Menu
Menu

Setidaknya, gadis-gadis sepertiku, tahu bagaimana harus bertindak saat seseorang mengeluarkan cairan miliknya di tempat yang tidak seharusnya.


Oleh: Latif Nur Janah |

Lahir di Sragen, Oktober 1990. Menulis cerpen dan cerkak. Beberapa di antaranya dimuat di media cetak maupun online. Tulisannya berjudul “Sigar” adalah fiksi berbahasa Jawa yang tergabung dalam buku Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jateng, 2020). Cerpennya “Awan di Pelupuk Mata” menjadi juara pertama lomba menulis Gebyar Kedaulatan Santri (Oktober, 2021). Saat ini menetap di Sragen, Jawa Tengah.


Karena cairan, mulutku tidak bisa bicara berhari-hari. Aku mencoba bicara dan menjelaskan pada Bapak dan Ibu, tetapi seperti ada yang menyumbat tenggorokanku begitu kuatnya. Setiap kali mulutku akan mengatakan sesuatu, air mata lebih dulu keluar. Tidak ada yang mengerti, tentu saja. Bapak dan Ibu semakin bingung.

Karena cairan pula, aku mendapati tubuh Ibu terbaring bersimbah darah saat usiaku memasuki tiga belas. Aku terpaku melihat matanya membulat. Wajah pucatnya bahkan tak hilang dari malam-malamku setelah itu. Untuk pertama kalinya, ketika itu, aku melihat Bapak menangis tanpa suara.

Ketika mendapati cairan itu di kamar mandi untuk pertama kali, aku sempat berpikir, kenapa di sekolah tidak diajarkan mengenali berbagai cairan tubuh. Maksudku, selain air mata, air kencing, dan keringat. Rasanya, itu lebih berguna daripada mempelajari cara berkembang biak planaria atau cara protozoa membelah diri. Setidaknya, gadis-gadis sepertiku, tahu bagaimana harus bertindak saat seseorang mengeluarkan cairan miliknya di tempat yang tidak seharusnya. Aku lantas teringat guru biologi di sekolah. Kumisnya yang melintang di bawah hidung pendeknya, entah kenapa terlihat mirip dengan Mas Pandu. Hanya saja, milik Mas Pandu lebih tipis.

“Kamu tidak apa-apa?” itu suara Mas Pandu. Aku sangat hafal meski baru bertemu beberapa kali.

Tentu saja aku tidak baik-baik saja. Aku segera meraih tisu yang tergantung di samping kloset dengan tangan gemetar, mengambil beberapa gulung, dan membersihkan cairan-cairan itu. Tidak terlalu lengket, namun cukup melendir layaknya ingus. Aku merasa risih dan jijik. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku menyalakan keran. Megambil tisu lagi. Kali ini dengan setengah terisak. Kuputar kepala keran pada putaran penuh. Air mengucur deras, menyamarkan suara Mas Pandu di luar.

Aku mendengar pintu depan diketuk. Pastilah itu Bapak dan Ibu. Aku mulai menata isakanku. Aku mulai mengatur napasku. Tetapi kacau! Air mata justru merembes tak tahu malu. Dan isakanku malah bertambah nyaring. Kuputar keran lagi. Air mengucur kembali. Aku duduk lagi di kloset dengan tangan menopang dagu. Entah air mata atau keringat dingin yang membasahi telapak tanganku kali ini. Yang pasti, aku tak ingin keluar, apalagi bertemu siapa pun. Untuk saat inilah, mungkin cara membelah diri seperti protozoa perlu benar-benar dipelajari, batinku kecut. Mungkin dengan begitu, aku bisa menyembunyikan sebagian diriku di kamar mandi dan menemui Bapak dan Ibu dengan sebagian diriku yang lain.

“Ratih!” suara Bapak terdengar di antara deras air keran, meninggi. Barangkali, ia telah memanggilku berkali-kali. Isakan dan napasku cukup teratur sekarang, tetapi hatiku semakin gaduh. Pikiranku semakin keruh.

Kuurungkan memutar kenop pintu ketika masih kudengar suara Mas Pandu di luar. Ia pamit pada Bapak dan Ibu. Sangat sopan dan lembut seperti biasa. Sama seperti ketika ia membetulkan gerakan tanganku ketika menari. Kepada Bapak dan Ibu, ia bilang aku kurang enak badan. Oh, yang benar saja!

Pandu Wijayakusuma. Dalam darahnya, masih terbau darah keraton. Perawakannya bersih dengan bekas cukuran kumis yang terlihat kasar. Usianya baru duapuluh lima, tetapi pengalamannya soal menari tak perlu diragukan. Aku melihatnya ketika ia tengah mementaskan Jlantur bersama tiga puluh sembilan penari laki-laki lainnya. Entah mengapa, dari semua penari yang tampil, mataku tertuju pada penampakannya. Caranya memainkan kuda tiruan dalam tari itu membuatku iri. Kisah perjuangan Pangeran Diponegoro seolah terwakilkan dari caranya memainkan kuda itu. Lembut tetapi juga tegas.

Suatu malam, tiga hari setelah Bapak menerima undangan untukku dari balaikota, Mas Pandu datang ke rumah. Saat itulah, ketika ia tersenyum di depan pintu, ada yang berdecak di dalam hatiku. Aku tak tahu apa yang tengah kurasakan. Barangkali perasaan terlalu senang mengetahui ia akan mengajariku menari privat selama seminggu ke depan sebelum pementasan di balaikota. Untuk tarian yang akan kutampilkan, Bapak secara khusus mengundangnya sebagai guru privat.

Ini hari keempat Mas Pandu datang ke rumah. Sejak setengah jam yang lalu, aku tak bisa berkonsentrasi dengan selendang yang melilit pinggangku. Mas Pandu dengan sungkan meraihnya jika aku tiba-tiba terjatuh sebab kecerobohanku sendiri. Di antara gerakan-gerakan yang kulakukan, diam-diam, aku mencuri pandang padanya. Oh, bekas cukuran kumisnya yang kasar selalu membuatku tersenyum dan terbayang. Caranya meraih selendangku ketika terjatuh. Caranya menggerakkan otot-ototnya yang keras ketika melatih. Aku merasakan ada yang berdesir dari kepala ke jantungku. Apalagi, saat itu, hanya ada kami berdua di rumah. Lima menit sebelumnya, Bapak dan Ibu pergi ke rumah seorang rekan mereka.

Dari belakang, Mas Pandu membenahi simpul selendangku yang longgar. Ketika tangannya menyentuh pinggangku, sekali lagi, ada perasaan senang yang asing. Juga malu yang intim. Ini mungkin tidak seharusnya terjadi, tetapi entah kenapa, aku menyukainya meskipun tubuhku mulai gemetar. Keringat mulai mengucur di pelipisku. Dengan satu gerakan tegas, ia menyimpul selendang di pinggangku. Dua tangannya kini meraih ujung jemariku. Aku bahkan bisa merasakan embusan napasnya yang halus di tengkukku. Ia menggerakkan kedua tanganku dengan lembut. Ketika bekas kasar cukuran kumisnya kurasakan di leherku, aku benar-benar merasa ini tak seharusnya terjadi. Aku mencoba menjauh, melonggarkan tangannya dari tanganku. Namun, yang justru kurasakan adalah dekapannya yang semakin erat. Aku bisa merasakan napasnya yang memburu. Dan, tiba-tiba, ada sesuatu yang menohok pahaku bagian belakang. Aku ingin meronta, tetapi Mas Pandu terlalu kuasa. Aku ingin menangis, tetapi, bahkan suaraku seolah ditelan kengerianku sendiri. Sesuatu itu semakin lama semakin mengeras, lalu kurasakan kain yang melilit tubuhku basah.

***

Berhari-hari, aku hanya diam di kamar. Ibu memelukku, suatu malam. Ketika tangan ibu mengusap kepalaku, aku merasakan ketenangan yang agung merayapi hatiku. Alih-alih bicara, tangisku pecah di pelukannya. Kemelut mulai terurai sedikit demi sedikit ketika Ibu menyebut satu nama. Kurasakan naluri keibuannya meronta. Malam kami pungkas oleh air mata.

Pementasan digelar dua jam lagi. Bapak berkali-kali menggedor pintu kamarku. Aku masih terpaku di depan cermin. Kostum yang seharusnya kukenakan, masih tergeletak di ranjang. Suara Ibu yang serak menahan Bapak berteriak. Ibu mencoba menjelaskan segalanya. Tetapi, tentu saja Ibu bagai rusa di kandang singa. Bapak menggedor pintu sekali lagi. Aku mendengar suara Bapak dan Ibu yang tumpang tindih. Berdenging-denging seperti kumbang. Bapak mulai meracau soal Ibu yang tak becus mengurusku, tentang walikota, tentang nama baiknya sebagai mantan perwira. Dan…

Satu tembakan melayang, memecah malam.

Aku membeku di depan cermin. Suara pistol Bapak membuatku semakin hening dan dingin. Tanganku mulai gemetar. Detik setelah itu, aku melihat wajah Mas Pandu tertawa. Kuraih kostumku di ranjang. Kukenakan secepat yang aku bisa. Ketika pintu kubuka, aku melihat Ibu terbaring, tubuhnya bersimbah darah. Aku terpaku menatap matanya yang membulat. Sementara Bapak tersungkur, menangisi Ibu tanpa suara. Aku merampas pistol Bapak dari tangannya. Tidak ada yang kupikirkan selain ke balaikota. Aku harus memberi pelajaran kepada Mas Pandu malam ini juga. Jika perlu, sampai tubuhnya berkeping-keping seperti planaria. (*)


Ilustrasi: Foghorns oleh Arthur Dove

Baca juga:
Liyan dan Ancaman dalam Cerpen Iwan Simatupang
Mengapa Hubungan Percintaan Harus Berjalan Selamanya?


1 thought on “Cairan”

  1. lady nowhere berkata:

    suka banget sama cerpennya, kereen

Komentar Anda?