Menu
Menu

Dongeng tentang Dua Teratai; Tentang Makan Malam yang Harus Selesai; Yang Tidak Terbunuh di Hari Kemarin; Terjebak Pesta; Pesta Kuburan.


Oleh: Widya Mareta |

Lahir pada tahun 1994. Buku puisinya Puasa Puisi (2021) termaktub dalam 5 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke-21. Saat ini menetap di Tangerang. Dapat disapa di Twitter/Instagram @pilgrimaya.


Dongeng tentang Dua Teratai

I.
Bagaimana dengan cerita ini:
seorang gadis dilamar
untuk kemudian dibawa ke negeri yang jauh.

Bibirnya selalu merah meski tak mengunyah sirih,
jemarinya pasti sudah terampil mematut diri
selagi kilau bulan melapisi kulit
lalu menjadikannya terang
dan pandai berkebaya.

Tak ada yang ia takuti setiap melenggok di hadapan banyak pemuda
sebab tangan-tangan para dewa
telah menghadiahi siklus tubuh yang baik
serta pinggul yang elok rupanya.

II.
“Dua teratai merekah
di dada setiap perempuan.”
Begitulah semua leluhur berkata
sejak tubuhnya mulai diawasi berpasang-pasang mata.

Tidurnya selalu teratur
agar cemerlang kulitnya selalu setia.
Dalam mimpi yang samar-samar
dua barongsai tekun menari
menciumi jeruk-jeruk dari Pasar Lama,
juga angpao dari tangan para lansia.

Di mimpi itu pula mereka menyambut tetamu
penuhi meja dengan nampan-nampan merah
yang akan menjadi ornamen baru
di setiap sudut rumah.

III.
Berkali-kali rambutnya terbelah bagai laut marah
saat sisir masih mempelajari rute kisahnya.
Kembang-kembang bergoyang
lengkapi dahi yang berhias sepenuh diri.

Dua teratai kian mekar
siap memancarkan air penuh gizi
bak semburan hujan musim semi.

Tiga hari tiga malam kau akan dihibur
dengan iringan gambang dan wayang potehi.
Sebelum cokek-cokek menari seperti digerakkan para dewa,
lepaskanlah cemas yang gaduh di kepala
sebab hanya lapar dan sukacita yang boleh dibawa ke dalam pesta.

Kau berlari dan berharap ini semua takkan terjadi.
Tapi dua barongsai
telah mengamatimu
jauh, jauh—sedari tadi.

.

Tentang Makan Malam yang Harus Selesai

Kau telah bersaksi:
pada meja perjamuan,
perut adalah bangunan kosong
tanpa penunjuk jalan dan penerangan.

Piring-piring akan memaparkan rasa zat
seperti penggalan ayat kitab suci
yang baru sanggup kaupelajari
setelah buta yang amat panjang.

Bekas-bekas kekejian pisau
di serat daging,
baru saja tercipta
setelah menua di tangan para darwis.

Ambillah.
Sebab semua yang tersaji di meja ini
adalah para kurban yang mengaduh
ketika laparmu mulai mematahkan tulang-tulangnya.

Habiskanlah.
Sebab mereka telah menunggu lama
untuk dinubuatkan kepada lidah
yang jauh lebih dulu mengenal bahasamu sejak rasa perih tercipta.

Kelak jika maut datang bergilir mengisi meja,
sebutkanlah dengan lantang nama Tuhanmu;
Tuhan yang berdiam dalam senyap perut
tempat kau menyimpan semua luka
untuk kembali pada denting piring di dapur itu,
yang selalu memanggil seperti nyaringnya lonceng gereja.

.

Yang Tidak Terbunuh di Hari Kemarin

Tak kautemukan apa pun selain abjad uzur
yang tak lagi mampu menafsirkan dirinya sendiri.
Ingatanmu sedang tertimbun taifun
seperti galeri berisi kumpulan potret renaisans
dengan perempuan-perempuan bergaun terang.

Gumpalan natrium di sudut mata anak-anak
tampak seperti sebuah kredo menyakitkan:
“tak ada waktu untuk Tuhan di sini.”

Dari puing negeri kaukumpulkan mimpi-mimpi usang
yang terbaring pada keranda-keranda telanjang.
Angin yang pecah di kejauhan
telah mengalah pada riwayat penghabisan.

Kini kau lihat bulan mulai pasrah pada usia,
dan berakhir sebagai meja perjamuan yang putus asa.
Hari pun semakin kusam
sambil mengasingkan dirinya dari warta-warta Zefanya.

Yang mengerikan bukan bumi terbelah
dan langit sama sekali tak terbaca,
melainkan nafas burung-burung lelah
limbung hilang arah.
Pagi pun hilang denah,
rontok sejarah.

Di antara udara keropos itu,
kau berusaha temukan lagi “Kun!” yang sama,
jejalkan bahasa baru pada lidah dan pori-pori
seperti sihir
yang menghidupkan orang mati.

.

Terjebak Pesta

Sebuah lorong telah berdiri di atas tubuh,
menarikmu ke dalam pesta
dalam balutan sutra organza.

Orang-orang tiba beriringan
saat pelayan menuang arak di gelas ketiga,
sementara piringan hitam terus-menerus memutar lagu dansa
yang partiturnya sulit dieja.

Apa yang paling dicari dalam sebuah pesta?
______ Denting gelas yang meredam celaka pada kepala.

Setelah terjebak dalam kesadaran yang amat tanggung,
kau sesapkan mantra ke seluruh aula.
Hujan luruh tanpa komando
bersama ingatan yang terlanjur punya nama.

Kau tak pernah menahan jatuhnya air mata
seakan bersedih adalah sebuah keharusan.
Dongengmu riwayat para tauke
dengan tubuh terpapar buih minuman dan bau wanita.

Bergelas-gelas anggur cemas di meja perjamuan
tanpa sempat meneriakkan asal negaranya.
Habiskan kepala anjing dari piring-piring
sebelum orang-orang membungkusnya untuk camilan nonton berita.

Kau cari bunyi harapan dalam ruangan,
namun ruangan itu hanya menyisakan batuk yang sangat panjang
seperti habis dicekik peristiwa.

“Di sini tak ada apa pun,” katamu.
Hanya tersisa bau basa
di antara orang-orang yang tak pernah kautahu namanya.

Malam terlalu cepat luntur menghapus bayangan
seperti musim gugur mengasingkan aroma pohon
dari letak daun-daun.

Pulanglah dengan begitu gegas,
seperti langkah maling kecil
membawa permen kapas.

.

Pesta Kuburan

Sebelum bulan mulai menyerap panas nisan,
berdoalah kembali
Agar makanan-makanan di tubuh nampan
tak sia-sia oleh siksaan udara.

Biarkan anak-anak dan perempuan dari seberang
berdatangan ambil bagian.
______ “Ini makanan bekas orang mati
______ tapi cukup buat kita hidup sehari.”

Arit telah mencabik rumput sesuai perintah,
sebab rumah yang kotor tak elok nampak di mata
dan penghuni di dalam mesti tenteram
sambil menikmati kiriman keluarga.
______ Tanah ini menggunung seperti kerinduan,
______ tapi puncaknya tak bisa kudaki
______ walau dengan seribu kaki.

Teringat kembali pesan dari masa lampau
ketika nyala matamu masih tepat pada garangnya:
“Temuilah ajalmu dengan baik dan ramah,
karena tamu-tamu yang akan datang nanti
membawa amplop—bukan cuma air mata.
Anggap itu sukacita terakhir untuk keluarga
supaya tagihan peti dan tanah
tak luput dari agenda.”

Kini kami hendak pamit pulang
menyudahi pesta yang gaduh dengan angin dan bau rerumputan
sebelum asap dupa mengikat kaki-kaki kami
lebih lama dari siar kekalahan.


Ilustrasi: Foto Kaka Ited (diolah dari sini).

Baca juga:
Puisi-Puisi Cahya R. Gusti – Rendezvous di Sebuah Nella
Puisi-Puisi Bayu Pratama – Sebelum Kematian
Puisi-Puisi Pradewi Tri Chatami – Variasi Kesendirian


3 thoughts on “Puisi-Puisi Widya Mareta – Terjebak Pesta”

  1. Tomi Jangkut berkata:

    Saya suka membaca dan mendengarkan puisi, terima kasih Kraeng Armin, sy terhubung ke sini

    1. BACAPETRA.CO berkata:

      Terima kasih.

  2. Tomi Jangkut berkata:

    Mantap jiwa

Komentar Anda?