku kuatir kamu kenapa-kenapa …” ujar sang budak pada perempuan Vibia.

“Aku mencintaimu! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu!” sang perempuan Vibia menghujani kekasihnya dengan ciuman. “Tapi, tapi …” dia berbalik pada Postumus, “Aku menginginkanmu, aku menginginkan rasamu, baumu, aromamu, kulitmu …”

“Tapi Vibia sayang, bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan diriku?”

Dan hampir bersamaan dengan sang budak-kekasih, Markus Krispinus menyahut lantang, “Betina jalang! Lepaskan tangan nistamu dari Musai-ku!”, dan di belakangnya, istrinya menyahut murka, “Markus Krispinus bangsat …,” yang dia balas tak kalah kencang, “Tahan moncongmu, Betina!”, dan yang dijuluki “Betina” meraung, “Bangsat Kau, Markus Krispinus! Heh, kau mengakui-ngaku punya musai sekarang! Penyair kelas-teri seperti kau ini, Penyair bacar mulut macam kau ini! Jangan kau suruh tahan moncongku, tahan moncongmu sendiri, Moncrongspinus!”

Sementara itu, si tua Fabrisius pemilik lapak ramuan obat-obatan mulai was-was mengikuti situasi yang kelihatannya semakin runyam itu. Biji matanya sibuk bolak-balik melirik huru-hara samping lapaknya dan mencari-cari keberadaan aparat petugas di tengah keramaian pasar. Seseorang pelanggannya baru saja menyodorkan sebotol posca dan menanyakan harganya ketika Fabrisius meloncat dari lapaknya dan berlari tunggat-tunggit menembus lapak-lapak lain menuju sepasang aparat yang tengah bersantai di satu sudut forum.

“La … la … lapor ….!” Si tua Fabrisius terengah-engah. “Ke … raca … keracauan … racau … cacacaukacau …”

“Tenang, Pak Tua, tenangkan dulu dirimu,” kata salah seorang aparat. “Tarik napas, ya, ya, begitu, tarik napas.”

“Huru-hara, Pak! Ya, ada huru-hara,” Si tua Fabrisius mulai tenang, “Semacam konflik, Pak. Keributan kelompok. Wah saya tak terlalu yakin juga, semacam itulah … tapi saya takutnya akan jatuh korban, Pak …”

Nah, kembali ke keributan yang dipermasalahkan: Tahu-tahu satu tangan menyergap lengan Postumus yang cuma bisa tergugu-gugu menyaksikan perkembangan hura-hara tersebut; sang pemuda monoleh dan mendapati sang gadis malu-malu yang tadinya di seberang jalan sudah ada di sampingnya.

“I-i-i… Ikut aku … kau aman denganku …,” desisnya sambil mencoba menarik Postumus; tapi belum juga sang gadis malu-malu berhasil menarik satu langkah, jari-jari lain datang mencengkeram tangan Postumus yang lain, kali ini sang perempuan Vibia, melenguh-lenguh, “Bocahku … sini … kemari … aaah …” dan di belakangnya lagi, sang budak-kekasih mencengkeram tangan perempuan Vibia, menarik-nariknya sambil memohon nestapa, “Apa nasibnya kita? Apa jadinya kita?”; tidak mau kalah, dengan tangan besarnya Markus Krispinus mendorong tubuh istrinya ke samping dan maju ke hadapan sang bocah rebutan, “Musai-ku! Akan kubebaskan dirimu dari manusia-manusia penista itu!” dan sang istri di belakangnya segera bangkit dan berteriak, “Markus Krispinus!”

Postumus sang bocah, mukanya memerah tak sanggup lagi menahan campuran bingung, kesal, dan muak yang mendentum-dentumi kepalanya, sekonyong-konyong berteriak, “Stop!” Dia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, dengan intonasi yang sedikit diturunkan, “Stop kalian semua. Maaf, tapi saya tak kenal satu pun dari kalian. Dan saya tidak butuh apa-apa dari kalian. Saya di sini menunggu seorang teman perempuan jadi tolonglah, mohonlah berikan saya ruang, waktu, dan kedamaian untuk menunggunya.”

“Teman perempuan!” pekik Markus Krispinus dan perempuan Vibia secara bersamaan. (“Te-teman pe-pe-perempuan!” sang gadis malu-malu juga membunyi kecil, redam oleh pekikan kedua orang tadi.)

“Tunggu dulu, saudara-saudara,” suatu suara menggelegar dari arah kerumunan penonton yang sedari tadi sudah semakin besar dan semakin besar. Tidak sulit melacak sumber suara tersebut: seorang pria kekar, paling tinggi menjulang di antara orang-orang, dan dari model tunik pendek dipakainya, sudah jelas dia bagian dari ketentaraan. Spontan, seakan-akan dikomandokan oleh dahanam suara tadi, orang-orang membuka jalan bagi sang raksasa untuk maju ke depan dan menyahut, “Kalaulah ada orang yang pantas memiliki sosok paling indah di kota ini, tiada lain dan tiada bukan saya, Hostus Valerius Ambustus!” Lantas dia pun berlutut di hadapan Postumus, dan suaranya melembut, betul-betul kontras dengan gemuruh yang baru saja diperagakannya, “Duhai pemuda, tidak ada mahakarya yang lebih agung daripada dirimu.”

Merasa semakin kebingungan dan terpojokkan, Postumus pun mengacir menembus kerumunan. Ketika menerobos, dia merasa beberapa tangan menggerayanginya; dia juga mendengar suara-suara “Kekasihku”, “Sayangku”, “Kemari peluk aku” di antara kebisingan tersebut, seakan-akan dialamatkan padanya. Dia berlari melintasi lapak demi lapak dan di belakangnya dia dengar gemuruh kaki orang-orang mengejarnya, bercampur dengan teriakan-teriakan semacam “Terimalah cintaku!” atau “Hatiku hanya untukmu!” Dia menikung di dekat lapak perkakas rumah tangga, lurus terus melintasi lapak manik-manik dan pandai besi, dan setiap kali dia menoleh ke belakang, kerumunan gila yang mengejarnya terasa semakin besar, tapak-tapak mereka semakin membahana, debu-debu berkepal-kepal mengelilingi mereka, dan lapak-demi-lapak pun ambruk tertabrak, keramik-keramik pecah berdentang-denting, kain-kain berterbangan, buah-buah dan sayur-mayur berhamburan, orang-orang yang takut terlibas kabur berjempalitan, hewan-hewan ternak berkotek, berdengking, melenguh, mengembik, menguik ketakutan, apa saja, siapa saja yang menghadang niscaya hancur lebur digilas.

Postumus terus berlari sampai kemudian di depannya dia melihat sebuah gerobak terparkir di tengah-tengah jalan, dia berpikir cepat, dia melongsor menembus kolong gerobak, lantas bersicepat meluncur menuju tumpukan kain di lapak terdekat—hampir-hampir dia menabrak seorang perempuan hamil tua, yang segera jatuh terduduk demi menghindar dan mengeluarkan segala macam umpatan pada sang pemuda—dan dia tenggelamkan dirinya di dalam tumpukan tersebut. Dia dengar gemuruh kerumunan mendekat, lantas dia dengar “gedubrak” keras—dia bayangkan kerumunan tersebut menabrak gerobak—dan kemudian hening sesaat sampai suatu memanggil muncul, “Musai-ku! O, Musai-ku, di mana gerangan dirimu?” yang kemudian langsung disambut oleh beragam teriakan lain: “Kekasihku datanglah padaku!” “Bocah sayangku!” “Keluarlah!” “Kekasihku, aku butuh belaianmu!” “Janganlah campakkan aku dari cintamu!”

Postumus merasa panggilan-panggilan tersebut datang dari berbagai arah—atau tepatnya, segala arah—dan begitu juga dengan bunyi langkah-langkah kaki; dia bayangkan kerumunan tersebut sudah terpecah dan masing-masing orang tengah sibuk menyisiri lapak demi lapak, sudut demi sudut, kolom demi kolom untuk menemukan dirinya. Dalam persembunyiannya dia bertanya-tanya apa gerangan yang telah membuat mereka bertingkah sinting seperti itu? Barulah ketika dia menyadari lengket pada kedua telapak tangannya, dia teringat pada ramuan cairan pekasih yang tadi dia gunakan, dan dia juga teringat bagaimana kedua telapak tangannya yang sudah berlumuran cairan kental keemasan tersebut menyentuh berbagai barang dan permukaan: buah-buahan dagangan Lepidus, beberapa lembar tunik di salah satu lapak kain, jamban di lavatorium publik, batang spons pembersih! Dalam ruang persembunyian yang sempit tersebut, susah payah Postumus merogoh isi tasnya, dia keluarkan botol ramuan pekasih juga kertas instruksinya, dia baca baik-baik isinya, dia dan pada bagian bawah kertas, betul-betul dekat dengan tepiannya, tertulis dengan ukuran huruf yang begitu kecil, dia temukan tulisan yang sebelumnya luput dari perhatiannya:

SATU PETUAH BIJAK: hindarilah temaah, cermat-cermatlah melepaskan jejak tapak!

Postumus spontan mengumpat tapi kemudian segera menutup mulutnya, sadar suaranya mungkin akan terdengar. Lantas tahu-tahu suatu ide melintas di kepalanya, suatu solusi yang boleh jadi manjur atas segala malapetaka ramuan pekasih tersebut: dia menarik napas panjang beberapa kali, menyiapkan nyalinya, benaknya menghitung satu-dua-dan dia pun meloncat keluar dari tumpukan kain.

Dadanya naik-turun cepat, kedua telapak tangannya tiba-tiba terasa dingin, di hadapannya terpampang pemandangan bazar forum yang sudah hancur-lebur: lapak-lapak amblas, barang-barang dagangan luluh-lumat, dan orang-orang—dari budak cela sampai tuan tanah, dari saudagar kaya sampai gembel bangsai, dari penagih pajak sampai filsuf gadungan, dari tentara sampai pencoleng, perempuan terhormat maupun pramunikmat—semuanya mondar-mandir menyisiri reruntuhan, berteriak-teriak memanggilnya, mencarinya.

“Mo-mohon per-perhatian semuanya …” Postumus mencoba bersuara, tapi getar dalam dirinya membuat kalimatnya tergagap-gagap.

Di dekatnya, seorang saudagar paruh baya berbalut damask sutra dari negeri asing mendengar suaranya, mata lelaki tambun itu berkejap-kejap, senyumnya terbit sumringah.

“Perhatian semuanya!” Postumus mencoba sekali lagi, dan kali ini suaranya lebih jernih dan mantap.

Beberapa orang menoleh ke arahnya, mata mereka berkerjap-kerjap memastikan bahwa yang ada di hadapan mereka memang betul yang mereka cari. Salah satu dari mereka kemudian berseru, “Kekasihku, akhirnya muncul juga dirimu!” Yang lain tak mau kalah, “Sayangku, kemarilah! Kemarilah!” Dan satu per satu para pemujanya pun mulai memacu kaki ke arahnya, saling tak mau kalah dengan yang lain.

Sebelum mereka mencengkeramnya, Postumus cepat-cepat berteriak sampai ke ujung tenggoroknya, “Stop! Stop! Stooooooop!” Secara hampir serempak derap langkah orang-orang terhenti. Hening sejenak sebelum seorang lelaki paruh baya yang posisinya sudah cukup dekat dengan Postumus bersuara, “Bi-biark—”

“Diam!” Postumus lantang memotong sang lelaki yang sekonyong-konyong terhentak dan terbirit-birit mundur.

“Oke … ahem … oke, tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian,” dengan kikuknya Postumus berusaha bersuara tegas dan berlagak gagah. “Aku tahu bagaimana membereskan kekacauan ini.”

“Musaiku … izinka—” dari dalam kerumunan Markus Krispinus menyahut.

“Diam!” hentak Postumus lagi. “Ahem, Pak Markus Krispinus,” dia acungkan jari telunjuknya kepada orang yang dimaksud, “saya mulai dengan kau saja. Kemari, kemari,” jari telunjuknya turut memberikan gestur memanggil.

“Tentu saja, Musaiku, tentu saja. Apa pun untukmu,” Markus Krispinus kegirangan maju.

“Kedua telapak tanganmu, Pak!”

“Apa pun untukmu, Musaiku,” sang pemuja berlutut di hadapan Postumus sambil menadahkan kedua tangannya.

Postumus menuangkan cairan kental ramuan pekasih kedua telapak di hadapannya; lalu dengan kedua tangannya dia aba-abakan Markus Krispinus untuk menggosok kedua telapaknya secara menyeluruh.

Postumus mengedarkan pandangannya pada kerumunan, lantas, tak jauh dari posisi di mana sang penyair tadi menyahut, dia temukan orang yang dicari.

“Engkau, Nyonya, kemari. Iya, kau, istrinya Markus Krispinus,” sang bocah menudingkan jari telunjuknya, dan sosok yang dipanggil pun melangkah maju.

“Dan sekarang aku bisa memilikimu, Musaiku?” lirih sang pemuja sambil membuka lebar kedua tangan, hendak merangkul Postumus.

“Stop!” hentak Postumus sambil mundur menghindar. “Sekarang sentuh kedua telapak tangan istrimu!”

“Apa pun untukmu, Musaiku …” sang penyair pun melakukan apa yang diperintahkan.

“Mundur kalian,” ujar Postumus sebelum kembali mengedarkan pandangannya pada kerumunan. “Hmm … hmm … oke, kau …” kali ini telunjuk Postumus tertuju pada gadis pemalu yang sedari awal menguntit dan mencuri lirik ke arahnya.

Dengan muka memerah, yang dipanggil pun dengan canggung maju. Postumus memintanya menadahkan tangan dan menuangkan ramuan pekasih.

“Mana pasanganmu … ah, ya, kau tak punya pasangan kan?”

“Y-y-ya … ke-kecuali … kalau kau—”

“Hmm …,” tak acuh pada gagap sang gadis, Postumus memperhatikan sekelilingnya. “Ah, peduli setan … kau iya, kau, kemari …”

Pemuda penggembala yang ditunjuk pun maju. Postumus memerintahkan keduanya untuk saling menyentuh—dan saling “memoles”—telapak tangan satu sama lain. Selanjutnya orang yang lain lagi dipanggil, dan begitulah satu per satu telapak tangan para pemuja mulai diolesi ramuan pekasih dan diberi pasangan—baik pasangan yang aslinya maupun yang dipilih secara acak. Satu per satu senyum pun lahir pada mulut mereka, binar terbit pada mata mereka, terarah langsung pada siapa telapak tangan mereka telah dipasangkan. “Ah, jadi ini yang namanya cinta,” lenguh seorang penjual roti sambil memeluk pemuda pasangannya. “Bawalah aku ke mana pun engkau pergi,” seorang perempuan pemintal mendesah di telinga kekasihnya. “Oh, kekasihku!” pekik seorang pemudi sebelum membiarkan mulutnya dilumat oleh mulut lawannya.

Namun kemudian, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi: ketika Postumus tengah menuangkan ramuannya pada tangan seorang perempuan ringkih, salah satu pasangan yang tengah berputar-putar berpelukan dimabuk cinta menabrak pasangan lain yang tengah bercumbu-cumbu liar, kedua pasang kekasih tersebut terjatuh, dan, sialnya, telapak tangan perempuan pasangan yang pertama tak sengaja menyentuh lengan perempuan kedua, dan ketika keduanya berhasil bangkit, pasangan lain yang sibuk bercumbu menabrak mereka kembali dan sebagai upaya agar tak terjerembap, tangan-tangan kedua pasangan baru ini mencengkeram bahu dan betis pasangan-pasangan di sekitar mereka, dan begitulah, kecelakaan tersebut mewujud menjadi rentetan telapak-telapak berlumuran ramuan yang mendarat liar di antara kerumunan orang-orang kasmaran.

Pemuda Postamus, yang ketika itu perhatiannya terkuras pada tugas memasangkan telapak-telapak tangan yang belum teroles kebolehan ramuan pekasihnya, tidak menyadari bakal bencana baru tersebut. Manakala tiba-tiba seseorang menengking tinggi di tengah huru-hara kerumunan, Postumus melirik dan mendapati tengkingan tersebut datang dari seorang perempuan gempal yang tubuh telanjangnya tengah dijelajahi oleh lidah pasangannya; melihat itu, dia cuma bisa menyengir dan mengangkat alis, memasang ekspresi yang bisa dibaca sebagai, “ya ampun, apa mereka tidak bisa menunggu.” Dia pun lanjut menuangkan ramuan pada telapak tangan lelaki paruh baya yang ada di hadapannya, dan ketika itu pulalah melalui ekor matanya dia menyaksikan lidah yang tadinya bertualang di tubuh perempuan gempal itu sudah berpindah ke pemuda ranum di dekatnya, dan si perempuan gempal sendiri sekarang digerayangi dua pasang tangan … tidak, tiga pasang tangan … tidak, empat pasang tangan! Matanya membelalak dan pucat menjalari mukanya selagi matanya menyimak tangan-tangan dalam kerumunan dengan rakusnya menyentuh telapak-telapak yang lain.

“Terimalah cintaku ini, terimalah cintaku ini!” sang pemuda melihat Hostus Valerius Ambustus berlutut di tengah kerumunan sambil mendadahkan kedua tangannya di hadapan penyair Markus Krispinus.

“Duhai makhluk-makhluk rupawan, marilah kita rayakan keagungan cinta bersama-sama!” di bagian lain kerumunan dia lihat si jelita Vibia dengan begitu dermawan membagikan sentuhan telapaknya pada orang-orang.

Satu per satu tunik, toga, palla, dan stola ditanggalkan, dan tubuh-tubuh telanjang mulai saling menumpuk satu sama lain. Lantas tiba-tiba terdengar satu lengkingan panjang dan Postumus saksikan perempuan hamil tua, yang tadi ditabraknya, tengah meraung kesakitan, basah menderas turun dari kakinya. Menyadari itu, orang-orang dari kerumunan mulai mendekati sang perempuan, menjulurkan tangan mereka sambil melantunkan—dalam satu harmoni, nyaris-nyaris seperti gita: “Kemarilah! Rayakanlah cinta bersama kami! Kemarilah! Rayakanlah cinta bersama kami!”

“Stop! Stop! Stop!” pekik Postumus, spontan melesat mencoba menyelamatkan sang perempuan hamil tua.

Tapi terlambat, sekejap saja perempuan itu sudah terkepung oleh tubuh-tubuh telanjang.

“Bangsaaaat!” tidak tahu harus berbuat apa lagi, Postumus memutuskan untuk kabur dari forum, di kepalanya dia berulang-ulang berseru, “Aku lepas tangan! Tidak tahu menahu, pokoknya aku lepas tangan!”

Terbirit-birit Postumus melaju di jalan berbatu. Di belakangnya terdengar lenguhan dan lengkingan penuh nafsu, orang-orang di sekitar setapak menyadari bising heboh itu dan melangkah penasaran menuju forum. Dalam timbunan huru-hara suara samar-samar Postumus mendengar jeritan bayi, diiringi laungan, “Bayiku! Ah, bayiku! Rayakan cinta bersamaku, bayiku!”

“Bukan salahku! Bukan salahku!” sambil mempercepat laju kakinya, dia berbisik pada dirinya sendiri.

.

POSTUMUS sekarang sudah tiba di bagian lain kota. Napasnya sudah terengah-engah, tapi dia masih terbirit-birit menyeret langkah. Kumandang penuh nafsu lamat-lamat masih tertangkap gendang telinganya.

Seorang gadis muda datang dari arah yang berlawanan.

“Postumus! Postumus!” pekik gadis itu ketika keduanya berpapasan. Tapi, sang pemuda masih dikuasai buncah dan melaju tak acuh.

“Hei! Bukannya kita ada janji ketemuan!” pekik sang gadis, yang tiada lain Hilaria si jelita tukang tenun.

Dan Postumus melaju semakin menjauh.

“Hei! Mau ke mana kau? Aku terlambat karena aku ada urusan mendadak!”

Tapi sang pemuda sudah terlanjur menikung dan menghilang di balik dinding bangunan.

Postumus melangkah dan melangkah, membelok sekali lagi di perempatan, dan ketika itulah dia baru menyadari telapak tangannya masih bersisa lumuran minyak pekasih dan segera saja dia mengelap-elap telapaknya pada dinding bangunan. Dia rogoh botol ramuan dari tas kulitnya dan dengan geram dia empaskan ke tanah. Dengan mulut menggerutu dia pun melanjutkan langkahnya.
Beberapa lama kemudian, ketika langit sudah mulai memerah, suatu sosok muncul dari balik perempatan: langkahnya terseok-seok, posturnya bungkuk dan menyedihkan, dan dari tubuhnya menguar busuk yang begitu pekat. Kakinya kemudian berhenti di depan botol kaca, dengan susah payah tangannya yang penuh borok meraih botol tersebut, dia buka tutupnya, dia endus isinya, dan merasa bungah dengan harumnya, dia poleskan minyak tersebut pada kedua telapaknya, pada lehernya, pada pipinya. Setelah merasa puas, dia simpan botol tersebut di antara lipatan kain toganya yang cemar dan cobak-cabik. Dengan kebanggaan dan kepercayaan diri yang baru, dia pun melangkah, dan hanya dewa-dewi yang tahu apa-apa saja yang akan dicengkeram oleh kedua telapak tangannya tersebut …[]

untuk 22 butir parasetamol
untuk ikat pinggang yang tergantung
untuk lima hari di Rumah Sakit Jiwa St. Maurice
: selalu untuk Martin Demonchaux
Riga, 19 Maret – Praha, 11 Juli 2022


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Pedang Terhebat dari Pedang-Pedang Terhebat
Lelaki yang Membatukkan Bunga


Komentar Anda?