Menu
Menu

Pemburu berpengalaman itu tidak pernah sekalipun dalam karier berburunya menganggap binatang-binatang yang ia tembak sebagai hal lain kecuali hadiah yang sahih.


Oleh: Stanley Khu |

Editor penerbitan non-profit yang berfokus pada filosofi India (khususnya Buddhisme). Minat utamanya adalah tradisi pemikiran dan kesusasteraan India, baik klasik maupun kontemporer. Dapat dihubungi via akun Instagram @khu.stan.


Musim berburu tiba dan si pemburu sedang meminyaki senapan lawasnya. Pelan-pelan disenandungkannya sebuah lagu sumbang, yang menjadi alasan bagi cekikikan tertahan dari kandang sebelah tempat putri dan keponakannya sedang mengupas sekam padi. Selagi cekikikan bertambah kencang, ia pun sadar bahwa kedua gadis itu sedang menertawakan usahanya bernyanyi. Jadi, ia mulai bernyanyi lebih kencang lagi dan ketika ia gagal mencapai nada yang sangat tinggi, ketiganya terbahak-bahak tanpa terkendali; kedua gadis bahkan melepas alu mereka, menumpahkan separuh padi yang telah ditumbuk ke lantai lumpur. Hampir seketika itu juga ayam-ayam yang berkeliaran di luar kandang berbondong-bondong masuk, berkotek-kotek girang untuk mematuki bebijian yang jatuh. Ketika tawa kedua gadis mereda, si keponakan bertanya, “Kenapa paman gembira sekali? Ada binatang besar yang sedang menanti?”

Si pemburu menarik napas dalam-dalam dan menjawab, “Siapa tahu? Barangkali babi jantan besar yang selama bertahun-tahun ini melahap padi terbaik kita akan segera menampakkan wujudnya. Aku sedang membersihkan senapanku sebaik mungkin agar kali ini aku tidak luput menyasar jantungnya.”

Selama lima musim terakhir, si pemburu yang bernama Imchanok telah memburu babi jantan bengis yang menghancurkan sawah-sawah di desa, termasuk miliknya; si binatang memilih untuk berpesta-pora di area-area tempat ia menanam varietas padi terbaiknya. Ketika kejadiannya berlangsung dua tahun berturut-turut, istrinya menyarankan agar mereka pindah tempat, dan mereka pun menanam varietas tersebut di lereng barat lahan mereka yang luas. Namun, sia-sia; si babi jantan terkutuk entah bagaimana menemukan lokasi itu untuk pesta-poranya. Binatang itu, yang terlihat oleh penduduk desa dalam beberapa kesempatan, dilaporkan berukuran raksasa, memiliki gerak-gerik yang lamban, dan sepasang taring kekuningan, yang melengkung ke belakang, hampir menyentuh punggungnya. Tidak hanya itu, ia juga tampaknya memiliki sifat sebengis perawakannya. Ia makan apa pun yang ada, dan menginjak-injak hamparan area yang luas seolah hendak memberikan kerusakan maksimum kepada padi. Anehnya, Imchanok sejauh ini belum pernah melihat bahkan sekelebat pun binatang jahat itu, meskipun sawahnyalah yang paling banyak menderita kerusakan. Di banyak malam selama musim dingin, ia berjaga-jaga, menantikan si babi jantan mendatangi sawahnya, tetapi tampaknya binatang itu merasakan kehadirannya dari jarak jauh dan beralih ke sawah lain. Selagi ia memikirkan kemungkinan menumbangkan binatang itu, yang kini dianggap sebagai musuhnya, tangannya naik-turun mengelap senapan dengan kain yang diminyaki, membersihkan jejak bekas pakai sekecil apa pun. Bahkan, pantat senapan berkilau karena baru dipernis. Ia lalu menyandarkan senapan ke dinding gubuk dan masuk ke dalam untuk memeriksa amunisi. Baru-baru ini, ia membeli sekotak penuh dan hanya meminjamkan dua butir kepada teman karibnya, dan sebagai gantinya menerima satu kaki belakang utuh rusa yang berhasil ditembak temannya. Setelah memastikan dirinya siap menyongsong pertemuan akbar, ia keluar untuk mengambil senapannya yang telah dihangatkan mentari, membawanya ke dalam, membungkusnya dengan kain khusus dan menjejalkannya ke atas lemari kayu di kamar tidurnya.

Malam itu, ketika istrinya, Tangchetla, pulang dari sawah, sang istri mendapati suaminya sedang dalam suasana hati yang sangat girang di antara orang-orang yang biasa bertamu, duduk di sebelah kobaran api sambil menyesap teh hitam. Menakar suasana hati mereka, ia segera tahu bahwa alasannya tidak lain daripada penampakan baru si babi jantan yang ditakuti. Binatang itu telah mulai menghantui momen-momen berjaga kaum lelaki selama musim panen; sawah siapakah yang bakal menjadi target penghancuran berikutnya dari si garong, setiap orang bertanya-tanya. Tahun ini adalah tahun keenam dan dengan berlalunya setiap tahun, mereka menjadi lebih putus asa, karena sepertinya tidak ada, termasuk pemburu tersohor seperti Imchanok sekalipun, yang sanggup membebaskan mereka dari ancaman itu. Bagi Imchanok, hal itu jadi persaingan pribadi, antara dua makhluk bertekad baja.

Ketenaran Imchanok sebagai pemburu andal telah tumbuh seiring berlalunya tahun-tahun. Ia adalah seorang guru sekolah dasar desa, tetapi identitas itu telah lama tertutupi oleh pamornya sebagai pemburu. Dalam kapasitas ini, ia juga telah menerima penghargaan dari pemerintah ketika suatu kali seekor gajah liar harus ditembak setelah menghancurkan beberapa ekar lahan pertanian, banyak rumah dan pekarangan, serta menginjak sejumlah orang sampai tewas. Ada pemburu-pemburu lain di desanya dan desa-desa tetangga juga, tetapi semuanya menolak tawaran pemerintah. Faktanya, mereka semua berkata bahwa jika ada pemburu yang mampu menyaingi kecerdikan si gajah liar dan membunuhnya, maka orang itu adalah Imchanok. Jadi, ketika tawaran itu menghampirinya, bentuknya lebih menyerupai perintah. Wakil Komisaris mengirimkan senapan untuk menembak gajah beserta amunisinya. Imchanok diberitahu bahwa ia bisa meminta bantuan apa pun dari pemerintahan desa untuk perburuan itu; ia diberi waktu tujuh hari untuk merampungkan tugas.

Itu adalah situasi yang sungguh luar biasa, sesuatu yang sama sekali di luar dugaan Imchanok. Adalah satu hal untuk memilih kapan, di mana, dan apa yang mesti diburu, tetapi adalah hal lain untuk dihadapkan pada tantangan yang sebenarnya. Di dalam hati ia mulai menggerutu, “Apa yang diketahui para sahib ini tentang hutan rimba? Apa mereka kira gajah ini akan menanti di tempat yang nyaman agar aku datang dan menembaknya? Apa mereka tidak tahu betapa cerdiknya binatang ini, betapa cara pikirnya hampir menyerupai manusia? Dan area yang dapat dijangkaunya kalau ia memutuskan untuk lari?”

Namun, itu adalah perintah pemerintah, dan ia harus patuh. Di sepanjang proses komunikasi, bahkan terasa ada jejak samar ancaman: bahwa siapa pun yang menolak bekerja sama mengatasi persoalan tersebut, lisensi berburu mereka ditangguhkan atau bahkan dicabut! Pertimbangan lain adalah reputasinya sebagai pemburu nomor satu di kawasan. Apa pun itu, ia mendapati dirinya berkomitmen untuk perburuan yang hadir dengan cara yang amat ganjil. Jadi, ia meminta bantuan rekan-rekan pemburunya yang paling dipercaya, dan mengutus mereka untuk misi pengintaian ke area-area yang telah menjadi korban kerusakan. Ketika mereka kembali dengan temuan mereka, mereka menggelar apa yang bisa dinamakan majelis perang. Mereka berdebat panjang sampai larut malam, dan setelah beberapa jam tidur menjelang pagi, kembali berdiskusi untuk menetapkan rencana final. Semua anggota kelompok ini, selaku penjelajah kawakan hutan rimba dan mengetahui betul kebiasaan binatang-binatang liar, memilih sebuah lokasi di lembah rimbun untuk memasang perangkap bagi si binatang besar. Karena pos-pos jaga telah didirikan di titik-titik strategis di sekitar lahan pertanian, mereka tahu bahwa si gajah telah mundur kembali ke kedalaman hutan. Lokasi yang mereka pilih adalah area yang belum dikunjungi si gajah. Butuh tujuh orang bekerja seharian untuk menggali lubang yang cukup lebar dan dalam untuk menampung seekor gajah dewasa. Berikutnya, dengan hati-hati mereka menutupi lubang itu dengan rerantingan dan dedaunan yang diambil dari area lain.

Bersembunyi di posisi tunggu, mereka makan nasi dingin dan minum teh hitam untuk menantikan kunjungan si binatang. Malam pertama berakhir tetapi tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Menuju malam kedua, hujan mulai turun dan para pemburu buru-buru membungkus senapan mereka agar air hujan tidak masuk ke laras. Selain senapan resmi untuk berburu gajah, tiga orang membawa senapan laras ganda mereka sebagai pencegahan tambahan; ada binatang berbahaya lainnya selain gajah. Namun, Imchanok berdoa semoga tidak ada binatang lain yang muncul untuk merusak rencana yang mereka susun dengan apik. Malam kedua berjalan pelan; para pemburu basah-kuyup, lapar, dan amat ketakutan. Hanya Imchanok yang tampak tidak terusik; ia sedang melakukan bidikan imajiner, diam-diam berharap punya kesempatan untuk menguji bidikannya dengan senapan asing ini, yang baru dipegangnya untuk pertama kali. Namun, ia punya cukup kepercayaan diri dalam kemampuannya sebagai pembidik dan berdoa semoga tidak ada gangguan yang muncul pada momen genting. Sementara malam semakin larut, hutan menjadi semakin senyap dan senyap. Bahkan para pemburu menjadi lebih lengah dan tampak berada dalam cengkeraman dari geming hebat yang hanya bisa dihasilkan oleh hutan yang lebat dan pekat. Imchanok sepenuhnya terjaga; ia merasakan keletihan rekan-rekannya dan membiarkan mereka terlelap dalam momen-momen sesaat berharga sebelum membangunkan orang di sampingnya dengan sepakan lembut di badan. Selagi rangkaian sepakan serupa berlangsung, setiap orang mulai duduk tegak dan berusaha menyesuaikan penglihatan dalam kegelapan menakutkan yang sepertinya telah menelan hutan hijau yang rimbun. Mereka menanti, masing-masing tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Kemudian, tibalah waktu di pengujung malam ketika kita mengira hari sudah berganti pagi tetapi tidak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan meskipun pagi begitu terang di benak kita. Sensasi itu pertama-tama menghampiri Imchanok, dan diam-diam ia menggeser tumpuan badannya dari kiri ke kanan. Orang di sampingnya menangkap gerakan itu dan melakukan hal yang sama; lalu yang berikutnya, dan yang berikutnya, sampai setiap orang akhirnya bersiaga seolah-olah energinya terisi penuh lagi oleh gerakan remeh itu.

Sinyal pertama yang menandakan adanya kehidupan lain di hutan datang dari kepak panik seekor burung liar yang bertengger di sebatang pohon tinggi cukup jauh dari lokasi mereka. Para pemburu semakin menyiagakan posisi mereka dan menanti. Keheningan yang menyusul entah bagaimana membuat mereka depresi; satu hari lagi akan terbuang sia-sia. Kemudian secara serempak hutan bergema dengan lolongan liar monyet-monyet yang bertengger di tiap batang pohon yang tampak oleh mata; mereka benar-benar ketakutan oleh sesuatu. Di kejauhan, pusaran samar kabut pagi tampak melebur dalam kegelapan yang perlahan berlalu, menandakan datangnya pagi. Lolongan itu berlangsung selama beberapa saat sebelum para pemburu sadar bahwa ada suara lainnya. Awalnya suara itu terdengar seperti jeritan monyet-monyet yang lebih besar, tetapi saat Imchanok mendengar dengan saksama, ia sontak berdiri dan mendesis pada yang lain, “Ia ada di sini.” Diam-diam, setiap pemburu menuju posisi masing-masing, dan sekali lagi berdiri seperti patung sebagaimana penyamaran yang mereka buat sebelumnya. Imchanok menempati posisi paling tinggi, dan sembari memegang senapannya dalam sikap siaga, ia menanti di sana untuk berhadapan dengan musuh asing itu.

Si gajah berjalan pelan menuju area yang sudah dipasangi perangkap. Ia terlihat sangat santai, mematahkan ranting dan mengupasi kulit kayu di sana-sini seolah-olah berminat mencicipi apa pun yang ada di hadapannya. Beberapa kali ia berhenti di ruang terbuka untuk mandi debu, tetapi tanah masih lembap dari bekas malam tadi; ia mengentak-entak bumi dengan agak jengkel. Ia masih berada cukup jauh. Selain Imchanok, yang lainnya, entah terlalu takut untuk melihat, atau tidak mampu melihat dengan jelas aktivitas pagi gajah ini. Suatu ketika, si gajah tampak berdiri diam, seolah-olah sedang memusatkan perhatian; dari kejauhan Imchanok menyaksikan hal itu dan menjadi waspada. Apakah si gajah telah mendeteksi tanda-tanda pergerakan mereka? Kalau benar, ia akan bergegas lari, atau lebih buruk lagi, boleh jadi akan berusaha balas dendam dengan menabrak para pemburu, tetapi selagi ia terus mengawasi binatang yang terlihat besar bahkan dari kejauhan itu, didengarnya geraman pelan yang semakin mengeras sampai si binatang akhirnya selesai buang hajat, dengan anggun mengelaki gundukan kotoran dan melanjutkan penghancuran dahan dan belukar yang merintangi jalannya. Imchanok pernah melihat kotoran gajah sebelumnya di hutan dan ia ingat bagaimana gundukan besar itu akan memancarkan bau menyengat dalam mentari awal pagi.

Dalam cahaya terang pagi, si gajah tampak tenang dan damai, dengan riang melahap tanaman muda dan rumput yang menjulang tinggi di sekitarnya. Ia tidak tampak tergesa-gesa; ia bahkan sekali mencoba berbaring, tetapi segera bangkit lagi. Ia mengepakkan telinga raksasanya dan mulai menikmati mandi debu karena kini tanah mulai mengering, menyerokinya dengan belalai, dan menyemburkannya ke sekujur badannya. Dari posisinya, Imchanok menyaksikan adegan itu dengan kecemasan yang meningkat, karena jarak antara dirinya dan si binatang berada di luar jangkauan senapannya. Selain itu, perangkap yang mereka gali terlalu jauh lokasinya. Jika gajah itu kena tembak, mereka berharap ia akan berlari menuju area perangkap dan terjebak di sana. Lalu tembakan final bisa dilesakkan ke kepalanya melalui mata, yang diketahui setiap pemburu sebagai satu-satunya cara untuk membunuh gajah. Jadi penantian lainnya dimulai.

Kini hari sudah sepenuhnya terang dan pemburu lainnya juga bisa melihat binatang tersebut dari aneka posisi mereka. Teror awal atas apa yang tidak diketahui diredakan oleh pemandangan yang mereka saksikan. Yakin bahwa pada jarak itu mereka tak akan terlihat oleh buruan, mereka mulai menyaksikannya dalam kekaguman yang senyap. Namun, itu hanya sebentar, karena hari yang semakin panas mulai memengaruhi perilaku si gajah, dan ia mulai meniup-niupkan belalainya dengan kesal. Ia bergegas mencari tempat yang teduh dan bergerak maju ke tumpukan belukar yang sebelumnya ditata oleh para pemburu dengan saksama di dekat lubang, tetapi sebelum memasuki lokasi yang tampak menawarkan keteduhan itu, ia kembali diam, menyorotkan pandangannya ke segala penjuru. Kini ia berada cukup dekat untuk bisa coba ditembak Imchanok, tetapi ia tidak yakin apakah rekan-rekannya telah pindah ke posisi aman yang baru, yang sebelumnya telah dipilih persis untuk momen seperti itu. Si gajah merasakan bahaya dan mencoba kabur, tetapi tubuh besarnya bergerak lamban. Putaran pelan kepalanya adalah apa yang dibutuhkan Imchanok. Membidik dengan teliti, ia melepaskan dua tembakan beruntun ke sasaran yang ia harapkan adalah mata si gajah. Tembakan pertama melucuti si gajah, mengejutkannya. Ia berpaling dan saat itulah peluru kedua memasuki otaknya lewat telinga dan bersarang di sana. Imchanok kembali mengisi senapan dan menembak dua kali lagi. Setidaknya salah satu peluru pasti menghantam si gajah karena ia terlihat sempoyongan.

Takjub, kagum bercampur takut, Imchanok menyaksikan si gajah tumbang perlahan-lahan, saat ia berusaha menjaga keseimbangannya dan terus bergerak menjauh, tetapi peluru-peluru tentu saja telah menemukan sasaran, karena binatang besar itu terjungkir dengan raungan terakhir dari belalainya yang memekakkan telinga. Ia tidak jatuh ke dalam lubang seperti yang mereka rencanakan, tetapi akhirnya tetap terbunuh. Kelak, Imchanok menepis semua pujian terhadap kemampuan menembaknya dan mengeklaim bahwa hanya karena campur tangan ilahi sajalah ia mampu menembak pada momen krusial itu. Satu momen lebih cepat atau lebih lambat, dan peluru-peluru pasti hanya akan menyenggol belukar lebat, membuat si binatang buas murka dan mempertaruhkan nyawa mereka semua.

Ketika dirasa sudah cukup aman untuk mendekati si gajah, mereka semua berdiri melingkar, dan dari jarak aman menyaksikan daya hidup menguar dari makhluk raksasa itu, sampai terdengar helaan terakhir dan jasad raksasa bergeming untuk selamanya. Selagi menyaksikan proses misterius itu, Imchanok kebetulan menatap mata musuhnya yang tak lagi berkedip ataupun melihat, terbaring di sana begitu tak berdaya, terenggut dari kekuatan destruktifnya yang mengancam. Apakah hanya imajinasinya? Ia selamanya akan penasaran karena ia kira, ia melihat air mata di sepasang mata bulat itu dan sesuatu yang lain: seolah-olah binatang itu mencoba menyampaikan pesan tertentu kepada algojonya, pesan yang tetap membeku dalam waktu. Pemburu berpengalaman itu tidak pernah sekalipun dalam karier berburunya menganggap binatang-binatang yang ia tembak sebagai hal lain kecuali hadiah yang sahih. Namun, membunuh gajah ini sama sekali berbeda. Sebelumnya, ia, si pemburu, senantiasa mengontrol dan memilih apa yang dibunuh dan kapan; tetapi tidak demikian kasusnya dengan gajah raksasa yang terbujur kaku di hadapan mereka. Buruan itu ‘dialokasikan’ untuknya. Kepuasan yang dulu ia nikmati setelah tiap aksi pembunuhan, kini hilang. Betul, tak ada keraguan di benaknya bahwa membunuh gajah itu adalah satu-satunya cara untuk menjamin keselamatan penduduk desa yang tak bersalah beserta sawah mereka. Namun, kenapa harus dia pula yang ditempatkan, dalam contoh kasus tersebut, di pusat kontes abadi antara manusia dan binatang untuk menguasai lahan?

Imchanok si pemburu menjadi lebih tersohor lagi setelah episode tersebut; ia diberi hadiah uang dan ditawari senapan bagus. Ia menerima uang yang ia bagi dengan rekan-rekan berburunya, tetapi ia menolak menerima senapan, dengan alasan bahwa ia sudah punya senapan dan setiap pemburu cukup punya satu senapan. Administrator bingung dengan penolakan itu, tetapi tidak mendesaknya lebih jauh. Apa yang gagal mereka pahami adalah fakta bahwa Imchanok tidak mau berutang kepada mereka selain menerima pembayaran atas jasa yang diberikan. Di benaknya, ia bertekad bahwa tak akan pernah lagi ia terima tugas semacam itu, baik dari pemerintah atau bukan. Jika ia menerima senapan dari pemerintah, pikirnya, itu sama saja berarti menyerahkan kebebasannya untuk memilih.

Apa pun pemikiran pribadinya tentang insiden itu, kecemasan Imchanok saat ini adalah kerusakan yang disebabkan oleh si babi jantan tua. Lahan pertanian yang rusak adalah bencana yang berulang bagi penduduk desa; tetapi skalanya tidak sama dengan kebuasan binatang ini. Ia ingat satu musim panen dulu sekali ketika sekawanan monyet memakan hasil panen di gubuk singgah di pinggiran desa. Sebelum ada jalan yang bisa dilalui motor, penduduk desa dulunya memindahkan padi yang dipanen ke gubuk-gubuk semacam ini, dan dari sana kaum perempuan dan bahkan anak-anak akan membawa hasil panen ke lumbung desa. Karena jalan dari sawah-sawah di lembah cukup terjal, gubuk-gubuk tersebut tidak hanya mempersingkat jarak, tetapi juga membebaskan mereka dari pendakian yang sukar. Dengan cara tersebut, transportasi hasil panen menjadi mudah, tetapi gubuk-gubuk itu menjadi tempat makan favorit bagi kawanan monyet karena mereka tidak takut pada perempuan dan anak-anak sebagai satu-satunya manusia yang bisa ditemukan di sana. Kawanan itu tidak hanya memakan dan merusak hasil panen, tetapi juga sering mencoba mengintimidasi dengan menampakkan taring dan menjerit kencang; terkadang kawanan tersebut benar-benar menyerang perempuan dan anak-anak yang tak berdaya. Secara khusus ada satu pejantan jahat di kawanan itu yang merusak gubuk Imchanok, dan sungguh berbahaya bagi kaum perempuan untuk mencoba mengambil hasil panen ketika kawanan tersebut sedang makan di sana. Ketika kejadian itu dilaporkan padanya, ia merancang rencana untuk menembak si pejantan agar monyet-monyet yang lain kabur.

Ia membiarkan monyet-monyet itu merasa bebas dan berani makan di sana dengan mencegah istrinya dan rombongannya mendatangi gubuk selama dua hari berturut-turut. Pada hari ketiga, ia pergi ke sana saat dinihari sambil ditemani senapan terpercayanya, dan bersembunyi di pojok gubuk. Seperti yang diharapkan, kawanan monyet yang dipimpin si pejantan congkak datang setelah dinihari untuk berpesta di sana. Setelah dengan bising menghambur-hamburkan tumpukan padi, mereka memulai ritual harian mereka; tidak hanya makan, karena bayi-bayi di kelompok itu bahkan mulai bermain melempar satu sama lain dengan hasil panen, hampir tidak ada bedanya dengan anak manusia. Imchanok terusik sejenak oleh pemandangan ini. Namun saat ia menatap si pejantan besar, ia melihat monyet ini telah menyadari kehadirannya dan mulai memanggil-manggil dengan nada cemas, berusaha menggiring kawanannya keluar dari gubuk. Pada saat yang sama, ia pura-pura hendak menyerang Imchanok, yang kini sudah keluar dari persembunyiannya. Tidak peduli pada monyet lainnya, ia membidik si pemimpin dengan saksama dan menarik pelatuk, tetapi monyet ini dengan cepat mengelak, dan peluru hanya menyerangnya di sisi badan. Bahkan setelah itu pun ia tidak menyerah; ia berdiri di sana sampai seluruh kawanannya telah berhasil kabur dari gubuk melalui satu-satunya pintu keluar. Baru ketika itulah ia sendiri berusaha kabur, tetapi luka di sisi badannya serius dan ia menjadi lumpuh di tempat ia tadinya berdiri untuk melindungi keluarganya. Ketika Imchanok membidik sekali lagi, monyet ini mengangkat lengannya seolah hendak menyerah atau memohon ampun, dan dengan lengan yang sama pelan-pelan menutupi matanya sementara Imchanok melepaskan tembakan fatal ke jantungnya. Sambil mengerang, ia terjungkir di lantai dan terbaring kaku di sana. Setelah memastikan bahwa binatang itu benar-benar mati, Imchanok menuju desa dan mengutus keponakannya untuk membawa bangkai monyet itu ke rumah.

Keluarganya girang bukan kepalang; tidak hanya karena ancaman dari kawanan monyet tampaknya sudah diatasi, tetapi juga karena akan ada cukup daging untuk mereka selama berhari-hari ke depan. Bangkai si monyet ditempatkan di halaman depan agar semua orang bisa melihatnya. Bangkainya diatur dalam posisi duduk, kepalanya ditegakkan dari belakang dengan bambu, dan dalam posisi itu ia benar-benar terlihat seperti manusia! Salah seorang keponakan, yang memang berwatak usil, menemukan topi entah dari mana dan menaruhnya di kepala binatang itu; seseorang yang lain membawa rokok dan menaruhnya di mulutnya. Puncak dari sirkus itu adalah kacamata renang yang ditaruh dengan semarak di atas hidung ratanya. Setelah bangkai selesai didandani, Imchanok dipanggil keluar, dan ketika ia melihat perubahan monyet itu, sesuatu meledak dalam dirinya. Ia menghampiri si monyet dan menampar masing-masing pipinya, mengutuknya terus-menerus. Dengan tamparan pertama, rokok terjatuh dari mulutnya; dengan tamparan berikutnya, giliran kacamata renang, yang memang sedari tadi bertengger dengan goyah. Setelah beberapa tamparan lagi, si monyet terjungkir sekali lagi, kali ini dengan kaki dan cakar depannya menghadap ke langit, kaku, mati. Lengannya yang terjulur seolah memarodikan momen-momen sekarat saat ia terlihat memohon di hadapan algojonya. Imchanok mendekati binatang yang menyeringai itu dan menjerit, ”Jadi, kau mau menghancurkan aku dengan mencuri padiku, hah? Lihat dirimu sekarang. Kau menakuti dan mengganggu kaum perempuanku, di mana kawananmu sekarang? Pejantan lain akan mengambil alih mereka sementara aku menyembelihmu untuk memberi makan orang-orangku.”

Suasana keriangan bising kini berganti menjadi keheningan tertegun di hadapan cercaan Imchanok yang bergelora. Itu menyadarkan Tangchetla bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan ia pun keluar. Ketika ia melihat wajah suaminya, ia cepat-cepat meraih tangannya dan menuntunnya masuk. Saat si monyet dikuliti, jeroannya dibuang dan tubuhnya dipotong-potong, pastilah telah terjadi komunikasi tertentu antara suami dan istri ini karena ketika salah seorang keponakan masuk ke dapur untuk mencari pot paling besar Tangchetla yang biasanya dipakai untuk acara seperti ini, dengan datar ia menolak memberikannya dan berkata, “Kau bisa memakai pot besar tempat memasak makanan babi. Tidak ada peralatan dari dapurku yang boleh dipakai untuk daging ini.” Si keponakan, meski terkejut mendengarnya, sedang buru-buru hendak memasak daging monyet; jadi dipatuhinya instruksi Tangchetla. Ledakan amarah Imchanok yang tidak biasanya, dan penolakan janggal istrinya untuk meminjamkan pot paling besarnya, bagaimanapun, tidak dapat mengusik semangat perayaan di antara para sahabat dan kerabat. Mereka terus minum dan makan daging monyet sampai larut malam. Tangchetla menolak mengizinkan daging hewan itu memasuki dapurnya dan memberitahu keponakan paling sulung untuk membagikan semua sisa daging kepada para kerabat dan tetangga, sembari menambahkan bahwa itu adalah instruksi suaminya.

Imchanok kemudian melakukan sesuatu yang aneh. Ia memerintahkan istrinya untuk tidak lagi mengambil hasil panen dari gubuk tempat si monyet dibunuh. Ia memprotes bahwa setidaknya ada 20-30 keranjang penuh di sana; bagaimana mereka sanggup merelakan semua itu? Namun, suaminya bersikeras: ia tidak mau mengotori lumbungnya dengan padi yang telah dikotori oleh kawanan monyet dan dinodai darah si pemimpin. Jadi gubuk itu diabaikan beserta semua hasil panen di dalamnya, di mana kawanan burung dan binatang-binatang lain berpesta-pora selama berhari-hari. Meskipun tempat gubuk itu berdiri adalah lokasi paling ideal, tidak ada lagi penduduk desa yang membangun gubuk lain di sana. Dalam satu atau dua tahun berikutnya, gubuk itu pun roboh dan tersapu oleh hujan musim panas. Namun, penduduk desa masih menyebut lokasi tempat gubuk itu dulu berdiri sebagai ‘Tikungan Imchanok’ karena letaknya yang berada di tikungan jalur masuk ke hutan.

Tahun-tahun berlalu dan kegentingan dari hidup yang sukar di desa menumpulkan kebimbangan sewaktu-waktu Imchanok tentang berburu. Meskipun bayangan monyet yang ‘memohon’ mengusik pikirannya selama beberapa waktu, ia kembali ke pola pikir lamanya yang menganggap berburu sebagai tambahan niscaya untuk memberi makan keluarganya yang semakin besar, dan kini, sekali lagi, sebuah situasi yang luar biasa telah hadir dalam wujud si babi jantan untuk menantang Imchanok selaku pemasok dan pelindung eksistensi keluarganya. Belakangan, ia juga mulai menyadari usianya; ia tidak lagi seberani dan selincah dulu di hutan. Jadi, ia mulai membawa serta anak muda, baik keponakannya atau anak sahabat, untuk menemaninya dalam perjalanan berburu. Juga, ia akan menghabiskan lebih banyak waktu sebagai persiapan memasuki hutan. Sementara kerusakan yang ditimbulkan si babi jantan meningkat dalam frekuensi dan skala, Imchanok memutuskan untuk pertama-tama melakukan pengintaian ke area-area yang hancur, termasuk sawahnya sendiri yang telah siap panen. Untuk itu, ia meminta keponakan kesayangannya untuk menemaninya dan mereka berangkat pada satu pagi di awal musim dingin menuju sawah-sawah di lembah.

Imchanok memutuskan bahwa mereka tidak akan menempuh jalan yang biasanya, tetapi mengambil jalan memutar melalui area hutan yang lebih rimbun. Ia memberitahu keponakannya bahwa ia sedang mencoba sebuah gagasan untuk memburu binatang teramat cerdik yang telah menjadi ancaman bagi penduduk desa. Mereka berjalan dalam satu baris, si pemburu tua memimpin jalan. Matanya yang berpengalaman mendeteksi pergerakan dalam belukar di sekitarnya, tetapi ia tidak terlalu menaruh perhatian dan mereka terus berjalan. Matahari musim dingin hari itu sepertinya memancarkan banyak panas dan saat menjelang tengah hari Imchanok meminta mereka berhenti, dan, setelah memilih tempat berteduh, keduanya duduk untuk istirahat yang memang sangat mereka butuhkan. Mereka makan siang dengan santai dan si keponakan pergi ke sungai dekat situ untuk mengambil air dalam wadah bambu yang baru dipotong. Ia pergi selama beberapa waktu; sementara itu, Imchanok terlelap. Ketika ia bangun, keponakannya dengan sabar menanti dengan air untuk pamannya. Setelah membasuh wajah dan menenggak air yang menyegarkan, mereka melanjutkan perjalanan.

Saat mereka mendekati sepetak hutan rimbun yang konon angker, si keponakan tampak sekali ketakutan. Pamannya menertawainya dan mulai menyanyikan sebuah lagu. Sebelum si paman menyelesaikan sebaris lirik, mereka mendengar suara gaduh, dan si keponakan sontak berbalik dan lari tunggang-langgang. Si pemburu tua terpaku di tempatnya: pemandangan di hadapannya mustahil digambarkan. Ia berpikir wujudnya seperti babi jantan tetapi tidak ada babi jantan di dunia ini yang demikian hitam dan besar. Binatang itu tampak menjulang di atas segala sesuatu di sekitarnya, saking besarnya perawakannya. Namun Imchanok tahu, andaikan ia mau kabur, ia harus melumpuhkan atau membunuh makhluk itu dengan tembakan pertamanya. Dengan insting seorang pemburu andal, ia membidik ke arah kepala dan menarik pelatuk, lebih sebagai aksi bela diri ketimbang niat untuk membunuh. Untungnya bagi Imchanok, peluru sepertinya menemui sasaran karena si binatang mengambil satu langkah raksasa dan terjerembap ke dalam hutan gelap. Keheningan mengikuti setelahnya. Mewaspadai bahaya dari amukan binatang yang terluka, dengan hati-hati disusurinya kembali jalan asalnya pagi ini, bertanya-tanya apa yang terjadi pada keponakannya. Saat menyusuri kembali langkahnya, ia terus menoleh ke belakang, membayangkan binatang besar itu bakal datang menyergapnya sewaktu-waktu. Namun, tiap kali, ia lega karena tidak ada apa pun di belakangnya.

Matahari sedang tenggelam di cakrawala dan Imchanok mulai merasa agak kedinginan, akibat hawa yang dingin maupun ketegangan intens yang mereda. Di tikungan berikutnya, ia menemukan keponakannya, sedang jongkok memeluk pahanya dan gemetaran. Ia menatap pamannya tanpa kata-kata, dan menyeringai malu-malu. Imchanok mengangkatnya dan menyuruhnya berjalan di depan, tidak seperti saat mereka berangkat dari desa. Berkebalikan dengan canda-tawa mereka pagi tadi, kini keduanya berjalan tanpa suara sampai kembali ke desa. Ketika tiba di rumah Imchanok, mereka mendapati banyak orang menanti kepulangan mereka, penasaran apakah mereka melihat tanda-tanda si binatang buas. Awalnya keduanya tidak menanggapi semua pertanyaan ini; tetapi akhirnya Imchanok bicara, “Aku kira aku sudah menembak babi jantan itu.” Mendengar ini, semua yang hadir berteriak penuh kegirangan dan kelegaan. Mereka mulai menanyakan segala macam pertanyaan, yang hanya dijawab Imchanok dengan, “Aku tidak pernah melihat makhluk seperti itu sebelumnya dalam hidupku dan aku tak mau berurusan dengannya.”

“Tetapi kau harus menunjukkan pada kami di mana kau menembaknya; kalau tidak bagaimana kami bisa mencari bangkainya?” Imchanok tetap diam, dan ketika didesak lebih jauh, ia hanya memberitahu mereka, “Besok adalah hari yang baru dan mari kita tunggu apa yang dibawakan hari esok kepada kita.”

Esok paginya, penduduk desa yang melakukan ronda mengabarkan bahwa tidak ada tanda-tanda si babi jantan atau bahkan binatang lainnya di sawah-sawah sepanjang malam. Hal itu ditafsirkan sebagai konfirmasi bahwa ancaman telah dimusnahkan dan penduduk desa sekali lagi meminta Imchanok untuk mengarahkan mereka agar mereka bisa membentuk tim pencari dan mengambil jasad si babi jantan. Yakin bahwa si babi jantan memang sudah mati, ia memberitahu mereka arah yang diambil ia dan keponakannya kemarin. Penduduk desa terkejut, dan seorang tetua bertanya, “Tetapi apa yang mendorongmu untuk mengambil jalur ini? Apa kau tidak tahu kalau jalurnya melintasi hutan angker?”

Imchanok menjawab, “Betul, tetapi sesuatu dalam diriku terus mendorongku untuk mengambil jalur itu. Dan faktanya babi jantan ini bakal ditemukan tepat di jalan masuk ke hutan.” Ketika ditanya apakah ia akan ikut menemani mereka, Imchanok menjawab, “Tugasku sudah selesai; aku ingin beristirahat panjang.”

Karena itu, rombongan yang terdiri dari dua puluh pemuda bertubuh sehat dibentuk untuk mencari jasad si babi jantan dan membawanya kembali ke desa. Sebelum berangkat, mereka memutuskan bahwa karena ukuran raksasanya, binatang itu akan dipotong sedemikian rupa agar bisa diangkut dalam empat muatan, masing-masing dipikul oleh empat orang. Sisanya akan bergantian memikul beban sehingga akan selalu ada empat pemikul cadangan. Kelompok itu, bersenjatakan pisau, tombak, dan senapan, berangkat dari desa dengan banyak canda-tawa untuk mengantisipasi pesta besar yang akan berlangsung setelah mereka kembali dari pencarian yang sukses. Mereka tiba di lokasi cukup cepat karena antisipasi akan hadiah yang nanti dibawa pulang ke rumah telah meringankan langkah mereka. Mereka berpencar menjadi lima kelompok ke arah yang berbeda-beda. Kelompok yang menuju jalan masuk ke hutan mendeteksi apa yang mereka kira adalah darah kering di ranting; tak berapa jauh kemudian, mereka menemukan sebuah tempat di mana rerumputan tinggi menjadi rata secara janggal. Mereka menduga bahwa si babi jantan telah tersungkur di sini tetapi selain itu tidak ada indikasi yang menunjukkan ke mana binatang terluka itu lenyap. Tidak mampu mendeteksi petunjuk tambahan, mereka kembali ke lokasi yang telah ditentukan untuk bertemu kelompok lain yang telah duluan tiba dengan cerita yang sama. Meskipun area yang dijelajahi memiliki jejak-jejak darah mengering yang menggiurkan, tidak ada petunjuk menjanjikan untuk melakukan ekspedisi lainnya ke dalam hutan. Mereka kembali ke desa dengan semangat yang patah.

Pencarian bangkai si babi jantan dilakukan sampai dua hari berikutnya, mencakupi area yang luas tetapi dengan hasil yang sama: tidak ada tanda-tanda keberadaan monster itu, hidup atau mati, di mana pun. Sementara itu, sebuah fenomena yang aneh terjadi: Imchanok, si pemburu tersohor yang tidak pernah terdengar menderita penyakit serius apa pun, terbaring di kasurnya sambil mengeluhkan sakit kepala berat. Ia terbaring lesu di sana dan tak mengizinkan siapa pun masuk ke kamarnya. Bahkan anak-anaknya sendiri dilarang masuk; satu-satunya orang yang merawatnya adalah istrinya. Sawahnya dipanen oleh kerabat dan sahabat dan dibawa pulang ke rumah.

Hanya Tangchetla yang tahu apa yang terjadi malam itu. Imchanok, si pemburu yang tak kenal takut, menjerit dalam tidurnya, “Lihatlah ia, sebesar lumbung dan sehitam arang.” Lalu ia akan mulai terisak di pelukan Tangchetla, “Aku takut, istriku, ia akan mendatangiku.” Ia harus mengerahkan semua bujuk-rayu dan penghiburan agar suaminya bisa kembali tidur. Fenomena aneh itu diperumit oleh penolakan Imchanok untuk makan apa pun. Setelah beberapa malam seperti itu, karena putus asa, ia menyarankan suaminya agar mereka pergi ke tempat Imchanok menembakkan senapannya dan memohon maaf kepada makhluk itu agar mimpi buruknya bisa berakhir. Awalnya Imchanok ragu dan menepis sarannya sebagai ‘obrolan perempuan’. Namun, ia terus mendesak suaminya sepanjang hari dan bahkan mengancam akan memberitahu ayah Imchanok tentang mimpi buruknya. Imchanok masih ragu sampai minggu berikutnya dan mimpi buruknya terus berlanjut. Setelah sebuah pengalaman yang benar-benar menyeramkan, akhirnya ia berpaling ke istrinya dan berkata, “Ayo kita pergi.”

Maka, esok paginya, pasangan suami istri itu berangkat dari desa, diiringi keterkejutan para sahabat dan kerabat. Imchanok tampak tenang dan baik tanpa tanda-tanda penyakit apa pun, baik di wajah maupun perilakunya. Hal paling mengejutkan adalah untuk pertama kali dalam hidupnya, si pemburu berangkat tanpa senapannya. Pasangan itu tampak seolah-olah hendak pergi jalan-jalan. Ketika mereka mendekati area, Imchanok kentara sekali tegang tetapi Tangchetla pura-pura tidak tahu. Setelah memilih tempat berteduh, mereka menghamparkan makan siang di tanah. Imchanok mulai melahap makanan sederhana itu dengan riang dan menyatakan bahwa masakan istrinya tidak pernah seenak ini ketika di rumah. Setelah selesai makan, Imchanok memberitahu istrinya bahwa ia akan pergi ke sungai untuk minum. Tak mau membiarkannya pergi sendirian dalam kondisi kejiwaannya saat itu, Tangchetla mengikutinya setelah beberapa saat. Ketika ia tiba di tepi sungai, ia melihat suaminya berdiri di tengah arus sambil memegang sesuatu di dadanya. Ia memanggil suaminya dan bertanya apa yang sedang dilakukannya. Awalnya ia sepertinya tidak mendengar istrinya. Tangchetla memanggil namanya sekali lagi dan bertanya apa yang sedang ia pegang di tangannya. Kali ini Imchanok pelan-pelan berpaling ke arahnya dan menunjukkan sebilah gigi babi jantan; gigi tua ini dibasuh bersih oleh arus air dan bersinar ibarat gading. Tanpa berkata-kata, ia menunjuk ke gundukan belukar di dekat sana, di mana jumput-jumput bulu hitam berserakan di antara apa yang terlihat seperti tulang-belulang binatang besar. Dalam perjalanan pulang, Imchanok berdiri di tempatnya menembakkan tembakan fatal dan melakukan hal yang aneh. Ia mencabut sejumput rambutnya dan meniupkannya ke arah hutan yang angker, dan tanpa menoleh ke belakang terus berjalan pulang ke desa. Tangchetla mengikutinya, diliputi perasaan takjub dan penasaran akan misteri di seputar pembunuhan si binatang dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak perburuan si babi jantan usai, Imchanok tidur seperti bayi dalam pelukan istrinya.

Meskipun mimpi buruknya telah hilang, Imchanok dicengkeram oleh misteri dari kisah akhir pembunuhan si babi jantan yang aneh. Pasangan itu memutuskan untuk tidak mengatakan apapun tentang tulang dan gigi yang mereka temukan dan mereka melanjutkan aktivitas sehari-hari mereka seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Tetapi pikiran Imchanok terus kembali ke hari ia berdiri di tengah arus sambil memegang gigi babi jantan, dan mengapa, sebelum meninggalkan hutan, sebuah dorongan dari dalam telah mendesaknya untuk melakukan ritual aneh. Namun, ingatan yang paling akut dari semuanya adalah soal bagaimana ia telah merasakan sebuah sensasi baru, seolah-olah sebuah kekuatan baru sedang merasukinya. Di permukaan, ia berperilaku seolah-olah tidak ada kejadian luar biasa yang terjadi; tetapi diam-diam ia mulai mempertanyakan kegagalan tim pencari yang andal untuk menemukan bangkai binatang yang demikian besar, yang pastinya tidak kabur terlalu jauh dari tempatnya ditembak dan mengapa harus ia, si pemburu, yang menemukan sisa-sisa bangkai si babi jantan?

Ia merenungkan hal itu selama berhari-hari dan tanpa bisa dicegah semua kebimbangan terdahulunya saat membunuh gajah dan monyet kembali menghantuinya. Ia menjadi lesu dan murung; pada hari-hari tertentu ia akan duduk sendirian dan mengenang hayat Imchanok si pemburu, dan kebanggaan lamanya pada kemahiran dan reputasinya sebagai pemburu tersohor akan digantikan oleh perasaan malu dan sesal. Tangchetla menyadari itu tetapi pura-pura tidak tahu, cukup puas dengan fakta bahwa senapan Imchanok kini terbungkus aman dalam kain yang sama sejak perburuan si babi jantan usai.
Suatu hari ketika sedang sendirian, ia mengeluarkan senapannya dari bungkusan dan membongkarnya. Esok paginya, Tangchetla menyaksikan suaminya menggali lubang di halaman belakang sambil menyenandungkan sebuah lagu sumbang. Dan di dalam luka menganga bumi itu dikuburkannya gigi si babi jantan, senapan yang telah dibongkar, dan Imchanok si pemburu.

***

Tentang Temsüla Ao

Temsüla Ao adalah seorang penulis dan etnograf India. Ao adalah seorang pensiunan profesor Bahasa Inggris di North Eastern Hill University, tempatnya mengajar sejak 1975. Ia meraih sejumlah penghargaan, dua yang terpenting adalah Padma Shri (2007), dan Sahitya Akademi Award (2013). Cerpen ini diterjemahkan oleh Stanley Khu dari versi Inggris “Death of a Hunter” dalam kumpulan cerpen Ao yang paling terkenal, Laburnum for My Head.


Ilustrasi dari Wikiart.org.

Baca juga:
Martir – Cerpen Ngugi Wa Thiong’o
Kulit – Cerpen Roald Dahl


Komentar Anda?