Menu
Menu

Akhir dari kisah Guru Aini ini terasa menyedihkan dan menjadi gambaran tentang ketimpangan pendidikan di Indonesia.


Oleh: Petrus Salestiano Lagut |

Dari Wae Rana. Bergiat di kelompok minat sastra Bengkel Kata Sanpio. Siswa kelas XI di Seminari Pius XII Kisol.


Dari Kisah Awal

Seberapa sering kau mendapati tokoh utama dalam suatu novel mengalami nasib menyedihkan di akhir cerita? Salah satunya adalah Aini dalam novel Guru Aini, seorang gadis yang kegagalannya masuk Fakultas Kedokteran berulang kali disesali peserta Bincang Buku Sekolah yang hadir untuk membahas novel karya Andrea Hirata ini di taman baca Ad Lumen, Kisol, pada hari Kamis, 3 Februari 2022 yang lalu.

Ada tiga kelompok besar yang hadir untuk mengulik novel ini: Kelompok minat sastra Bengkel Kata Sanpio (BEKAS), siswa/i SMAN 6 Kota Komba—yang belum sempat membaca novel Guru Aini tetapi sangat bersemangat mengikuti proses bincang buku sekolah, serta kakak-kakak anggota Klub Buku Petra yang jauh-jauh datang dari Ruteng. Bertindak sebagai moderator sore itu, Kae Lolik Apung dari Klub Buku Petra dan sebagai pemantik diskusi adalah Pak Arsi Juwandi, guru di Seminari Kisol.

Novel karya Andrea Hirata ini berkisah tentang dua tokoh utama yang adalah perempuan, Desi Istiqomah dan Nuraini yang kerap disapa Aini. Kisah dibuka dengan suasana tegang ketika Desi beradu mulut dengan ibunya dan kepala sekolah SMA-nya, Ibu Amanah. Desi tetap pada pendiriannya untuk mengambil kuliah Diploma III Matematika; program pemerintah untuk menghasilkan Guru Matematika baru yang siap dikirim ke mana saja. Sebaliknya, ibunya dan Bu Amanah menginginkan agar dirinya menjadi seorang pengusaha, dokter, atau apa saja asal bukan guru yang, bagi mereka, hidupnya pasti sengsara. Sayang seribu sayang, ibunya dan Bu Amanah gagal membujuk Desi yang memiliki keteguhan hati seperti ayahnya.

Singkat cerita, Desi akhirnya memilih menjadi seorang guru dan bertugas di Ketumbi, kampung terpencil di Tanjung Hampar. Di sana, Desi bertekad menemukan satu orang murid jenius. Ia sendiri adalah guru yang dikenal berprestasi dan galak; hanya mengajar anak-anak yang cerdas.

Bagi Pa Arsy, novel Guru Aini ini bisa dibaca dari sudut pandang guru dan sudut pandang siswa. Dilihat dari sudut pandang guru, Desi adalah guru yang idealis sekaligus egois. Dia membagi kelas berdasarkan kemampuan siswa: kelas dengan murid yang pandai dan kelas dengan murid yang tidak pandai. Desi hanya mengajar murid yang cerdas. Padahal, menurut Pa Arsy, guru justru harus mengajar semua murid. Dari sudut pandang siswa, Desi adalah sosok yang kejam karena memaksakan standar yang ada padanya untuk dipakai oleh semua siswa yang memiliki kemampuan yang beragam.

Adapun secara teknik, Pa Arsy melihat Andrea Hirata membuka novelnya dengan konflik antara tokoh aku dengan tokoh-tokoh lain yang ada dalam cerita. Desi berkonflik dengan guru dan ibunya sekaligus. Konflik antara tokoh inilah yang menggerakkan cerita dari satu latar ke latar lain. Pantikan awal dari Pa Arsy ini mendapat tanggapan dari para siswa.

Bagi beberapa peserta Bincang Buku Sekolah sore itu, awal novel ini sudah sangat baik. Rido Duar (BEKAS) menyukai cara Andrea memulai novel ini dengan konflik. “Novel ini sangat unik. Kisah awal yang dimulai dengan konflik menjadikannya menarik untuk dibaca. Saya juga menyukai cara Andrea bertutur dengan memakai bahasa yang sederhana sehingga rasanya tidak ingin berhenti membalik halaman demi halaman novel ini,” tutur Rido.

Sepikiran dengan Rido, saya dan Grei Santur (BEKAS) juga merasa tertarik bahkan sejak halaman awal novel ini, sebab tak ada angin tak ada hujan langsung seperti petir, novel ini dimulai dengan rangkaian masalah tanpa orientasi terlebih dulu.

Kisah ini dimulai dengan Ibu Guru Desi dan teman-teman SMA-nya menarik undi untuk menentukan tempat mereka akan mengajar. Peristiwa ini menjadi sedikit dramatis ketika Desi berbaik hati menukar tempat tugasnya yang seharusnya di sebuah kota pelabuhan bernama Bagansiapiapi dengan tempat tugas temannya di sebuah pulau terpencil bernama Tanjung Hampar, di sebuah desa yang bernama Ketumbi.

Dalam pandangan Forin Eka dan Teten Nabi (BEKAS), Desi telah menunjukkan sifat-sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Roin Kalas (BEKAS) juga berpandangan sama. Ia menambahkan, Desi adalah seorang tokoh yang teguh pada pendiriannya. “Saya melihat bagaimana Desi selalu teguh pada pendirian dan idealismenya sebagai seorang guru. Ia tak akan membiarkan seorang pun mengubah pendiriannya. Bahkan, ia rela mengambil tempat tugas di tempat terpencil yang justru dihindari oleh teman-temannya,” ungkap Roin. Hal itu yang membuat Roin ingin terus meneruskan bacaannya; ia penasaran apa yang akan terjadi pada Desi di Tanjung Hampar.

Dari Tokoh Aini

Kisah ini semakin menarik tatkala muncul seorang tokoh baru. Aini. Seorang anak yang selalu sakit perut saat pelajaran Matematika berlangsung. Ia bahkan rela mengambil piket temannya demi tidak mengikuti pelajaran Matematika.

“Saya menyukai Aini karena perkembangan karakternya bagus sekali. Awal-awal kita dibuat percaya bahwa ia membenci Matematika. Ia merasa Matematika tidak ingin ‘berkawan’ dengannya. Namun saya dibuat kaget ketika Aini tiba-tiba bertekad untuk serius belajar Matematika,” komentar Ompi Latang (BEKAS).

Komentar senada juga datang dari anggota BEKAS yang lain, Yohan Adun dan Yoel Gual. “Aini memutuskan untuk mulai serius belajar Matematika. Bukan tanpa sebab, semenjak ayahnya sakit keras, ia telah mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan ayahnya bahkan sampai memanggil tabib yang paling masyhur untuk mengobati penyakit ayahnya. Sayang, tak satu pun tabib yang berhasil menyembuhkan ayahnya. Akhirnya, Aini memutuskan untuk menjadi dokter demi menyembuhkan ayahnya,” komentar Yoel yang diamini juga oleh Yohan beserta sebagian besar peserta yang hadir.

Perjuangan Aini yang begitu keras membawa dr. Ronald Susilo (Klub Buku Petra) pada kenangan lama semasa bersekolah di Seminari Kisol dulu.

“Saya selalu ingat satu bagian dari novel ini. Aini yang tak pandai Matematika selalu mendapatkan panggilan terakhir saat kertas ulangan dibagikan. Saya ingat juga bagaimana ia selalu mendapatkan angka biner pada ulangannya yaitu seputar satu dan nol saja. Tak jauh berbeda dengan saya. Dulu sewaktu di bangku sekolah menengah saya selalu dipanggil terakhir saat kertas ulangan Bahasa Latin dibagikan. Saat itu pelajaran ini diampu oleh RD Alfons Segar. Persis seperti Aini, saya juga selalu dimarahi,” tutur Dokter Ronald.

Ia melanjutkan, “Sejak saat itu, saya berkomitmen untuk lebih serius belajar Bahasa Latin. Lambat laun saya mengalami kemajuan dari yang dipanggil terakhir menjadi mereka yang kelompok tengah hingga akhirnya kertas ulangan saya berada di bagian atas. Kisah Aini ini mengingatkan saya bagaimana perjuangan saya dulu.”

***

Untuk bisa menguasai Matematika, langkah pertama Aini adalah pindah dari kelas Pak Tabah—seorang guru yang sabar dalam mengajar Matematika—ke kelas Bu Desi. Namun, bukan Bu Desi yang ramah dan setia membimbing yang ia temui, melainkan Bu Desi yang galak, temperamen, serta tidak sabaran bila ada murid yang tidak pandai dengan mata pelajaran yang ia ajarkan.

Sebagian besar anggota BEKAS berkomentar sama tentang dua tokoh utama ini. Rudi Pedot, Bern Teho, Gil Mintano, Rafli Gasu, dan Sakti Kusuma secara kompak mengatakan bahwa Aini adalah seorang yang pemberani, bersemangat, serta memiliki keteguhan hati. Ia berani keluar dari zona nyaman—kelas Pak Tabah yang aman dan nyaman—untuk belajar langsung dari Bu Desi yang galak. Menurut mereka juga, meski Bu Desi galak, ia sebenarnya tahu apa yang terbaik untuk murid-muridnya.

Senada dengan itu, Pak Arsi juga memberikan komentarnya terhadap Bu Desi. “Saya melihat seperti ada suatu standar tinggi yang dipasang Bu Desi. Alhasil, murid-muridnya yang memang kemampuan akademiknya pas-pasan kesulitan mencapai standar itu,” ujarnya.

“Ketika saya mulai membaca novel ini, saya mendapati bahwa Bu Desi itu seorang yang baik hati, ramah, dan sabar membimbing muridnya. Namun saya dikejutkan ketika mendapati perkembangan yang dialami Bu Desi. Ia menjadi guru yang galak. Ini semua terjadi karena ulah seorang muridnya,” komentar Osmin Sale.

Perkembangan yang terjadi pada Bu Desi rupanya disebabkan oleh Debut, seorang murid cerdas yang padanya Bu Desi menaruh harapan besar yang justru berbalik menjadi pesakitan yang tidak memiliki cita-cita. Ia bahkan bergabung dalam Rombongan 9, orang-orang yang menempati barisan paling belakang di kelas karena tidak pandai Matematika.

“Saya sangat kecewa dengan tokoh Debut ini. ia sangat pandai Matematika, tidak seperti saya. Namun, ia secara sengaja menjatuhkan nilai-nilai Matematikanya. Kalau saya jadi Debut, saya akan memaksimalkan potensi saya di bidang matematika,” tutur Elton.

Pada akhirnya, Bu Desi yang galak harus menjadi guru privat bagi Aini. Setiap hari setelah berdagang, Aini pergi ke rumah Bu Desi untuk belajar Matematika. Walaupun selalu dibentak, diumpat, dan dimaki oleh Bu Desi, Aini tetap tegar belajar darinya. Sampai suatu ketika setelah mengumpat Aini, Bu Desi menemukan cara yang tepat untuk mengajar Aini, yaitu melalui pendekatan kalkulus. Melalui pendekatan ini, Aini perlahan-lahan mulai memahami Matematika dan kemudian nilainya mulai membaik. Bahkan, ia menyaingi dua orang temannya yang paling pandai Matematika.

Tentang pendekatan kalkulus, Iwan Oban berpendapat lain. “Saya melihat bahwa bukan pendekatan kalkulus yang membuat Aini menjadi pandai Matematika melainkan usaha dan semangat juang yang tidak pernah patah. Berkat usahanya, ia dapat berkembang,” tuturnya.

“Saya sudah dapat menebak bahwa Aini akan pandai matematika. Namun, saya sungguh kecewa ketika membaca akhir cerita ini. Walaupun ia sudah lulus tes masuk Fakultas Kedokteran, ia tetap gagal. Gagal karena ia dan keluarganya tidak sanggup membayar biaya kuliahnya. Sepertinya, slogan uang adalah segalanya dibuktikan melalui kisah Aini ini,” tutur Putra yang disambut dengan anggukan oleh Andri Camba dan Reshky Sudirman.

Akhir dari kisah Guru Aini ini terasa menyedihkan dan menjadi gambaran tentang ketimpangan pendidikan di Indonesia.

Dari Akhir Cerita yang Menggantung

Bagi sebagian besar peserta, akhir novel ini menggantung. Aini yang gagal masuk Fakultas Kedokteran terpaksa memilih untuk menjadi pelayan di sebuah kedai kopi di Ketumbi. Kemudian, ia kembali dipertemukan dengan Debut yang saat itu seperti mempunyai rencana besar merampok satu-satunya bank yang ada di Ketumbi.

“Dari sekian banyak novel yang pernah saya baca, sepertinya novel ini termasuk novel dengan ending paling gantung. Tidak diketahui apa nasib Aini selanjutnya? Juga pastinya tidak dijelaskan apa yang akan dilakukan Debut mengenai bank di dalam kisah ini. Saya jadi penasaran apa yang terjadi selanjutnya,” ungkap Rion Papik yang diamini oleh Grei dan Prima.

Andri Camba juga sama sekali tidak menyukai akhir novel Guru Aini itu. ”Saya tidak suka dengan ending novel ini. Seharusnya cerita berakhir dengan kegembiraan, di mana Aini berhasil diterima di Fakultas Kedokteran meski ia miskin. Saya terpikir untuk membuat ending sendiri di mana Aini masuk Fakultas Kedokteran dan menjadi seorang dokter di masa depan,” tutur Andri.

Menanggapi Rion dan Andri serta komentar senada dari peserta lainnya Pa Arsi berpendapat, akhir novel ini tidak sepenuhnya gantung. “Mungkin ada benarnya kalau ending-nya gantung tetapi saya kurang setuju kalau ending-nya diubah. Cerita yang disajikan oleh Andrea ini sudah sangat pas dan tidak perlu diutak-atik lagi. Ini sesuai dengan realita-realita yang Andrea hadirkan di awal. Fakta bila Aini menghadirkan seorang tabib dan bukan dokter untuk menyembuhkan ayahnya menunjukkan kemiskinan mereka. Fakta ini diperkuat realita lain di mana mereka menempati kontrakan kecil serta bekerja sebagai penjual mainan anak-anak. Jadi dengan keadaan ekonomi seperti ini, sangat tidak mungkin jika pada ending­-nya Andrea membuat Aini diterima menjadi mahasiswi kedokteran,” jelas Pak Arsi.

Sejalan dengan Pa Arsi, saya pun berpendapat, ending gantung yang diberikan sudah sangat sesuai dengan kenyataan yang ada pada  novel ini. Situasi Aini di akhir cerita hendak mengangkat permasalahan sebagian besar orang-orang miskin yang kesulitan mengakses pendidikan yang layak. Jika ending-nya diubah, mungkin fungsi sosial dari novel ini tidak ada.

Kesan Pesan

Hal lain yang juga diperbincangkan dengan seru sore itu adalah tentang kesan dan pesan yang bisa dipetik dari novel Guru Aini ini.

“Setelah saya membaca novel ini saya merasa sangat bingung siapa sebenarnya tokoh utama dari novel ini, apakah Desi si guru atau Aini si pelajar. Saya melihat kedua tokoh terkesan saling mendominasi isi cerita. Judul novel juga membuat saya bingung apakah tokoh utamanya adalah Guru atau Aini,” komentar Ano Siga.

Sependapat dengan Ano, Alan Kabelen dan Exel Da juga berkomentar tentang hal yang sama. Namun mereka lebih menitikberatkan komentarnya pada pesan novel ini.

“Saya dapat memetik beberapa nilai dari novel ini. Pertama, jika kita ingin sukses maka kita harus belajar untuk keluar dari zona nyaman. Kedua, dalam belajar diperlukan semangat pantang menyerah agar bisa mendapat hasil yang optimal. Kemudian yang ketiga, jangan cepat berputus asa. Saya menemukan ketiga pesan ini sudah dikemas dengan baik dan disajikan dengan cara yang fantastis,” ungkap Exel.

Adapun Prima Gabriel mendapat kesan bahwa Guru Desi adalah seorang yang idealis dan mempunyai ambisi yang terlalu muluk yaitu untuk mendapatkan murid yang jenius matematika dan mudah untuk dibimbing. Menurutnya hal ini akan sangat berbahaya jika ia bertemu realita yang justru terjadi sebaliknya.

Komentar lain datang dari Putra. Dirinya menyebutkan bila novel ini kurang memuaskan baginya. Ia melihat bila penggambaran tokoh dalam novel ini, terutama Debut dan Ibu Aini yang bernama Dinah terkesan kurang lengkap. Ia akhirnya merasa kurang memahami peran beberapa tokoh tadi.

Suara Terdidik dan Pendidik

Sebagian besar peserta Bincang Buku Sekolah yang adalah pelajar menyuarakan isi hatinya dari sudut pandang sebagai pelajar. Sebagian besar menyoroti sikap Guru Desi yang terlalu galak dan keras dalam mengajar matematika.

“Banyak anak yang kurang mahir Matematika dan itu adalah suatu hal yang tidak bisa dipaksakan apalagi dengan cara keras seperti itu. Saya mengharapkan agar semua Guru Matematika kiranya lebih sabar lagi dalam membimbing kami di pelajaran Matematika,” tutur Yunita Diman (SMAN 6 Kota Komba)

Komentar senada juga disuarakan oleh sesama pelajar SMAN 6 Kota Komba, Nia. Ia membagikan pengalamannya dalam belajar Matematika dan merasa pengalaman tokoh Aini persis seperti pengalaman mereka yang sulit belajar matematika. Kesulitan dalam memahami konsep dan menghafal rumus adalah kesulitannya dalam belajar Matematika. Apalagi jika pelajaran itu berlangsung pada jam pelajaran ke-6 yaitu pukul 12.00 siang.

Komentar-komentar lain bermunculan sehubungan dengan tokoh Guru Desi ini. Komentar Pak Arsi bernada berbeda. Sebagai guru, ia melihat sikap Guru Desi dari sudut pandang guru bisa dibenarkan. Ia mengatakan bila seorang guru bersikap keras dan temperamen itu terjadi karena materi yang diajarkan adalah penting dan juga karena guru mempunyai batas kesabaran. Komentar ini diamini Dokter Ronald yang juga adalah seorang dosen di STIKES Santu Paulus Ruteng. Ia menambahkan seorang guru atau dosen akan jengkel jika anak didiknya tidak juga memahami apa yang diajarkan setelah dijelaskan berulang kali. Mereka berpendapat kadang sikap seperti itu perlu juga untuk memacu peserta didik dalam belajar.(*)


Baca juga:
Puisi-Puisi Ilham Rabbani – Membaca Perbatasan
Puisi-Puisi Iyut Fitra – Kepadamu Kami Bicara


Komentar Anda?