Menu
Menu

Momen pengusiran Gadis Pantai dari rumah gedung dan dipisahkan ia dari bayinya adalah momen krusial-dramatik lain dari roman ini.


Oleh: Lolik Apung |

Administrator Program di Klub Buku Petra Ruteng dan Tutor di Rumah Belajar Ba Gerak.


Sabtu (02/07), Bincang Buku ke-42 Klub Buku Petra menjadi lebih berwarna. Ruangan didekorasi lebih menarik, juga ada soundsystem serta musik akustik. Rak-rak buku dijadikan latar dan bangku-bangku ditata melingkar. Romo Ino Dangku Pr, dosen pada Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Unika St. Paulus Ruteng berada di titik pusat lingkaran itu. Bertindak sebagai pemantik, Romo Ino membagi pembacaannya dari roman Gadis Pantai kepada empat belas peserta yang hadir: dr. Ronald Susilo, Maria Pankratia, Yuan Jonta, Etak Janu, Marto Lesit, Simpli Dalung, Arsy Juwandi, Yasinta Ajin, Febry Djenadut, Velin Angkat, Febhy Irene, Ebby Edon, Ancis Lehot, dan saya sendiri. Ebby Edon, juga Ancis Lehot yang kebetulan sedang berada di Ruteng saat itu (Ancis tinggal dan bergiat sebagai musisi di Labuan Bajo) memanjakan para peserta dengan dendangan lagu dan petikan gitar.

Romo Ino memulai kredonya dengan menegaskan proposisi tentang sastra: sastra adalah manusia, masalah sastra adalah masalah manusia, membaca sastra adalah membaca manusia. Kredo ini amat mencolok dalam roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Roman ini berusaha melabrak tatanan masyarakat feodal dan pemerintahan otoriter yang menindas manusia pasca-Indonesia merdeka. Melalui roman ini, Pram konsisten mengartikulasikan perjuangan kemanusiaan universal seperti karya-karyanya yang lain. “Ia bervisi humanis,” ungkap Romo Ino.

Selanjutnya, menurut Romo Ino, novel ini secara teknik adalah novel yang memaklumkan Pram sebagai penyair selain seorang romanis, sebab bahasanya puitis, enak dibaca, dan ditulis menyerupai dongeng. Namun buku ini lahir di tengah gejolak politik dua ideologi besar yang merembes sampai ke kehidupan seniman Indonesia pada waktu itu.

Di tataran fakta, gejolak itu terjadi antara inlander vs kolonialis. Ideologi yang berperang di baliknya adalah sosialisme-komunis Hegel-Marx vs kapitalisme. Beberapa tokoh politik dan pemikir Indonesia yang mempelajari ideoloi-ideologi ini dan mengetahui kelemahan dan kelebihan masing-masing, berusaha mengawini keduanya. Mereka adalah Sutan Sjahrir, yang kemudian mencetuskan sosialisme-demokratis. Sutan berkawan akrab dengan Mohammad Hatta, yang ikut merintis sosialisme-demokratis melawan Soekarno yang berideologi sosialisme-komunis dan cendrung revolusioner. Di belakang Soekarno, ada Tan Malaka. Sutan maupun Tan Malaka adalah dua sosok pemikir yang berada di balik kemunculan Soekarno-Hatta ke panggung politik Indonesia pra dan pasca kemerdekaan.

Pertikaian dua ideologi dari kehidupan politik ini, merambat ke bidang kesenian yang menciptakan friksi antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang menginginkan seni untuk keadilan sosial (L’Art pour societe) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu), yang menginginkan seni yang merdeka (L’Art pour l’art). Pram menyerap semua pertikaian itu. Ia bukan anggota Lekra pun Manikebu, meski ia sering diasosiasikan dengan Lekra sebab sering menyerang secara frontal Manikebu bersama Sutan Takdir Alisjahbana-nya. Ia menuduh Manikebu sebagai penyembah barat. Pram merintis jalannya sendiri. Ia memilih label ilmiah yaitu menulis melalui pendekatan fiksi-sejarah dalam kemasan realisme sosialis. Karena itu karya-karyanya tidak masuk dalam kategori dua kelompok ini. Justru ia mampu menggabungkan dua kecendrungan itu dengan menulis karya tentang manusia Indonesia dalam bahasa yang sastrawi. Salah satunya, dalam Gadis Pantai.

Menurut Romo Ino, Gadis Pantai adalah gambaran Indonesia remaja, yang berusaha menemukan diri dengan mencari ideologi sendiri. Roman ini bercerita tentang seorang Gadis Pantai, berusia 14 tahun, berasal dari kampung nelayan di Rembang, Jawa Tengah. Dinikahkan dengan sebilah keris. Dinikahkan secara paksa dengan pembesar santri setempat, seorang priyayi Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Menurut Romo Ino, begitu kita belum terlibat secara jiwa dan raga dalam sebuah keputusan, maka orang lainlah yang membuat keputusan untuk kita. Ini momen krusial yang pertama. Gadis Pantai mulai berontak terhadap keputusan ayah-ibunya yang menyerahkan dirinya untuk menjadi istri orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Ketika menjadi istri seorang bendoro, dalam rumah gedung, ia mengalami banyak hal asing hingga diusir setelah melahirkan bayinya. Momen pengusiran Gadis Pantai dari rumah gedung dan dipisahkan ia dari bayinya adalah momen krusial-dramatik lain dari roman ini. Gadis Pantai dipukul hingga ia berdarah. Diteriaki maling dan dituduh mencuri bayinya sendiri. Marsose dipanggil untuk mengusirnya (264).

Lebih lanjut, menurut romo, Gadis Pantai adalah gambaran manusia Indonesia. Manusia Indonesia masa depan adalah manusia yang menggabungkan jiwa faust dan jiwa arjuna. Hal ini dilakukan oleh Pramoedya. Dengan konsep ini, Pram sampai kepada gadis. “Kalau kita menyebut kata gadis, hal itu berhubungan dengan muda dan perempuan,” sebut Romo Ino. Indonesia adalah anak muda yang masih punya idealisme. Sesudah Indonesia merdeka, memori Indonesia adalah tentang bambu runcing. Selalu diceritakan tentang heroisme. Laki-laki. Maskulinitas.

Gadis perlu hadir demi mengimbangi maskulinitas beserta saudara-saudaranya yang lain seperti feodalisme dan patriarki, serta kolonialisme. Indonesia tidak boleh berat sebelah. Maka gadis dalam arti ini adalah cara Pram melakukan dekolonialisme mental orang Indonesia, demachoisme mental Indonesia, merevolusi mental Indonesia. Gadis pantai adalah salah satu corong yang mengartikulasikan dekolonialisasi mental maskulin, feodalisme, dan patriarki. Siapa pun yang membaca Gadis Pantai, ia tidak boleh berhenti sampai di sana. Harus bermuara pada penegasan yang dilakukan Pram melalui “Panggil Aku Kartini Saja”. Tanpa Raden Ajeng yang berindikasi feodal.

Pada tahap selanjutnya, Romo Ino menafsir kata pantai. Pantai utara adalah pantai yang teduh. Pantai selatan adalah pantai yang bergelora. Gadis Pantai berasal dari pantai utara, dari Rembang. Mengapa Gadis Pantai tidak kembali ke kampungnya setelah diusir Bendoro, tidak lain agar mengalami pantai selatan yang bergelora, di Blora. Dengan ini Pram sebenarnya menginginkan Indonesia yang dinamis, bukan statis. Pram bermaksud agar manusia Indonesia tidak hanya berjiwa tenang, datar, statis, dengan kerangka horizon utara. Pram menginginkan Indonesia yang berjiwa selatan, gelora laut yang ganas memukul batu karang, yang berjiwa bebas dan merdeka. “Gadis Pantai dengan demikian adalah metafora Pram untuk perempuan Indonesia khususnya dan untuk manusia Indonesia pada umumnya. “Gadis Pantai tidak bernama, agar ia tidak dibatasi oleh apa pun termasuk oleh sebuah nama. Juga, agar manusia Indonesia bisa berimajinasi tentang dirinya sebagai gadis pantai,” tutupnya

Setelah Romo Ino, para peserta lain diberi kesempatan untuk membagi hasil pembacaannya. Etak yang menjadi pembagi pertama tidak membaca sampai selesai buku ini. Dia tidak menikmati buku ini dan tidak mengerti buku ini dari bab 3 hingga selesai. Ia merasa terasing dan menganggap Pram tidak terlalu baik, pun tidak terlalu buruk dalam menulis. Ia ingin membaca ulang novel ini.

Pembagi kedua adalah Velin Angkat. Velin merasa kasihan dengan masyarakat Jawa di masa itu karena ditindas oleh penjajahan dan budaya mereka sendiri. Menurutnya, budaya Jawa merusak kehidupan orang-orangnya sendiri tanpa mereka sadari sehingga ia menganjurkan agar orang-orang dalam suatu budaya tertentu harus selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Pembagi ketiga adalah Arsy. Arsy pernah menganalisis novel ini sebagai sumber skripsi di tahun 2018. Menurutnya, ada tiga perkembangan cerita dalam roman ini, yaitu ketika Gadis Pantai menjadi perempuan desa, menjadi perempuan kota, dan menjadi perempuan priyayi. Ketika ia menjadi perempuan desa, ia lebih banyak menjadi seorang penurut, sedangkan ketika ia menjadi perempuan kota dan priyayi menurut Arsy, Gadis Pantai mendapat banyak pengetahuan baru yang kemudian menjadi dasar perlawanannya terhadap bendoro. Ia mengalami gejolak dalam percakapan dengan bendoro dan pelayan-pelayan di rumah gedung, terutama ketika mereka melarangnya untuk melakukan pekerjaan tangan, sesuatu yang tidak dialaminya selama empat belas tahun tinggal di desa. Namun, justru karena itu, ia mempunyai kesempatan belajar dan berpikir tentang hal lain, semacam menyiapkan diri untuk sebuah perlawanan, sehingga pada sisi ini, Gadis Pantai mampu merepresentasi seorang perempuan masa depan. “Semua tokoh perempuan dalam Pram adalah tokoh yang heroik, yang melawan,” tutup Arsy.

Setelah Arsy, Febry Djenadut menjadi peserta keempat berbagi pembacaan. Ia menyukai cara bertutur dari Pram dan tidak menyukai tema ceritanya, khususnya di bagian awal ketika ia menjadi penurut lalu ditindas. Oleh karena itu, ia tidak selesai membaca buku ini, meski di bagian-bagian selanjutnya ceritanya justru menjadi menarik. Ia berniat membaca buku ini lagi hingga selesai. Gadis Pantai mengingatkannya pada buku-buku yang dibacanya pada masa sekolah dasar, pada kisah-kisah dengan gaya penuturan lama, pada perasaan yang dimilikinya ketika rajin membaca buku dari perpustakaan gereja.

Ajin menjadi pembagi keempat. Gadis Pantai adalah buku pertama dari Pram yang dibacanya. Ia langsung menikmati buku ini dan berencana membaca buku-buku Pram yang lain. Secara tema, buku ini memperkuat prinsip-prinsip dasar Ajin sebagai perempuan: “Perempuan perlu menyiapkan pagar dan bila perlu melawan kecenderungan yang membuatnya jatuh atau dimanipulasi oleh lingkungan.” Ajin menyukai cara Pram mengarahkan tokoh Gadis Pantai tidak kembali ke kampungnya setelah diusir dari gedung bendoro.

Kemudian tiba giliran Yuan Jonta. Menurutnya novel-novel lama cenderung bercerita tentang keluguan masyarakat dan tentang relasi kuasa masyarakat-penguasa, seperti roman Pram ini. Ia membayangkan keluguan dan relasi kuasa itu seperti cara orang Manggarai menjual tanah. Harga tanah akan berkurang ketika keluarga yang datang membeli. Lebih lanjut, Yuan membayangkan dinamika Pram saat mengolah narasi dan dialog demi dialog dalam rumah gedung bendoro yang sempit dengan tokoh yang sedikit. “Pram luar biasa karena berhasil menuntaskan PR besar memaksimalkan setting menjadi novel yang tebal,” tutupnya.

Tiba giliran Marto Lesit, peserta lain yang pernah membahas Pram dalam skripsi. Ia merasa dekat dengan Pram. Menurutnya roman ini adalah cara Pram memaknai kolonialisme secara baru, bahwa kini penjajahan masuk sampai ke rana domestik. Pram tidak berbicara hal-hal besar. Ia membangun dramaturgi kolonialnya di sekitar rumah: “Jauh sebelum kompeni datang, penjajahan sudah ada dalam budaya kita yang permisif. Kita memungkinkan penjajah datang dengan mudah,” katanya. Inilah yang mau dikritik Pram. Lebih lanjut, dalam hubungannya dengan etika politik pembangunan, menurut Marto, Pram mengkritik konsep pembangunan sebagai usaha untuk mengejar kemajuan. Pembangunan harus membebaskan orang dari penderitaan. Gadis Pantai mencari pembangunan seperti itu dengan mendefinisikan ulang kata pulang. Pulang tidak ke kampung halaman 14 tahun tempat ia tumbuh, tetapi merintis jalan sendiri, ke tempat lain yang bernama Blora. Marto menginginkan semua orang membaca Pram, terutama yang menginginkan emansipasi. “Pram mudah dibaca. Jika kita kesulitan, yang kita butuhkan hanyalah sebuah persiapan kecil untuk masuk ke konteks budaya masa lalu,” pungkasnya.

Kemudian ada dr. Ronald Susilo yang hadir sebagai pembagi ketujuh. Ia sudah membaca buku ini sebanyak empat kali, dalam periode yang berbeda. Ia setuju dengan Romo Ino jika Pram menceritakan pergulatan manusia. Pergulatan manusia itu berhasil ditularkan Pram kepada pembaca. Dalam semua bukunya, Pram menulis tentang pergulatan manusia. “Kadang-kadang banyak novel yang tidak menyentuh pergulatan harian manusia,” katanya. Ketika mendengar deskripsi romo, dengan bentangan dan kerangka Pram yang luas, dokter merasa seperti sedang mengikuti kuliah di program pascasarjana sastra. Hal ini membuatnya semakin menyukai Pram dan berharap semakin banyak orang yang membaca karya-karyanya. Setting-an yang paling disukai oleh dokter adalah ketika anak Gadis Pantai ini direbut secara paksa. Ia bisa membayangkan sekaligus merasakan situasi yang menimpa Gadis Pantai saat itu.

Setelah dr. Ronald, giliran Febhy Irene. Membaca roman ini membuatnya teringat kisah liburannya pada usia 14 tahun di tempat tugas bapaknya. Di sana, ia bertemu dengan seorang perempuan berusia 17 tahun menggendong bayinya. Ia tercengang, karena ibu dan bayi itu terlihat seperti kakak-beradik. Dari memori dan dari kisah Gadis Pantai, Febhy lalu merefleksikan dua hal: perempuan dan pernikahan dini. Menurutnya, baik Gadis Pantai dan teman masa kecil yang dijumpainya mengalami pernikahan dini. Mereka menikah di usia dini yang jika dibandingkan dengan zaman sekarang seolah-olah hal itu agak sulit terjadi. Zaman sekarang pernikahan menjadi momen yang panjang karena membutuhkan persiapan yang matang; waktu, tenaga, dan biaya. Meski demikian, Febhy tetap melihat hal positif dari situasi ini yaitu tentang penerimaan hidup dari teman masa kecilnya itu, juga tentang sikap memberontak dari Gadis Pantai. “Siapa pun bisa jadi pahlawan, minimal untuk dirinya sendiri,” tutupnya.

Maria Pankratia menjadi pembicara ke sembilan. Ia membaca buku ini pada tahun 2018 oleh rekomendasi AN Wibisana, redaktur puisi bacapetra.co. Dari buku ini, Maria mendapatkan satu trigger kecil: cukup tahu apa yang kau mau, ciptakan itu, dan kerjakan itu, seperti Gadis Pantai.

Simpli Dalung menjadi pembicara kesepuluh. Impik, begitu ia biasa disapa, teringat akan gadis-gadis berusia 14 tahun di empat pub di Maumere, tatkala mereka melakukan aksi damai di sana pada bulan Juni lalu. Impik bertanya-tanya: mungkinkah pembelaan yang mereka lakukan terhadap gadis-gadis itu justru membelenggu jiwa mereka? Jika demikian menurutnya, apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan objektifikasi yang dilakukan bendoro terhadap Gadis Pantai.

Ebby Edon yang hadir untuk pertama kalinya di bincang buku, memberi komentar singkat sebagai pembicara kesebelas. Ia berkomentar tentang penderitaan yang menimpa Gadis Pantai. Fase yang cukup penting dari penderitaan yang dialami oleh Gadis Pantai adalah fase ketika ia mulai menikmati penderitaan itu. Fase menikmati penderitaan itulah yang juga menjadi kekuatan Gadis Pantai untuk berbalik melawan dan mencari jalannya sendiri.

Setelah semua peserta berbicara, selaku pemantik, Romo Ino menyimpulkan hasil pembacaan peserta dengan mengutip kata-kata dari Sutan Sjahrir: “Aku cinta negeri ini dan orang-orangnya terutama karena aku mengenal mereka sebagai orang-orang yang kalah.” (Sutan Sjahrir, dari Penjara Cipinang).

Malam itu, Gadis Pantai dianugerahi bintang empat oleh para peserta yang hadir. Sampai jumpa di bincang buku selanjutnya.(*)


Baca juga:
Kesedihan dan Penderitaan Tak Kunjung Habis di Negeri Anjing
Rumah, Tak Selalu Bikin Betah


Komentar Anda?